Tzu Chi

yayasan kemanusiaan yang berpusat di Hualien, Taiwan

Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi (Hanyu Pinyin: Cí Jì, Wade-Giles: Tz'u Chi, Hanzi yang Disederhanakan: 慈济基金会, Hanzi tradisional: 慈濟基金會) adalah sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan, antara lain: amal sosial, kesehatan, pendidikan, budaya humanis, pelestarian lingkungan, donor sumsum tulang, bantuan internasional, dan relawan komunitas. Tzu Chi yang kini berpusat di Hualien, Taiwan, didirikan oleh Master Cheng Yen, seorang biksuni, pada 14 April 1966, setelah dia terinspirasi oleh guru sekaligus mentornya, Master Yin Shun (印順導師), Yin Shun Dao Shi) dengan harapan yang besar: "demi ajaran Buddha dan demi semua makhluk". Berbeda dengan komunitas Buddhis pada umumnya yang lebih memfokuskan diri pada penerangan dan meditasi, Tzu Chi memfokuskan pada lingkungan sosial.

Griya Perenungan (Jing Si Tang) Yayasan Tzu-Chi di Taiwan, berdampingan dengan rumah sakit di sebelah kanan.

Tzu Chi terdiri dari relawan dengan latar belakang yang berbeda-beda dengan melintasi perbedaan suku, agama, ras, bangsa, dan golongan untuk bersama-sama menebar cinta kasih ke seluruh dunia. Para relawan juga sering dibina dalam berbagai pelatihan. Mereka dapat dikenali lewat seragamnya yang khas ketika sedang melakukan kegiatan bakti sosial, yakni: kaus berlogo Tzu Chi di dada kiri (warna kaus tergantung tingkatan dari masing-masing relawan), celana berwana putih yang tidak ketat, ikat pinggang dengan logo Tzu Chi di kepala ikat pinggang, dan kartu identitas yang disematkan di atas saku baju.

Sejarah

sunting

Tzu Chi didirikan oleh Master Cheng Yen, seorang biksuni yang melatih diri di Vihara Pu Ming, Hualien. Di vihara kecil ini, Master Cheng Yen beserta para muridnya hidup dengan mengandalkan hasil bercocok tanam, merajut sepatu bayi, ataupun industri rumah tangga dan bertekad tidak menerima sumbangan.

Suatu hari pada tahun 1966, Master Cheng Yen bersama beberapa pengikutnya menjenguk seorang umat yang menjalani operasi akibat pendarahan lambung di sebuah balai pengobatan. Ketika keluar dari kamar pasien, dia melihat bercak darah di lantai, tetapi tidak tampak pasien di sekitar sana. Selanjutnya baru diketahui bahwa darah tersebut berasal dari seorang wanita dari Gunung Fengbin yang mengalami keguguran. Karena tidak mampu membayar uang jaminan sebesar NT$ 8.000, wanita tersebut tidak bisa berobat dan terpaksa dibawa pulang.

Mendengar hal ini, Master Cheng Yen sangat terguncang. Seketika itu dia memutuskan untuk berusaha mengumpulkan dana amal untuk menolong orang dan menyumbangkan seluruh kemampuan dirinya bagi orang yang menderita sakit dan kekurangan di Taiwan bagian timur ini. Karena ada jalinan jodoh, di saat itu kebetulan sekali tiga orang suster Katolik dari Sekolah Menengah Hualien datang berkunjung untuk menemui Master Cheng Yen. Suster bertanya, "Agama Katolik kami telah membangun rumah sakit, mendirikan sekolah, dan mengelola panti jompo untuk membagi kasih sayang kepada semua umat manusia, walaupun Buddha juga menyebut menolong dunia dengan welas asih, tetapi mohon tanya, agama Buddha mempersembahkan apa untuk masyarakat?" Kata-kata ini sangat menyentuh hati Master Cheng Yen. Sebenarnya waktu itu umat Buddha juga menjalankan kebajikan dan beramal, tetapi tanpa mementingkan namanya. Dari situ membuktikan bahwa semua umat Buddha memiliki rasa cinta kasih yang dalam, hanya saja terpencar dan kurang koordinasi serta kurang terkelola. Master Cheng Yen bertekad untuk menghimpun potensi ini dengan diawali dari mengulurkan tangan mendahulukan bantuan kemanusiaan.

