Gajah

hewan darat besar berbelalai, hidup di Afrika dan Asia
(Dialihkan dari Elephas maximus)

Gajah (dari Sanskerta: gaja), liman[1], atau biram[2] adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Secara tradisional, terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia (Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah semak afrika dan gajah hutan afrika adalah spesies yang berbeda (L. africana dan L. cyclotis). Gajah tersebar di seluruh Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Elephantidae adalah satu-satunya famili dari ordo Proboscidea yang masih ada; famili lain yang kini sudah punah termasuk mamut dan mastodon. Gajah afrika jantan merupakan hewan darat terbesar dengan tinggi hingga 4 m dan massa yang juga dapat mencapai 7.000 kg. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang paling mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal, terutama untuk bernapas, mengisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh menjadi taring yang dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda atau menggali. Daun telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka. Gajah afrika memiliki telinga yang lebih besar dan punggung yang cekung, sementara telinga gajah asia lebih kecil dan punggungnya cembung.

Gajah
Rentang waktu: Pliosen–Sekarang
Seekor gajah afrika di Taman Nasional Mikumi, Tanzania
Seekor gajah afrika di Taman Nasional Mikumi, Tanzania
Klasifikasi ilmiahEdit this classification
Domain: Eukaryota
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Proboscidea
Superfamili: Elephantoidea
Famili: Elephantidae
Kelompok yang termasuk
Peta persebaran spesies-spesies gajah yang masih ada
Peta persebaran spesies-spesies gajah yang masih ada
Kelompok yang tidak termasuk secara tradisional, namun secara kladistik termasuk

Mammuthus Brookes,1828 (punah)

Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat, seperti sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa. Mereka cenderung berada di dekat air. Gajah dianggap sebagai spesies kunci karena dampaknya terhadap lingkungan. Hewan-hewan lain cenderung menjaga jarak dari gajah, dan predator-predator seperti singa, harimau. hyena, dan anjing liar biasanya hanya menyerang gajah muda. Gajah betina cenderung hidup dalam kelompok keluarga, yang terdiri dari satu betina dengan anak-anaknya atau beberapa betina yang berkerabat beserta anak-anak mereka. Kelompok ini dipimpin oleh individu gajah yang disebut matriark, yang biasanya merupakan betina tertua. Gajah memiliki struktur kelompok fisi-fusi, yaitu ketika kelompok-kelompok keluarga bertemu untuk bersosialisasi. Gajah jantan meninggalkan kelompok keluarganya ketika telah mencapai masa pubertas, dan akan tinggal sendiri atau bersama jantan lainnya. Jantan dewasa biasanya berinteraksi dengan kelompok keluarga ketika sedang mencari pasangan dan memasuki tahap peningkatan testosteron dan agresi yang disebut musth, yang membantu mereka mencapai dominasi dan keberhasilan reproduktif. Anak gajah merupakan pusat perhatian kelompok keluarga dan bergantung pada induknya selama kurang lebih tiga tahun. Gajah dapat hidup selama 70 tahun di alam bebas. Mereka berkomunikasi melalui sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara; gajah juga menggunakan infrasonik dan komunikasi seismik untuk jarak jauh. Kecerdasan gajah telah dibandingkan dengan kecerdasan primata dan cetacea. Mereka tampaknya memiliki kesadaran diri dan menunjukkan empati kepada gajah lain yang hampir atau sudah mati.

Gajah afrika digolongkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), sementara gajah asia diklasifikasikan sebagai spesies terancam. Salah satu ancaman terbesar bagi gajah adalah perdagangan gading yang memicu perburuan liar. Ancaman lain adalah kehancuran habitat dan konflik dengan penduduk setempat. Di sisi lain, gajah digunakan sebagai hewan pekerja di Asia. Dulu mereka pernah digunakan untuk perang; kini, gajah sering kali dipertontonkan di kebun binatang dan sirkus. Gajah dapat dengan mudah dikenali dan telah digambarkan dalam seni, cerita rakyat, agama, sastra, dan budaya populer.

Etimologi

Dalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Minangkabau, dan Aceh, hewan ini disebut "gajah". Kata ini sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, "gaja", yang merupakan kata dasar dari kata benda maskulin. Dalam kasus nominativus (sebagai subjek yang berdiri sendiri), "gaja" yang berbentuk tunggal seharusnya mengalami deklinasi menjadi "gajas", tetapi kata ini kemudian terkena hukum bunyi s di akhir kata dan berubah menjadi h, sehingga menjadi "gajah".[3] Sementara itu, gajah dikenal dengan sebutan "elephant" dalam bahasa Inggris. Kata "elephant" berasal dari bahasa Latin elephas (bentuk genitivus elephantis), yang merupakan Latinisasi dari kata ἐλέφας, elephas (bentuk genitivus ἐλέφαντος, elephantos) dalam bahasa Yunani;[4] kata tersebut kemungkinan berasal dari bahasa non-Indo-Eropa, yaitu Fenisia.[5] Kata e-re-pa dan e-re-pa-to digunakan di Yunani Mikenai dalam aksara silabis Linear B.[6][7] Seperti di Yunani Mikenai, Homeros menggunakan kata tersebut untuk menyebut gading, tetapi setelah masa Herodotos istilah tersebut juga merujuk pada hewan gajah.[4] Pendahulu kata "elephant", yaitu olyfaunt, baru muncul dalam bahasa Inggris Pertengahan sekitar tahun 1300, dan kata tersebut dipinjam dari kata dalam bahasa Prancis Kuno, oliphant (abad ke-12).[5] Di sisi lain, Loxodonta, yang merupakan nama genus gajah afrika, berasal dari bahasa Yunani yang berarti "gigi bersisi miring".[8]

Taksonomi

Klasifikasi, spesies, dan subspesies

 
Gajah asia di Taman Nasional Bandipur, India.
 
