Samādhi
Samādhi (bahasa Sansekerta: समाधि) adalah sebuah ritual konsentrasi tingkat tinggi, melampaui kesadaran alam jasmani yang terdapat dalam agama Hindu, Buddhisme, Jainisme, Sikhisme, dan aliran yoga.[1][2] Samadhi juga merupakan fase tertinggi dalam delapan fase penguasaan Yoga.[2] Ketika memasuki fase samadhi, kemampuan analitis dan logika menjadi tak berfungsi atau diam.[2] Menurut Kamus Bhargava, Samadhi adalah fase terkuat dari yoga di mana seseorang memperoleh kekuatan untuk menangguhkan hubungan antara tubuh dan jiwa selama yang Ia suka.[1] Samadhi juga dipahami sebagai sebuah bagian dari ritual keagamaan, berbeda dengan semadi ataupun meditasi, yang mana keduanya merupakan praktik latihan konsentrasi yang digunakan di luar ritual keagamaan.[1]
Dalam hal kesadaran, digambarkan bahwa samadhi menekankan non-dualistik, di mana kesadaran subjek menjadi satu dengan objek yang dialami atau yang ada di luarnya, dan di saat ini juga pikiran menjadi diam, terfokus pada satu hal atau terkonsentrasi sementara orang tetap sadar.[2] Sedangkan dalam ajaran Buddha,hal ini dapat juga merujuk keadaan patuh di mana pikiran menjadi sangat tenang dan sama sekali tidak menyatu dengan objek perhatian, dengan demikian dapat diperoleh wawasan dan aliran perubahan mengenai pengalaman.[3]
Etimologi
suntingKata samadhi pertama kali digunakan dalam literatur bahasa Sansekerta dalam kitab Maitri Upanishad.[4]
Kata samadhi sendiri secara umum berarti “konsentrasi” atau “tak terganggu”, sedangkan secara istilah pembangkitan kesadaran dengan cara melakukan meditasi.[4] Lalu, ditelusuri etimologi kata tersebut berasal dari bahasa Pali yang merupakan gabungan dari awalan sam (berarti “kesatuan” atau “integrasi”), a (“menuju”), dan terakhir dha (“pencapaian tujuan atau intelektual”).[4] Pendapat lainnya mengatakan samadhi merupakan kata kerja dari samadahati yang berarti “meletakkan segalanya, berkonsentrasi, menggabungkan” segala hal yang ada di dalam benak atau pikiran.[4] Pendapat lainnya mengatakan bahwa makna kata samadhi adalah keadaan setimbang (sama) dan pelepasan intelektual manusia (dhi).[5] Selain itu istilah ini bisa juga diartikan sebagai keseragaman (sam) dan penetapan (dhi) yang berarti menetapkan diri untuk sepenuhnya seragam dalam kesadaran diri yang hakiki.[5] Jadi dari etimologi tersebut ditarik kesimpulan bahwa samadhi adalah usaha untuk memeperoleh keseluruhan, tujuan, atau kebenaran (samapatti).[5]
Hindu
suntingDalam ajaran Hindu, Samadhi merupakan bagian dari tata cara ritual beragama yang dijelaskan di kitab Yoga Sutra pada bab pertama dengan judul Samadhi-pada.[6] Begitu pula Vyasa, seorang tokoh berpengaruh dalam ajaran Hindu dan juga pengarang buku Mahabharata menjelaskan mengenai samadhi yang sama saja seperti yoga dari segi praktiknya.[6]
Selain itu, ajaran hindu juga tidak hanya menekankan konsep samadhi sebagai keadaan damai yang tanpa isi, melainkan seseorang mengubah kesadarannya menjadi fokus pada rasa bahagia dan tenteram mengikuti aliran kehidupan.[6]
Tingkatan Samadhi dalam ajaran hindu
suntingDalam ajaran Hindu, samadhi dibagi menjadi lima tingkatan: laya samadhi, savikalpa samadhi, nirvikalpa samadhi, sahaja samadhi, dan mahasamadhi.[7] Pada tingkat pertama laya samadhi seseorang mengenal untuk pertama kalinya bentuk dari kedamaian dan kebahagiaan melalui nyanyian, tarian, atau aktivitas harian lainnya.[7] Pada fase ini seseorang mulai menumbuhkan dan mengenal bakat potensial dalam dirinya untuk melanjutkan samadhi ke tingkat berikutnya.[7]
Dalam tingkatan kedua, savikalpa samadhi, sang meditator akan megalami sensasi perjalanan ruang dan waktu secara berbeda.[8] Pada masa-masa samadhi ini, sang medtator berusaha memahami penyempurnaan samadhi.[8] Segala macam perasaan dan pikiran-pikiran membanjiri benaknya, tetapi secara sadar dia memadamkannya.[8]
