Pengotor batin

Konsep tentang faktor mental yang mengotori batin sebagai sumber dari kejahatan menurut Buddhisme

Dalam Buddhisme, pengotor batin, kotoran batin, atau kotoran mental (Pali: kilesa; Sanskerta: क्लेश, kleśa) adalah faktor mental yang mengeruhkan pikiran dan biasanya terwujud dalam perbuatan buruk melalui pikiran, ucapan, dan jasmani.

Terjemahan dari
kilesa
Indonesiapengotor batin,
kotoran batin,
kekotoran batin,
dll.
Inggrisafflictions,
destructive emotions,
disturbing emotions,
negative emotions,
mind poisons,
dll.
Palikilesa
Sanskertakleśa (क्लेश)
Tionghoa煩惱
(Pinyinfánnǎo)
Jepang煩悩
(rōmaji: bonnō)
Korea번뇌
(RR: beonnoe)
Mongoliaнисванис (nisvanis)
Tibetanཉོན་མོངས།
(Wylie: nyon mongs;
THL: nyönmong
)
Myanmarကိလေသာ
(MLCTS: kḭlèθà)
Thaiกิเลส
(RTGS: Kilet)
Vietnamphiền não
Khmerកិលេស
(UNGEGN: kĕlés)
Daftar Istilah Buddhis

Theravāda

sunting

Dalam aliran Theravāda, penyebab eksistensi dan penderitaan (dukkha) manusia diidentifikasi sebagai nafsu kehausan (taṇhā) dan pengotor batin (kilesa) lainnya. Pengotor batin yang mengikat manusia pada siklus kelahiran kembali diklasifikasikan ke dalam satu kelompok sepuluh belenggu (saṃyojana). Kilesa adalah fenomena yang sering kali muncul, bertahan untuk sementara, dan kemudian menghilang. Tingkat pengotor batin bisa berupa kasar, menengah, dan halus. Theravādin meyakini bahwa pengotor batin tidak hanya berbahaya bagi diri sendiri, tetapi juga berbahaya untuk makhluk lain. Pengotor batin ini adalah kekuatan pendorong di belakang semua perbuatan buruk yang dilakukan oleh semua makhluk.

Penyebab perbuatan buruk

sunting

Sutta Piṭaka, dalam Kammanidāna Sutta, Aṅguttara Nikāya 10.174, diklasifikasikan tiga jenis pengotor batin sebagai penyebab, sumber, dan asal-mula segala perbuatan buruk (akusala-kamma), seperti membunuh, mencuri, berhubungan seksual yang salah, berbohong, berucap kasar, bergosip, larut dalam kerinduan, berniat buruk, dan berpandangan salah. Tiga pengotor batin tersebut adalah:[1]

  1. Keserakahan (Pāli: lobha)
  2. Kebencian (dosa)
  3. Delusi (moha)

Sepuluh jenis pengotor batin

sunting

Meskipun Sutta Piṭaka tidak merinci daftar lengkap pengotor batin, kitab-kitab Abhidhamma Piṭaka, seperti Dhammasaṅgani (Dhs. 1229ff.) dan Vibhaṅga (Vbh. XII); dan kitab Visuddhimagga pasca-kanonik (Vsm. XXII 49, 65) menguraikan daftar sepuluh pengotor batin (dasa kilesa-vatthūni) sebagai berikut:

  1. Keserakahan (Pāli: lobha)
  2. Kebencian (dosa)
  3. Delusi (moha)
  4. Kesombongan (māna)
  5. Pandangan salah (micchādiṭṭhi)
  6. Keraguan (vicikicchā)
  7. Kemalasan (thīna)
  8. Kebingungan/kegelisahan (uddhacca)
  9. Tidak-tahu-malu (ahirika)
  10. Tidak-takut-akibat-perbuatan-jahat (anottappa)[2]

Kitab Vibhaṅga juga mencakup daftar beruas delapan (Pāli: aṭṭha kilesa-vatthūni) yang terdiri dari delapan daftar pertama dari sepuluh daftar di atas.[3]