Perbandingan morfologi kepala dan bagian depan tubuh gajah asia (1) dan gajah afrika (2).

Gajah tergolong dalam famili Elephantidae, satu-satunya famili dalam ordo Proboscidea yang masih ada. Kerabat terdekat yang masih ada meliputi sirenia (dugong dan lembu laut) dan hyrax; mereka berada dalam klad yang sama, yaitu klad Paenungulata dalam superordo Afrotheria.[9] Gajah dan sirenia juga dikelompokan dalam klad Tethytheria.[10] Secara tradisional, terdapat dua spesies gajah yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia (Elephas maximus). Gajah afrika memiliki telinga yang besar, punggung yang cekung, kulit yang lebih berkerut, daerah perut yang miring, dan dua perpanjangan yang seperti jari di ujung belalai. Telinga gajah asia lebih kecil, punggungnya cembung, kulitnya lebih halus, daerah perutnya horizontal dan kadang-kadang melengkung di tengah, dan ujung belalainya hanya memiliki satu perpanjangan. Tonjolan (ridge) di gigi geraham gajah asia lebih sempit bila dibandingkan dengan geraham gajah afrika yang berbentuk seperti berlian. Gajah asia juga memiliki benjolan di bagian dorsal (atas) kepalanya dan tanda-tanda depigmentasi di kulitnya.[11]

Zoolog Swedia Carl Linnaeus pertama kali mendeskripsikan genus Elephas dan seekor gajah dari Sri Lanka dengan nama binomial Elephas maximus pada tahun 1758. Kemudian, pada tahun 1798, Georges Cuvier mengklasifikasikan gajah india dengan nama binomial Elephas indicus. Zoolog Belanda Coenraad Jacob Temminck mendeskripsikan gajah sumatra pada tahun 1847 dengan nama binomial Elephas sumatranus, sementara zoolog Inggris Frederick Nutter Chasen mengklasifikasikan ketiganya sebagai subspesies gajah asia pada tahun 1940.[12] Subspesies gajah asia memiliki perbedaan warna dan kadar depigmentasi. Gajah sri lanka (Elephas maximus maximus) menghuni Sri Lanka, gajah india (E. m. indicus) berasal dari daratan asia (di anak benua India dan Indochina), dan gajah sumatra (E. m. sumatranus) dapat ditemui di pulau Sumatra.[11] Salah satu subspesies yang diperdebatkan, yaitu gajah borneo, tinggal di Borneo utara dan lebih kecil daripada subspesies-subspesies yang lain. Gajah ini juga memiliki telinga yang lebih besar, ekor yang lebih panjang, dan taring yang lebih lurus daripada gajah biasa. Zoolog Sri Lanka Paules Edward Pieris Deraniyagala pada tahun 1950 mendeskripsikannya dengan nama trinomial Elephas maximus borneensis, dengan menjadikan ilustrasi di National Geographic sebagai spesimen tipenya.[13] Gajah ini kemudian digolongkan sebagai E. m. indicus atau E. m. sumatranus. Analisis genetik pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nenek moyang gajah borneo terpisah dari populasi di daratan Asia sekitar 300.000 tahun yang lalu.[14] Namun, penelitian pada tahun 2008 mengindikasikan bahwa gajah borneo tidak berasal dari pulau tersebut, tetapi dibawa oleh Sultan Sulu dari Jawa sebelum tahun 1521.[13]

 
Gajah hutan afrika di Taman Nasional Ivindo, Gabon.

Gajah afrika pertama kali dinamai oleh naturalis Jerman Johann Friedrich Blumenbach pada tahun 1797 dengan nama binomial Elephas africana.[15] Genus Loxodonta dinamai oleh Georges Cuvier pada tahun 1825. Cuvier mengejanya Loxodonte dan seorang penulis anonim meromanisasi ejaan tersebut menjadi Loxodonta; Peraturan Internasional bagi Tata Nama Zoologi telah mengakui perubahan ini.[16] Pada tahun 1942, 18 subspesies gajah afrika telah diakui oleh Henry Fairfield Osborn, tetapi data morfologis telah mengurangi jumlah subspesies yang terklasifikasi,[17] dan pada tahun 1990-an hanya terdapat dua subspesies yang diakui, yaitu gajah semak afrika (L. a. africana) dan gajah hutan afrika (L. a. cyclotis);[18] gajah hutan afrika memiliki telinga yang lebih kecil dan bundar, sementara taringnya lebih lurus dan kurus, dan habitatnya terbatas pada wilayah berhutan di Afrika Barat dan Tengah.[19] Jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 berpendapat agar kedua subspesies tersebut diangkat menjadi spesies L. africana dan L. cyclotis berdasarkan morfologi tengkorak.[20] Penelitian DNA yang diterbitkan pada tahun 2001 dan 2007 juga menunjukkan bahwa mereka adalah spesies yang berbeda,[21][22] sementara penelitian pada tahun 2002 dan 2005 menyimpulkan bahwa keduanya adalah spesies yang sama.[23][24] Akan tetapi, hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 mendukung pengubahan status menjadi spesies.[25] Hingga tahun 2011, penamaan gajah afrika dalam taksonomi masih diperdebatkan.[26] Edisi ketiga Mammal Species of the World menggolongkan gajah semak afrika dan gajah hutan afrika sebagai spesies yang terpisah,[16] dan tidak memasukkan subspesies manapun ke dalam spesies Loxodonta africana.[16] Pendekatan ini tidak diikuti oleh World Conservation Monitoring Centre atau IUCN, yang menganggap L. cyclotis sebagai sinonim dari L. africana.[27][28] Beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah di Afrika Barat adalah spesies yang terpisah,[29] tetapi hal ini masih diperdebatkan.[24][26] Sementara itu, gajah kerdil di Cekungan Kongo yang diduga merupakan spesies terpisah (Loxodonta pumilio) kemungkinan merupakan gajah hutan yang memiliki ukuran kecil dan/atau kematangan awal akibat keadaan lingkungan di sekitar.[30]