Yang ketiga adalah Nirvikalpa Samadhi, yang mana dalam fase ini sang pertapa akan mengalami puncak kebahagiaan yang luar biasa.[8] Dia merasakan seakan-akan dunia dan seisinya berjalan mengikuti dirinya.[8] Seseorang biasanya dapat mengalami fase Nirvikalpa Samadhi dalam beberapa jam atau beberapa hari, dan hanya orang-orang dengan kekuatan spiritual tertinggi yang bisa mengalami hal ini.[8] Orang dalam fase ini juga dikabarkan mengalami kesulitan untuk berkomunikasi layaknya manusia biasa.[8]
Yang keempat adalah Sahaja Samadhi yaitu sebuah fase supremasi dari samadhi, yakni sang meditator telah sepenuhnya menguasai dunia spiritual dan kesulitan memahami dunia materi.[8] Saat mengalami sahaja samadhi seseorang akan merasa telah dekat dengan zat sang maha kuasa.[8]
Kelima adalah mahasamadhi, ini adalah fase akhir yakni sang meditator telah meninggalkan tubuhnya secara utuh dan pergi menyatu dengan Tuhan.[8]
Menjaga samadhi
suntingMelakukan samadhi membutuhkan kesiapan dan niat yang kuat, bahkan mempertahankan kemurniannya lebih sulit lagi.[9] Tingkatan samadhi yang dasar seperti laya dan savikalpa sifatnya temporer dan dapat terhapus dalam waktu singkat.[9] Kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan tingkatan samadhi disebabkan oleh ganggguan-gangguan dari dalam diri sendiri seperti emosi dan pikiran.[9] Sebaliknya, orang yang telah menempuh ajaran samadhi hingga ke tingkat nirvikalpa pun harus tetap menjaga kesadarannya di alam dunia nyata.[9] Oleh karena itu seorang yang hendak belajar samadhi sebaiknya meminta bantuan seorang guru spiritual yang disebut dhamma.[9]
Samadhi mandir
suntingSamadhi mandir adalah sebuah istilah dalam agama Hindu yang berarti sebuah kuil untuk memperingati seorang guru yang mampu mencapai peringkat mahasamadhi, atau dalam artian mereka yang telah meninggal tetapi pernah masuk ke dalam tahap samadhi selama hidupnya.[10]
Dalam hal ini mereka dihormati sebagai orang yang berhasil mencapai tahap samadhi yang sejati, menyatu dengan tuhan dengan mati.[10] Di dalam samadhi mandiri itu sendiri terkadang terdapat mayat yang dikubur atau tidak ada mayat sama sekali, karena fungsi utamanya hanyalah sebagai tempat menghormati guru ritual samadhi.[10]
Buddhisme
suntingBagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Samadhi diperkenalkan dalam ajaran Buddha melalui Pali Canon dari tradisi Theravada dan dari berbagai aliran ajaran Buddha lainnya.[11] Dari sumber-sumber naskah yang ditemukan, ajaran mengenai samadhi pernah diterangkan pada:
- Sebagai salah satu dari tiga cabang utama dari jalan utama berunsur delapan yang merupakan ranting nasihat etika budhisme.[11] Dari delapan ranting itu terbagi menjadi tiga cabang etika dasar: pertama kebijaksanaan yang berisi pandangan benar dan tujuan benar, lalu kedua kelakuan yang berisi bicara benar, aksi benar, dan hidup dengan benar, ketiga adalah samadhi yang berisi usaha yang benar kehati-hatian dan konsentrasi yang benar.[11] Jadi ajaran Samadhi merupakan ajaran pokok dalam etika dasar Buddha.[11]
- Ritual samadhi juga masuk ke dalam tiga latihan kebenaran dasar ajaran Buddha yang terdiri dari: sila (moral dan kebajikan), samadhi, dan panna (kebijaksanaan)[11]
- Dari Empat Jhanna, yaitu empat langkah yang salah satu poinnya adalah samadhija.[11]
Ajaran Buddha mengatakan jika seseorang mengalami peningkatan dalam melakukan samadhi jiwa dan pikirannya akan bersih dari segala noda, lebih tenang, damai, dan bercahaya.[12] Selain itu, jika sang meditator memiliki daya konsentrasi yang kuat maka batinnya telah siap untuk melihat kebenaran sejati dari seisi dunia.[12]
Hanya saja, di dalam ajaran Buddha kebahagiaan dunia bukanlah tujuan utama dalam melakukan Samadhi, tetapi tetap saja hal itu merupakan alat untuk memperoleh pencerahan.[12] Seiring berkembangnya ilmu mengenai samadhi, aliran Buddha mulai membuka berbagai macam meditasi samadhi yang berbeda-beda demi mencapai derajat ketenangan batin dibandingkan memperoleh pengetahuan sejati.[12] Meski demikian perkembangan ajaran samadhi yang dibawakan oleh tiap-tiap aliran tidak melenceng dari Empat Pondasi Kedamaian ajaran Buddha yang disebut dengan Jhana.[12]
