Penundaan penilaian

Penundaan penilaian (Bahasa Inggris: suspension of judgement) merupakan suatu proses kognitif dan kondisi pikiran rasional yang membuat seseorang menunda pengambilan keputusan, khususnya dalam mengambil kesimpulan moral dan etika. Kebalikan dari penundaan penilaian adalah penilaian prematur, yang biasanya disingkat menjadi prasangka (prejudice). Pra-penilaian melibatkan penarikan kesimpulan atau pembuatan penilaian sebelum memiliki informasi yang relevan dengan penilaian tersebut, sedangkan penundaan penilaian melibatkan penantian terhadap semua fakta sebelum membuat keputusan.

Penundaan penilaian digunakan dalam hukum perdata untuk menunjukkan keputusan pengadilan untuk membatalkan putusan perdata. Permohonan untuk membatalkan putusan yang diajukan dalam kasus perdata di pengadilan distrik Amerika Serikat diatur oleh Peraturan 60 Peraturan Prosedur Perdata Federal yang dibuka dengan pernyataan, "Berdasarkan permohonan dan ketentuan yang adil, pengadilan dapat membebaskan pihak atau perwakilan hukumnya dari putusan, perintah, atau proses hukum yang final...".[1] Aturannya bersifat cukup jelas dan penerapannya di ruang pengadilan sebagian besar persis seperti yang dinyatakan. Dalam New York Law Journal, David Bliven berpendapat bahwa penundaan penilaian harus menjadi penyelesaian alternatif dalam pelanggaran keluarga (sejenis kasus perdata), khususnya dalam kasus yang putusan-keluarga-nya digunakan sebagai alasan modifikasi perilaku atas alasan penangkapan.[2]

Secara lebih umum dalam yurisprudensi, juri yang ideal diharapkan untuk mengasumsikan praduga tak bersalah atas orang yang diadili di pengadilan. Jika putusan bersalah sudah dinyatakan, hukuman percobaan adalah salah satu jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa.[3]

Ilmu pengahuan

sunting

Penundaan penilaian merupakan landasan metodologi penelitian standar. Sebagian besar metode ilmiah dirancang untuk mendorong penundaan penilaian sampai pengamatan dapat dilakukan, diuji, dan diverifikasi melalui tinjauan sejawat . Pada tahun 1877,[4] Charles Sanders Peirce (1839–1914) menggolongkan penyelidikan secara umum bukan sebagai pencarian kebenaran (pursuit of truth) per se, melainkan sebagai perjuangan untuk bergerak dari keraguan yang menjengkelkan dan menghambat yang lahir dari kejutan, ketidaksetujuan, dan semacamnya; dan untuk mencapai keyakinan yang aman; keyakinan sebagai sesuatu yang membuat seseorang siap untuk bertindak. Ia membingkai penyelidikan ilmiah sebagai bagian dari spektrum yang lebih luas dan didorong, seperti penyelidikan pada umumnya, oleh keraguan yang nyata, bukan hanya keraguan verbal atau hiperbolik, yang menurutnya tidak membuahkan hasil. [5] Dia percaya bahwa metode ilmiah lebih unggul dibandingkan metode penalaran lainnya karena dirancang untuk menghasilkan keyakinan paling aman..[4] Berangkat dari gagasan bahwa manusia tidak mencari kebenaran per se, tetapi justru berusaha menaklukkan keraguan yang menjengkelkan dan menghambat, Peirce menunjukkan bagaimana, melalui perjuangan, beberapa orang dapat mematuhi kebenaran demi integritas keyakinan, mencari kebenaran sebagai tuntunan praktik potensial yang sesuai dengan tujuan yang diberikan, dan mengikatkan diri pada metode ilmiah.[6]

Kemajuan ilmu sosial sering kali bergantung pada penghapusan bias kognitif yang bentuknya bermacam-macam.[7]

Filsafat

sunting

Dalam filsafat, penundaan penilaian biasanya dikaitkan dengan positivisme dan skeptisisme, terutama Pyrrhonisme yang disebut sebagai epoché, tetapi tidak terbatas pada bidang-bidang ini saja. Misalnya saja, seorang rasionalis abad ke-17, Rene Descartes, menggunakan konsep penundaan penilaian sebagai landasan epistemologinya.[8] Dalam suatu proses yang disebutnya skeptisisme metodologis (sekarang juga dikenal sebagai keraguan Cartesian), ia menegaskan bahwa untuk memperoleh landasan yang kokoh saat membangun sistem pengetahuan dan keyakinan seseorang, seseorang harus terlebih dahulu meragukan segalanya. Hanya dengan menghilangkan prasangka dan penilaian buruk, seseorang dapat mengetahui apa yang benar.[9]