Evolusi dan kerabat yang sudah punah

Diperkirakan terdapat lebih dari 161 anggota ordo Proboscidea dan tiga peristiwa radiasi evolusioner. Kemunculan hewan-hewan Proboscidea pertama, yaitu Eritherium dan Phosphatherium dari Afrika pada kala Paleosen akhir, menjadi tanda terjadinya peristiwa radiasi pertama.[31] Pada kala Eosen, terdapat Anthracobunidae dari anak benua India dan Numidotherium, Moeritherium, dan Barytherium dari Afrika. Hewan-hewan ini relatif kecil dan bersifat akuatik. Nantinya, genera seperti Phiomia dan Palaeomastodon muncul; habitat Palaeomastodon kemungkinan berada di hutan atau daerah berhutan terbuka. Keanekaragaman Proboscidea mulai berkurang pada kala Oligosen.[32] Salah satu spesies penting dari kala ini adalah Eritreum melakeghebrekristosi dari Tanduk Afrika, yang mungkin merupakan nenek moyang gajah.[33] Pada awal periode Miosen terjadi diversifikasi kedua dengan munculnya Deinotheriidae dan Mammutidae. Deinotheriidae memiliki kekerabatan dengan Barytherium dan hidup di Afrika dan Eurasia,[34] sementara Mammutidae mungkin merupakan keturunan Eritreum[33] dan menyebar ke Amerika Utara.[34]

 
Kerangka Moeritherium di Jepang.

Peristiwa radiasi evolusioner kedua berlangsung dengan munculnya gomphothere pada kala Miosen,[34] yang kemungkinan berevolusi dari Eritreum;[33] famili ini berasal dari Afrika dan menyebar ke semua benua kecuali Australia dan Antartika. Anggota kelompok ini meliputi Gomphotherium dan Platybelodon.[34] Radiasi evolusioner ketiga terjadi pada akhir Miosen dan mengakibatkan munculnya famili Elephantidae, yang berasal dari gomphothere dan secara perlahan menggantikan mereka.[35] Primelephas gomphotheroides dari Afrika menghasilkan Loxodonta, Mammuthus, dan Elephas. Loxodonta adalah percabangan pertama, yang berlangsung antara kala Miosen dan Pliosen, sementara Mammuthus dan Elephas berpisah pada awal kala Pliosen. Loxodonta tetap menghuni Afrika, sementara Mammuthus dan Elephas menyebar ke Eurasia, dan Mammuthus mencapai Amerika Utara. Pada saat yang sama, Stegodontidae (famili Proboscidea lain yang merupakan keturunan dari gomphothere) menyebar di Asia, termasuk di anak benua India, Tiongkok, Asia Tenggara, dan Jepang. Mammutidae terus berevolusi menjadi spesies baru, seperti mastodon amerika.[36]

 
Model Mammuthus primigenius di Royal BC Museum, Victoria, British Columbia.

Pada awal kala Pleistosen, tingkat spesiasi Elephantidae meninggi. Loxodonta atlantica menjadi spesies yang paling umum di Afrika bagian utara dan selatan, tetapi digantikan oleh Elephas iolensis pada akhir kala Pleistosen. Spesies Loxodonta modern baru menjadi dominan setelah Elephas iolensis mengalami kepunahan. Elephas berdiversifikasi menjadi spesies baru di Asia, seperti E. hysudricus dan E. platycephus;[37] E. platycephus kemungkinan merupakan nenek moyang gajah asia modern.[38] Mammuthus berevolusi menjadi beberapa spesies, termasuk spesies Mammuthus primigenius yang terkenal.[37] Pada kala Pleistosen Akhir, akibat terjadinya glasiasi kuarter, sebagian besar spesies Proboscidea mengalami kepunahan, dan kurang lebih 50% genera dengan massa lebih dari 5 kg musnah.[39]

Proboscidea mengalami beberapa tren evolusi, seperti pembesaran ukuran, yang membuat banyak spesies memiliki tinggi hingga mencapai 4 m.[40] Seperti megaherbivora lainnya, termasuk Sauropoda yang telah punah, ukuran gajah mungkin berkembang untuk memungkinkan mereka bertahan dengan memakan tumbuhan bernutrisi rendah.[41] Tungkai mereka tumbuh menjadi lebih panjang dan kakinya menjadi lebih pendek dan luas. Proboscidea awal memiliki tulang rahang yang lebih panjang dan kranium (batok kepala) yang lebih kecil, sementara Proboscidea selanjutnya memiliki tulang rahang yang lebih pendek, yang menggeser pusat gravitasi kepala. Tengkorak menjadi lebih besar, terutama kraniumnya, sementara leher memendek agar lebih dapat menopang tengkorak. Pembesaran ukuran mengakibatkan munculnya belalai yang membantu menjangkau sesuatu. Jumlah gigi geraham kecil, gigi seri, dan gigi taring berkurang. Gigi geraham dan geraham kecil menjadi lebih besar dan terspesialisasi. Gigi seri kedua atas berubah menjadi taring, yang mungkin berbentuk lurus, melengkung (ke atas atau ke bawah), atau berputar (tergantung spesies). Pada beberapa spesies Proboscidea, taringnya berasal dari gigi seri bawahnya.[40] Gajah masih menunjukkan beberapa karakteristik yang merupakan turunan dari nenek moyang mereka yang akuatik, seperti anatomi telinga tengah dan testis internal pada jantan.[42]

