Abhiññā (Pali; Sanskerta: अभिज्ञा, abhijñā) adalah istilah Buddhis yang umumnya diterjemahkan sebagai "kemampuan batin yang lebih tinggi", "pengetahuan langsung",[1] "pengetahuan yang lebih tinggi",[2][3] atau "pengetahuan supernormal."[2][4] Dalam Buddhisme, pengetahuan khusus tersebut diperoleh melalui kehidupan yang berbudi luhur dan meditasi. Pencapaian empat jhāna, atau penyerapan meditatif, dianggap sebagai prasyarat untuk pencapaiannya.[5] Dalam hal pengetahuan yang disebutkan secara khusus, ini mencakup kemampuan ekstra-sensori duniawi (seperti melihat kehidupan lampau dan berbagai kekuatan supranormal seperti levitasi) serta yang supraduniawi, yang berarti padamnya semua fenomena yang memabukkan mental (āsava).

Buddha Gotama digambarkan dalam gaya seni Buddha-Yunani, menunjukkan pengendalian atas unsur api dan air. Abad ke-3 M, Gandhara (Afghanistan timur modern).

Theravāda

sunting

Dalam kepustakaan Pali, abhiññā mengacu pada pemahaman langsung terhadap dhamma (diterjemahkan di bawah ini sebagai "keadaan" dan "kualitas") serta kemampuan super-normal yang terspesialisasi.

Pengetahuan langsung tentang dhamma

sunting

Dalam SN 45.159, Sang Buddha menjelaskan “pengetahuan yang lebih tinggi” (abhiññā) sebagai akibat wajar dari pengamalan Jalan Mulia Berunsur Delapan:[3]

[Seorang] biksu yang berlatih Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang tekun mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, memahami dengan pengetahuan yang lebih tinggi tentang keadaan-keadaan yang harus dipahami, meninggalkan dengan pengetahuan yang lebih tinggi keadaan-keadaan yang harus ditinggalkan, mengalami dengan pengetahuan yang lebih tinggi keadaan-keadaan yang harus dialami, dan mengolah dengan pengetahuan yang lebih tinggi keadaan-keadaan yang harus diolah.

Para bhikkhu, apakah keadaan yang harus dipahami dengan pengetahuan yang lebih tinggi?
Itu adalah lima gugusan kemelekatan. Lima yang mana? Kelompok tubuh, kelompok perasaan, kelompok persepsi, kelompok bentukan mental, kelompok kesadaran...

Apakah, para bhikkhu, keadaan yang harus ditinggalkan dengan pengetahuan yang lebih tinggi?
Itu adalah ketidaktahuan dan nafsu kekhausan untuk [kelahiran kembali]. Dan apakah, para bhikkhu, keadaan yang harus dialami dengan pengetahuan yang lebih tinggi?
Itu adalah pengetahuan dan pembebasan.

Dan apakah, para bhikkhu, keadaan yang harus dikembangkan dengan pengetahuan yang lebih tinggi?
Itu adalah ketenangan dan pandangan-terang.

Pengetahuan langsung seperti itu, menurut Sang Buddha, dikaburkan oleh nafsu-keinginan dan hawa nafsu (chanda-rāga):[6]

Para bhikkhu, segala nafsu-keinginan terhadap mata adalah kekotoran batin. Segala nafsu-keinginan terhadap telinga... hidung... lidah... tubuh... intelek adalah kekotoran batin. Ketika, berkenaan dengan enam landasan indra ini, kekotoran batin ditinggalkan, maka batin cenderung menuju penolakan. Batin yang dipupuk oleh penolakan terasa lentur untuk mengetahui secara langsung kualitas yang layak direalisasikan.

Pengelompokkan abhiññā

sunting

Dalam Tripitaka Pali, pengetahuan yang lebih tinggi sering disebutkan dalam enam jenis atau tiga jenis abhiññā.

