Takut (Buddhisme)

Rasa takut berbuat jahat sebagai salah satu faktor mental baik dan penjaga dunia dalam Buddhisme
(Dialihkan dari Anottappa)

Dalam Buddhisme, takut atau rasa takut (Pali: ottappa; Sanskerta: apatrāpya), juga dikenal sebagai takut berbuat jahat, berasal dari faktor eksternal, penghormatan orang lain, dan rasa takut. Rasa takut diartikan sebagai sikap menjauhi tindakan yang tidak baik agar tidak dicela oleh orang lain yang berkarakter baik.[1][2] Ottappa adalah salah satu faktor mental baik dalam ajaran Abhidharma. Faktor mental yang berlawanan dengan karakteristik ottappa adalah anottappa (Pali) atau anapatrāpya (Sanskerta), artinya "tidak takut berbuat jahat". Rasa takut biasanya dipasangkan dengan hiri ("rasa malu berbuat jahat").

Terjemahan dari
takut
Indonesiarasa takut; rasa takut berbuat jahat
Inggrisdecorum,
shame,
consideration,
propriety
Paliottappa
Sanskertaapatrapya, apatrāpya
Tionghoa愧(T) / 愧(S)
Korea
(RR: goi)
Tibetanཁྲེལ་ཡོད་པ།
(Wylie: khrel yod pa;
THL: trelyö pa
)
Daftar Istilah Buddhis

Theravāda

sunting

Ottappa

sunting

Setidaknya, ada dua diskursus dalam Sutta Piṭaka yang berisi pembahasan ottappa yang dipasangkan dengan hiri. Kedua teks ini berfokus pada masalah rasa malu dan rasa takut moral. Diskursus pertama (Aṅguttara Nikāya 7.65) berisi wejangan Sang Buddha tentang manfaat rasa takut dan malu berbuat jahat, dan bahaya atas rasa tidak takut dan tidak malu berbuat jahat.[3] Diskursus kedua (Saṁyutta Nikāya 14.20) adalah wejangan Sang Buddha tentang berkumpulnya orang-orang dengan kecenderungan yang sama, yakni sama-sama tidak memiliki rasa tidak takut berbuat jahat.[4] Tradisi Abhidhamma Theravāda mencantumkan ottappa dalam daftar dua puluh lima sobhana cetasika ("faktor mental yang indah").

Ottappa sering disebut bersamaan dengan hiri ("rasa malu berbuat jahat"). Keduanya bertanggung jawab untuk mendorong seseorang agar menghindari melakukan tindakan jahat. Sebab terdekat rasa takut berbuat jahat adalah rasa hormat terhadap orang lain; sedangkan sebab terdekat untuk rasa malu adalah rasa hormat terhadap diri sendiri. Bersama-sama, mereka dikenal sebagai lokapala ("penjaga dunia"):[5]

Para bhikkhu, dua dhamma yang murni ini adalah penjaga dunia. Apakah dua hal tersebut? Rasa-malu (hiri) dan takut-berbuat-jahat (ottappa). Para bhikkhu, apabila dua dhamma yang murni ini tidak menjaga dunia, maka tidak akan ada rasa hormat diberikan kepada ibu, atau saudara ibu, atau istri paman, atau istri guru, atau istri dari mereka yang dihormati. Dunia akan penuh dengan kekacauan kelahiran seperti halnya yang terjadi di antara kambing, ayam, babi, anjing, dan serigala. Para bhikkhu, karena dua dhamma yang murni ini menjaga dunia maka rasa hormat diberikan kepada ibu dan lain-lain.”

— A 2.9

Kitab Puggalapaññatti menyatakan:

"Malu terhadap apa yang seharusnya membuat seseorang malu, malu melakukan hal-hal yang jahat dan tidak baik: ini disebut rasa malu berbuat jahat (hiri). Takut terhadap apa yang seharusnya membuat seseorang takut, takut melakukan hal-hal yang jahat dan tidak baik: ini disebut rasa takut berbuat jahat (ottappa)."[6]

Rasa takut vs rasa malu

sunting

Kitab komentar menguraikan ottappa dan hiri dengan menjabarkan perbedaan kedua faktor-mental ini dalam tiga hal:[5]