Terdapat perdebatan mengenai hubungan kekerabatan antara Mammuthus dengan Loxodonta atau Elephas. Beberapa penelitian DNA menunjukkan bahwa Mammuthus lebih berhubungan erat dengan Loxodonta,[43][44] sementara penelitian lainnya meyakini kedekatan Mammuthus dengan Elephas.[10] Namun, analisis genom mitokondrial Mammuthus primigenius (diurutkan tahun 2005) membuktikan bahwa Mammuthus lebih dekat dengan Elephas.[21][25][45] Bukti morfologis menunjukkan bahwa Mammuthus dan Elephas adalah takson saudara, sementara hasil perbandingan protein albumin dan kolagen mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan di antara ketiganya kurang lebih sama.[46] Beberapa ilmuwan meyakini bahwa embrio mamut hasil kloning suatu saat dapat dimasukkan ke rahim gajah asia[47]

Spesies kerdil

 
Kerangka gajah kerdil kreta.

Beberapa spesies Proboscidea hidup di pulau dan mengalami dwarfisme. Hal ini berlangsung pada kala Pleistosen, ketika beberapa populasi gajah terisolasi akibat meningkatnya permukaan laut, walaupun gajah kerdil sudah ada pada kala Pliosen awal. Gajah-gajah tersebut kemungkinan menyusut karena ketiadaan populasi predator yang besar dan sumber daya yang terbatas. Sebaliknya, mamalia seperti hewan pengerat mengalami gigantisme dalam keadaan seperti ini. Proboscidea kerdil pernah hidup di Indonesia, Kepulauan Channel California, dan beberapa pulau di Laut Tengah.[48]

Elephas celebensis di Sulawesi diyakini merupakan hasil dwarfisme dari Elephas planifrons. Elephas falconeri di Malta dan Sisilia (yang tingginya hanya mencapai 1 m) kemungkinan berevolusi dari Palaeoloxodon antiquus. Keturunan Palaeoloxodon antiquus lainnya pernah ada di Siprus. Gajah kerdil yang tidak diketahui nenek moyangnya juga pernah hidup di Kreta, Kyklades, dan Dodecanese, sementara mamut kerdil pernah ada di Sardinia.[48] Sementara itu, mamut kolumbia memasuki Kepulauan Channel California dan berevolusi menjadi mamut pigmi (Mammuthus exilis). Tinggi spesies ini mencapai 1,2 hingga 1,8 m dan massanya kurang lebih 200 hingga 2.000 kg. Populasi mamut berbulu kecil pernah bertahan hidup di Pulau Wrangel, kini 140 km di sebelah utara pesisir Siberia, hingga 4.000 tahun yang lalu.[48] Setelah ditemukan pada tahun 1993, mereka dianggap sebagai mamut kerdil.[49] Klasifikasi ini telah ditinjau ulang dan semenjak Konferensi Mammoth Internasional Kedua pada tahun 1999, hewan-hewan tersebut tidak lagi dianggap sebagai "mamut kerdil" yang sesungguhnya.[50]

Anatomi dan morfologi

 
Kerangka gajah afrika.

Gajah adalah hewan darat terbesar di dunia. Tinggi gajah afrika kurang lebih 3 hingga 4 m dan massanya bervariasi antara 4.000 hingga 7.000 kg, sementara tinggi gajah asia adalah 2 hingga 3,5 m dan massanya 3.000 hingga 5.000 kg.[11] Gajah jantan lebih besar dari gajah betina, baik itu pada gajah asia maupun afrika.[12][15] Di antara gajah-gajah afrika, gajah di hutan lebih kecil daripada gajah di sabana.[19] Kerangka gajah terdiri dari 326–351 tulang.[51] Tulang punggungnya terhubung dengan persendian yang erat, sehingga membatasi fleksibilitas tulang tersebut. Gajah afrika memiliki 21 pasang rusuk, sementara gajah asia memiliki 19 atau 20 pasang.[52]

Tengkorak gajah dapat menahan gaya yang dihasilkan oleh pengungkitan taring dan tubrukan kepala-ke-kepala. Bagian belakang tengkorak merata dan memiliki lengkungan yang melindungi otak di segala arah.[53] Di tengkorak terdapat rongga-rongga udara yang mengurangi beban tengkorak dan pada saat yang sama juga tetap mempertahankan kekuatan tengkorak tersebut secara keseluruhan. Rongga-rongga ini membuat bagian dalam tengkorak tampak seperti sarang madu. Kranium (batok kepala) gajah sendiri besar dan memiliki ruang untuk otot yang menopang seluruh kepala. Rahang bawahnya padat dan berat.[51] Akibat ukuran kepalanya yang besar, leher gajah relatif pendek agar lebih dapat menopang kepala.[40] Mata gajah bergantung pada kelenjar harderian untuk menjaga kelembabannya karena gajah tidak memiliki aparatus lakrimal. Membran pengelip melindungi bola mata. Ruang pandang gajah sendiri dipersempit oleh lokasi dan keterbatasan pergerakan mata.[54] Gajah merupakan hewan dikromat [55] dan dapat melihat dengan baik dalam cahaya redup, tetapi tidak dalam cahaya terang.[56] Rata-rata suhu tubuh gajah adalah 35,9 °C (97 °F), yang serupa dengan manusia. Seperti unta, gajah dapat meningkatkan atau mengurangi suhunya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.[57]

Telinga

 
Gajah afrika dengan telinga yang membentang saat sedang merasa terancam atau sedang memperhatikan; amati pembuluh darah yang dapat terlihat di telinga gajah ini.