Kegiatan kemanusiaan Tzu Chi diawali dari 6 murid Master Cheng Yen yang setiap hari merajut tambahan sepasang sepatu bayi untuk mengumpulkan dana kemanusiaan. Di samping itu, Master Cheng Yen memberi celengan bambu pada 30 ibu rumah tangga yang menjadi pengikutnya. Dia meminta agar setiap hari mereka menghemat 50 sen uang belanja dan memasukkannya ke dalam celengan itu. Dari semua hasil ini, tiap bulan terkumpul NT$ 1.170 untuk membantu kaum miskin. Kabar ini dengan cepat tersebar di Hualien, dan semakin banyak orang yang ingin bergabung. Untuk menghimpun semua kebajikan itu, Badan Bakti Amal Tzu Chi dibentuk pada bulan Mei 1966 dan berpusat di Vihara Pu Ming. Seiring waktu, badan amal ini diubah namanya menjadi Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi.

Pada awal masa pembentukan Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi, Master Cheng Yen bersama para pengikut mengambil tempat sempit yang tidak lebih dari 20 m² di Vihara Pu Ming, sambil berupaya menghasilkan produk untuk mendukung kehidupan, sambil mengurus jalannya organisasi. Pada musim gugur tahun 1967, ibunda Master Cheng Yen membelikannya sebidang tanah yang sekarang dimanfaatkan untuk bangunan Griya Perenungan. Walaupun demikian, Master Cheng Yen beserta para pengikut masih tetap mempertahankan prinsip hidup mandiri. Biaya perluasan seluruh proyek Griya Perenungan, selain mengandalkan pinjaman uang dari bank atas dasar hipotik hak kepemilikan tanah tersebut, juga dari hasil usaha kerajinan tangan. Sampai kini pun, Master Cheng Yen dan para pengikutnya tetap hidup mandiri dengan bercocok tanam ataupun menjalankan industri rumah tangga.

Logo Tzu Chi

sunting
 
Logo Tzu Chi

Bentuk utama logo Tzu Chi berupa bunga teratai, yang melambangkan bahwa kita dapat menjadikan dunia lebih baik dengan menanam benih kebajikan. Hanya dengan benih, bunga dapat mekar dan berbuah. Sebuah dunia yang lebih baik dapat diciptakan dengan kebajikan dan pikiran yang murni. Perahu melambangkan Tzu Chi mengemudikan sebuah perahu cinta kasih untuk menyelamatkan semua makhluk hidup dari penderitaan. Delapan kelopak melambangkan Delapan Ruas Jalan Mulia yang menjadi panduan bagi anggota Tzu Chi dalam melangkah.

37 Faktor Pencerahan

sunting
Empat landasan perenungan[1]

meliputi:

  1. Tubuh
  2. Perasaan
  3. Pengamatan
  4. Fenomena
Empat usaha benar[2]

meliputi:

  1. Menghentikan keburukan yang sudah timbul
  2. Mencegah keburukan yang belum timbul
  3. Membangkitkan kebajikan yang belum timbul
  4. Mengembangkan kebajikan yang sudah timbul
Empat landasan kekuatan batin[3]

meliputi:

  1. Keinginan
  2. Semangat
  3. Pikiran
  4. Pemikiran
Lima akar[4]

meliputi:

  1. Keyakinan
  2. Semangat
  3. Perhatian
  4. Konsentrasi
  5. Kebijaksanaan
Lima kekuatan[5]

meliputi:

  1. Keyakinan
  2. Semangat
  3. Perhatian
  4. Samadhi
  5. Kebijaksanaan
Tujuh faktor pencerahan[6]
  1. Penilikan
  2. Semangat
  3. Sukacita
  4. Pengikisan
  5. Pelepasan
  6. Samadhi
  7. Perhatian
Delapan ruas jalan mulia[7]

meliputi:

  1. Pandangan Benar
  2. Pikiran Benar
  3. Ucapan Benar
  4. Perbuatan Benar
  5. Mata Pencaharian Benar
  6. Usaha Benar
  7. Perhatian Benar
  8. Konsentrasi Benar
Sepuluh aturan sila

meliputi:

  1. Tidak membunuh
  2. Tidak mencuri dan merampok
  3. Tidak berbuat asusila
  4. Tidak berbohong, mengada-adakan dan membantah
  5. Tidak meminum alkohol
  6. Tidak merokok dan memakan pinang
  7. Tidak berjudi dan mencari keuntungan (termasuk saham)
  8. Menjaga tata krama dan menghormati semua orang (termasuk berbakti orang tua)
  9. Mematuhi tata tertib lalu lintas
  10. Tidak terlibat ideologi politik dan ajaran agama sesat yang didukung/ditolak

Cheng Yen mengembangkan aturan-aturan ini berdasarkan kebutuhan baru masyarakat modern.

Tzu Chi di Indonesia

sunting

Benih Tzu Chi masuk ke Indonesia pada tahun 1993, ketika Liang Cheung, seorang relawan Tzu Chi yang berasal Taiwan, datang ke Indonesia mendampingi suaminya. Di sini ia berkenalan dengan sesama istri dari pengusaha Taiwan, Liang Cheung kemudian mengajak mereka berpartisipasi menjadi donatur Tzu Chi. Lama-kelamaan, setelah mengamati penderitaan masyarakat di sekitarnya, para ibu rumah tangga ini berpikir, "Mengapa kita tidak melakukan kegiatan sosial di sini, di Indonesia?"

Pada tahun 1994, para ibu ini berkunjung ke Hualien, Taiwan untuk menemui Master Cheng Yen. Di sana mereka memohon restu untuk mendirikan Tzu Chi di Indonesia. Saat itu Master Cheng Yen berpesan, "Bagi yang mencari nafkah di negeri orang, harus memanfaatkan potensi setempat, dan berkontribusi bagi penduduk setempat." Demikianlah para istri ekspatriat Taiwan ini membuka lahan cinta kasih di Indonesia. Tanggal 28 November 1994 kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Tzu Chi Indonesia.

Hingga kini, meski menggunakan ajaran Buddha sebagai dasar, tetapi para donatur dan relawan Tzu Chi berasal dari berbagai agama. Begitu pun dalam setiap kegiatannya, tidak pernah memandang suku, agama, dan golongan.

Cabang di Indonesia

sunting
  • Bali
  • Bandung
  • Batam
  • Biak
  • Depok
  • Mamuju
  • Makassar
  • Manado
  • Medan
  • Jakarta
  • Jambi
  • Karimun
  • Lampung
  • Padang
  • Palembang
  • Palu
  • Pekanbaru
  • Pontianak
  • Singkawang
  • Surabaya
  • Tangerang
  • Tanjung Pinang
  • Tebing Tinggi
  • Tanjung Balai Karimun
  • Yogyakarta

Cabang

sunting

Cabang Tzu Chi telah berdiri di 58 negara:[8]

  1.   Republik Tiongkok (Taiwan)
Asia
  1.   Brunei
  2.   Malaysia
  3.   Filipina
  4.   Hong Kong
  5.   Indonesia
  6.   Jepang
  7.   Kamboja
  8.   Korea
  9.   Myanmar
  10.   Singapura
  11.   Sri Lanka
  12.   Thailand
  13.   Tiongkok
  14.   Turki
  15.   Vietnam
  16.   Yordania
Amerika
  1.   Amerika Serikat
  2.   Argentina
  3.   Brasil
  4.   Republik Dominika
  5.   El Salvador
  6.   Guatemala
  7.   Kanada
  8.   Meksiko
  9.   Paraguay
  10.   Sint Maarten
Afrika
  1.   Afrika Selatan
  2.   Lesotho
  3.   Mozambik
  4.   Zimbabwe
Eropa
  1.   Belanda
  2.   Britania Raya
  3.   Jerman
  4.   Prancis
Oceania
  1.   Australia
  2.   Selandia Baru

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting