Abhidhamma Theravāda

Tradisi Abhidhamma Theravāda mengacu pada sistematisasi akademis pemahaman aliran Theravāda tentang ajaran Buddha yang luhur atau tertinggi (Abhidhamma). Ajaran-ajaran ini secara tradisional diyakini telah diajarkan oleh Sang Buddha sendiri, meskipun para sarjana modern memperkirakan bahwa kitab-kitab Abhidhamma Piṭaka berasal dari abad ke-3 SM.[2][3] Theravāda, secara tradisional, melihat dirinya sebagai vibhajjavāda ("ajaran analisis"), yang mencerminkan metode analisis (vibhajjati) yang digunakan oleh Sang Buddha dan umat Buddha masa Buddhisme awal untuk menyelidiki sifat-sifat manusia dan fenomena lainnya.

Tiga halaman manuskrip Pali Burma dari kitab Mahāniddesa, sebuah komentar dengan gaya sastra Abhidhamma yang merupakan bagian dari Khuddaka Nikāya.[1]

Menurut Bhikkhu Bodhi, seorang pelajar Theravāda modern, Abhidhamma adalah "sebuah filsafat, psikologi, dan etika yang secara bersamaan terintegrasi ke dalam kerangka program pembebasan."[4]

Ada beberapa lapisan teks kepustakaan Abhidhamma. Karya Abhidhamma yang paling awal ditemukan dalam Kanon Pali. Kemudian, ada karya-karya eksegesis yang disusun di Sri Lanka pada abad ke-5. Ada pula karya kitab-kitab subkomentar yang disusun pada periode sejarah selanjutnya.

Latar belakang dan sumber

sunting
 
Buddhaghosa (sekitar abad ke-5), pelajar Abhidhamma paling penting dari Theravāda, menyajikan tiga salinan Visuddhimagga.[5]

Sumber utama tradisi Abhidhamma Theravāda adalah Abhidhamma Piṭaka, satu set tujuh kitab yang membentuk "keranjang" ketiga dari Tipiṭaka Theravāda (juga dikenal sebagai Kanon Pāli). Secara umum, para sarjana modern menerima bahwa karya-karya ini mulai disusun pada abad ke-3 SM.[6] Oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak dianggap merupakan hasil karya langsung Sang Buddha sendiri, melainkan merupakan hasil karya murid-murid dan para pelajar berikutnya.[7]

Akan tetapi, menurut beberapa sarjana seperti Rupert Gethin, ada kemungkinan bahwa beberapa elemen yang ditemukan di Abhidhamma, seperti mātikā (daftar, matriks istilah doktrinal) berasal dari tanggal yang lebih awal daripada kitab itu sendiri.[8][9] Hal ini telah dipelajari oleh Erich Frauwallner, yang berpendapat bahwa terdapat inti materi prasektarian awal dalam teks-teks Abhidhamma paling awal (seperti dalam Vibhanga, Dharmaskandha, dan Śāriputrābhidharma). Menurut studi perbandingan Frauwallner, teks-teks ini mungkin dikembangkan dan "dibangun dari bahan yang sama", terutama mātikā awal (bahasa Sanskerta: mātṛkā) yang membentuk "inti kuno" dari Abhidhamma awal.[10]

Penggunaan gaya sastra mātikā secara ekstensif juga dapat ditemukan di beberapa sutta dalam Sutta Piṭaka, yang telah dipandang sebagai "proto-abhidhamma" oleh para sarjana seperti Johannes Bronkhorst dan Frauwallner. Sutta-sutta ini termasuk Saṅgīti Sutta dan Dasuttara Sutta, dua sutta terakhir dari Dīgha Nikāya (serta Saṅgīti Sūtra dan Daśottara Sūtra dari Dīrgha Āgama).[11] Tse fu Kuan juga berpendapat bahwa sutra tertentu dari Aṅguttara Nikāya (AN 3.25, AN 4.87–90, AN 9.42–51) menggambarkan gaya sastra yang digunakan Abhidhamma awal.[11]

Khuddaka Nikāya juga memuat sejumlah kitab bergaya Abhidhamma yang tidak ditemukan dalam Abhidhamma Piṭaka. Salah satunya adalah kitab Paṭisambhidāmagga.[12] Kitab-kitab lainnya termasuk kitab Niddessa, Nettipakaraṇa, dan Peṭakopadesa.

Cabang Sri Lanka dari aliran Theravāda kemudian mengembangkan teks-teks Abhidhamma lebih lanjut, termasuk kitab komentar untuk kitab-kitab Abhidhamma dan kitab panduan pengantar khusus. Kitab-kitab komentar utama meliputi kitab Atthasālinī (komentar untuk Dhammasaṅgaṇī), Sammohavinodanī (komentar untuk Vibhaṅga), dan Pañcappakaṇaraṭṭhakathā (komentar terhadap kitab-kitab Abhidhamma Piṭaka lainnya).[13] Tradisi Sri Lanka juga menghasilkan kitab petunjuk praktik, seperti Vimuttimagga ("Jalan Kebebasan") sekitar abad ke-1 atau ke-2 Masehi.

Pelajar Theravāda abad ke-5, Buddhaghosa, adalah salah satu Abhidhammika Theravāda yang paling berpengaruh. Kitab Visuddhimagga (kitab panduan praktik spiritual berdasarkan kitab Vimuttimagga) karyanya tetap menjadi salah satu kitab Theravāda yang paling penting.[14] Bab XIV sampai XVII merupakan semacam ringkasan dari Abhidhamma.[12] Komentarnya terhadap berbagai sutta juga mencerminkan perspektif Abhidhamma.[15] Periode selanjutnya dari kajian ilmiah Sri Lanka abad pertengahan juga menghasilkan serangkaian teks yang disebut kitab "subkomentar" (yang merupakan komentar terhadap komentar).[13]

 
Ledi Sayadaw, salah satu Abhidhammika agung abad ke-20.

Ada juga genre sastra yang berfungsi sebagai petunjuk pengantar pendek untuk Abhidhamma, seperti kitab Abhidhammāvatāra abad ke-5. Kitab pengantar yang paling berpengaruh di antara semuanya tetaplah kitab Abhidhammatthasaṅgaha yang singkat dan padat karya Ācariya Anuruddha. Menurut Bhikkhu Bodhi, teks ini tetap menjadi "kitab utama untuk mempelajari Abhidhamma yang digunakan di seluruh dunia Buddhis Theravāda," dan berbagai kitab komentar telah ditulis untuknya.[16]

Abhidhamma tetap menjadi tradisi yang hidup di negara-negara Theravāda saat ini dan karya-karya Abhidhamma modern terus ditulis dalam bahasa-bahasa modern seperti Burma dan Sinhala. Studi Abhidhamma sangat ditekankan di Myanmar dan telah menjadi subjek utama studi sejak sekitar abad ke-17.[17] Salah satu tokoh terpenting dalam Buddhisme Myanmar modern, Ledi Sayadaw (1846–1923), terkenal karena tulisannya tentang Abhidhamma (terutama komentarnya untuk Abhidhammatthasaṅgaha, yang disebut Paramatthadipanitika). Komentar ini, yang mengkritik kitab komentar lama dari Sri Lanka (Abhidhammattha-vibhavinī-tīkā) yang terbit pada abad ke-12, menimbulkan kontroversi karena mengakibatkan munculnya perdebatan banyak tokoh mengenai topik Abhidhamma.[18]

Kitab-kitab Abhidhamma Piṭaka diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-20 dan diterbitkan oleh Pāli Text Society. Penerjemahnya adalah CAF Rhys Davids (untuk kitab Dhammasaṅgaṇī dan Kathāvatthu), U Thittila (kitab Vibhaṅga), U Narada (kitab Dhātukathā dan Paṭṭhāna), dan BC Law (kitab Puggalapaññatti).

Teori fenomena (dhamma)

sunting

Dalam Nikāya Pāli, Sang Buddha mengajar melalui suatu metode yang menjelaskan realitas menggunakan berbagai pengelompokan konseptual proses fisik dan mental, yang disebut "dhamma". Contoh daftar dhamma yang diajarkan Sang Buddha dalam Nikāya mencakup dua belas 'lingkup' indra (āyatana), lima gugusan (khandha), dan delapan belas unsur kognisi (dhātu).[19]

Hubungan nāmarūpa, khandha, dan Abhidhamma[20]
Kelompok Khandha
(gugusan)
Abhidhamma Theravāda
Āyatana
(landasan indra)
Paramattha-sacca
(realitas hakiki)
Internal Eksternal
dhamma
saṅkhāra
rūpa
(materi)
rūpa-
(materi)
cakkhu
(mata)
rūpa/vaṇṇa
(materi/warna)
28 rūpa
(materi)
4 unsur pokok
24 unsur turunan
sota
(telinga)
sadda
(suara)
ghāna
(hidung)
gandha
(ganda/bau)
jivhā
(lidah)
rasa
(rasa)
kāya
(tubuh)
phoṭṭabba
(sentuhan)
-
dhamma
(objek batin)
nāma
(batin)
vedanā-
(perasaan)
-
52 cetasika
(faktor mental)
7 universal
6 sesekali
14 tidak baik
25 indah
saññā-
(persepsi)
saṅkhāra-
(formasi mental)
viññāṇa-
(kesadaran)
mana
(batin)
-
89/121 citta
(kesadaran)
81 duniawi
8/40 adiduniawi
-
-
Nibbāna
(Nirwana)

Dengan mengembangkan berbagai model ini, Abhidhamma Pāli berfokus pada penyediaan pemahaman yang lebih halus dan lebih lengkap tentang semua realitas fenomenal dengan menjelaskan, menganalisis, dan mengklasifikasikan semua dhamma dan hubungan-hubungannya.[21] Menurut Y. Karunadasa, dalam konteks Abhidhamma, dhamma adalah "faktor dasar yang ke dalamnya segala sesuatu dapat dipecahkan" dan "unsur-unsur dasar, realitas utama di balik fenomena nyata."[22] "Teori dhamma" ini adalah teori sentral atau landasan Abhidhamma Pāli.[23][24] Menurut berbagai pelajar Abhidhamma, inti utama teori ini adalah menyediakan skema yang berguna untuk perenungan meditatif dan kebijaksanaan tentang sifat fenomena.[22]