Telinga gajah memiliki landasan yang tebal dan ujung yang tipis. Daun telinga gajah, atau pina, memiliki sejumlah pembuluh darah yang disebut pembuluh darah kapiler. Darah yang hangat mengalir ke pembuluh darah kapiler, sehingga membantu mengeluarkan panas tubuh yang berlebih. Hal ini berlangsung ketika pina berada pada posisi diam, dan gajah dapat mengeluarkan lebih banyak panas dengan mengepakkan daun telinganya. Semakin luas permukaan telinga, semakin banyak jumlah pembuluh darah kapiler, sehingga lebih banyak panas yang dapat dikeluarkan. Di antara semua gajah, gajah semak afrika hidup di iklim terpanas, sehingga memiliki daun telinga terbesar.[58]

Telinga gajah juga mampu mendengarkan frekuensi yang rendah dan paling sensitif pada frekuensi 1 kHz.[59]

Belalai

Belalai atau proboscis adalah penggabungan hidung dengan bibir atas, walaupun pada tahap fetus bibir atas dan belalai masih terpisah.[40] Belalai gajah panjang dan terspesialisasi agar dapat dengan mudah digerakkan. Belalai memiliki kurang lebih 150.000 fasikulus otot, tanpa tulang dan sedikit lemak. Terdapat dua jenis otot: superfisial (di permukaan) dan internal. Otot superfisial terbagi menjadi otot dorsal, ventral, dan lateral, sementara otot internal terbagi menjadi otot melintang dan menyebar. Otot-otot belalai terhubung dengan bukaan bertulang di tengkorak. Septum nasal terdiri dari satuan-satuan otot kecil yang membentang secara horizontal di antara lubang hidung. Tulang rawan memisahkan lubang hidung di dasarnya.[60] Sebagai bentuk hidrostat otot, belalai digerakkan dengan mengkoordinasi kontraksi otot secara tepat. Otot-otot bekerja bersama dan berlawanan satu sama lain. Saraf proboscis yang unik–yang terbentuk dari saraf maksilaris dan fasialis–menjalar di kedua sisi belalai.[61]

 
Gajah afrika sedang mengangkat belalainya; hal ini dilakukan ketika hendak menerompet.

Belalai gajah memiliki beberapa fungsi, seperti bernapas, mencium bau, menyentuh, menggapai, dan menghasilkan suara.[40] Indra penciuman gajah mungkin empat kali lebih sensitif daripada anjing bloodhound.[62] Kemampuan belalai untuk melintir dan melingkar memungkinkan pengambilan makanan, bergelut dengan sesamanya,[63] dan mengangkat beban dengan massa hingga 350 kg.[40] Belalai gajah dapat pula digunakan untuk menyeka mata dan memeriksa lubang pada tubuh,[63] serta untuk membuka kulit kacang tanpa memecahkan isinya.[40] Dengan belalainya, gajah dapat menjangkau ketinggian hingga 7 m dan menggali untuk mencari air di bawah lumpur atau pasir.[63] Individu gajah dapat memiliki kecenderungan tertentu dalam menggerakkan belalainya saat sedang mencoba menggapai sesuatu dengan menggunakan belalai: beberapa cenderung melintirkan belalainya ke arah kiri, sementara yang lain ke arah kanan.[61] Gajah dapat menghisap air untuk diminum atau disiramkan ke tubuh mereka.[40] Gajah asia dewasa dapat menampung 8,5 liter air di belalainya.[60] Mereka juga menyemprotkan debu atau rumput pada diri mereka sendiri.[40] Selain itu, saat berada di bawah air, gajah menggunakan belalainya sebagai snorkel untuk bernapas.[42]

Gajah afrika memiliki dua perpanjangan yang berbentuk seperti jari di ujung belalai, yang memungkinkannya untuk menjangkau dan mengangkut makanan ke mulutnya. Gajah asia hanya memiliki satu perpanjangan, dan biasanya membelit makanan dengan belalainya dan kemudian memasukkannya ke mulutnya.[11] Gajah asia lebih dapat melakukan koordinasi otot dan mampu melakukan tugas yang lebih rumit.[60] Tanpa belalai, gajah sulit bertahan hidup,[40] walaupun terdapat beberapa contoh gajah dengan belalai pendek yang berhasil bertahan. Seekor gajah pernah terlihat sedang memakan rumput dengan berlutut di bagian tungkai depan, mengangkat tungkai belakangnya, dan mengambil rumput dengan menggunakan bibir.[60]

Gajah semak afrika dapat mengalami "sindrom belalai terkulai" (floppy trunk syndrome), yaitu kelumpuhan belalai yang disebabkan oleh degradasi sistem saraf tepi dan otot.[64]

Gigi

 
Gigi anak gajah semak afrika yang sudah mati.

Pada umumnya gajah memiliki 26 gigi: gigi seri, yang disebut taring, 12 gigi geraham kecil susu, dan 12 gigi geraham. Tidak seperti kebanyakan mamalia yang pada awalnya memiliki gigi susu yang kemudian digantikan oleh gigi dewasa permanen, gajah merupakan hewan polifiodon, atau dalam kata lain memiliki siklus rotasi gigi sepanjang hidupnya. Gigi untuk mengunyah diganti enam kali selama masa hidup gajah. Gigi lama tidak digantikan oleh gigi baru yang tumbuh di rahang (seperti pada kebanyakan mamalia), tetapi gigi baru tumbuh di bagian belakang mulut dan maju ke depan dan mendorong keluar gigi lama. Gigi pengunyah pertama di kedua sisi rahang akan tanggal setelah gajah berumur dua atau tiga tahun. Rangkaian kedua gigi pengunyah tanggal saat gajah berusia enam tahun, dan lalu yang ketiga tanggal pada umur 9–15 tahun. Rangkaian keempat gigi pengunyah akan tetap bertahan hingga usia 18–28 tahun. Rangkaian kelima akan tanggal pada awal umur 40-an, dan yang keenam (biasanya merupakan gigi terakhir) akan tetap ada hingga akhir hayat. Gigi gajah memiliki tonjolan (ridge), dan tonjolan ini lebih tebal dan berbentuk seperti berlian pada gajah afrika.[65]

Taring

 
Gajah asia memakan kulit pohon dengan menggunakan taring untuk mengupasnya.