Kekuatan supranatural
suntingKitab umat Buddha, sutta menyebutkan bahwa para pelaku yang melakukan samadhi dapat meningkat kekuatan supranaturalnya (kekuatan itu disebut dengan abhijna atau siddhis), telah terbukti terdapat beberapa biksu yang mendapatkan kekuatan supernatural.[13] Meski demikian melakukan samadhi demi mendapatkan keuntungan sihir sangatlah tidak diperbolehkan, karena hal itu dapat menyimpang dari tujuan utama yaitu memperoleh pembebasan dari penderitaan di dunia.[13]
Sikhisme
suntingSamadhi dalam ajaran agama Sikh merujuk pada ritual yang dilakukan untuk mengingat dan berfokus kepada satu tuhan: Waheguru.[14]
Bagi para jemaah agama Sikh, samadhi dilakukan dengan semata-mata pengabdian kepada tuhannya.[14] Mereka harus lebih sering berkontemplasi atau memasukan tuhan ke dalam inti hatinya yang terdalam, sehingga kadang-kadang mereka merasa telah bersama-sama dengan tuhannya.[14] Bahkan salah satu sumber kitab Sikh mengatakan agar para jemaatny tetap terjaga dan tidak pernah sekalipun luput perhatiannya atas tuhannya.[14]
Dalam aliran agama Sikh juga diterangkan bahwa prinsip utama dari ajaran samadhi milik mereka adalah bagaimana memposisikan pikiran dengan sang pencipta, tidak peduli bagaimana keadaan posisi fisik mereka.[14] Jadi dengan ini mereka tidak terlalu menekankan prinsip yoga, semadi, meditasi atau lain sebagainya. Beberapa tokoh dari mereka bahkan pernah berkata “Aku hidup dan terhisap dalam samadhi, selamanya aku bersama dengan Tuhan. Sembari bernyanyi aku ber-samadhi memanggil tuhanku.”[14]
Kondisi fisik dalam Samadhi
suntingGelombang otak
suntingGelombang otak berubah-ubah tergantung tingkat kesadaran yang diraih individu.[15] Ketika seseorang sepenuhnya sadar akan segala hal di lingkungannya, atau berpikir mengenai suatu hal, otaknya berada pada posisi beta.[15] Lalu ketika dia melakukan kontemplasi mengenai banyak hal dan berpikir terfokus pada sesuatu, gelombang otak menurun di posisi Alfa, jika turun lagi maka berubah menjadi Teta.[15] Terakhir adalah posisi Delta, sebuah tingkat di mana otak dalam keadaan sangat tenang. Kondisi ini biasa dialami ketika orang tertidur sangat pulas, tak bermimpi.[15] Orang yang otaknya masuk ke dalam gelombang Delta dalam keadaan sadar dipercaya sebagai orang berpengalaman atau praktisioner, karena fase ini amat sulit untuk diraih.[15] Posisi ini lah yang terdapat pada individu yang masuk ke dalam samadhi.[15]
Kondisi tubuh
suntingHingga saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum dapat menjelaskan fenomena aneh yang terjadi dalam tubuh sang meditator ketika melakukan samadhi.[16] Meski demikian, sebenarnya para ilmuwan Hindu telah bertahun-tahun lamanya berusaha menjelaskan fenomena samadhi.[16] Para ilmuwan dan agamawan yang berkontribusi dalam hal ini adalah:
Shiv Puran
Shiv Puran adalah salah satu tokoh dari India yang menjelaskan mengenai fenomena Samadhi dalam diri seseorang.[17] Menurutnya, segala kesadaran secara keseluruhan kembali ke dalam tubuh sang meditator hingga dalam jumlah terkecil, lalu kesadaran ini terkurung di dalam dirinya, meskipun pada saat itu Ia terlihat tenang, tidak bergerak.[17] Selain itu, pada saat bersamadhi, seseorang tidak dapat memikirkan tentang hal lain ataupun mempercayai sesuatau, dan mereka kehilangan fungsi indranya: kulit tidak merasakan sentuhan, telinga tak dapat mendengar apapun, hidung tidak dapat mencium bau, lidah tidak dapat merasa.[17] Tubuh orang tersebut kaku layaknya pohon, dan ketika mereka berhasil menyatukan diri dengan sang Brahma (dewa alam semesta) maka Ia telah berada dalam zona samadhi.[17]
Hath Yog Pradipika
Teks Yog Hath Pradipika menjelaskan bahwa orang yang melakukan samadhi melampaui alam sadar dan segala macam rasa, mental dan fisik.[18] Seorang yogi yang dalam keadaan samadhi kesadaran di dalam dan di luar dirinya ternatrilisir menjadi nol, berubah menjadi ketenangan absolut.[18] Ketenangan absolut ini sama seperti tubuh yang tak bernyawa.[18]
Patanjali Yogdarshanam dan Mahopanishad