  1. Kemunculan takut-berbuat-jahat bersumber pada orang lain atau faktor eksternal (bahiddhāsamuṭṭhāna); sedangkan kemunculan rasa-malu bersumber pada diri sendiri atau faktor internal (ajjhattasamuṭṭhāna).
  2. Takut-berbuat-jahat bersumber pada sikap menghormati dunia atau orang lain (lokādhipati); sedangkan rasa-malu bersumber pada sikap menghormati diri sendiri (attādhipati).
  3. Takut-berbuat-jahat “berpijak” pada karakteristik alamiah dari rasa takut (bhayasabhāvasaṇṭhita); sedangkan rasa-malu “berpijak” pada karakteristik alamiah dari rasa sungkan (lajjāsabhāvasaṇṭhita).

Kitab komentar memberi ilustrasi untuk dua faktor-mental ini—ottappa dan hiri—dengan perumpamaan dua bola besi (dvīayoguḷa). Dari dua bola besi tersebut, bola yang satu dingin, tetapi seluruh permukaannya dilumuri oleh kotoran manusia; sedangkan bola yang kedua adalah bola yang panas membakar. Seorang yang bijaksana tidak mau memegang bola yang pertama karena merasa jijik dengan kotoran manusia; sementara itu dia juga tidak berani memegang bola yang kedua karena takut tangannya terbakar. Ketidakinginan orang tersebut memegang bola yang dingin dan penuh kotoran adalah seperti seseorang yang tidak melakukan kejahatan karena rasa-malu yang muncul dari diri sendiri. Kemudian, ketidakinginan untuk memegang bola panas karena takut tangannya terbakar adalah seperti seseorang yang takut-berbuat-jahat karena rasa takut terlahir di empat alam rendah (neraka, binatang, hantu kelaparan, dan asura).

Faktor eksternal

sunting

Faktor eksternal yang dimaksud adalah seseorang tidak melakukan perbuatan jahat karena takut dicela oleh empat majelis (catuparisā), yaitu komunitas bhikkhu, komunitas bhikkhunī, para umat awam laki-laki (upāsaka), dan para umat awam perempuan (upāsikā).

Garahissanti taṃ viññū, asuciṃ nāgariko yathā; vajjito sīlavantehi, kathaṃ bhikkhu karissasīti.
Orang-orang bijaksana akan mencela kamu, demikian pula penduduk kota; ketidakmurnian dihindari oleh orang yang bermoral, (lalu) bagaimana mungkin seorang bhikkhu akan melakukannya?

Setelah merenungkan demikian, seorang bhikkhu kemudian tidak melakukan perbuatan jahat.[5]

Penghormatan orang lain

sunting

Berbeda dengan hiri ("rasa malu") yang menjadikan dirinya sendiri sebagai faktor penting yang memengaruhi seseorang untuk tidak melakukan kejahatan, faktor-mental ottappa ("rasa takut") menjadikan dunia sebagai faktor penting yang mengendalikannya; apabila rasa-malu muncul karena rasa menghargai diri sendiri maka rasa takut-berbuat-jahat muncul karena menghormati dunia atau orang lain (lokādhipati).

Perenungan terhadap diri sendiri atas penghormatan orang lain adalah sebagai berikut:

Passatha bho imaṃ kulaputtaṃ, saddhā agārasmā anagāriyaṃ pabbajito samāno vokiṇṇo viharati pāpakehi akusalehi dhammehī'ti.
Lihatlah anak dari keluarga terhormat ini, kawan, seorang petapa yang meninggalkan rumah menuju ke kehidupan tanpa-rumah atas dasar keyakinan, (tetapi) dia hidup penuh dengan dhamma-dhamma yang jahat dan tidak baik.

Dengan perenungan demikian, maka seseorang menjadikan dunia sebagai pemimpin yang tertinggi (lokādhipati jeṭṭhaka), meninggalkan kejahatan, mengembangkan moralitas, meninggalkan kesalahan, mengembangkan perilaku tanpa kesalahan, dan menjaga dirinya sendiri untuk tetap bersih dari kesalahan-kesalahan sekecil apa pun.[5]

Rasa takut

sunting

Bhayanti apāyabhayaṃ; tena sabhāvena saṇṭhitaṃ ottappaṃ.
Yang dimaksud dengan rasa takut adalah ketakutan akan kelahiran di empat alam tanpa-kebahagiaan; takut-berbuat-jahat “berpijak” di karakteristik alamiah dari (ketakutan) tersebut.