Taring gajah merupakan modifikasi gigi seri kedua di rahang atas. Taring tersebut menggantikan gigi susu ketika gajah berumur 6–12 bulan dan tumbuh sekitar 17 cm per tahun. Taring yang baru tumbuh memiliki lapisan enamel yang nantinya akan luntur. Dentin pada taring disebut gading dan di penampang melintang terdapat pola garis yang berselang-seling, yang menghasilkan area berbentuk berlian. Sebagai jaringan yang hidup, taring sendiri relatif rembut; taring gajah kurang lebih sekeras mineral kalsit. Sebagian besar taring dapat dilihat dari luar, sementara sisanya melekat pada sendi di tengkorak. Paling tidak sepertiga taring merupakan pulpa dan beberapa taring memiliki saraf yang membentang hingga ke ujung. Maka sulit untuk mengambil taring gajah tanpa melukai hewannya. Jika diambil, gading mulai mengering dan akan pecah bila tidak disimpan di tempat yang dingin dan lembap. Taring memiliki beberapa fungsi. Taring dapat digunakan untuk menggali untuk menemukan air, garam, dan akar; menguliti atau menandai pohon; dan menyingkirkan pohon dan cabang yang menghalangi jalan. Saat sedang berkelahi, taring digunakan untuk menyerang dan bertahan, serta untuk melindungi belalai.[66]

Seperti manusia yang memiliki preferensi menggunakan tangan kanan atau kiri, gajah juga memiliki preferensi dalam menggunakan taring kiri atau kanannya. Taring yang dominan biasanya tampak sudah sering digunakan karena biasanya lebih pendek dan memiliki ujung yang lebih tumpul. Pada gajah afrika, baik jantan maupun betina sama-sama memiliki taring, dan panjangnya kurang lebih sama (yaitu mencapai 3 m),[66] tetapi taring jantan cenderung lebih tebal.[67] Sementara itu, pada gajah asia, hanya jantan yang memiliki taring besar. Gajah asia betina memiliki taring yang sangat kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali.[66] Terdapat pula gajah jantan yang tak bertaring dan biasanya dapat ditemui di Sri Lanka.[68] Panjang taring gajah asia jantan dapat menyamai taring gajah afrika, tetapi taring gajah asia biasanya lebih tipis dan ringan; taring gajah asia terbesar yang pernah diketahui memiliki panjang 3,02 m dan massa 39 kg. Namun, akibat perburuan gading di Afrika,[69] and Asia[70] terjadi proses seleksi alam yang menghasilkan taring yang lebih pendek.[71]

Kulit

 
Gajah afrika yang baru selesai berkubang; lumpur mungkin digunakan sebagai pelindung dari matahari.

Kulit gajah pada umumnya sangat keras, dengan ketebalan 2,5 cm di punggung dan sebagian kepalanya. Kulit di sekitar mulut, anus, dan di dalam telinga jauh lebih tipis. Warna kulit gajah pada umumnya abu-abu, tetapi gajah afrika tampak berwarna kecoklatan atau kemerahan setelah berkubang di lumpur yang berwarna. Gajah asia mungkin menunjukkan tanda-tanda depigmentasi, terutama di dahi, telinga, dan kulit di sekitarnya. Anak gajah memiliki rambut yang berwarna kecoklatan atau kemerahan, terutama di kepala dan punggungnya. Begitu gajah menjadi dewasa, rambut mereka menjadi lebih gelap dan jarang, tetapi konsentrasi rambut dan rambut kejur (bristle) yang padat masih dapat ditemui di ujung ekor, dagu, alat kelamin, dan di sekitar mata dan bukaan mata. Gajah asia umumnya memiliki lebih banyak rambut daripada gajah afrika.[72]

Gajah menggunakan lumpur untuk melindungi kulitnya dari sinar ultraviolet, walaupun kulit gajah sebenarnya sangat sensitif. Bila gajah tidak secara rutin berkubang dalam lumpur, kulitnya akan mengalami kerusakan akibat sinar matahari, gigitan serangga, dan hilangnya kelembaban. Setelah berkubang, gajah biasanya menggunakan belalainya untuk menyemburkan debu ke tubuhnya, dan debu ini akan mengering menjadi kerak pelindung. Gajah mengalami kesulitan dalam mengeluarkan panas dari kulitnya karena rasio luas permukaan terhadap volumenya yang jauh lebih rendah dari manusia. Beberapa gajah bahkan didapati sedang mengangkat tungkai mereka, kemungkinan untuk memaparkan tapak kakinya ke udara.[72]

Tungkai, pergerakan, dan postur

 
Gajah asia sedang berjalan.