Dhamma”, dalam konteks tersebut, telah diterjemahkan sebagai “faktor” (Collett Cox), “karakteristik psikis” (Bronkhorst), “peristiwa psiko-fisik” (Noa Ronkin), dan “fenomena” (Nyanaponika Thera).[25][26] Noa Ronkin mendefinisikan dhamma sebagai "komponen pengalaman indrawi; 'blok bangunan' yang tidak dapat disederhanakan yang membentuk dunia seseorang, meskipun dhamma bukan isi mental yang statis dan tentu saja bukan substansi."[27]

Menurut Karunadasa, dhamma, yang dapat diterjemahkan sebagai "sebuah 'prinsip' atau 'elemen' (dhamma)", adalah "items yang dihasilkan ketika proses analisis dibawa ke batas terdalamnya".[23] Namun, pemaknaan ini tidak berarti bahwa dhamma memiliki eksistensi yang independen, karena dhamma dipostulatkan “hanya untuk tujuan deskriptif”.[28] Dhamma juga dikatakan bukan diri (anatta) dan karenanya kosong (suñña).[29]

Lagi pula, dhamma saling berhubungan dan saling bergantung dalam berbagai hubungan. Dengan demikian, Abhidhamma Pali bukanlah bentuk pluralisme, karena ia bertumpu pada analisis (bheda) dan sintesis (saṅgaha). Menurut Karunadasa, hal ini "memungkinkannya melampaui pertentangan biner antara pluralisme (sabbaṁ puthuttaṁ) dan monisme (sabbaṁ ekattaṁ), atau seperti yang dikatakan dalam salah satu komentar Pāli, pertentangan biner antara metode pluralitas atau keanekaragaman (nānatta-naya) dan metode kesatuan (ekatta-naya)."[30][note 1]

Argumen pendukung yang menyatakan bahwa Abhidhamma Pali berusaha menghindari pluralisme absolut dan monisme dapat dilihat dalam berbagai pernyataan kitab komentar yang memperingatkan terhadap fokus sepihak atau pemahaman terhadap metode keanekaragaman (nānattta-naya). Misalnya, kitab subkomentar untuk Dīgha Nikāya mengatakan bahwa "pemahaman yang keliru terhadap metode keanekaragaman disebabkan oleh penekanan yang tidak semestinya pada keterpisahan radikal (accanta-bheda) dari dhamma."[31]

Demikian juga, dhamma "bukanlah pecahan-pecahan dari suatu keutuhan yang menunjukkan kesatuan mutlak atau absolut" atau manifestasi dari lapisan dasar metafisik tunggal, karena pandangan tersebut akan menimbulkan kesalahan yang berlawanan, yaitu fokus sepihak pada metode kesatuan. Sebaliknya, dhamma hanyalah “banyaknya faktor koordinat yang saling terhubung, namun dapat dibedakan.” Pandangan ini dikatakan sesuai dengan gagasan bahwa ajaran Buddha adalah jalan tengah ontologis antara berbagai ekstrem, seperti eksistensi dan noneksistensi absolut, atau pluralitas radikal dan monisme absolut.[32]

Meskipun dijelaskan bahwa dhamma dapat dibedakan (vibhāgavanta) satu sama lain, dhamma juga dikatakan muncul bersamaan dalam suatu kelompok karena sifat yang tak terpisahkan (saṃsaṭṭhatā, avinibhogatā). Metode ini juga dapat ditemui dalam berbagai sutta (lihat: Mahāvedalla Sutta) yang menyatakan bahwa beberapa dhamma dikatakan tercampur (saṃsaṭṭha) sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahkan.[33] Fakta bahwa dhamma selalu muncul bersama-sama juga terhubung dengan ketergantungan bersebab dhamma satu sama lain. Dalam Abhidhamma, tidak ada sesuatu pun yang muncul tanpa sebab, muncul dari satu sebab tunggal, atau muncul sebagai satu akibat tunggal. Oleh karena itu, dalam Abhidhamma, “selalu terjadi bahwa pluralitas kondisi menimbulkan pluralitas akibat. Jika diterapkan pada teori dhamma, artinya adalah bahwa pluralitas dhamma menimbulkan pluralitas dhamma lainnya.”[34]

Sifat dan karakteristiknya

sunting

Menurut kitab Atthasālinī: "Dhamma memiliki sifat-sifat khusus (sabhāva). Sebaliknya, dhamma muncul karena kondisi-kondisi, atau sesuai dengan sifat-sifat khusus."[35] Penggunaan istilah sabhāva (sifat sendiri, keberadaan sendiri) dalam mendeskripsikan dhamma tidak ditemukan dalam kitab-kitab Abhidhamma Piṭaka, tetapi muncul dalam kitab-kitab lain, seperti kitab Nettipakaraṇa dan dalam kitab-kitab komentar.[36] Kitab-kitab komentar Theravāda terkadang menyamakan kedua istilah tersebut, seperti kitab Visuddhimagga yang menyatakan bahwa 'dhamma berarti sabhāva'.[35]

Akan tetapi, harus diingat bahwa konsep sabhāva Theravāda tidak berarti hakikat atau mode keberadaan yang hakiki, sebab dhamma bukanlah entitas yang kekal atau terpisah sepenuhnya. Dhamma selalu berada dalam hubungan yang terkondisikan secara ketergantungan dengan dhamma lain dan selalu berubah. Oleh karena itu, hanya demi penjelasan deskriptif saja dhamma dikatakan memiliki “sifat” (sabhāva) mereka sendiri.[37] Menurut Karunadasa, penggunaan kata sabhāva ini hanya memiliki validitas sementara, "suatu atribusi yang dibuat demi kenyamanan definisi." Hal ini hanya merujuk pada fakta bahwa "setiap dhamma mewakili sebuah fakta yang berbeda dari keberadaan empiris yang tidak dimiliki oleh berbagai dhamma lainnya."[38]

Menurut Peter Harvey, pandangan Theravāda tentang sabhāva suatu dhamma adalah bahwa ia mengacu pada suatu karakteristik individual (salakkhaṇa) yang "bukan merupakan sesuatu yang melekat dalam suatu dhamma sebagai realitas tertinggi yang terpisah, tetapi muncul karena kondisi pendukung baik dari dhamma lain maupun kejadian sebelumnya dari dhamma itu".[39] Hal ini ditunjukkan oleh definisi lain yang diberikan dalam kitab komentar, yang menyatakan bahwa dhamma adalah “sesuatu yang muncul karena kondisi-kondisinya sendiri,” dan “hanya sekadar fakta terjadinya karena kondisi-kondisi yang sesuai.”[40]

Demikian pula, Noa Ronkin berpendapat bahwa dalam Abhidhamma Theravāda, "sabhāva terutama digunakan untuk menentukan individualitas dhamma, bukan status eksistensialnya."[41] Oleh karena itu, sabhāva adalah sinonim dari salakkhana (ciri khas tersendiri), yang membedakan satu jenis dhamma dari yang lain demi kemudahan definisi. Misalnya, metode deskriptif ini memungkinkan kita menyatakan bahwa karakteristik individu unsur tanah adalah soliditas.[42] Pernyataan ini bertolak belakang dengan “ciri-ciri universal” dari semua dhamma (sāmanna-lakkhaṇa), yaitu ciri-ciri yang dimiliki oleh semua dhamma, seperti tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan bukan diri (anatta).[43]

Jadi, meskipun dalam Abhidhamma Theravāda, dhamma merupakan unsur-unsur pengalaman yang hakiki, dhamma tidak dilihat sebagai substansi (attena), hakikat, atau hal-hal yang berdiri sendiri, karena dhamma adalah terkondisi dan kosong (suñña) dari kepemilikan jati diri (attā).[44] Hal ini dijelaskan dalam kitab Paṭisambhidāmagga, yang menyatakan bahwa dhamma kosong dari sabhāva (sabhāvena suññaṁ).[45]

Menurut Ronkin, Abhidhamma Pāli aliran Theravāda yang kanonis tetap pragmatis dan psikologis, dan "tidak terlalu tertarik pada ontologi". Hal ini berbeda dengan penekanan aliran Sarvāstivāda. Paul Williams juga mencatat bahwa Abhidhamma tetap berfokus pada kepraktisan meditasi pandangan terang dan membiarkan ranah ontologi "relatif belum dieksplorasi".[46] Namun, Ronkin mencatat bahwa kitab subkomentar Theravāda (ṭīkā) yang ditulis belakangan menunjukkan pergeseran doktrinal ke arah realisme ontologis dari perhatian epistemik dan praktis dari kitab-kitab yang lebih awal.[47]

Klasifikasi dhamma

sunting

Abhidhamma Theravāda menyatakan bahwa terdapat total 82 jenis dhamma, 81 di antaranya berkondisi (saṅkhata), sedangkan satu tidak berkondisi. Dhamma ini dibagi menjadi empat kategori utama:[48][49]

  1. Citta (kesadaran)
  2. Cetasika (faktor mental), ada 52 jenis.
  3. Rūpa (materi), 28 jenis.
  4. Nibbāna (kepadaman), satu-satunya dhamma yang tidak terkondisi, yang tidak muncul dan tidak berakhir karena interaksi kausal.