Enam jenis pengetahuan yang lebih tinggi (chalabhiññā) adalah:

  1. “Kekuatan yang lebih tinggi” (iddhi-vidhā), seperti berjalan di atas air dan menembus tembok;
  2. "Telinga dewa" (dibba-sota), yaitu pendengaran jernih;
  3. “Pengetahuan yang menembus pikiran” ( ceto-pariya-ñāa), yaitu telepati;
  4. “Mengingat tempat tinggal terdahulu” (pubbe-nivāsanussati), ingatan kausal, yaitu mengingat kembali kehidupan lampau seseorang;
  5. “Mata ilahi” (dibba-cakkhu), yaitu mengetahui tujuan karma orang lain; dan,
  6. “Pemunahan pemabuk (noda) batin” (āsavakkhaya), yang kemudian diikuti oleh pencapaian tingkat Arahat.[7]

Pencapaian enam kekuatan yang lebih tinggi ini disebutkan dalam sejumlah diskursus (sutta), yang paling terkenal adalah "Diskursus tentang Buah Kehidupan Kontemplatif" (Samaññaphala Sutta, DN 2).[8] Pencapaian empat jhāna dianggap sebagai prasyarat untuk pencapaian kekuatan yang lebih tinggi.[5] Jenis keenam merupakan tujuan akhir agama Buddha, yaitu berakhirnya segala penderitaan dan hancurnya segala ketidaktahuan (avijjā).[9] Menurut Sang Buddha, pemanjaan terhadap abhiññā harus dihindari karena hal tersebut dapat mengalihkan dari tujuan akhir kecerahan.[4]

Selain itu, ada juga kategorisasi tiga pengetahuan atau kebijaksanaan (tevijja atau tivijja) sebagai berikut:

  1. "Mengingat tempat tinggal sebelumnya" (pubbe-nivāsanussati);
  2. "Mata ilahi" (dibba-cakkhu); dan,
  3. "Punahnya pemabuk (pengotor) batin" ( āsavakkhaya). [10]

Ketiga pengetahuan ini disebutkan dalam banyak diskursus, termasuk Mahā-Saccaka Sutta (MN 36) yang menjelaskan uraian Sang Buddha tentang perolehan masing-masing dari ketiga pengetahuan ini masing-masing sewaktu masa jaga pertama, kedua, dan ketiga pada malam kecerahan-Nya. Bentuk-bentuk pengetahuan ini biasanya tercatat muncul setelah tercapainya jhāna keempat.[11]

Meskipun kekuatan-kekuatan seperti itu dianggap sebagai tanda kemajuan spiritual, namun Buddhisme memperingatkan agar tidak membiarkan atau memamerkan kekuatan-kekuatan tersebut karena hal tersebut dapat mengalihkan seseorang dari jalan sejati untuk memperoleh pembebasan dari penderitaan.[9]

Kemiripan dengan agama lain

sunting

Lima jenis abhiññā pertama, mirip dengan siddhi dari yoga dalam agama Hindu, disebutkan dalam Bhagavata Purana dan oleh Patanjali:[9]

  • Mengetahui masa lalu, sekarang, dan masa depan;
  • Toleransi terhadap panas, dingin, dan dualitas lainnya;
  • Mengetahui pikiran orang lain;
  • Memeriksa pengaruh api, matahari, air, racun, dan sebagainya;
  • Tidak terkalahkan oleh yang lain.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Bodhi (2000), e.g., SN 45.159 (pp. 1557-8).
  2. ^ a b Rhys Davids & Stede (1921-5), pp. 64-65.
  3. ^ a b Walshe (1985, 2007), passage 56, SN 45.159.
  4. ^ a b Encyclopædia Britannica. I: A-ak Bayes (edisi ke-15th). Encyclopædia Britannica Inc. 2010. ISBN 978-1-59339-837-8.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "EB" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  5. ^ a b Sarbacker 2021, hlm. entry: "abhijñā".
  6. ^ SN 27.1 (Thanissaro, 1994).
  7. ^ Orientalia (2007); Rhys Davids & Stede (1921-5), pp. 64-65, 115–116, 121–122, 272, 288–289, 372, 432; Thanissaro (1997).
  8. ^ Thanissaro (1997). Other discourses that mention the six types of higher knowledge include the Kevatta Sutta (DN 11), the Lohicca Sutta (DN 12) and the Mahasakuludayi Sutta (MN 77).
  9. ^ a b c Encyclopædia Britannica (2007).
  10. ^ See, for instance, Rhys Davids & Stede (1921–25), pp. 307, 617.
  11. ^ Thanissaro (1998). Other discourses that mention the three include the Tevijja Sutta (DN 13) and the Bhaya-bherava Sutta (MN 4).

Sumber

sunting