Posisi tungkai gajah lebih vertikal daripada mamalia lain untuk menopang beban gajah. Tulang-tulang yang panjang di tungkai mereka memiliki tulang spongiosa sebagai pengganti rongga meduler, sehingga memperkuat tulang dan pada saat yang sama masih memungkinkan hemopoesis.[73] Baik tungkai depan maupun belakang dapat menopang beban gajah, walaupun 60% beban ditopang oleh tungkai depan.[74] Karena tulang-tulang tungkai berada di bagian bawah tubuh, gajah dapat berdiam diri dalam waktu yang lama tanpa perlu menghabiskan banyak energi. Gajah tidak dapat memutar tungkai depannya karena tulang hasta dan pengumpilnya berada pada posisi pronasi (penelungkupan) yang tetap; "telapak" manusnya selalu menghadap ke belakang.[73] Otot pronator kuadratus dan pronator teres biasanya mengalami reduksi atau tidak ada sama sekali.[75] Kaki gajah yang bundar memiliki jaringan lunak di bawah manus atau pes, yang mendistribusikan beban gajah.[74] Mereka tampaknya memiliki tulang sesamoid, yang merupakan “jari kaki” tambahan yang serupa dengan “ibu jari” tambahan pada panda raksasa, yang turut membantu mendistribusikan beban.[76] Paling tidak terdapat lima jari kaki di kaki depan dan belakang.[11]

Gajah dapat bergerak ke depan atau belakang, tetapi tidak dapat berderap, melompat, atau mencongklang. Mereka hanya memiliki dua gaya berjalan di darat, yaitu berjalan biasa dan berjalan cepat.[73] Saat berjalan, tungkai bergerak seperti bandul, dengan pinggul dan bahu yang naik dan turun sementara kaki berada di tanah. Tanpa adanya “fase udara”, gaya berjalan yang cepat tidak memenuhi kriteria “berlari”, walaupun gajah menggunakan tungkainya seperti hewan pelari lainnya.[77] Saat sedang bergerak cepat, tungkai depan gajah tampak “berlari”, sementara tungkai belakangnya tampak “berjalan”; laju gajah yang bergerak cepat sendiri dapat mencapai 18 km/jam.[78] Untuk bergerak dengan kecepatan seperti ini, sebagian besar hewan berkaki empat lainnya harus mencongklang. Kinetika yang seperti pegas merupakan perbedaan antara pergerakan gajah dengan hewan lain.[79] Selama pergerakan, cushion pads (struktur khusus pada kaki gajah yang membantu menopang beban) berkontraksi dan mengurangi rasa sakit dan bunyi yang dihasilkan oleh pergerakan hewan yang sangat berat.[74]

Gajah juga merupakan perenang yang handal. Mereka dapat berenang selama enam jam tanpa menyentuh dasarnya, dan dapat berenang sejauh 48 km dengan kecepatan 2,1 km/jam.[80]

Organ internal dan seksual

 
Jantung gajah afrika di dalam botol.

Massa otak gajah berkisar antara 4,5 hingga 5,5 kg, sementara massa otak manusia kurang lebih hanya 1,6 kg. Walaupun begitu, berdasarkan rasio massa otak terhadap massa tubuh, otak gajah sebenarnya lebih kecil. Saat lahir, massa otak gajah sudah mencapai 30–40% massa otak dewasa. Cerebrum dan cerebellum terbentuk dengan baik, sementara lobus temporal gajah sangat besar hingga tampak menyembul.[57]

Gajah memiliki kantong di tenggorokan yang dapat digunakan untuk menyimpan air.[40] Sementara itu, massa jantung gajah kurang lebih 12 hingga 21 kg. Jantung gajah memiliki apeks berujung ganda, yang merupakan karakteristik yang tidak biasa pada mamalia.[57] Saat berdiri, jantung gajah berdetak 30 kali per menit. Tidak seperti hewan lain, kecepatan detak jantung gajah bertambah 8 hingga 10 detak per menit ketika sedang berbaring.[81] Diafragma gajah melekat pada paru-paru, dan pernapasan lebih bergantung pada diafragma daripada perluasan tulang rusuk.[57] Gajah tidak memiliki rongga pleura, tetapi memiliki jaringan ikat yang membantu gajah menghadapi perbedaan tekanan saat tubuhnya berada di bawah air dan ketika belalainya keluar dari permukaan air untuk menghisap udara,[42] walaupun kebenaran penjelasan ini telah dipertanyakan.[82] Menurut penjelasan lain, adaptasi ini ada karena membantu gajah menghisap air melalui belalai.[42] Gajah menghisap udara dengan menggunakan belalainya, walaupun sebagian udara juga masuk melalui mulut. Gajah juga memiliki sistem fermentasi usus belakang, dan panjang ususnya dapat mencapai 35 m. Sebagian besar asupan makanan gajah tidak dicerna meskipun prosesnya berlangsung hingga sehari.[57]

Testis gajah jantan terletak di dekat ginjal. Panjang penis gajah dapat mencapai 100 cm dan diameternya kurang lebih 16 cm. Penis gajah berbentuk S saat sedang ereksi dan memiliki lubang kemih yang berbentuk Y. Gajah betina memiliki klitoris yang panjangnya dapat mencapai 40 cm. Vulvanya terletak di antara tungkai belakang, sementara pada kebanyakan mamalia vulva terletak di dekat ekor. Penentuan status kehamilan gajah sendiri cukup sulit karena rongga abdominal gajah yang besar. Sementara itu, kelenjar susu gajah betina menempati ruang di antara tungkai depan, sehingga bayi gajah yang sedang menyusui dapat dijangkau oleh belalai sang induk.[57] Gajah juga memiliki organ yang unik, yaitu kelenjar temporal, yang terletak di kedua sisi kepala. Organ ini terkait dengan perilaku seksual, dan gajah jantan mengeluarkan cairan dari kelenjar tersebut dalam keadaan musth.[83] Gajah betina juga didapati mengeluarkan cairan dari kelenjar temporal.[62]

Perilaku dan sejarah kehidupan

Ekologi dan aktivitas

Gajah sri lanka memakan rumput di Taman Nasional Yala.
 