Oleh karena tidak ada dhamma yang ada secara mandiri, maka setiap dhamma kesadaran, yang dikenal sebagai citta, muncul berasosiasi (sampayutta) dengan setidaknya tujuh faktor mental (cetasika) yang disebut sebagai tujuh faktor mental universal.[50] Dalam Abhidhamma, semua peristiwa kesadaran dilihat sebagai sesuatu yang memiliki ciri-ciri intensionalitas (mengenai sesuatu, mengarah pada sesuatu) dan tidak pernah ada dalam isolasi.[48]

Konseptual (paññatti)

sunting

Dari sudut pandang Abhidhamma, yang ada hanyalah dhamma dan hubungannya. Jika demikian, bagaimana seseorang dapat menjelaskan realitas akal sehat (common sense), untuk menjelaskan dunia sehari-hari? Untuk menjawab hal ini, para Ābhidhammika menggunakan teori nominalis paññatti (konsep, sebutan) sebagai cara untuk menjelaskan kategori-kategori universal dasar seperti kesatuan, identitas, ruang, dan waktu.[51] Sang Buddha menggunakan istilah ini dalam berbagai sutta, seperti yang dapat dilihat dalam Potthapāda Sutta yang menjelaskan bahwa meskipun Sang Buddha menggunakan kata “diriku” (atta), Beliau tidak mengacu pada hakikat tertinggi, melainkan hanya berbicara secara konvensional atau konsep, dan bahwa istilah-istilah tersebut “adalah [sekadar] nama-nama (samaññā), ungkapan-ungkapan (nirutti), ekspresi berbicara (vohāra), dan sebutan-sebutan (paññatti) yang umum digunakan di dunia. Dari semua ini, Sang Tathāgata memang menggunakan istilah semacam itu, tetapi tidak tersesat karenanya”.[52] Selain itu, Niruttipatha Sutta menyatakan bahwa pembagian waktu menjadi masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah "tiga jalur ekspresi (nirutti), penunjukan (adhivacana), dan pembuatan konsep (paññatti)."[52]

Definisi pertama istilah tersebut dalam teks Abhidhamma ditemukan dalam kitab Dhammasaṅgaṇī: "Itu yang merupakan suatu pencacahan, itu yang merupakan suatu penunjukan, suatu ungkapan (paññatti), suatu istilah terkini, suatu nama, suatu satuan, pemberian nama, suatu penafsiran, suatu ciri khas diskursus tentang dhamma ini atau itu." Komentar Pali menambahkan bahwa ini berarti "proses predikat", dan bahwa hal-hal seperti "aku", "milikku", "yang lain", "seseorang", "wihara", dan "sebuah kursi" semuanya adalah predikat.[52] Sebutan-sebutan konseptual ini bergantung pada pikiran dan bukan merupakan dhamma, realitas tertinggi, dengan kata lain, bukan merupakan kebenaran tertinggi (paramattha).[53] Bersama-sama, realitas konseptual dan realitas hakiki membentuk keseluruhan pengetahuan (ñeyya-dhamma).[53]

Paññatti dipandang tidak memiliki sabhāva (asabhāva), "berbeda dari batin dan materi," tidak muncul dan tenggelam seperti dhamma dan "tidak disebabkan oleh kondisi", "tidak dihasilkan secara positif" (aparinipphanna) dan tidak terkondisi (saṅkhata) maupun tidak tak terkondisi (asaṅkhata).[54] Dalam Abhidhamma, paññatti adalah "produk fungsi sintesis batin yang hanya dikonseptualisasikan" (parikappa-siddha), dan "hanya ada berdasarkan pemikiran konseptual."[55] Ada dua jenis konseptualisasi yang saling bergantung:[55]

  • nāma-paññatti (konsep nama), "mengacu pada nama, kata, tanda, atau simbol yang digunakan untuk menunjuk sesuatu, baik nyata maupun tidak nyata." Ini adalah cara mengenali sesuatu yang "diciptakan oleh persetujuan duniawi (lokasahketa-nimmitā) dan ditetapkan oleh kebiasaan duniawi (lokavohārena siddhā)."
  • attha-paññatti (konsep makna), "mengacu pada ide, gagasan, atau konsep yang berhubungan dengan nama-nama," ia "dihasilkan oleh fungsi interpretatif dan sintesis dari batin (kappanā) dan didasarkan pada berbagai bentuk atau penampakan yang disajikan oleh keberadaan nyata."

Konsep-nama dapat diberikan pada segala hal, termasuk dhamma, namun, tidak seperti benda sehari-hari, konsep-nama yang diberikan pada dhamma tidak memiliki konsep-makna (attha-paññatti) yang sesuai, karena dhamma bersifat "mendalam." Menurut Karunadasa, "apa yang tampaknya dimaksudkan di sini adalah bahwa objek pemikiran konseptual seperti meja dan kursi mudah dikenali, sedangkan dhamma sulit dipahami."[56] Hanya dalam meditasi yang mendalam seseorang dikatakan melampaui konseptualitas dan memperoleh kebijaksanaan langsung ke dalam dhamma itu sendiri, melihatnya sebagai kosong (suñña) dan impersonal (nissatta, nijjīva).[57] Bukan hanya benda-benda sehari-hari saja yang bersifat konseptual, tetapi juga orang-orang (puggala), waktu (kala), dan ciri-ciri dhamma ketika berperan sebagai abstraksi yang berdiri sendiri, termasuk ciri-ciri universal (sāmanna-lakkhaṇa), seperti ketidakkekalan (aniccatā), serta hukum Kemunculan Bersebab dan Empat Kebenaran Mulia.[58]

Dua jenis kebenaran (sacca)

sunting

Menurut Y. Karunadasa, bagi aliran Theravāda, teori dua kebenaran yang membagi realitas menjadi sammuti (kebenaran konvensional) dan paramattha (kebenaran hakiki atau mutlak) merupakan inovasi doktrinal dari Abhidhamma, tetapi teori ini bersumber dari beberapa pernyataan dari Nikaya Pāli awal. Sumber-sumber tersebut dapat dilihat dari perbedaan yang dijelaskan dalam Aṅguttara Nikāya antara pernyataan (bukan kebenaran) yang bersifat nītattha (eksplisit, definitif) dan neyyattha (memerlukan penjelasan lebih lanjut).[59] Karunadasa mencatat bahwa dalam teks-teks Nikāya, "tidak ada penilaian nilai preferential (bahwa yang satu lebih dipilih dari yang lainnya) yang dibuat antara nītattha dan neyyattha. Yang ditekankan hanyalah bahwa kedua jenis pernyataan tersebut tidak seharusnya disalahpahami."[59]

Sumber awal lain dari ajaran ini adalah Saṅgīti Sutta dari Dīgha Nikāya, yang mencantumkan empat jenis pengetahuan: (a) pengetahuan langsung dari Dhamma (dhamma-ñāṇa), (b) pengetahuan induktif dari Dhamma (anvaya-ñāṇa), (c) pengetahuan analisis (pariccheda-ñāṇa), dan (d) pengetahuan konsepsi [kebahasaan] (sammuti-ñāṇa).[59] Dalam Nikāya awal, berbeda dengan Abhidhamma, realitas sammuti (konsep atau konvensional) tidak diuraikan secara analitis ke dalam realitas yang disebut paramattha (hakiki).[59]

Dalam Abhidhamma Theravāda, perbedaan antara kebenaran konvensional dan hakiki muncul, mengacu pada:[60]

Dua tingkatan kebenaran, yaitu kebenaran yang dapat dianalisis dan kebenaran yang tidak dapat dianalisis lebih lanjut. Tingkat pertama disebut sammuti karena melambangkan kebenaran konvensional atau relatif atau apa yang disebut sebagai kebenaran konsensual, dan tingkat kedua disebut paramattha karena melambangkan kebenaran absolut atau kebenaran hakiki.

Oleh karena itu, dalam Abhidhamma, ketika sebuah situasi dijelaskan dengan sesuatu yang tidak dapat dianalisis secara empiris lebih lanjut menjadi komponen-komponen yang lebih kecil dengan karakteristik (lakkhaṇa) yang berbeda, penjelasan tersebut adalah paramattha-sacca (kebenaran hakiki), dan ketika dijelaskan dalam hal-hal yang dapat dianalisis lebih lanjut karena bergantung pada fungsi sintesis batin (yaitu paññatti atau konsep), penjelasan tersebut adalah sammuti-sacca (kebenaran konvensional), yang ada dalam pengertian relatif atau konvensional karena konsepsi batin (attha-paññatti) dan konsepsi kebahasaan (nāma-paññatti).[59]

Akan tetapi, bahkan komponen-komponen hakiki ini (yakni dhamma) berasal dari sumber yang saling bergantung, "harus ada bersamaan dan tidak dapat dipisahkan secara posisi (padesato avinibhoga)". [59] Berbeda dengan aliran Buddhisme yang berbasis pada bahasa Sanskerta yang menyebut kebenaran konvensional sebagai samvrti (yang memiliki arti menyembunyikan atau menutupi), istilah Abhidhamma dalam bahasa Pali, sammuti, hanya berarti konvensi manusia dan tidak memiliki konotasi kebenaran rendah yang menyembunyikan kebenaran tinggi.[59]

Oleh karena itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh KN Jayatilleke, pandangan versi aliran Theravāda tentang teori dua kebenaran "tidak menyiratkan bahwa apa yang benar dalam satu pengertian adalah salah dalam pengertian yang lain atau bahkan bahwa satu jenis kebenaran lebih unggul dari yang lain".[61] Seperti yang ditulis Karunadasa:[59]

Perbedaan antara sammuti-sacca dan paramattha-sacca tidak merujuk pada dua macam kebenaran itu sendiri, tetapi pada dua cara menyajikan apa yang benar. Meskipun secara formal diperkenalkan sebagai dua [jenis] kebenaran, keduanya dijelaskan sebagai dua cara mengungkapkan apa yang benar. Mereka tidak mewakili dua derajat kebenaran, [tidak berarti] yang satu lebih unggul atau lebih rendah dari yang lain. Dan keduanya tidak mewakili dua kebenaran yang paralel.

Oleh karena itu, dalam Abhidhamma, bahkan paramattha-sacca (kebenaran hakiki) dijelaskan melalui konsep-konsep (kebenaran konvensional). Meskipun pada hakikat kebenaran hakiki itu sendiri bukanlah hasil fungsi konseptual batin (paññatti), kebenaran tersebut tetap tidak dapat dijelaskan tanpa perantara kebenaran konvensional atau konsep (paññatti).[59]

Lebih jauh lagi, menurut Tse Fu Kuan, kitab Dhammasaṅgaṇī "tampaknya tidak menjunjung tinggi bahwa dhamma adalah realitas tertinggi dibandingkan dengan konstruksi konvensional seperti 'manusia'." Kitab ini juga menyatakan bahwa “semua dhamma adalah metode penggolongan (paññatti) [sesuatu]”, bahwa “semua dhamma adalah metode kebahasaan (nirutti)” dan bahwa “semua dhamma adalah metode pengungkapan (adhivacana) [sesuatu]”.[60] Oleh karena itu, Abhidhamma Piṭaka yang kanonis tidak mendukung penafsiran dua kebenaran tersebut sebagai rujukan terhadap realitas ontologis primer.[60]

Karunadasa mencatat bagaimana kitab komentar Pali menyatakan bahwa "Sang Buddha terkadang mengajarkan Dhamma menurut kebenaran konvensional, terkadang menurut kebenaran hakiki, dan terkadang melalui kombinasi keduanya." Hal ini dibandingkan dengan seorang guru yang menggunakan dialek yang berbeda untuk mengajar murid-muridnya. “Tidak ada implikasi sama sekali di sini bahwa satu dialek lebih tinggi atau lebih rendah dari dialek lainnya.”[62]

Nibbāna sebagai dhamma yang tidak terkondisi

sunting
 
Mahākassapa memberi penghormatan kepada jenazah Buddha setelah nibbāna terakhir (saat kematian jasmani), Burma, pertengahan abad ke-19.

Sutta tidak menjelaskan hakikat nibbāna dalam pengertian teknis dan filosofis, namun berfokus pada penjelasannya secara psikologis dan melalui metafora sebagai 'pelenyapan' keserakahan, kebencian, dan delusi dan tetap ambigu mengenai status metafisiknya.[63] Berbagai sistem Abhidharma berusaha memberikan penjelasan ontologis yang lebih lengkap tentang nibbāna.

Posisi Theravada pertama kali ditemukan dalam kitab Dhammasaṅgaṇī, yang menggambarkan nibbāna sebagai unsur atau elemen yang tidak terkondisi (asaṅkhata-dhātu), sepenuhnya di luar lima gugusan unsur kehidupan. Nirwana (nibbāna) adalah dhamma yang "tidak terampil maupun nonterampil, tidak terkait dengan perasaan maupun kognisi, bukan resultan dan tidak menghasilkan resultan, tidak memerlukan objek apa pun, tidak diklasifikasikan sebagai masa lalu, masa kini, atau masa depan."[64] Meskipun tidak dapat diakses melalui pemikiran diskursif atau konseptual, Nirwana adalah dhamma yang dapat dikenali atau dicapai oleh batin.[65]

Kitab-kitab komentar Theravāda juga mengembangkan lebih jauh pandangan tentang nibbāna, yang melihatnya sebagai dhamma sejati dengan sifat atau karakteristik tersendiri yang spesifik serta sepenuhnya bebas dari karakteristik terkondisi apa pun. Menurut Buddhaghosa: "[Oleh] karena tidak tercipta (appabhāva), maka ia bebas dari penuaan dan kematian. Karena tidak adanya penciptaan, penuaan, dan kematian, maka ia bersifat permanen. Ia menentang pandangan bahwa nibbāna tidak nyata atau tidak ada dan mengutip sebuah syair terkenal yang ditemukan dalam kitab Itivuttaka dan Udāna yang menyatakan "Ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjadi, yang tidak diciptakan, yang tidak bersyarat..."[66] Dengan demikian, komentar terhadap Visuddhimagga menyatakan bahwa nibbāna adalah kebalikan dari semua kondisi terkondisi. Dalam Abhidhamma Theravāda, nibbāna dilihat sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dari keberadaan yang terkondisi dan sebagai satu-satunya dhamma yang unik dan tidak terkondisi.[67]

Oleh karena itu, Abhidhamma Theravāda menyatakan bahwa hanya ada satu nibbāna tunggal, tidak seperti tradisi Abhidharma aliran Vaibhāṣika dan Mahāyāna yang meyakini adanya berbagai jenis unsur tanpa syarat dan berbagai jenis nibbāna (seperti apratistha, yaitu suatu jenis Nirwana yang tidak kekal dalam aliran Mahāyāna; dan unsur atau elemen ruang tanpa syarat dalam aliran Vaibhāṣika).[68]

Analisis batin (nāma)

sunting

Dalam kitab-kitab Buddhisme Awal, kesadaran merupakan fenomena yang selalu timbul berdasarkan kondisi (yakni berasal dari sumber yang bergantung) dan juga tidak pernah timbul dengan sendirinya, tetapi selalu ditemukan dalam hubungan dengan keempat gugusan kepribadian lainnya. Lebih lanjut, dikatakan juga bahwa kesadaran saling bergantung dan muncul bersama dengan “nāma dan rūpa” (nāma-rūpa). Nāma mengacu pada perasaan (vedanā), persepsi (saññā), niat/kehendak (cetanā), kesan indra (phassa), dan atensi (manasikāra), sedangkan materi atau bentukan mengacu pada empat unsur pokok (lihat bagian "Rūpa").[69] Dalam pengertian ini, Buddhisme awal dan Abhidhamma Theravāda menghindari pandangan idealisme maupun materialisme, serta segala bentuk dualisme yang melihat batin dan tubuh sebagai sesuatu yang benar-benar terpisah. Sebaliknya, dinyatakan bahwa batin dan tubuh adalah fenomena yang saling bergantung.[70]

Dengan menggunakan perspektif ini sebagai skema dasarnya, Abhidhamma menganalisis proses kognitif menjadi unit-unit kognitif individual yang memiliki dua komponen utama: peristiwa-peristiwa kesadaran (citta, pengetahuan atau perhatian yang disengaja terhadap suatu objek) dan faktor-faktor mental (cetasika, mentalitas yang muncul terkait dengan citta).[71] Kedua komponen ini selalu muncul bersama-sama, dan ketika Abhidhamma berbicara tentang citta, dipahami bahwa cetasika juga hadir. Keterkaitan keduanya ini dijelaskan dengan perumpamaan seperti ketika seorang raja telah tiba, seseorang berasumsi bahwa ia telah tiba beserta dengan pengiringnya juga. Kedua prinsip yang saling terkait (samsattha) ini dikatakan halus dan sulit dibedakan, seperti perbedaan rasa dalam sup yang telah diaduk. Pada setiap keberadaannya, suatu citta dan cetasika pengiringnya muncul bersama-sama (sampayoga), memiliki objek (tujuan) yang sama, dan lenyap bersama-sama.[72]

Oleh karena itu, realitas kognisi adalah sebuah konstelasi atau kompleks dari berbagai dhamma yang saling berhubungan dan "tidak dapat diturunkan satu sama lain atau direduksi menjadi landasan bersama (common ground)." Citta-cetasika juga tidak melekat satu sama lain sebagaimana pandangan bahwa kualitas melekat pada substansi dalam sistem filsafat lainnya.[73] Lebih jauh lagi, setiap realitas kognisi juga berada dalam berbagai hubungan dengan realitas kognisi lainnya. Oleh karena suatu realitas kognisi bukan suatu peristiwa yang berdiri sendiri, maka hal ini dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di masa lalu dan menjadi suatu kondisi atau sebab bagi kejadian-kejadian di masa depan.[74] Berbagai hubungan kondisional ini dijelaskan secara rinci dalam kitab Paṭṭhāna.

Peristiwa kognitif (citta-cetasika) ini terjadi secara berurutan, satu per satu. Pada saat apa pun, hanya ada satu tindakan kognitif citta. Juga, menurut Karunadasa, "lebih dari itu, tindakan kognitif saat ini tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Realitas kognitif ini diibaratkan seperti sebuah pedang (yang sama) tidak dapat memotong dirinya sendiri, atau ujung jari (yang sama) tidak dapat menyentuh dirinya sendiri. Penjelasan ini juga menolak pandangan "taññānatā", yaitu gagasan bahwa kesadaran yang sama memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri."[75]

Kesadaran (citta)

sunting

Citta adalah peristiwa kesadaran, yaitu peristiwa yang "mengetahui" atau "menyadari" suatu objek. Citta ini tidak pernah muncul dengan sendirinya, tetapi selalu memiliki niat atau tujuan (yakni memiliki objek atau arah kognitif).[76] Dalam tafsir Abhidhamma, citta (sinonim dengan viññāṇa) didefinisikan dalam tiga cara utama:[76]

  1. Melalui agen (kattu-sādhana): “Kesadaran adalah sesuatu yang mengenali suatu objek.”
  2. Melalui sarana (karaṇa-sādhana): “Kesadaran adalah sesuatu yang melaluinya faktor-faktor mental yang menyertainya mengenali objek.”
  3. Dari segi aktivitas atau cara kerjanya (bhāva-sādhana): “Kesadaran hanyalah tindakan mengenali objek.” Definisi ini adalah satu-satunya yang “dikatakan valid dari sudut pandang terdalam” (nippariyayato), karena, secara tegas, kesadaran bukanlah suatu benda, tetapi suatu aktivitas atau proses.

Abhidhamma menyediakan banyak klasifikasi dan kategori kesadaran. Pengategorian yang paling terkenal adalah enam “pintu” yang berhubungan dengan lima kemampuan indra, yaitu: kesadaran yang berhubungan dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh, serta kesadaran batin (mano-viññāṇa).[77] Masing-masing dari lima kemampuan kognitif berfungsi sebagai landasan fisik (vatthu, yaitu organ mata, dll.) bagi kesadaran yang mereka dukung. Abhidhamma Theravāda juga menyatakan bahwa kesadaran batin juga mempunyai landasan fisik, sebuah pandangan yang bertentangan dengan aliran Buddhisme lainnya, namun didukung oleh berbagai sutta, yang menyatakan bahwa kesadaran dan "nāma dan rūpa" (nāma-rūpa) saling bergantung satu sama lain.[78] Kitab Paṭṭhāna tidak menyebutkan organ atau lokasi spesifik yang berperan sebagai landasan fisik dari kesadaran batin tersebut, melainkan mendefinisikan landasan dari kesadaran batin sebagai "ke-materi-an apa pun yang menjadi dasar aktivitas mental." Karunadasa percaya bahwa hal ini terjadi karena Abhidhamma awal menganggap dasar fisik kesadaran tidak terbatas pada satu lokasi di dalam tubuh. Namun, komentar-komentar Theravāda yang lebih baru menyajikan satu lokasi tunggal, yang disebut landasan jantung (hadaya-vatthu), yang terletak di dalam jantung.[79] Apa pun landasan fisiknya, penting untuk dicatat bahwa Abhidhamma tidak menganggap batin sepenuhnya dikendalikan atau ditentukan oleh suatu landasan organ fisik, yang hanya dilihat sebagai unsur pendukung batin, sebagaimana kesadaran mata tidak sepenuhnya dikendalikan oleh organ mata sebagai landasan fisik.[80]

Jenis-jenis kesadaran (citta)

sunting

Meskipun dalam satu pengertian, kesadaran (citta) memiliki karakteristik tunggal berupa mengetahui atau menyadari suatu objek, kesadaran dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis tergantung pada berbagai cara munculnya kesadaran tersebut bersama dengan berbagai faktor mental (cetasika) yang menyertainya. Citta, dengan demikian, diklasifikasikan ke dalam berbagai kelompok berdasarkan kriteria yang berbeda, salah satunya adalah berdasarkan pemahaman Buddhis tentang keadaan meditatif dan bagaimana keadaan-keadaan tersebut berkorelasi dengan kosmologi Buddhis, dan kriteria lainnya adalah berdasarkan kualitas etika (karma) dari suatu citta.[81]

Klasifikasi pertama dikelompokkan menjadi empat kelas citta yang sesuai dengan empat alam keberadaan yang sering memunculkan citta terkait:[82]

  • Lingkup indrawi (kāma-bhava), mengacu pada citta di alam indra.
  • Lingkup materi halus (rūpa-bhava), citta yang dialami dalam empat rūpajhāna (keadaan meditatif di alam materi halus) dan dalam rūpa-loka (alam kehidupan yang lebih tinggi dan lebih halus). Dalam lingkup ini, kelima rintangan batin (nīvarana) tidak hadir, dan faktor-faktor yang bersesuaian dari masing-masing empat jhāna hadir.
  • Lingkup nonmateri (arūpa-bhava), citta dari empat arūpajhāna dan alam kehidupan nonmateri.
  • Lingkup adiduniawi (lokuttara), yaitu kesadaran yang melampaui dunia pengalaman terkondisi (yakni lima gugusan kehidupan) dan "langsung mengarah pada realisasi Nibbāna."