Rasa takut berbuat jahat—dan juga rasa malu berbuat jahat—muncul dalam bentuk penghindaran dari perbuatan jahat atau yang tidak baik (pāpaparivajjana).[5]

Anottappa

sunting
Terjemahan dari
anottappa
Indonesiatidak takut berbuat jahat
Inggrislack of propriety
disregard
shamelessness
Palianottappa
Sanskertaanapatrapya, anapatrāpya
Tionghoa無愧
Tibetanཁྲེལ་མེད་པ།
(Wylie: khrel med pa;
THL: trel mepa
)
Daftar Istilah Buddhis

Tidak takut berbuat jahat atau anottappa adalah suatu faktor mental yang sifatnya berlawanan dari faktor mental ottappa. Faktor mental ini diidentifikasi sebagai satu dari empat belas faktor mental tidak baik dalam klasifikasi Abhidhamma. Karakteristiknya adalah tidak takut untuk berbuat yang tidak baik melalui tubuh dan ucapan (anuttāsanalakkhaṇa). Sebab terdekat dari anottappa adalah tidak adanya rasa hormat kepada orang lain.

Anottappa adalah faktor mental yang membuat seseorang tidak takut untuk melakukan perbuatan yang tidak baik, seperti pelanggaran sīla, dan lain-lain. Anottappa diibaratkan seperti laron yang tidak takut kepada api. Oleh karena tidak mempunyai pengetahuan, maka laron akan terbang, masuk ke dalam api, dan terbakar. Laron tersebut tidak tahu bahwa perbuatannya akan menghasilkan penderitaan. Ketidak-tahuannya telah membuatnya tidak takut akan akibat dari perbuatannya.[5]

Mahāyāna

sunting

Apatrāpya

sunting

Kitab Abhidharma-samuccaya menyatakan:

"Apa itu apatrāpya? Apatrāpya adalah untuk menghindari apa yang tidak menyenangkan di mata orang lain."[7]

Perbedaan antara hrī (rasa malu) dan apatrāpya (rasa takut) adalah hrī berarti menahan diri dari tindakan yang tidak baik karena hati nurani sendiri, sedangkan apatrapya berarti menahan diri dari tindakan yang tidak baik untuk menghindari celaan orang lain.[7][8]

Anapatrāpya

sunting

Kitab Abhidharma-samuccaya menyatakan:

"Apa itu anapatrāpya? Anapatrāpya adalah bukan menahan diri dengan menganggap orang lain sebagai suatu hal yang biasa. Anapatrāpya adalah peristiwa emosional yang terkait dengan nafsu-nafsu (raga), kebencian-keengganan (dvesha), dan kekeliruan (moha). Anapatrāpya membantu emosi dasar dan emosi proksimal."[9]

Terjemahan alternatif

sunting
  • kehati-hatian atau bijak (prudence) - Bhikkhu Sujato
  • sopan santun atau kepantasan (decorum) - Guenther, Rangjung Yeshe Wiki
  • rasa malu (shame) - Erik Pema Kunsang
  • pertimbangan (consideration) - Rangjung Yeshe Wiki
  • kesopanan atau kewajaran (propriety) - Rangjung Yeshe Wiki

Referensi

sunting
  1. ^ Guenther (1975), Kindle Loc. 528-531.
  2. ^ Kunsang (2004), hlm. 24.
  3. ^ Bhikkhu Sujato. "Conscience and Prudence". SuttaCentral. Diakses tanggal 2019-10-24. 
  4. ^ Ṭhānissaro Bhikkhu. "2:3 Shame". dhammatalks.org. Diakses tanggal 2019-10-24. 
  5. ^ a b c d e f Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  6. ^ "Hiri Ottappa; 2 Definition(s)". Wisdom Library. 2010-06-06. Diakses tanggal 2019-10-24. 
  7. ^ a b Guenther (1975), Kindle Loc. 528-531.
  8. ^ Kunsang (2004), hlm. 24.
  9. ^ Guenther (1975), Kindle Loc. 935-936.

Daftar pustaka

sunting
  • Guenther, Herbert V. & Leslie S. Kawamura (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding". Dharma Publishing. Kindle Edition.
  • Kunsang, Erik Pema (penerjemah) (2004). Gateway to Knowledge, Vol. 1. North Atlantic Books.