Pandangan (Buddhisme)

Pandangan (Pali: diṭṭhi; Sanskerta: dṛṣṭi) adalah salah satu ajaran sentral dalam Buddhisme.[2] Dalam konteks Sutta Piṭaka, diṭṭhi merujuk kepada pandangan secara umum, sedangkan dalam konteks Abhidhamma Piṭaka, faktor-mental diṭṭhi secara spesifik merujuk kepada pandangan-salah (micchā-diṭṭhi), yaitu pandangan atau opini yang keliru (vitathā diṭṭhi), tidak berdasar, atau tidak sesuai dengan realitas.[3]

Dalam menggambarkan lanskap intelektual yang sangat beragam pada zaman-Nya, Sang Buddha dikatakan merujuk pada "pertengkaran pandangan, [hutan] belantara pandangan".[1]

Dalam pemikiran Buddhis, suatu pandangan bukanlah kumpulan proposisi yang sederhana dan abstrak, melainkan suatu penafsiran pengalaman yang secara intens membentuk dan memengaruhi pemikiran, perasaan, dan perbuatan.[4] Oleh karena itu, memiliki sikap mental yang tepat terhadap pandangan dianggap sebagai bagian integral dari jalan Buddhis, karena pandangan yang benar perlu dipraktikkan dan pandangan yang salah (micchā-diṭṭhi) perlu ditinggalkan, dan terkadang semua jenis pandangan dipandang sebagai penghalang menuju kecerahan.[5]

Pandangan salah bersumber dari dua puluh pandangan tentang identitas diri. Buddha menguraikan enam puluh dua jenis pandangan salah seperti pandangan tentang roh kekal, kehidupan kekal setelah kematian, kepasrahan atas takdir, ketiadaan akibat perbuatan, dan berbagai pandangan lainnya. Beberapa pandangan tersebut dianut oleh Enam Guru Sesat dan titthiya lainnya.

Enam puluh dua pandangan salah

sunting

Tipiṭaka Pāli, dalam Brahmajāla Sutta dan kitab komentarnya, menguraikan 62 jenis pandangan-salah. Kaum yang menganut setidaknya satu dari pandangan-salah (micchā-diṭṭhi) tersebut disebut sebagai kaum titthiya atau micchā. Enam puluh dua pandangan salah:[6][7][8]

