Pariyatti, paṭipatti, paṭivedha

Konsep pembelajaran tiga tahap agama Buddha
(Dialihkan dari Paṭipatti)

Dalam Buddhisme Theravāda, pariyatti, paṭipatti, paṭivedha (Pali untuk "Teori, praktik, penembusan") adalah konsep pembelajaran yang terdiri dari tiga tahapan yang berpuncak pada pemahaman penuh terhadap ajaran Buddha. Pariyatti mengacu pada studi atau kajian teoritis ajaran Buddha sebagaimana yang tercantum dalam Tripitaka Pali, kitab-kitab komentar, dan kitab-kitab subkomentar; paṭipatti berarti mempraktikkan teori tersebut; dan paṭivedha berarti menembus teori atau lebih tepatnya menyadari kebenarannya dengan pengalaman langsung, yakni pencapaian empat tingkat kecerahan. Secara tradisional, pariyatti berfungsi sebagai fondasi paṭipatti, dan paṭipatti berfungsi sebagai fondasi paṭivedha.

Gambaran umum

sunting

Aspek Dhamma

sunting

Dhamma memiliki tiga sisi atau tiga aspek yang mempunyai kesatuan yang sangat erat, yakni pariyatti (Tipiṭaka), paṭipatti (latihan untuk mengembangkan sīla, samādhi, dan paññā), dan paṭivedha (penembusan Empat Kebenaran Mulia dengan pencapaian empat tingkat kemuliaan). Kitab komentar dari Sampasādanīya Sutta (DN 28) menjelaskan hubungan ketiganya sebagai berikut:[1]

Yang disebut dengan pariyatti adalah (belajar dan memahami) Tipiṭaka. Yang dimaksud dengan paṭipatti adalah latihan. Yang disebut dengan paṭivedha adalah penembusan Empat Kebenaran Mulia. Untuk kekukuhan/kelanggengan sāsana (ajaran Buddha), tolok ukurnya adalah pariyatti.

Dengan kata lain, jika pariyatti kukuh, maka ajaran Buddha dikatakan akan berkembang dengan baik.[1]

Tolok ukur

sunting

Ashin Kheminda menjelaskan bahwa pariyatti disebutkan sebagai tolok ukur karena dalam kitab yang sama dijelaskan bahwa "kadang-kadang paṭipatti dan/atau paṭivedha ada, tetapi di suatu masa yang lain tidak ada." Akan tetapi, di zaman apa pun, pariyatti selalu ada. Dalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa seseorang yang telah mengamalkan pariyatti juga akan terdorong untuk segera mengamalkan paṭipatti dan paṭivedha.[1]

Fondasi

sunting

Di dalam kitab Vibhāvinīṭīkā (komentar untuk Abhidhammatthasaṅgaha), disebutkan bahwa masing-masing dari pariyatti, paṭipatti dan paṭivedha adalah fondasi untuk yang berikutnya—pariyatti akan menjadi fondasi untuk paṭipatti, dan paṭipatti akan menjadi fondasi untuk paṭivedha.[1]

Kitab suci

sunting

Menurut U Ba Khin, pariyatti adalah ajaran Sang Buddha, para arahat (makhluk yang telah tercerahkan sepenuhnya), dan para ariya (orang-orang yang telah merasakan Nirwana), yang telah benar-benar secara terperinci memahami Empat Kebenaran Mulia dan mengajarkan apa yang mereka sendiri telah ketahui sebagai kebenaran yang nyata dari pengalaman mereka sendiri. Adakalanya, ketika mustahil menemukan orang-orang mulia seperti Buddha, arahat, atau ariya yang dapat dihormati dan diandalkan, seseorang harus menjadikan ajaran Buddha yang terkandung dalam 84.000 bagian kitab suci Tripitaka Pali sebagai gurunya.[2]

Tripitaka Pali adalah kanon Buddhis paling lengkap yang masih ada dalam bahasa India klasik, Pāli, yang berfungsi sebagai bahasa liturgis[3] dan basantara[4] aliran Theravāda. Berbeda dengan Mahāyāna dan Vajrayāna, Theravāda cenderung konservatif dalam hal studi teoritis ajaran (pariyatti) dan disiplin monastik (vinaya).[5] Salah satu unsur konservatisme ini adalah kenyataan bahwa Theravāda menolak keaslian kitab-kitab Mahāyāna (yang muncul ca abad ke-1 SM dan seterusnya).[6][7]

Pengalaman pribadi

sunting

U Ba Khin menyatakan, "Seseorang perlu mengamalkan ajaran-ajaran ini yang akan menuntun menuju tingkat Jalan (magga), Buah (phala), dan Nirwana (nibbāna). Ketika seseorang bertemu dengan seorang Buddha, para arahat, dan para ariya yang mulia, maka sungguh mungkin untuk mempraktikkan moralitas (sīla), konsentrasi (samādhi), dan kebijaksanaan (paññā) serta mencapai jalan dan buah pencerahan hanya dengan mendengarkan dan mengikuti ajaran mereka, yang diberikan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi secara langsung."[2]