Keempat kelas citta ini tidak eksklusif pada masing-masing alam, mereka hanya merupakan yang paling umum ditemukan pada masing-masing alam. Oleh karena itu, misalnya, seseorang dapat berada di alam indrawi, namun memunculkan kesadaran lingkup nonmateri melalui meditasi.[81]

Klasifikasi kedua yang banyak digunakan, yang berdasarkan pada kamma (etika), mengelompokkan kesadaran menjadi empat kelas:[83]

  • Baik (kusala). Citta dalam kelas ini mengacu kepada citta yang murni dan sehat yang berakar pada ketidakserakahan (alobha), ketidakbencian (adosa), dan nondelusi (amoha). Mereka dibagi lagi ke dalam subkelas tergantung pada berbagai faktor, seperti emosi yang dikaitkan dengannya (kegembiraan atau keseimbangan, dll.), apakah mereka dikaitkan dengan pengetahuan/kebijaksanaan (ñāṇa-sampayutta) atau tidak, dan apakah mereka dipicu (oleh pengaruh eksternal atau pertimbangan sendiri) atau tidak (spontanitas atau asankhārika, yakni karena kebiasaan).
  • Tidak baik (akusala). Citta dalam kelas ini selalu berada dalam lingkup indrawi dan berakar pada keserakahan, kebencian, dan/atau delusi (tiga akar tidak baik). Kelas ini juga dibagi lagi menjadi beberapa subkelas, tergantung pada berbagai faktor, seperti emosi yang dikaitkan dengannya (seperti kegembiraan, ketidaksenangan, keseimbangan, dan lain sebagainya).
  • Resultan (vipāka), merujuk secara spesifik pada hasil kusala dan akusala citta dan dengan demikian bukanlah kusala maupun akusala. Resultan juga dikatakan tanpa-akar karena tidak berakar pada tiga akar yang tidak baik maupun tiga akar yang baik karena resultan semata-mata merupakan hasil atau buah karma.
  • Fungsional (kiriya). Citta dalam kelas ini tidak menghasilkan karma (tidak memiliki potensi karma) dan juga bukan kusala maupun akusala. Beberapa tidak memiliki akar, dan fungsional ini murni merupakan unsur fungsional pikiran. Beberapa dari citta fungsional berakar pada tiga akar yang baik. Citta jenis ini hanya dialami oleh mereka yang telah mencapai pembebasan (Arahat).

Klasifikasi lain adalah “kesadaran indah” (sobhana-citta), yang merupakan “ekspresi untuk semua jenis kesadaran selain dari dua belas kesadaran yang tidak baik dan delapan belas kesadaran yang tanpa-akar.” Kesadaran-kesadaran tersebut disebut indah karena selalu disertai oleh faktor-faktor mental yang indah (lihat di bawah).[84]

Faktor mental (cetasika)

sunting

Faktor-faktor mental adalah bentukan-bentukan atau fabrikasi-fabrikasi mental (saṅkhāra) yang muncul bersamaan dengan citta. Terdapat beberapa kelas cetasika, yang utama adalah:[85]

  • Universal (sabbacittasādhāraṇa cetasika), yang merupakan fungsi kognitif dasar dan elementer "yang umum pada semua jenis kesadaran". Cetasika dalam kelas ini adalah phassa (kontak), vedanā (perasaan), saññā (persepsi), cetanā (kehendak/niat), ekaggatā (kemanunggalan), jīvitindriya (indra kehidupan), dan manasikāra (atensi).
  • Sesekali (pakiṇṇaka cetasika), "faktor-faktor mental 'lain-lain' yang bervariasi secara etis yang hanya ditemukan pada jenis kesadaran tertentu, tidak pada semua jenis kesadaran." Faktor-faktor mental ini bisa "bermanfaat atau tidak bermanfaat tergantung pada jenis kesadaran yang terkait dengannya." Mereka adalah: vitakka (penempelan awal), vicāra (penempelan terus-menerus), adhimokkha (keputusan), viriya (energi), pīti (kegembiraan), dan chanda (hasrat [untuk berbuat]).
  • Tidak baik (akusala cetasika). Faktor-faktor mental dalam kelas ini disertai oleh satu atau beberapa dari tiga akar yang tidak baik. Jumlahnya ada empat belas:
  • Indah (sobhana cetasika), disertai dengan akar-akar yang baik:

Proses kognitif (vīthi)

sunting

Abhidhamma melihat proses kognitif (vīthi) sebagai rangkaian kejadian mental sesaat tanpa substansi, roh, atau diri abadi di balik proses tersebut. Proses ini dimulai dengan kontak sensorik dan setiap kejadian sesaat dalam aliran mental (santāna) yang dikondisikan (paccaya) oleh kejadian sebelumnya. Peristiwa-peristiwa sesaat dan hubungan-hubungannya itu sendiri merupakan kesadaran (citta).[86]

Proses kognitif Abhidhamma bergantung pada teori bhavaṅga ("faktor-kehidupan", "dasar penjelmaan", "kondisi keberadaan"), sebuah inovasi dari Abhidhamma Theravāda. Teori ini menjelaskan cara kesadaran yang pasif dan bebas proses. Menurut Rupert Gethin, tidur lelap adalah "kondisi ketika batin dikatakan beristirahat dan tidak ada proses kesadaran aktif yang terjadi", seperti yang terjadi selama tidur nyenyak tanpa mimpi.[87] Bhhavaṅga juga dikatakan sebagai suatu proses pengondisian kesadaran penyambung kelahiran kembali di masa depan.[87] Akan tetapi, bhavaṅga bukanlah kesadaran yang tanpa-sebab maupun tanpa-objek, kesadaran tersebut juga bukanlah lapisan dasar (substratum), sebab ia harus diganggu gugat agar proses kognisinya dapat dimulai. Bhavaṅga hanyalah apa yang dilakukan batin ketika ia tidak terlibat dalam proses mental kognisi yang aktif.[88] Enam jenis proses kognitif (citta-vithi) dimulai ketika salah satu dari indra (lima indra umum dan batin sebagai indra keenam) diaktifkan oleh sebuah objek (yang bisa memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda).[88]

Elemen atau unsur dasar dari proses kognitif yang lengkap (yang dikatakan memakan waktu 17 "momen kesadaran") dengan objek intens dari salah satu dari lima indra diuraikan sebagai berikut:[89]

  • Satu momen dari bhavaṅga masa lalu yang pasif.
  • Bhavaṅga mulai bergetar sebagai dampak dari adanya objek pada pintu indra.
  • Bhavaṅga terhenti pada satu momen.
  • “Kesadaran yang mengarah pada lima pintu indra” muncul, perhatian bergerak menuju pintu indra.
  • Timbullah kesadaran indrawi, yaitu sekadar kesadaran terhadap objek indrawi.
  • Menurut Karunadasa, langkah selanjutnya adalah "tiga jenis kesadaran (citta) yang menjalankan fungsi menerima (sampaticchana), menyelidiki (santīrana), dan menentukan (votthapana) objek." Masing-masing membutuhkan satu momen citta.
  • Berikutnya adalah tahap "javana" (harfiahnya: "berlari cepat"). Inilah saat batin "berlari cepat" ke objek untuk memahaminya. Proses ini memiliki unsur kognitif, kehendak/niat, dan afektif. Ini adalah satu-satunya bagian dari proses kognitif yang dapat mencakup tindakan kehendak/niat (cetanā). Berbeda dengan kejadian sebelumnya yang hanya berlangsung selama satu momen citta, kejadian ini dikatakan berlangsung selama 7 momen citta.
  • Tahap terakhir disebut dengan "memiliki objek" atau "pendaftaran", yaitu proses yang mengambil sesuatu yang sebelumnya dipahami sebagai objek intensionalnya. Ini butuh dua momen citta.