Tiga akar buruk

sunting

Dalam literatur Pali, tiga pengotor batin pertama dalam sepuluh daftar Abhidhamma di atas (Pāli: lobha dosa moha) dikenal sebagai "akar buruk" (Pāli: akusala-mūla); dan kebalikannya (Pāli: alobha adosa amoha) adalah tiga "akar baik" (Pāli: kusala-mūla atau akar kusala).[4] Kehadiran akar yang baik dan buruk tersebut dalam perbuatan batin (manokamma), ucapan (vacīkamma), atau jasmani (kāyakamma) mengondisikan penilaian moral atas kesadaran (citta) yang akan muncul dan faktor-faktor mental yang terkait dengannya.[5]

Faktor mental keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa) tidak dapat muncul sendiri tanpa kehadiran faktor mental delusi (moha). Kitab Abhidhamma mengklasifikasikan kesadaran buruk (akusala-citta) dalam tiga kelompok:[6][7]

  1. Kesadaran yang berakar pada kebencian (dosamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental kebencian (dosa) dan delusi (moha).
  2. Kesadaran yang berakar pada keserakahan (lobhamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental keserakahan (lobha) dan delusi (moha).
  3. Kesadaran yang berakar pada delusi (mohamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental delusi (moha).

Kecenderungan tersembunyi

sunting

Kecenderungan tersembunyi atau tendensi laten (Pāḷi: anusaya) adalah pengotor batin yang tertidur karena belum dihancurkan (anusayanti appahīnānusayitaṁ kilesaṁ). Pada dasarnya, semua pengotor batin ada sebagai kecenderungan tersembunyi, tetapi Abhidhamma menguraikan tujuh jenis anusaya yang sangat merusak (memperpanjang siklus kelahiran dan kematian), yaitu kecenderungan tersembunyi yang dinamakan:[6]

  1. nafsu-indrawi (kāmarāgānusaya)
  2. nafsu-eksistensi (bhavarāgānusaya)
  3. antipati (paṭighānusaya)
  4. kesombongan (mānānusaya)
  5. pandangan-salah (diṭṭhānusaya)
  6. keraguan (vicikicchānusaya)
  7. ketidaktahuan (avijjānusaya)

Dengan demikian, pengotor batin hadir dalam tiga tingkatan:[8][9]

  1. Tingkat kecenderungan tersembunyi atau tendensi laten (anusaya): pengotor menetap hanya sebagai watak tersembunyi dalam batin.
  2. Tingkat ledakan (pariyuṭṭhāna): pengotor batin muncul untuk menguasai dan memperbudak pikiran.
  3. Tingkat pelanggaran (vītikkama): pengotor batin memotivasi perbuatan jasmani dan ucapan yang tidak bermanfaat.

Dalam tingkatan kecenderungan tersembunyi (anusaya), pengotor batin masih tertidur di dasar kontinum mental. Melalui dampak dari rangsangan sensorik, pengotor batin muncul pada tingkatan ledakan (pariyuṭṭhāna) sebagai kecenderungan-kecenderungan di permukaan kesadaran dalam bentuk pikiran, emosi, dan kehendak jahat. Jika kecenderungan-kecenderungan ini mengumpulkan kekuatan tambahan, pengotor batin akan mencapai tingkat pelanggaran (Pāli: vītikkama), yang kemudian akan melibatkan tindakan fisik atau vokal.