Dhammānudhamma-paṭipatti

sunting

Dalam Tripitaka Pali, Sang Buddha menyatakan pemujaan dengan praktik (paṭipatti) sebagai "cara terbaik untuk menghormati Sang Buddha"[8] dan sebagai pemujaan "tertinggi".[9] Pemujaan ini terutama merupakan pemujaan internal untuk pengembangan batin (citta, bhāvanā, dan samādhi).[10]


Pemujaan praktik (paṭipatti-pūjā) atau pemujaan nonmateri dapat diwujudkan dengan mengembangkan praktik-praktik:

Dalam praktik namaskara, dapat ditemukan syair paritta "Paṭipattiyā Ratanattayapaṇāma" yang dilantunkan sebelum masing-masing dari tiga sujud:[11]

Sujud Pertama Imāya dhammānudhamma-paṭipattiyā,

Buddhaṁ pūjemi.

Dengan praktik Dhamma yang sesuai dengan Dhamma,

aku bersujud kepada Buddha.

Sujud Kedua Imāya dhammānudhamma-paṭipattiyā,

Dhammaṁ pūjemi.

Dengan praktik Dhamma yang sesuai dengan Dhamma,

aku bersujud kepada Dhamma.

Sujud Ketiga Imāya dhammānudhamma-paṭipattiyā,

Saṅghaṁ pūjemi.

Dengan praktik Dhamma yang sesuai dengan Dhamma,

aku bersujud kepada Saṅgha.

Anupubbasikkhā

sunting

Sang Buddha kadang-kadang menggambarkan praktik (paṭipatti) ajaran-Nya sebagai pelatihan bertahap (Pali: anupubbasikkhā) karena Jalan Mulia Berunsur Delapan melibatkan proses transformasi batin-jasmani yang berlangsung dalam jangka waktu yang kadang-kadang panjang.


Penekanan pada latihan bertahap dapat dipahami melalui fakta bahwa, seperti halnya kebiasaan manusia yang menimbulkan penderitaan telah terbentuk dalam jangka waktu yang panjang, kebiasaan yang sama juga memerlukan waktu lama untuk dihilangkan, memerlukan usaha berkelanjutan yang hanya dapat dicapai dengan komitmen sejati terhadap latihan.

Diagram

sunting
 
 
 
 
 
 
 
 
TIRATANA
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BUDDHA
 
 
 
 
DHAMMA
 
 
 
SAṄGHA
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sammāsambuddha
 
 
 
 
Pariyattidhamma
 
 
 
 
 
 
Sammutisaṅgha
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Paccekabuddha
 
 
 
 
 
 
Tipiṭaka
 
 
 
 
Ariyasaṅgha
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sāvakabuddha
 
 
 
 
 
 
Aṭṭhakathā
Ṭīkā
Añña
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Paṭipattidhamma
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Ariya Aṭṭhaṅgika Magga
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Paṭivedhadhamma
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sotāpanna
Anāgāmi
Sakadāgāmi
Arahat
 


Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 46–48. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  2. ^ a b "The Buddha's basic teaching and their correct practice". 11 Juli 2013. Diakses tanggal 2022-07-18. 
  3. ^ Reynolds, Frank E.; Kitagawa, Joseph M.; Nakamura, Hajime; Lopez, Donald S.; Tucci, Giuseppe (2018), "Theravada", britannica.com, Encyclopaedia Britannica, Theravada (Pali: "Way of the Elders"; Sanskrit, Sthaviravada) emerged as one of the Hinayana (Sanskrit: "Lesser Vehicle") schools, traditionally numbered at 18, of early Buddhism. The Theravadins trace their lineage to the Sthaviravada school, one of the two major schools (the Mahasanghika was the other) that supposedly formed in the wake of the Council of Vaishali (now in Bihar state) held some 100 years after the Buddha's death. Employing Pāli as their sacred language, the Theravadins preserved their version of the Buddha's teaching in the Tipitaka ("Three Baskets"). 
  4. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, hlm. 2.
  5. ^ Gombrich, Richard (2006), Theravada Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo, Routledge; edisi ke-2, hlm. 37.
  6. ^ Hay, Jeff (2009). "World Religions", hlm. 189. Greenhaven Publishing LLC.
  7. ^ Buswell, Robert E (2004). Macmillan Encyclopedia of Buddhism (2004), hlm. 293.
  8. ^ Kantipalo (1982), n. 1.
  9. ^ Lee & Thanissaro (1998).
  10. ^ "Maha-parinibbana Sutta: Last Days of the Buddha". 
  11. ^ Kusaladhamma, Ashin (2015). Pūjā for Buddhist Culture Kids (PDF). Jakarta: Yayasan Satipatthana Indonesia. hlm. 13. 

Bibliografi

sunting

Pranala luar

sunting