Mengenai teori tentang persepsi indra dan sifat objek kognitif, pandangan Abhidhamma Theravāda adalah semacam realisme langsung yang mengatakan bahwa kita memang mempersepsikan objek fisik eksternal. Menurut Karunadasa, pandangan Abhidhamma adalah bahwa "objek kesadaran sensorik bukan sekadar kumpulan atom, tetapi kumpulan atom yang disusun bersama dalam cara tertentu."[90]

Mengenai proses kognitif indra batin (batin dianggap sebagai indra keenam dalam Buddhisme), prosesnya serupa dengan yang di atas, tetapi murni terjadi di batin. Proses tersebut terjadi apabila suatu ide atau gambaran mental masuk ke dalam jangkauan indra batin. Ide-ide dapat dihasilkan karena adanya objek fisik, atau juga dapat dihasilkan secara “alami”, yaitu langsung dihasilkan secara batiniah (tanpa bergantung pada objek fisik).[91]

Analisis materi (rūpa)

sunting

Di dalam Abhidhamma Piṭaka, tidak terdapat definisi formal mengenai bentukan materi (rūpa) itu sendiri, tetapi kita dapat menemukan deinisi individual untuk dhamma bersifat materi yang membentuk keberadaan bersifat materi. Dalam kitab komentar, rūpa didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat berubah atau berganti (vikara), dalam artian dapat “diubah bentuknya, diganggu, dibenturkan, ditekan, dan dipatahkan”.[92] Menurut Karunadasa, hal ini dapat ditelusuri kembali ke sebuah bagian sutta ketika Sang Buddha berkata: “Dan mengapa, para bhikkhu, kalian mengatakan bentukan materi (rūpa)? Rūpa mengalami deformasi (ruppati), oleh karena itu ia disebut bentukan materi. Deformasi karena apa? Deformasi karena dingin, panas, lapar, haus, lalat, nyamuk, angin, sengatan matahari, dan binatang melata”.[92]

Posisi Theravāda ortodoks mengenai hakikat fisik (rūpa) adalah bahwa ia merupakan satu dari dua proses utama yang berasal dari ketergantungan seseorang (sebagai bagian dari kompleks batin-jasmani yang disebut nāma-rūpa). Namun, tidak ada dualisme di antara keduanya, keduanya hanyalah kumpulan proses yang saling berinteraksi yang saling bergantung satu sama lain.[93] Seperti yang dicatat oleh Buddhaghosa (Vism, 596), masing-masing dari nāma dan rūpa hanya dapat terjadi jika “didukung oleh” (nissaya) yang lainnya. Nāma dan rūpa seperti orang buta yang menggendong orang lumpuh, atau dua berkas alang-alang yang saling bersandar dan saling menyokong.[93]

Dalam Abhidhamma Theravāda, semua materi diurai menjadi dhamma bersifat materi. Semua rūpa dhamma didasarkan pada kombinasi dan interaksi dari empat mahābhūta, empat fenomena fisik 'pokok', 'utama', atau 'dasar':[93][94]

  • Bumi (pathavī): melambangkan karakteristik kekokohan, kekerasan, berat, dan perluasan.
  • Air (āpa atau āpo): melambangkan sifat likuiditas, fluiditas, mengalir, menetes, mengikat, dan kohesivitas.
  • Api (teja atau tejo) melambangkan panas dan kehangatan, jika tidak ada panas, maka yang ada adalah "dingin".
  • Udara (vāyu atau vāyo) mengacu pada peregangan dan fluktuasi, gerakan konstan dan dinamis.

Dalam Abhidhamma, karakteristik unsur dan unsur itu sendiri adalah hal yang sama sehingga sifat kekerasan suatu objek adalah sama dengan unsur tanah, yang hanya merupakan sebutan untuk karakteristik kekerasan, perluasan, berat, dan sebagainya. Unsur tanah juga sama dengan kelembutan atau keringanan, yang hanya merupakan kurangnya kekerasan atau sifat berat objek.[95]

Dalam Abhidhamma Pāli, empat unsur pokok mulai merujuk pada faktor-faktor atau data yang tidak dapat disederhanakan yang membentuk dunia fisik.[28] Fenomena pokok ini berkumpul membentuk fenomena fisik sekunder atau turunan, seperti organ-organ indra. Jadi, menurut Y Karunadasa, Buddhisme Pāli tidak menyangkal keberadaan dunia luar dan dengan demikian merupakan semacam realisme. Namun, Theravāda juga mengikuti pandangan bahwa rūpa, seperti semua khandha, adalah hampa (suñña), kosong (ritta), dan tidak memiliki esensi (asara).[96]

Rūpa dhamma bukan merupakan substansi ontologis yang bersifat atomik dan hanya digambarkan sebagai deskripsi pragmatis dari dunia pengalaman atau realitas.[97] Menurut Karunadasa, penjelasan rūpa-dhamma mengarah pada jalan tengah antara pandangan bahwa “semuanya adalah kesatuan absolut” (sabbaṁ ekattaṁ) dan bahwa "semuanya adalah keterpisahan absolut" (sabbaṁ puthuttaṁ).[98]

Walaupun dhamma yang bersifat materi sering dibicarakan sebagai entitas individual yang berbeda, penjelasan tersebut hanya untuk tujuan deskripsi konvensional karena dhamma tersebut selalu ada dalam keadaan berasosiasi dan berhubungan dengan dhamma yang bersifat materi lainnya. Mereka selalu muncul bersama-sama, dan selalu bergantung satu sama lain. Semua realitas materi, dengan demikian, mencakup keempat unsur pokok, hanya saja dalam intensitas (ussada) atau kemampuan (samatthiya) yang berbeda.[99]

Unit materi terkecil, disebut kalapa (secara harfiah berarti 'paket'), adalah kumpulan atau gugusan dhamma yang bersifat materi.[100] Istilah kalapa hanya menjadi standar dalam penjelasan kitab-kitab subkomentar dan ia bukan merupakan partikel tunggal, tetapi kumpulan rūpa-dhamma yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan selalu terjadi secara bersamaan (sahajata).[100]

Abhidhamma mencantumkan 27 jenis dhamma yang bersifat materi. Di samping empat dhamma primer sebagai unsur pokok, terdapat berbagai unsur materi turunan atau sekunder (upādā-rūpa) lainnya yang dikondisikan dan didukung oleh unsur materi pokok.[101] Dhamma yang bersifat materi ini termasuk lima organ indra, unsur-unsur indra (seperti suara, bau, dll.), unsur ruang, indra kehidupan materi (jīvitindriya), dan empat fase materi: produksi (upacaya), kesinambungan (santati), kelapukan (jaratā), dan ketidakkekalan materi (aniccatā).[102] Sebagian besar dari hal-hal ini (seperti empat fase dan ruang) sebenarnya hanya dapat diketahui oleh kemampuan pikiran (manāyatana), melalui proses inferensi.[103] Perbedaan utama antara empat dhamma pokok dan dhamma turunan adalah bahwa unsur pokok hanya muncul dalam ketergantungan satu sama lain, sedangkan unsur turunan muncul dalam ketergantungan pada empat unsur pokok.[104]

Ruang dan waktu

sunting

Menurut Karunadasa:[105]

“Mengenai waktu, Abhidhamma Piṭaka relatif tidak membahasnya, mungkin karena di sini waktu tidak ditetapkan sebagai sebuah dhamma. Jika waktu bukan sebuah dhamma, baik yang terkondisi maupun yang tidak terkondisi, ini jelas berarti bahwa waktu adalah sebuah konstruksi mental yang tidak memiliki realitas objektif.”

Dengan demikian, dalam Abhidhamma Theravāda, waktu merupakan sebuah konstruksi konseptual, khususnya ia merupakan sebuah konsep-nama (nāma-paññatti) dan tidak ada dalam pengertian sebenarnya karena ia merupakan sebuah gagasan yang didasarkan pada serangkaian fenomena yang berkesinambungan. Waktu hanyalah konstruksi konseptual, interpretasi mental, yang berdasarkan pada produksi, kesinambungan, dan kelapukan dhamma. Waktu tidak memiliki sifat sendiri (sabhāvato avijjamāna), tidak seperti dhamma.[106]

Hal yang sama juga berlaku bagi ruang (ākasa) yang digambarkan sebagai keberadaan nominal (anipphanna) yang tidak bersifat materi, juga bukan suatu dhamma yang aktual (benar-benar ada), namun hanya sekadar merujuk pada ketiadaan materi.[107] Dalam hal ini, Theravāda tidak setuju dengan aliran Sarvāstivāda-Vaibhāṣika yang menyatakan bahwa ruang (ākasa) merupakan suatu dhamma yang tidak terkondisi.[108]

Mengenai filsafat waktu, aliran Theravāda menganut paham presentisme filosofis, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa hanya dhamma-saat-ini yang ada. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan eternalis dari aliran Sarvāstivāda yang menyatakan bahwa dhamma ada pada ketiga waktu–masa lalu, masa kini, dan masa depan.[109]

Teori momen (khaṇa)

sunting

Para penganut Theravāda awal yang menyusun kitab Kathāvatthu menolak ajaran kesementaraan (Sanskerta: kṣāṇavāda, Pali: khaṇavāda) yang dianut oleh tradisi Abhidharma dari aliran Buddhisme lainnya, seperti Sarvāstivāda. Teori ini menyatakan bahwa semua dhamma berlangsung selama “sesaat”, yang bagi mereka berarti satuan waktu atomistis, yakni interval waktu yang sesingkat-singkatnya.[110] Gagasan bahwa perluasan waktu dari semua dhamma hanya berlangsung selama suatu “momen” yang sangat singkat juga tidak ditemukan dalam sutta.[111]

Menurut Noa Ronkin, kaum Theravādin awal (dalam Abhidhamma Piṭaka) menggunakan istilah “momen” (khaṇa) sebagai ungkapan sederhana untuk “waktu yang singkat”, “yang dimensinya tidak tetap tetapi dapat ditentukan oleh konteksnya”.[110] Di bagian Khaṇikakathā (Kv 22.8) dalam kitab Kathāvatthu, kaum Theravādin berpendapat bahwa "hanya fenomena batin yang bersifat sesaat, sedangkan fenomena materi bertahan dalam jangka waktu tertentu".[110] Pandangan ini bertentangan dengan pandangan aliran lain, seperti Sarvāstivāda, yang berpendapat bahwa dhamma materi dan mental sama-sama bersifat sementara. Kitab Kathāvatthu juga menentang gagasan bahwa kondisi mental dapat berlangsung dalam jangka waktu lama (dan dengan demikian, tidak bersifat sesaat). Pandangan bahwa kondisi mental dapat berlangsung dalam jangka waktu lama dipertahankan oleh beberapa aliran Buddhis, seperti Andhaka, yang tampaknya berpendapat bahwa satu unit kesadaran dapat bertahan selama satu hari (terutama mengacu pada keadaan meditatif yang mendalam).[112] Jadi, gagasan tentang “momen” memang muncul dalam Abhidhamma Piṭaka, tetapi tidak secara luas.