Rintangan batin

sunting

Kilesa yang menghambat konsentrasi meditatif (samādhi) disajikan dalam formula pañca nīvaraṇa (“lima rintangan batin”):[10]

  1. Niat jahat (Pāli: byāpāda atau vyāpāda)
  2. Kemalasan dan kantuk/kelambanan (thīna-middha)
  3. Hasrat sensual (kāmacchanda)
  4. Kebingungan/kegelisahan dan penyesalan (uddhacca-kukkucca)
  5. Keraguan (vicikicchā)

Rintangan batin berupa kemalasan dan kelambanan/kantuk (thīna-middha) disebut bersamaan karena keduanya merupakan faktor-mental yang munculnya selalu bersamaan, begitu juga dengan kegelisahan/kebingungan dan penyesalan (uddhacca-kukkucca).[7]

Belenggu batin

sunting
Empat tingkat kemuliaan sesuai Sutta Piṭaka.
Bodhi Punarbawa Belenggu yang disingkirkan
sotāpanna ± tujuh kali;
manusia
atau dewa
  1. pandangan
    identitas
    (lihat anatta)
  2. keraguan
    pada Triratna
  3. kemelekatan
    pada ritual
    dan adat
belenggu
rendah
sakadāgāmi sekali lagi;
manusia
anāgāmi sekali lagi,
suddhāvāsa
arahat tidak ada belenggu
tinggi

Belenggu (Pali: saṁyojana), bersama-sama dengan rintangan dan berbagai faktor mental tidak baik lainnya, merupakan bagian dari pengotor batin (kilesa).[11] Sebagai perbandingan, dalam aliran Theravāda, belenggu biasanya mencakupi banyak kehidupan (masa lalu, saat ini, dan masa depan setelah kelahiran kembali) dan sulit dihilangkan, sedangkan rintangan merujuk pada hambatan sementara saat praktik meditasi. Sutta Piṭaka dalam Tripitaka Pali menjelaskan sepuluh "belenggu eksistensi atau keberadaan":[12]

  1. percaya ada diri atau roh (Pali: sakkāya-diṭṭhi)[13]
  2. keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)[14]
  3. kemelekatan pada ritual dan adat (sīlabbata-parāmāsa)[15]
  4. nafsu indrawi (kāmacchanda)[16]
  5. niat jahat (vyāpāda atau byāpāda)[17]
  6. nafsu kehausan atas keberadaan materi, nafsu kehausan atas kelahiran kembali di dunia materi (rūparāga)[18]
  7. nafsu kehausan atas keberadaan nonmateri, nafsu atas kelahiran kembali di dunia tanpa materi (arūparāga)[19]
  8. kesombongan (māna)[20][21]
  9. kegelisahan (uddhacca)[22]
  10. ketidaktahuan (avijjā)[23]

Empat belas faktor mental tidak baik

sunting

Tradisi Abhidhamma menguraikan empat belas faktor mental yang tidak baik (akusala cetasika) sebagai pengotor batin yang eksis dalam kesadaran yang tidak baik (akusala citta).

Empat belas faktor mental yang tidak baik adalah:

  • Empat faktor mental tidak baik universal (akusalasādhāraṇa):
  • Tiga faktor mental dalam kelompok keserakahan (lobha):
  • Empat faktor mental dalam kelompok kebencian (dosa):
  • Faktor-faktor mental tidak baik lainnya:

Bhikkhu Bodhi menyatakan:[24]

Kesadaran yang tidak baik (akusalacitta) adalah kesadaran yang disertai oleh salah satu dari tiga akar yang tidak baik—keserakahan, kebencian, dan delusi. Kesadaran seperti itu disebut tidak baik karena tidak sehat secara mental, tercela secara moral, dan menghasilkan akibat yang menyakitkan.

Mahāyāna

sunting

Enam akar pengotor batin

sunting

Kitab Abhidharma-Kosa mengidentifikasi enam akar pengotor batin (mūlakleśa) sebagai berikut:[25]

  • Nafsu (Sanskerta: rāga)
  • Antipati (Sanskerta: pratigha)
  • Ketidaktahuan (Sanskerta: avidyā)
  • Kesombongan/tipu daya (Sanskerta: māna)
  • Keraguan (Sanskerta: vicikitsā)
  • Pandangan salah (Sanskerta: dṛṣṭi)

