Siddhattha Gotama

Filsuf India dan pendiri Buddhisme (623 atau 563 SM – 543 atau 483 SM)
(Dialihkan dari Buddha)

Siddhattha Gotama (Pali; Sanskerta: Siddhartha Gautama), juga dikenal sebagai Sakyamuni dan Tathāgata, adalah seorang guru pertapa dan spiritual Asia Selatan yang hidup pada paruh kedua milenium pertama sebelum Masehi.[4][5][6] Dia adalah pendiri Buddhisme dan dihormati oleh umat Buddha sebagai makhluk yang sepenuhnya tercerahkan[7][8] yang mengajarkan jalan menuju Nirwana (secara harfiah "lenyap atau padam"), kebebasan dari ketidaktahuan, nafsu keinginan, kelahiran kembali dan penderitaan.

Siddhattha Gotama
Patung Siddhartha Gautama, menyampaikan khotbah pertamanya di Sarnath. Periode Gupta, sekitar 475 M. Museum Arkeologi Sarnath (B(b) 181).
Nama lainSakyamuni ("Sage dari Sakya")
Informasi pribadi
Lahir
Siddhartha Gautama

563 SM atau 480 SM
Lumbini, Republik Sakya (menurut tradisi Buddhis)
Meninggal483 SM atau 400 SM (berusia 80)[1][2][3]
Kushinagar, Republik Malla (menurut tradisi Buddhis)
MakamDikremasi; abu dibagi di antara pengikut
PasanganYashodhara
AnakRāhula
Orang tua
  • Śuddhodana (ayah)
  • Maya Devi (ibu)
Dikenal sebagaiPendiri Buddhisme
Kiprah keagamaan
PendahuluKassapa Buddha
PenerusMaitreya
Siddhattha Gotama

Menurut tradisi Buddhis, Sang Buddha lahir di Lumbini di tempat yang sekarang disebut Nepal, kepada orang tua bangsawan dari klan Shakya, tetapi meninggalkan keluarganya untuk hidup sebagai pertapa pengembara.[9] Memimpin kehidupan mengemis, pertapaan, dan meditasi, ia mencapai pencerahan di Bodh Gaya. Sang Buddha kemudian mengembara melalui dataran Gangga yang lebih rendah, mengajar dan membangun sebuah ordo monastik. Dia mengajarkan jalan tengah antara pemanjaan indria dan asketisme yang parah,[10] sebuah pelatihan pikiran yang mencakup pelatihan etis dan praktik meditatif seperti usaha, perhatian, dan jhana. Dia meninggal di Kushinagar, mencapai parinirvana. Sang Buddha sejak itu dihormati oleh banyak kepercayaan dan komunitas di seluruh Asia.

Beberapa abad setelah kematian Sang Buddha, ajarannya disusun oleh komunitas Buddhis di Vinaya, kodenya untuk praktik monastik, dan Sutta, teks berdasarkan khotbahnya. Ini diturunkan dalam dialek Indo-Arya Tengah melalui tradisi lisan.[11][12] Generasi-generasi selanjutnya menyusun teks-teks tambahan, seperti risalah sistematis yang dikenal sebagai "Abhidharma", biografi Sang Buddha, kumpulan cerita tentang kehidupan masa lalunya yang dikenal sebagai kisah Jataka, dan khotbah tambahan, yaitu sutra Mahayana.[13][14]

Riwayat hidup

sunting

Kelahiran

sunting

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM[15] di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan kelak menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

sunting

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa dewasa

sunting
 
Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, di mana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Channa. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup suci sebagai pertapa.

 
Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputta, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya dia juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

sunting
 
Pangeran Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.
 
Patung Buddha dari Gandhara, abad ke-1 atau abad ke-2.

Di dalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Rāmaputra . Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela, di tepi Sungai Nairanjana(Naranjara) yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruvela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari dalam pertapaannya, pertapa Gotama kedatangan seorang roh pemusik/gandharva yang kemudian melantunkan sebuah syair:

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Nasihat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asattha) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Dia putus asa menghadapi godaan Mara, dewa penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan keyakinan yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Samma sam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Siddhi pada bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru (nila) yang berarti bhakti; kuning (pita) mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah (lohita) yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih (Avadata) mengandung arti suci; jingga (mangasta) berarti semangat ; dan campuran sinar tersebut (prabhasvara)

Penyebaran ajaran Buddha

sunting
 
Buddha menjelang Parinirwana.