Metodologi Descartes disebut keraguan hiperbolik karena metodologi tersebut merupakan bentuk keraguan yang ekstrem dan, bahkan, akan menimbulkan sesuatu yang sedikit mencurigakan jika diteliti lebih lanjut.[10] Keraguan hiperbolik diajukan dalam empat poin umum:

  1. Hanya informasi yang Anda ketahui kebenarannya yang boleh diterima.
  2. Tanganilah kebenaran yang sudah diketahui dan pecah menjadi komponen-komponen dasarnya.
  3. Selesaikanlah masalah yang paling sederhana terlebih dahulu.
  4. Tanganilah masalah-masalah yang tersisa dan buatlah daftar lengkapnya.

Tujuan Descartes dalam Meditations on First Philosophy tahun 1641 adalah meragukan semua kepercayaan secara sistematis dan membangun kembali dari awal atas hal-hal yang pasti benar sebagai dasar yang tidak diragukan lagi bagi ilmu-ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, lihatlah baris pembuka volume ini:

Beberapa tahun kini telah berlalu sejak pertama kali aku menyadari bahwa aku telah menerima, bahkan sejak masa mudaku, banyak pendapat yang salah sebagai kebenaran, dan karena itu apa yang kemudian aku dasarkan pada prinsip-prinsip tersebut sangat diragukan; dan sejak saat itu aku yakin akan pentingnya berusaha, setidaknya sekali dalam hidupku, untuk menyingkirkan semua pendapat yang telah aku anut, dan membangun ulang [pendapat-pendapat tersebut] dari fondasinya...

— René Descartes, Meditation I, 1641

Melalui karya ini, Descartes menunjukkan bahwa jika seseorang tidak berhati-hati maka akan ada alasan untuk meragukan alasan di balik pengetahuan apa pun. Dia menyatakan bahwa hal ini sebagian besar disebabkan oleh sifat pengetahuan sensoris yang tidak dapat diandalkan; dan menggambarkan pernyataan tersebut dengan perumpamaan mimpi dan setan (the dream and the demon).[11]

Argumen mimpi

sunting

Descartes berhipotesis bahwa karena kemungkinan mimpi yang terasa sangat realistis, manusia hanya dapat percaya bahwa kita terjaga (tidak sedang "tidur"). Melalui prosedur sistematis 'reduksi fenomenologis', seseorang dianggap mampu menunda penilaian mengenai keyakinan filosofis umum atau menjadi naif terhadap keberadaan dunia luar, dan dengan demikian memeriksa fenomena sebagaimana awalnya pada keudanian.[12] Namun, pada akhir The Meditations, ia menyimpulkan bahwa dalam retrospeksi, kita tentu bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan:[11]

"Namun, ketika saya melihat dengan jelas dari mana datangnya sesuatu dan di mana serta kapan mereka datang kepada saya, dan ketika saya dapat menghubungkan persepsi saya terhadap hal-hal tersebut dengan seluruh hidup saya tanpa jeda, maka saya dapat yakin bahwa ketika saya menjumpai hal-hal tersebut, saya tidak sedang tertidur, tetapi terjaga." — Descartes: Selected Philosophical Writings[13]

Bermimpi juga merupakan posisi awal untuk spekulasi bahwa kita mungkin hidup dalam simulasi . Pendukung sudut pandang ini terkadang berpendapat bahwa jenis realitas simulasi tertentu terjadi setiap malam.[14] Klaim dasar yang diajukan adalah bahwa pihak yang menentang hipotesis simulasi yang menyatakan bahwa pikiran yang sedang tidur merupakan mekanisme yang tidak dapat diandalkan untuk membedakan realitas dari ilusi.[15]