Mahopanishad berpendapat bahwa ketika fase samadhi muncul seluruh pikiran dan ambisi lenyap tak ada bekas.[19] Seorang yogi menjadi tidak menyadari apakah dirinya sedang tertidur, bermimpi, ataupun sadar diri karena mereka telah berada dalam kondisi sempurna.[19] Lalu menurut Yogdarshanam, ketika seluruh tubuh dan eksistensi alam tampak tenang, maka seseorang telah mencapai fase samadhi.[19]
Penelitian ilmiah
Dalam sebuh penelitian, dengan mengggunakan elektrogram, menemukan bahwa detak jantung dan aliran listrik biologis di dalam tubuh sang yogi ketika berada dalam fase samadhi benar-benar lemah dan cenderung untuk berhenti berdetak.[20] Hal ini dibuktikan dalam risetnya kepada seorang pria berumur 60 tahun yang pernah melakukan samadhi di bawah tanah selama delapan hari.[20] Sebuah benda bernama elektrogram, disingkat ECG, diletakkan bersamanya dan melakukan pengawasan pada jantungya sebelum dan setelah melakukan yoga.[20]
Pada hari pertama yoga, grafik indikator detak jantung masih menunjukkan keadaan normal, detak jantung masih terdeteksi.[20] Di hari kedua, setelah seorang yogi berada di dalam lubang selama 29 jam, garis grafik melemah pertanda tak ada aliran listrik biologis dari dalam tubuh; jantung sang yogi berhenti.[20] Kejadian ini berlangsung hingga berhari-hari.[20]
Baru lah pada hari ketujuh, elektrograf kembali mendeteksi aktivitas detak jantung sang yogi, hal ini dikarenakan sang yogi telah mengetahui terlebih dahulu bahwa mendekati hari ke delapan pintu lubang akan dibuka.[20] Setelah penelitian tersebut dilakukan, sayangnya hingga saat ini para peneliti tersebut belum bisa memberikan kesimpulan mengenai penelitian tersebut.[20]
Para tokoh pelaku Samadhi
suntingTerdapat beberapa tokoh agama dan yogi terkenal yang pernah berhasil melakukan samadhi dan menerbitkan hasil pengalaman spiritualnya. Tokoh-tokoh tersebut sangat banyak jumlahnya, tetapi beberapa di antaranya memiliki pengalaman yang cukup menarik di antara yang lainnya, mereka adalah:
Sri Ramakrishna Paramhansa
Ramakrishna dapat masuk dalam samadhi selama berjam-jam dan perlahan kembali lagi dalam keadaan normalnya.[21] Anehnya, jantungnya sama sekali tidak berdetak selama samadhi.[21] Selain itu, Sri Totapuri, guru dari Paramhansa juga pernah menceritakan bahwa muridnya pernah melakukan nirvikalpa samadhi.[21] Ceritanya pada suatu hari Ia hendak menemui Paramhansa di rumahnya, setibanya dia di sana sama sekali tak ada yang menjawab salamnya.[21] Tiga hari berlalu, dia pun penasaran dan membuka pintu dengan paksa.[21] Betapa terkejut dia ketika melihat Ramakrishna ternyata duduk dengan tenang, tidak berubah sejak terakhir kali Ia meninggalkannya.[21] Dia pun langsung mengecek kondisinya, dan dia sama sekali tidak merasakan detak jantung ataupun aliran napas. Dia menyimpulkan pada saat itu Paramhansa sedang melakukan nirvikalpa samadhi.[21]
Sri Chaitanya Mahaprabhu
Sri Chaitanya Mahaprabu (1485-1533) adalah seorang yogi yang sering melakukan samadhi dan dapat kembali sadar dengan mudah.[22] Diceritakan pada suatu hari di pantai, Ia pernah kehilangan kesadaran lalu tenggelam di dalam laut.[22] Setelah beberapa jam kemudian, Ia ditemukan oleh seorang nelayan.[22] Sang nelayan panik karena Mahaprabu sama sekali tak sadarkan diri, tetapi perlahan-lahan dia mulai sadar dengan senyuman di wajahnya.[22]
Lahiri Mahasaya
Lahiri Mahasaya adalah satu-satunya tokoh dari Hindu yang dapat melakukan samadhi tanpa perlu bermeditasi; Ia dapat masuk ke dalam fase samadhi sambil berbicara.[23] Suatu hari muridnya dokter Chandramohan mengobrol dan bercanda-canda dengan Lahiri Mahasaya. Mahasaya pun bertanya apakah pertanda orang meninggal, dan muridnya mengatakan bahwa detak jantungya pasti lah berhenti.[23] Mahasaya meminta Chandramohan memeriksa denyut nadinya, tidak berdenyut, Chandramohan pun kaget.[23]
Rujukan
sunting- ^ a b c Pathak, R. C. (June 1981). Bhargava's Concise Hindi-English Dictionary (edisi ke-6th). French & European Pubns. ISBN 978-0828817448.