Dari gagasan-gagasan awal ini, kitab komentar Theravāda di kemudian hari mengembangkan teori formal yang lebih teknis mengenai momen (khaṇa), yang menyatakan bahwa setiap kesadaran memiliki tiga momen, yaitu momen awal (uppāda-kkhaṇa), momen durasi atau keberlangsungan (ṭhiti-kkhaṇa), dan momen penghentian (bhaṅga-kkhaṇa).[113] Tiga jenis momen ini sesuai dengan tiga karakteristik yang terkondisikan: jati (kelahiran), jaratā (pembusukan, usia tua), dan bheda (pembubaran, penguraian).[114]

Kitab komentar menjelaskan perubahan hakikat sebuah dhamma dengan menyatakan bahwa mereka memiliki batas waktu yang pasti (awal dan berakhirnya). Maka, dhamma merupakan fenomena sesaat yang muncul, ada pada suatu saat, dan lenyap sepenuhnya pada saat berikutnya. Menurut Karunadasa, "subkomentar untuk Visuddhimagga mendefinisikan vipariṇāma (perubahan) sebagai sabhāva-vigamana, yaitu, sebagai hilangnya sifat-sifat atau kondisi alami [sesuatu]."[115]

Seperti telah disebutkan di atas, dalam Theravāda, dhamma yang bersifat materi bertahan lebih lama daripada dhamma yang bersifat mental. Karunadasa menjelaskan:[116]

Demikian pula dalam memperkenalkan ajaran tentang kesementaraan, kitab Visuddhimagga mengatakan bahwa lenyapnya materi terjadi secara perlahan (dandha-nirodha) dan perubahannya berlangsung lambat (garu-parivatta), sedangkan lenyapnya pikiran terjadi secara cepat (lahu-parivatta) dan perubahannya cepat (khippa-nirodha). Dengan demikian, durasi materi dalam kaitannya dengan batin dihitung untuk menunjukkan bahwa selama satu momen materi, tujuh belas momen batin muncul dan berhenti. Lamanya momen saat timbul dan lenyap adalah sama secara temporal untuk dhamma mental dan materi. Namun, dalam kasus dhamma yang bersifat materi, momen kehadirannya lebih panjang.

Hubungan berkondisi (paṭṭhāna)

sunting

Di samping analisis dhamma, unsur utama lain dari Abhidhamma Theravāda adalah studi tentang bagaimana dhamma bersatu dalam suatu sintesis (saṅgaha) untuk membentuk jaringan hubungan yang saling bergantung. Hal ini disajikan dalam teori tentang berbagai hubungan kondisional yang ada antara berbagai dhamma yang disajikan dalam kitab terakhir (ketujuh) Abhidhamma Piṭaka, yaitu kitab Paṭṭhāna.[117] Tujuan utama teori kondisionalitas ini tetap menjelaskan proses samsara terkait bagaimana penderitaan dapat muncul. Menurut ajaran Buddha Theravāda, tidak ada awal waktu samsara yang dapat dikenali, dan dengan demikian, ajaran Abhidhamma tentang kondisionalitas "memisahkan dirinya dari semua teori kausalitas kosmologis yang berusaha melacak asal mula absolut dari proses dunia dari suatu realitas trans-empiris yang tidak disebabkan."[118]

Abhidhamma Theravāda mempertimbangkan tiga aksioma utama dari kondisionalitas:[118]

  • Segala sesuatu timbul karena sebab dan kondisi, tidak ada sesuatu pun timbul tanpa sebab.
  • Tidak ada yang muncul dari satu penyebab tunggal (ini menolak pandangan monisme atau monoteisme).
  • Tidak ada fenomena yang muncul dengan sendirinya sebagai sesuatu yang tunggal atau menyendiri.

Menurut Karunadasa, pandangan ini membawa pada inti pemahaman Abhidhamma tentang kausalitas, yang dapat diringkas sebagai berikut: "dari pluralitas penyebab, pluralitas akibat terjadi... pluralitas dhamma menghasilkan pluralitas dhamma lainnya."[118] Jadi, dhamma selalu muncul dalam kelompok, misalnya, setiap realitas kesadaran (citta) selalu muncul bersama dengan setidaknya tujuh faktor mental: kontak (phassa), perasaan (vedanā), persepsi (sannā), kehendak (cetanā), kemanunggalan (ekaggatā), indra-kehidupan (jīvitindriya), dan atensi (manasikāra). Demikian pula, setiap unit dasar materi adalah kumpulan delapan faktor materi.[119]

Prinsip penting lain dalam Abhidhamma Theravāda adalah bahwa dhamma tidak ada atau muncul dengan sendirinya, mereka hampa dari kekuatan atau pengaruhnya sendiri. Ini merupakan penolakan terhadap prinsip sebab-akibat diri sendiri (self-causation). Dengan cara yang sama, tidak ada dhamma yang dapat terwujud oleh kekuatan di luar dhamma itu sendiri. Kedua penolakan ini berarti bahwa dhamma hanya muncul karena bantuan dhamma lainnya.[119]

Abhidhamma Theravāda mengajarkan bahwa ada dua puluh empat jenis hubungan kondisional. Terdapat tiga faktor utama yang terlibat dalam hubungan apapun antara dhamma: dhamma yang melakukan pengondisian (paccaya-dhamma), dhamma yang sedang dikondisikan (paccayuppanna-dhamma), dan kekuatan pengondisian (paccaya-satti), yang sebenarnya tidak berbeda dari dhamma yang melakukan pengondisian (namun, sebuah dhamma dapat memiliki lebih dari satu kekuatan pengondisian).[120] Yang terkondisi didefinisikan sebagai "dhamma yang membantu (upakāraka) bagi awal (uppatti) atau keberlangsungan (ṭhiti) dhamma lain yang terkait dengannya. Ini berarti bahwa ketika dhamma tertentu diaktifkan sebagai suatu kondisi atau sebab, maka ia akan menyebabkan dhamma lain yang terkait dengannya muncul, atau jika beberapa dhamma lain tersebut telah muncul, maka ia akan mempertahankan keberadaannya." Perlu dicatat, tidak ada kondisi untuk penghentian suatu dhamma, yang ada hanyalah asal mula dan pemeliharaannya.[121]

Latihan dan kemajuan spiritual

sunting

Pemaparan paling berpengaruh mengenai jalan Abhidhamma Theravāda menuju pembebasan ditemukan dalam kitab Visuddhimagga ("Jalan Pemurnian") karya Buddhaghoṣa.[122]

Kitab Visuddhimagga mencakup beberapa interpretasi yang tidak ditemukan dalam diskursus-diskursus (sutta) masa paling awal.[123] Kitab tersebut menggunakan meditasi dengan objek kasiṇa (lempengan berwarna) sebagai praktik utama yang menjadi model jalan masuk menuju jhāna. Kasiṇa adalah jenis meditasi fokus yang tidak banyak ditemukan dalam sutta terdahulu.[124] Kitab Visuddhimagga juga menguraikan empat jhāna dan empat keadaan nonmateri secara rinci. Kitab ini juga menguraikan empat puluh pokok bahasan meditasi (kammaṭṭhāna) dan menyarankan agar seseorang bertanya kepada orang yang berpengetahuan untuk mengetahui meditasi mana yang sesuai dengan kecenderungannya.[125]

Kitab Visuddhimagga menganalisis praktik jalan Buddhis yang dibagi menjadi tiga aspek utama: 1) Sīla (moralitas atau akhlak); 2) Samādhi (konsentrasi yang dicapai melalui meditasi); 3) Paññā (pemahaman spiritual, kebijaksanaan). Kitab terebut juga memberikan gambaran yang lebih luas tentang jalan menuju pembebasan, yang dibagi menjadi tujuh tahap utama yang disebut "Tujuh Tahap Pemurnian" (satta-visuddhi).[126] Tahapan ini berdasarkan pada Rathavinīta Sutta ("Diskursus Barisan Kereta," MN 24).[127]

Bagian tentang kebijaksanaan juga menyediakan tinjauan mendalam mengenai proses meditasi vipassanā ("pandangan terang"), dan tahap-tahap bertahapnya atau "kemajuan pandangan terang" (visuddhiñāṇa-katha). Kemajuan ini dijelaskan melalui total enam belas tahap pandangan terang atau pengetahuan pandangan terang (vipassanā-ñāṇa).[128]

Catatan

sunting
  1. ^ Karunadasa menjelaskan: "Analisis menunjukkan bahwa apa yang kita anggap satu sebenarnya banyak, apa yang tampak sebagai kesatuan hanyalah gabungan dari beberapa faktor. Tujuannya adalah untuk membuang sama sekali gagasan tentang diri atau substansi, kepercayaan bahwa ada inti yang dalam dan tidak berubah dalam objek pengalaman kita. Namun, analisis hanya dapat mencapai tujuan ini sebagian, karena ketika ia menghilangkan gagasan tentang substansi dari apa yang dianalisis, yang dilakukannya hanyalah memindahkan gagasan tentang substansi dari satu tempat ke tempat lain, dari keseluruhan ke bagian-bagian, dari hal yang dianalisis ke faktor-faktor yang menjadi tempat analisisnya. Gagasan tentang hutan yang substansial lenyap, memberi tempat kepada banyak pohon yang sama substansialnya. Ketidakcukupan metode analisis ini dapat diperbaiki ketika dilengkapi dengan sintesis (saṅgaha), yaitu, keterkaitan faktor-faktor yang diperoleh melalui analisis. Sintesis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dianalisis bukanlah entitas-entitas terpisah yang berdiri sendiri, melainkan simpul-simpul yang saling terhubung dan saling bergantung dalam jaringan hubungan yang kompleks, sehingga tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut dapat diangkat ke tingkat substansi atau entitas diri yang terpisah. Jadi, baik analisis maupun sintesis bersatu untuk menunjukkan bahwa apa yang dianalisis dan faktor-faktor yang dianalisis sama-sama tidak substansial.

    Analysis shows that what we take to be one is really many, what appears to be a unity is only a union of several factors. Its purpose is to dispense altogether with the notion of self or substance, the belief that there is an inner and immutable core in our objects of experience. However, analysis can achieve this objective only partially, for when it dispels the notion of substance from what is analysed all that it does is to transfer the notion of substance from one locus to another, from the whole to the parts, from the thing which is analysed to the factors into which it is analysed. The notion of the substantial forest vanishes, yielding place to a multiplicity of equally substantial trees. This inadequacy of the analytical method could be remedied when it is supplemented by synthesis (saṅgaha), i.e., the interrelating of the factors obtained through analysis. Synthesis shows that the factors into which a thing is analysed are not discrete entities existing in themselves but inter-connected and inter-dependent nodes in a complex web of relationships, so that none of them could be elevated to the level of a substance or discrete self-entity. Thus both analysis and synthesis combine to demonstrate that what is analysed and the factors into which it is analysed are equally non-substantial." (Karunadasa (2010) hal. 20–21.)