Setan Jahat

sunting

Gagasan tentang “evil demon” (juga dikenal sebagai “setan jahat”[16] atau “jenius jahat”[17]) adalah salah satu dari beberapa metode keraguan sistematis yang digunakan dalam Meditasi.[18] Descartes berpendapat bahwa mungkin saja ada sesuatu yang disebutnya sebagai setan jahat yang mengendalikan pengalaman kita.[19] Ada beberapa sarjana yang mempelajari Descartes yang berpendapat bahwa setan itu mahakuasa, meskipun kemahakuasaan setan jahat akan bertentangan dengan hipotesis Descartes karena ia membantah tuduhan bahwa setan memiliki kemahakuasaan.[18] [20]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Bliven, David (2019-01-29). "Suspended Judgment Should Be Alternative Disposition in Family Offenses - New York Law Journal". New York Law Journal. Diakses tanggal 2019-06-06. 
  2. ^ Suspended sentence law and legal definition from US Legal.com
  3. ^ a b Peirce, Charles Sanders (1877).   The Fixation of Belief. 12. Wikisource. pp. 1–15. .
  4. ^ "What one does not in the least doubt one should not pretend to doubt; but a man should train himself to doubt," said Peirce in a brief intellectual autobiography; see Ketner, Kenneth Laine (2009) "Charles Sanders Peirce: Interdisciplinary Scientist" in The Logic of Interdisciplinarity). Peirce held that actual, genuine doubt originates externally, usually in surprise, but also that it is to be sought and cultivated, "provided only that it be the weighty and noble metal itself, and no counterfeit nor paper substitute"; in "Issues of Pragmaticism", The Monist, v. XV, n. 4, pp. 481–99, see p. 484, and p. 491. (Reprinted in Collected Papers v. 5, paragraphs 438–63, see 443 and 451).
  5. ^ Peirce, C.S., Collected Papers v. 5, in paragraph 582, from 1898:

    ... [rational] inquiry of every type, fully carried out, has the vital power of self-correction and of growth. This is a property so deeply saturating its inmost nature that it may truly be said that there is but one thing needful for learning the truth, and that is a hearty and active desire to learn what is true.

  6. ^ Bless, H.; Fiedler, K.; Strack, F. (2004). Social cognition: How individuals Construct Social Reality. Psychology Press. 
  7. ^ "Methodic doubt - philosophy". Encyclopedia Britannica. Diakses tanggal 2019-06-06. 
  8. ^ "A Philosophical Glossary" edited by Justin Leiber, Philosophy Department, University of Houston, USA.
  9. ^ Janet Broughton (10 January 2009). Descartes's Method of Doubt. Princeton University Press. ISBN 978-1-4008-2504-2. 
  10. ^ a b Scruton, R. (2012). Modern Philosophy: An Introduction and Survey. Bloomsbury Publishing. ISBN 978-1-4482-1051-0. Diakses tanggal 2019-06-06. 
  11. ^ Internet Encyclopedia of Philosophy. "The Phenomenological Reduction".
  12. ^ Descartes, René (1988-02-26). Descartes: Selected Philosophical Writings (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 9780521358125. 
  13. ^ Anolli, L.; Riva, G. (2006). From Communication to Presence: Cognition, Emotions, and Culture Towards the Ultimate Communicative Experience : Festschrift in Honor of Luigi Anolli. Emerging Communication: Studies in New Technologies and Prac. IOS Press. hlm. 96. ISBN 978-1-58603-662-1. Diakses tanggal 2019-06-06. 
  14. ^ Mazzoni, G. A.; Loftus, E. F. (2012-09-11). "Consciousness and Cognition - When Dreams Become …". Consciousness and Cognition. 5 (4): 442–462. doi:10.1006/ccog.1996.0027. PMID 9063610. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-11. Diakses tanggal 2019-06-06. 
  15. ^ Cottingham, John (1996). René Descartes: Meditations on First Philosophy with Selections from the Objections and Replies. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-55818-2. 
  16. ^ Ariew, Roger; Cress, Donald (2006). René Descartes: Meditations, Objections, and Replies. Indianapolis/Cambridge: Hackett Publishing Company, Inc. ISBN 0-87220-798-6. 
  17. ^ a b Alan E. Musgrave (1993). Common Sense, Science and Scepticism: A Historical Introduction to the Theory of Knowledge. Cambridge University Press. hlm. 202. ISBN 0-521-43625-7. 
  18. ^ Revonsuo, A. (2009). Consciousness: The Science of Subjectivity. Taylor & Francis. hlm. 50–52. ISBN 978-1-135-16479-9. Diakses tanggal 2019-06-06. 
  19. ^ Zbigniew Janowski (2000). Cartesian Theodicy: Descartes' Quest for Certitude. Springer. hlm. 62–68. ISBN 0-7923-6127-X.