- ^ a b c d Diener Michael S.,Erhard Franz-Karl and Fischer-Schreiber Ingrid, The Shambhala Dictionary of Buddhism and Zen, ISBN 0-87773-520-4
- ^ Richard Shankman, The Experience of Samadhi - an in depth Exploration of Buddhist Meditation, Shambala publications 2008
- ^ a b c d T. W. Rhys Davis (n.d.). 'Introduction to the Subha Sutta'. Source: Metta.lk (accessed: Thursday December 24, 2009)
- ^ a b c http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Samadhi
- ^ a b c Thomas L. Palotas, Divine Play: the Silent Teaching of Shivabalayogi (Lotus Press, 2006, ISBN 0-9760783-0-9), pp.45, 77-79.
- ^ a b c Parikshiti Mhaispurkar. "Samadhi - A Scientific Phenomenon?". yogapoint.com.
- ^ a b c d e f g h i j Talks with Sri Ramana Maharshi. 2006. hlm. 391.
- ^ a b c d e Palotas, Thomas (2006). Divine Play: the Silent Teaching of Shivabalayogi. Lotus Press. hlm. 226. ISBN 0-9760783-0-9.
- ^ a b c d [1] Diarsipkan 2014-06-17 di Wayback Machine. Samadhi Mandir, Sri Sai Baba Sansthran
- ^ a b c d e f Brasington, Leigh (1997). Sharpening Manjushri's Sword: The Jhanas in Theravadan Buddhist Meditation
- ^ a b c d e [2] Diarsipkan 2014-07-18 di Wayback Machine. The Noble Eightfold Path by Bhikkhu Bodhi.
- ^ a b [3] SIDDHIS: Supernomal Perceptual States
- ^ a b c d e f [4] Sikhism and Tantric Yoga
- ^ a b c d e f http://my.yoga-vidya.org/profiles/blogs/samadhi-a-heightened-state-of-awareness
- ^ a b Swami, Vivekananda (1994). The Complete works of Swami Vivekananda (edisi ke-Mayavati memorial ed.). Calcutta: Advaita Ashrama. hlm. Chapter 3. ISBN 978-8185301761.
- ^ a b c d Shiv Puran. Uttarkhand: VaayviyaSahinta. hlm. chapter 37, verse 62, 65 and 66.
- ^ a b c Hath Yog Pradipika. Chowkhamba Krishnadas Academy Publishers. hlm. Verse 56. ISBN 8121802016.
- ^ a b c Patanjali-Yogdarshanam. Kumar Govindram Hasanand Publishers. pp. Chapter 3, Verse 109.ISBN 8170771555
- ^ a b c d e f g h Gupta, Arum (1973). "The yogic claim of voluntary control over the heart beat: an unusual demonstration". American Heart Journal. 86 (2): 282–284.
- ^ a b c d e f g Haridas, Bhattacharyya (2002). Cultural Heritage of India. Vedanta Press (RK Institute of Culture). p. 672.ISBN 978-8187332053.
- ^ a b c d Bhaskarananda, Swami (2001). Meditation, mind & Patanjali's Yoga: a practical guide to spiritual growth for everyone. Seattle: Viveka Press. p. 155. ISBN 978-1884852039.
- ^ a b c Kaviraj, Gopinath (2009). Bharatiya Sanskriti aur Sadhana. New Delhi: Bihar Rashtra Bhasha Parishad. pp. 29–30.