  • 18 pandangan spekulasi tentang masa lalu (pubbantānudiṭṭhino):
    • 4 Ajaran Kekekalan (sassatavāda), yaitu ajaran yang meyakini eksistensi roh kekal dan kehidupan kekal:
      1. Berdasarkan ingatan kembali kehidupan lampau sampai 100.000 kehidupan lampau
      2. Berdasarkan ingatan kembali kehidupan lampau sampai 10 kappa dari mengerutnya dunia dan mengembangnya dunia
      3. Berdasarkan ingatan kembali kehidupan lampau sampai 40 kappa dari mengerutnya dunia dan mengembangnya dunia
      4. Berdasarkan penalaran
    • 4 Ajaran Kekekalan Parsial (ekaccasassatavāda), yaitu ajaran yang seperti Ajaran Kekekalan, tetapi juga meyakini eksistensi yang tidak kekal:
      1. Ajaran yang meyakini sosok pribadi dewa atau Tuhan tertinggi
      2. Ajaran makhluk dewa yang rusak karena kenikmatan indrawi
      3. Ajaran makhluk dewa yang rusak karena pikiran
      4. Ajaran yang meyakini ketidakkekalan jasmani sekaligus kekekalan batin
    • 4 Ajaran tentang Dunia Ini Luas Tidak-terbatas atau Terbatas (antānantavāda), yaitu ajaran yang melihat dunia sebagai terbatas atau tidak terbatas:
      1. Dunia adalah terbatas
      2. Dunia adalah tidak terbatas
      3. Dunia adalah terbatas dalam arah vertikal tetapi tidak terbatas dalam arah horizontal
      4. Dunia adalah bukan-terbatas dan bukan-tidak-terbatas
    • 4 Ajaran Pengelakan (amarāvikkhepavāda), yaitu ajaran yang selalu memberikan jawaban yang tidak sesuai pertanyaan jika ditanya:
      1. Digenggam oleh orang yang takut membuat pernyataan salah
      2. Digenggam oleh orang yang takut melekat
      3. Digenggam oleh orang yang takut berpandangan berseberangan
      4. Digenggam oleh orang yang bodoh dan dungu
    • 2 Ajaran Kemunculan-kebetulan (adhiccasamuppannavāda), yaitu ajaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kebetulan:
      1. Berdasarkan ingatan munculnya persepsi setelah meninggal dari alam makhluk tanpa-persepsi
      2. Berdasarkan penalaran
  • 44 pandangan spekulasi tentang masa depan (aparantānudiṭṭhino):
    • 16 Ajaran Persepsi Bertahan Setelah Mati (saññīvāda), yaitu ajaran yang meyakini eksistensi roh kekal setelah kematian, roh adalah persepsi, dan roh itu:
      1. Bermateri
      2. Tanpa-materi
      3. Bermateri dan tanpa-materi
      4. Bukan bermateri dan bukan-tanpa-materi
      5. Terbatas
      6. Tidak terbatas
      7. Terbatas dan tidak terbatas
      8. Bukan terbatas dan bukan-tidak-terbatas
      9. Persepsi yang seragam
      10. Persepsi yang beraneka ragam
      11. Persepsi yang terbatas
      12. Persepsi yang tidak terbatas
      13. Bahagia sepenuhnya
      14. Menderita sepenuhnya
      15. Bahagia dan menderita
      16. Bukan bahagia dan bukan-tidak-bahagia
    • 8 Ajaran Non-persepsi Bertahan Setelah Mati (asaññīvāda), yaitu ajaran yang meyakini eksistensi roh kekal setelah kematian, roh adalah non-persepsi, dan roh itu:
      1. Bermateri
      2. Tanpa materi
      3. Bermateri dan tanpa materi
      4. Bukan bermateri dan bukan-tanpa-materi
      5. Terbatas
      6. Tidak terbatas
      7. Terbatas dan tidak terbatas
      8. Bukan terbatas dan bukan-tidak-terbatas
    • 8 Ajaran Bukan-persepsi dan Bukan-non-persepsi Bertahan Setelah Mati (nevasaññīnāsaññīvāda), yaitu ajaran yang meyakini eksistensi roh kekal setelah kematian, roh adalah bukan-persepsi dan bukan-non-persepsi, dan roh itu:
      1. Bermateri
      2. Tanpa materi
      3. Bermateri dan tanpa materi
      4. Bukan bermateri dan bukan-tanpa-materi
      5. Terbatas
      6. Tidak terbatas
      7. Terbatas dan tidak terbatas
      8. Bukan terbatas dan bukan-tidak-terbatas
    • 7 Ajaran Kemusnahan tentang Kehidupan Setelah Mati (ucchedavāda), yaitu ajaran yang meyakini bahwa setelah kehidupan saat ini berakhir, maka tidak akan ada lagi kehidupan selanjutnya:
      1. Kemusnahan dari roh yang tersusun atas empat elemen
      2. Kemusnahan dari dewa: roh yang berada pada lingkup indra
      3. Kemusnahan dari dewa: roh yang berada pada lingkup materi-halus
      4. Kemusnahan dari roh yang termasuk sebagai dasar ruang-terbatas
      5. Kemusnahan dari roh yang termasuk sebagai dasar kekosongan
      6. Kemusnahan dari roh yang termasuk sebagai dasar bukan persepsi dan bukan-tanpa-persepsi
    • 5 Ajaran Nibbāna-di-sini-dan-sekarang (diṭṭhadhammanibbānavāda), yaitu ajaran yang menyatakan bahwa Nibbāna adalah di-sini-dan-sekarang:
      1. Nibbāna di sini dan sekarang dalam kenikmatan lima indra
      2. Nibbāna di sini dan sekarang dalam keadaan jhāna pertama
      3. Nibbāna di sini dan sekarang dalam keadaan jhāna kedua
      4. Nibbāna di sini dan sekarang dalam keadaan jhāna ketiga
      5. Nibbāna di sini dan sekarang dalam keadaan jhāna keempat

Pandangan tentang identitas

sunting

Enam puluh dua pandangan-salah bersumber dari pandangan tentang identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi). Sakkāyadiṭṭhi terdiri dari dua kata, yaitu sakkāya yang berarti “tubuh yang ada,” dan diṭṭhi yang merupakan faktor-mental pandangan-salah. Sakkāya adalah istilah teknis untuk lima agregat yang menjadi objek pelekatan makhluk yang belum tercerahkan.

Dalam kitab Dhammasaṅganī, Abhidhamma Piṭaka dan Mahāpuṇṇama Sutta, Majjhima Nikāya 109, dijelaskan bahwa pandangan tentang identitas diri atau roh memiliki dua puluh variasi. Variasi-variasi tersebut didapatkan dari empat model untuk masing-masing dari lima agregat, yaitu:[3][9]