Rujukan

sunting
  1. ^ "AN 10.174: Kammanidānasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-06-22. 
  2. ^ Rhys Davids & Stede (1921–5), p. 217; and, Nyanatiloka (1988), entry for "kilesa," retrieved 2008-02-09 from "BuddhaSasana" at http://www.buddhanet.net/budsas/ebud/bud-dict/dic3_k.htm Diarsipkan 2012-03-28 di Wayback Machine..
  3. ^ Rhys Davids & Stede (1921–25), p. 217.
  4. ^ In addition to frequent reference in the Abhidhamma and post-canonical Pali literature, references to the unwholesome roots (akusala-mūla) are sprinkled throughout the Sutta Pitaka. For instance, in the Digha Nikaya, it can be found in DN 33 (D iii.215) and DN 34 (D iii.275); in the Majjhima Nikaya, it is the first of several topics discussed by Ven. Sariputta in the well-known Sammādiṭṭhi Sutta ("Right View Discourse," MN 9); and, in the Itivuttaka, a brief discourse on three unwholesome roots starts off the "Section of the Threes" (Iti. 50). However, in none of these Sutta Pitaka texts are the three unwholesome roots referred to as kilesa. Such an association appears to begin in the Abhidhamma texts.
  5. ^ Nyanatiloka (1988), entry for "mūla," retrieved 2008-02-09 from "BuddhaSasana" at http://www.buddhanet.net/budsas/ebud/bud-dict/dic3_m.htm.
  6. ^ a b Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  7. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  8. ^ Sasanasubhasita. "Pohon Kekotoran Batin". www.sasanasubhasita.org (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2024-08-10. 
  9. ^ Bodhi, Bhikkhu. "MN 64: Mahāmālunkya Sutta". DhammaCitta. Diakses tanggal 2024-08-10. 
  10. ^ Bhikkhu Bodhi. "The Noble Eightfold Path: The Way to the End of Suffering". Buddhist Publication Society.
  11. ^ Gunaratana (2003), dhamma talk entitled "Dhamma [Satipatthana] - Ten Fetters."
  12. ^ Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam SN 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09).
  13. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
  14. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).
  15. ^ Sebagai contoh, lihat: Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry Diarsipkan 2012-07-18 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; Thanissaro (2000) menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."
  16. ^ Untuk diskusi yang lebih luas mengenai istilah ini, lihat, contoh., Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry Diarsipkan 2012-07-15 di Archive.is, and p. 274, "Chanda" entry Diarsipkan 2012-07-09 di Archive.is (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkan kāmacchando sebagai "nafsu indria" ("sensual desire").
  17. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan vyāpādo sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" ("ill will") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keengganan" ("aversion").
  18. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan rūparāgo sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" ("lust after rebirth in rūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan bentuk" ("lust for form") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan akan bentuk" ("desire for form"). Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan akan bentuk" ("passion for form"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan dalam Dunia Bentuk" ("craving for existence in the Form World").
  19. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), menyarankan bahwa arūparāgo dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" ("lust after rebirth in arūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan ketidakadaan bentuk" ("lust for the formless"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" ("desire for the formless"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "keterikatan akan bentuk murni atau dunia-dunia tanpa bentuk" ("attachment to the pure form or formless worlds") Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" ("passion for what is formless"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" ("craving for existence in the Formless World").
  20. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry Diarsipkan 2012-07-11 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan māna sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" ("pride, conceit, arrogance"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" ("conceit"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "kebanggaan" ("pride"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kesombongan 'Saya adalah'" ("the 'I am' conceit").
  21. ^ Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan akan diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, SN 22.89 (trans., Thanissaro, 2001).
  22. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry Diarsipkan 2012-07-13 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan uddhacca sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan, kegirangan, kebingunan, tergesa-gesa" ("over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" ("restlessness"). Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."
  23. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan avijjā sebagai "kedunguan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" ("ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kedunguan spiritual" ("spiritual ignorance").
  24. ^ Bhikkhu Bodhi 2012, Kindle Locations 1320–1324.
  25. ^ Guenther, Herbert V. & Leslie S. Kawamura (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding." Dharma Publishing. Edisi Kindle, 321.