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Sakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruvela merupakan murid pertama Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana Sutta, di mana Dia menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.

Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM). Seorang tabib pribadi dan pengikutnya yang setia, Jivaka, merawat Sang Buddha pada masa sakitnya.[16]

Sifat Agung Buddha

sunting

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vaci): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
  • Pikiran (mano): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha, Dia telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara. Dia telah berusaha untuk meringankan penderitaan banyak makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakikat dunia, Ia menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Dalam mengajar umat manusia yang mendambakan lenyapnya Dukkha, Dia menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakikatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakikat yang hakiki dari seorang Buddha. Buddha adalah perlambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Karakteristik fisik

sunting
 
Biksu Buddhis dari Nepal. Menurut sumber paling awal, Sang Buddha tampak seperti pria bercukur khas dari timur laut India.

Sumber-sumber awal menggambarkan Sang Buddha mirip dengan biksu Buddhis lainnya. Berbagai wacana menggambarkan bagaimana dia "memotong rambut dan janggutnya" ketika meninggalkan dunia. Demikian juga, Digha Nikaya 3 memiliki seorang brahmana yang menggambarkan Sang Buddha sebagai pria yang dicukur atau botak (mundaka).[17] Digha Nikaya 2 juga menjelaskan bagaimana Raja Ajatashatru tidak dapat membedakan bhikkhu mana yang merupakan Sang Buddha ketika mendekati sangha dan harus meminta menterinya untuk menunjukkannya. Demikian pula, dalam MN 140, seorang pengemis yang melihat dirinya sebagai pengikut Sang Buddha bertemu dengan-Nya secara langsung tetapi tidak dapat mengenalinya.[18]

Berbagai teks Buddhis mengaitkan Buddha dengan serangkaian karakteristik fisik yang luar biasa, yang dikenal sebagai "32 Tanda Manusia Agung" (Sanskerta: mahāpuruṣa lakṣaṇa).

Menurut Anālayo, ketika mereka pertama kali muncul dalam teks-teks Buddhis, tanda fisik ini awalnya dianggap tidak terlihat oleh orang biasa, dan membutuhkan pelatihan khusus untuk mendeteksinya. Namun kemudian, mereka digambarkan terlihat oleh orang-orang biasa dan sebagai keyakinan yang mengilhami Buddha.[19]

Karakteristik ini dijelaskan dalam Digha Nikaya Lakkhaṇa Sutta (D, I:142).[20]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Cousins (1996), hlm. 57–63.
  2. ^ Norman (1997), hlm. 33.
  3. ^ Prebish (2008).
  4. ^ Gethin (1998), hlm. 5, 9, 10, 14.
  5. ^ Strong (2001), hlm. 1.
  6. ^ Warder (2000), hlm. 45.
  7. ^ Buswell (2003), hlm. 82.
  8. ^ Gethin (1998), hlm. 8.
  9. ^ Buswell Jr. & Lopez Jr. 2014, hlm. entry "Sakyamuni".
  10. ^ Laumakis (2008), hlm. 4.
  11. ^ Gethin (1998), hlm. 40–41.
  12. ^ Warder (2000), hlm. 4–7, 44.
  13. ^ Warder (2000), hlm. 4.
  14. ^ Cox (2003), hlm. 1–7.
  15. ^ L. S. Cousins (1996), "The dating of the historical Buddha Diarsipkan 2011-02-26 di Wayback Machine.: a review article", Journal of the Royal Asiatic Society (3)6(1): 57–63.
  16. ^ Chen, TSN; Chen, PSY (2002). "Jivaka, Physician to the Buddha". Journal of Medical Biography (10(2)): 88–91. doi:10.1177/096777200201000206. 
  17. ^ Olivelle, Patrick (1974), "The Origin and the Early Development of Buddhist Monachism", p. 19.
  18. ^ Mazard, Eisel (2010). "The Buddha was bald," New Mandala.
  19. ^ Anālayo (2017b), hlm. 137–138.
  20. ^ Walshe (1995), hlm. 441–460.

Pranala luar

sunting