  • Agregat materi (rūpakkhandha)
  1. Menganggap materi sebagai roh (rūpaṁ attato)
  2. Menganggap roh yang memiliki materi (rūpavantaṁ vā attānaṁ)
  3. Menganggap materi berada di dalam roh (attani vā rūpaṁ)
  4. Menganggap roh berada di dalam materi (rūpasmiṁ vā attānaṁ)
  • Agregat perasaan/sensasi (vedanākkhandha)
  1. Menganggap perasaan sebagai roh (vedanāṁ attato)
  2. Menganggap roh yang memiliki perasaan (vedanāvantaṁ vā attānaṁ)
  3. Menganggap perasaan berada di dalam roh (attani vā vedanāṁ)
  4. Menganggap roh berada di dalam perasaan (vedanāya vā attānaṁ)
  • Agregat persepsi/pencerapan (saññākkhandha)
  1. Menganggap persepsi sebagai roh (saññāṁ attato)
  2. Menganggap roh yang memiliki persepsi (saññāvantaṁ vā attānaṁ)
  3. Menganggap persepsi berada di dalam roh (attani vā saññāṁ)
  4. Menganggap roh berada di dalam persepsi (saññāya vā attānaṁ)
  • Agregat formasi batin (saṅkhārakkhandha)
  1. Menganggap formasi batin sebagai roh (saṅkhāre attato)
  2. Menganggap roh yang memiliki formasi batin (saṅkhāravantaṁ vā attānaṁ)
  3. Menganggap formasi batin berada di dalam roh (attani vā saṅkhāre)
  4. Menganggap roh berada di dalam formasi batin (saṅkhāresu vā attānaṁ)
  • Agregat kesadaran (viññāṇakkhandha)
  1. Menganggap kesadaran sebagai roh (viññāṇaṁ attato)
  2. Menganggap roh yang memiliki kesadaran (viññāṇavantaṁ vā attānaṁ)
  3. Menganggap kesadaran berada di dalam roh (attani vā viññāṇaṁ)
  4. Menganggap roh berada di dalam kesadaran (viññāṇasmiṁ vā attānaṁ)

Empat cara dan empat jenis pandangan

sunting

Dalam Sandaka Sutta, Majjhima Nikāya 76, Buddha menguraikan empat cara yang meniadakan kehidupan spiritual dan empat jenis kehidupan spiritual yang tidak dapat diandalkan.[10]

Empat cara yang meniadakan kehidupan spiritual:

  1. Semuanya hanya semata-mata materi; batin akan ikut musnah setelah kematian.
  2. Tidak meyakini adanya perbuatan baik dan buruk; juga akibat dari perbuatan baik dan buruk.
  3. Semuanya sudah ditakdirkan; makhluk-makhluk tidak memiliki kekuatan untuk mengubah takdirnya.
  4. Semuanya tersusun atas tujuh unsur, yaitu tubuh-tanah, tubuh-air, tubuh-api, tubuh-udara, kenikmatan, kesakitan, dan jiwa.

Empat jenis kehidupan spiritual yang tidak dapat diandalkan:

  1. Mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat, mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaKu.’
  2. Menganggap tradisi lisan sebagai kebenaran; ia mengajar melalui tradisi lisan, melalui legenda yang turun-temurun, dan melalui otoritas kitab-kitab. Beberapa disampaikan dengan tepat dan beberapa disampaikan dengan tidak tepat.
  3. Seorang pemikir atau penyelidik. Hanya menggunakan penalaran dengan mengikuti serangkaian penyelidikan. Sebagian dipikirkan dengan baik, dan sebagian dipikirkan dengan keliru.
  4. Seorang yang bodoh dan bingung. Ketika ditanya suatu pertanyaan, ia mengalihkan pembicaraan dalam geliat-belut ucapan:
    • "Aku tidak mengatakannya seperti ini."
    • "Aku tidak mengatakannya seperti itu."
    • "Aku tidak mengatakan sebaliknya."
    • "Aku tidak mengatakan bukan seperti itu."
    • "Aku tidak mengatakan bukan tidak seperti itu."

Referensi

sunting
  1. ^ Harvey, Peter (2000). Buddhist Ethics. Cambridge University Press. hlm. 239–40. ISBN 9780415220736. 
  2. ^ Fuller, Paul (2005). The notion of ditthi in Theravāda Buddhism: the point of view. RoutledgeCurzon critical studies in Buddhism. London: RoutledgeCurzon. hlm. 1. ISBN 978-0-415-34293-3. 
  3. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  4. ^ Lusthaus, Dan (2002). Buddhist Phenomenology (PDF). Routledge. hlm. 242, n. 46. 
  5. ^ Fuller, Paul (2005). The notion of ditthi in Theravāda Buddhism: the point of view. RoutledgeCurzon critical studies in Buddhism. London: RoutledgeCurzon. hlm. 1–2. ISBN 978-0-415-34293-3. 
  6. ^ Dhammavihari Buddhist Studies (2020-03-25), 62 Pandangan Salah (1), diakses tanggal 2024-05-22 
  7. ^ "Brahmajāla Sutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-05-19. 
  8. ^ "The 62 Wrong Views". studybuddhism.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-19. 
  9. ^ "MN 109: Mahāpuṇṇama Sutta". DhammaCitta. Diakses tanggal 2024-06-19. 
  10. ^ "MN 76: Sandaka Sutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-05-19.