Referensi

sunting
  1. ^ Sibajiban Bhattacharyya, Noble Ross Reat, Parmanabh S. Jaini (1970). Abhidharma Buddhism to 150 A.D. hal. 305. Motilal Banarsidass Publ.
  2. ^ "Abhidhamma Pitaka." Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.
  3. ^ Skilling, Peter. “Scriptural Authenticity and the Śrāvaka Schools: An Essay towards an Indian Perspective.” The Eastern Buddhist, vol. 41, no. 2, 2010, hal. 1–47. JSTOR, www.jstor.org/stable/44362554. Diakses 25 Feb. 2020.
  4. ^ Bodhi (2000), hal. 3.
  5. ^ Kalupahana, David; A history of Buddhist philosophy, continuities and discontinuities, page 206.
  6. ^ Damien Keown (2004). A Dictionary of Buddhism. Oxford University Press. hal. 2. ISBN 978-0-19-157917-2.
  7. ^ "Abhidhamma Pitaka." Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.
  8. ^ Foundations of Buddhism, Oxford University Press, 1998, hal. 48
  9. ^ Cox (2004). MacMillan Encyclopedia of Buddhism. 1. MacMillan Reference USA. ISBN 0-02-865719-5. 
  10. ^ Frauwallner, Erich. Kidd, Sophie Francis (translator). Steinkellner, Ernst (editor). Studies in Abhidharma Literature and the Origins of Buddhist Philosophical Systems. SUNY Press. hal. 18, 100.
  11. ^ a b Tse-fu Kuan. Abhidhamma Interpretations of “Persons” (puggala): with Particular Reference to the Aṅguttara Nikāya. J Indian Philos (2015) 43:31–60 DOI:10.1007/s10781-014-9228-5
  12. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 2.
  13. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 2
  14. ^ Nyanamoli (2011), hal. xxvii.
  15. ^ Karunadasa (2010), hal. 3.
  16. ^ Bodhi (2000), hal. xxiii–xxiv.
  17. ^ Braun, Erik (2013). The Birth of Insight: Meditation, Modern Buddhism, and the Burmese Monk Ledi Sayadaw, hal. 63. University of Chicago Press.
  18. ^ Braun, Erik (2013). The Birth of Insight: Meditation, Modern Buddhism, and the Burmese Monk Ledi Sayadaw, hal. 50–63. University of Chicago Press.
  19. ^ Karunadasa (2010), hal. xi, 17.
  20. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  21. ^ Karunadasa (2010), hal. 19.
  22. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 15.
  23. ^ a b Y. Karunadasa, The Dhamma Theory Philosophical Cornerstone of the Abhidhamma, Buddhist Publication Society Kandy, Sri Lanka
  24. ^ Ronkin, Noa (2011). Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition (Routledge curzon Critical Studies in Buddhism), hal. 2.
  25. ^ Potter, Buswell, Jaini; Encyclopedia of Indian Philosophies Volume VII Abhidharma Buddhism to 150 AD, hal. 121.
  26. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, hal. 2.
  27. ^ Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 41.
  28. ^ a b Karunadasa, Y. Buddhist Analysis of Matter, hal. 14.
  29. ^ Karunadasa (2010), hal. 9.
  30. ^ Karunadasa (2010), hal. 8.
  31. ^ Karunadasa (2010), hal. 21.
  32. ^ Karunadasa (2010), hal. 22.
  33. ^ Karunadasa (2010), hal. 43.
  34. ^ Karunadasa (2010), hal. 45.
  35. ^ a b Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 112.
  36. ^ Karunadasa (2010), hal. 34.
  37. ^ Y. Karunadasa, The Dhamma Theory Philosophical Cornerstone of the Abhidhamma, Buddhist Publication Society Kandy, Sri Lanka, http://www.bps.lk/olib/wh/wh412_Karunadasa_Dhamma-Theory--Philosophical-Cornerstone-of-Abhidhamma.html
  38. ^ Karunadasa (2010), hal. 36.
  39. ^ Harvey, in Introduction to Buddhism, hal. 87 wrote:
  40. ^ Karunadasa (2010), hal. 37.
  41. ^ Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 111.
  42. ^ Karunadasa (2010), hal. 39.
  43. ^ Karunadasa (2010), hal. 40.
  44. ^ Crosby, 2013, 182.
  45. ^ Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 92.
  46. ^ Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 77.
  47. ^ Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 118.
  48. ^ a b Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 47.
  49. ^ Ven. Rewata Dhamma, Process of Consciousness and Matter: The Philosophical Psychology of Buddhism, chapter 1
  50. ^ Crosby, 2013, 187.
  51. ^ Karunadasa (2010), hal. 47.
  52. ^ a b c Karunadasa (2010), hal. 48.
  53. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 49.
  54. ^ Karunadasa (2010), hal. 50.
  55. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 51.
  56. ^ Karunadasa (2010), hal. 52.
  57. ^ Karunadasa (2010), hal. 53.
  58. ^ Karunadasa (2010), hal. 53–55.
  59. ^ a b c d e f g h i Karunadasa, Y. Theravada Version of the Two Truths
  60. ^ a b c Tse-fu Kuan, Abhidhamma Interpretations of " Persons " (puggala): with Particular Reference to the Aṅguttara Nikāya, J Indian Philos (2015) 43:31–60 DOI:10.1007/s10781-014-9228-5
  61. ^ K.N. Jayatilleke, Early Buddhist Theory of Knowledge, London, 1963, hal. 52.
  62. ^ Karunadasa (2010), hal. 12.
  63. ^ Ronkin (2005), hal. 175–176.
  64. ^ Ronkin (2005), hal. 177–178.
  65. ^ Ronkin (2005), hal. 179.
  66. ^ Ronkin (2005), hal. 180.
  67. ^ Ronkin (2005), hal. 180–181.
  68. ^ Thích, Thiện Châu (1984) The Literature of the Personalists, hal. 201–202.
  69. ^ Karunadasa (2010), hal. 68-69.
  70. ^ Karunadasa (2010), hal. 69.
  71. ^ Karunadasa (2010), hal. 70.
  72. ^ Karunadasa (2010), hal. 71–72
  73. ^ Karunadasa (2010), hal. 73.
  74. ^ Karunadasa (2010), hal. 74.
  75. ^ Karunadasa (2010), hal. 75.
  76. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 76.
  77. ^ Karunadasa (2010), hal. 77.
  78. ^ Karunadasa (2010), hal. 78–79.
  79. ^ Karunadasa (2010), hal. 79.
  80. ^ Karunadasa (2010), hal. 80.
  81. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 82.
  82. ^ Karunadasa (2010), hal. 82, 91–96.
  83. ^ Karunadasa (2010), hal. 83–90.
  84. ^ Karunadasa (2010), hal. 97.
  85. ^ Karunadasa (2010), hal. 98, 115, 126.
  86. ^ Karunadasa (2010), hal. 138.
  87. ^ a b Gethin, Bhavaṅga and Rebirth According to the Abhidhamma
  88. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 140.
  89. ^ Karunadasa (2010), hal. 142-143.
  90. ^ Karunadasa (2010), hal. 149.
  91. ^ Karunadasa (2010), hal. 150-151.
  92. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 152.
  93. ^ a b c Harvey, Peter; The mind-body relationship in Pali Buddhism: A philosophical investigation, Asian Philosophy, Vol. 3 No. 1 1993, hal. 29–41
  94. ^ Karunadasa (2010), hal. 152-153, 164-167.
  95. ^ Karunadasa (2010), hal. 164.
  96. ^ Karunadasa, Y. Buddhist Analysis of Matter, hal. 169.
  97. ^ Karunadasa, Y. Buddhist Analysis of Matter, hal. 14, 172; "If we base ourselves on the Pali Nikayas, then we should be compelled to conclude that Buddhism is realistic. There is no explicit denial anywhere of the external world. Nor is there any positive evidence to show that the world is mind-made or simply a projection of subjective thoughts. That Buddhism recognizes the extra-mental existence of matter and the external world is clearly suggested by the texts. Throughout the discourses it is the language of realism that one encounters. The whole Buddhist practical doctrine and discipline, which has the attainment of Nibbana as its final goal, is based on the recognition of the material world and the conscious living beings living therein."
  98. ^ Karunadasa, Y. Buddhist Analysis of Matter, hal. 175.
  99. ^ Karunadasa (2010), hal. 168–169.
  100. ^ a b Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hal. 58.
  101. ^ Karunadasa (2010), hal. 161.
  102. ^ Karunadasa (2010), hal. 154.
  103. ^ Karunadasa (2010), hal. 155.
  104. ^ Karunadasa (2010), hal. 162.
  105. ^ Karunadasa (2010), hal. 224.
  106. ^ Karunadasa (2010), hal. 226.
  107. ^ Karunadasa (2010), hal. 230, 233.
  108. ^ Karunadasa (2010), hal. 232.
  109. ^ K. L. Dhammajoti, Sarvāstivāda Abhidharma, hal. 66
  110. ^ a b c Ronkin, Noa, Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition (Routledge curzon Critical Studies in Buddhism) 2011, hal. 62.
  111. ^ Karunadasa (2010), hal. 234.
  112. ^ Karunadasa (2010), hal. 236–237.
  113. ^ Karunadasa (2010), hal. 238–239.
  114. ^ Karunadasa (2010), hal. 249–250.
  115. ^ Karunadasa (2010), hal. 252.
  116. ^ Karunadasa (2010), hal. 259.
  117. ^ Karunadasa (2010), hal. 262.
  118. ^ a b c Karunadasa (2010), hal. 263.
  119. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 264.
  120. ^ Karunadasa (2010), hal. 264–265.
  121. ^ Karunadasa (2010), hal. 265.
  122. ^ PV Bapat. Vimuttimagga & Visuddhimagga – A Comparative Study, lvii
  123. ^ Kalupahana, David J. (1994), A history of Buddhist philosophy, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited
  124. ^ Bhikkhu Thanissaro, Concentration and Discernment
  125. ^ Sarah Shaw, Buddhist meditation: an anthology of texts from the Pāli canon. Routledge, 2006, hal. 6–8. A Jataka tale gives a list of 38 of them. .
  126. ^ Gunaratana, Henepola (1994). The Path of Serenity and Insight, hal. 143–174. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited
  127. ^ Shankman, Richard (2008). The Experience of Samadhi: An In-depth Exploration of Buddhist Meditation, hal. 53. Shambhala
  128. ^ Mahasi Sayadaw; Nyanaponika Thera (1994). The Progress of Insight (visuddhiñana-katha).

Daftar pustaka

sunting