Gajah afrika menggunakan taringnya untuk mencari makan.

Gajah semak afrika dapat ditemui di berbagai jenis habitat, seperti di sabana, gurun, rawa-rawa, dan pesisir danau, di ketinggian yang bervariasi antara permukaan laut hingga wilayah pegunungan di atas garis salju. Gajah hutan afrika hidup di hutan-hutan khatulistiwa, tetapi juga akan memasuki hutan galeri dan ekoton di antara hutan dan sabana.[19] Gajah asia lebih menyukai wilayah yang merupakan percampuran antara rerumputan, tumbuhan berkayu yang berketinggian rendah, dan pepohonan, dengan habitat utama di hutan semak belukar berduri yang kering di India selatan dan Sri Lanka dan hutan hijau abadi di Malaya.[12] Gajah merupakan hewan herbivora dan akan memakan daun, ranting, buah, kulit pohon, dan akar.[19] Mereka terlahir dengan usus yang steril, dan memerlukan bakteri yang dapat diperoleh dari feses ibunya untuk mencerna tumbuh-tumbuhan.[84] Gajah afrika pada umumnya merupakan pemakan daun, sementara gajah asia adalah hewan perumput. Mereka dapat mengonsumsi 150 kg makanan dan 40 liter air dalam satu hari. Gajah cenderung hidup di dekat sumber air.[19] Periode makan biasanya berlangsung pada pagi, siang, dan malam hari. Pada pertengahan hari, gajah beristirahat di bawah pohon dan mungkin tertidur saat berdiri. Gajah baru berbaring tidur pada malam hari.[73][85] Rata-rata waktu tidur gajah adalah 3–4 jam per hari.[86] Baik jantan maupun kelompok keluarga umumnya berjalan sejauh 10 hingga 20 km dalam satu hari, tetapi beberapa gajah telah menempuh jarak sejauh 90 hingga 180 km di Taman Nasional Etosha, Namibia.[87] Gajah melakukan migrasi musiman untuk mencari makanan, air, dan pasangan. Di Taman Nasional Chobe, Botswana, kawanan gajah berkelana sejauh 325 km untuk mengunjungi sungai setelah sumber air lokal mengering.[88]

Karena memiliki ukuran tubuh yang besar, gajah berdampak besar terhadap lingkungan dan dianggap sebagai spesies kunci. Perilaku gajah yang sering menumbangkan pohon dan semak dapat mengubah sabana menjadi padang rumput; saat mereka menggali untuk mencari air selama musim kemarau, mereka menemukan sumber air yang juga dapat digunakan oleh hewan lain. Mereka dapat memperbesar sumber air ketika mereka sedang mandi. Di Gunung Elgon, gajah menggali gua yang dapat digunakan oleh ungulata, hyrax, kelelawar, burung dan serangga.[89] Gajah juga berperan penting dalam menyebarkan biji; gajah hutan afrika dapat menelan dan mengeluarkan biji tanpa berdampak apa-apa (atau malah memberikan pengaruh positif) terhadap proses perkecambahan. Biji biasanya disebarkan dalam jumlah besar di jarak yang jauh.[90] Di hutan Asia, biji-biji yang besar perlu diangkut dan disebarkan oleh herbivora besar seperti gajah dan badak. Relung ekologi ini tidak dapat diisi oleh herbivora terbesar berikutnya, yaitu tapir.[91] Sebagian besar makanan yang diasup oleh gajah tidak dicerna, sehingga kotoran mereka dapat menjadi makanan bagi hewan lain, seperti kumbang kotoran dan monyet.[89] Gajah juga berdampak buruk terhadap ekosistem. Di Taman Nasional Murchison Falls di Uganda, jumlah gajah yang terlalu besar mengancam beberapa spesies burung kecil yang bergantung pada daerah berhutan. Berat mereka dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga air hujan akan mengalami pelimpasan yang dapat menyebabkan erosi.[85]

 
Sebagian besar makanan gajah tidak dicerna. Hewan lain, seperti babun, akan mengambil kotoran gajah untuk mencari biji yang belum dicerna.

Pada umumnya gajah hidup berdampingan dengan herbivora-herbivora lain, yang biasanya akan menjauh. Kadang-kadang terjadi interaksi agresif antara gajah dengan badak. Di Taman Nasional Aberdare, Kenya, seekor badak menyerang seekor anak gajah, dan akibatnya badak tersebut dibunuh oleh gajah lain.[85] Di Cagar Buruan Hluhluwe–Umfolozi, Afrika Selatan, gajah yatim muda yang baru diperkenalkan menjadi agresif dan membunuh sekitar 36 badak pada tahun 1990-an; keagresifan tersebut berakhir setelah gajah jantan yang lebih tua diperkenalkan.[92] Ukuran tubuh gajah dewasa yang besar membuat mereka hampir tidak dapat diserang oleh predator. Anak gajah mungkin diburu oleh singa, dubuk tutul, dan anjing liar di Afrika,[15] atau harimau di Asia.[12] Singa-singa di Savuti, Botswana, telah beradaptasi untuk memburu gajah pada musim kemarau, dan satu kawanan yang terdiri dari 30 singa diketahui pernah membunuh gajah-gajah yang berusia antara empat hingga sebelas tahun.[93] Bila dibandingkan dengan herbivora lain, gajah cenderung dijangkiti oleh banyak parasit, terutama nematoda. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya tekanan dari predator yang seharusnya dapat membunuh banyak individu yang dijangkiti oleh banyak parasit.[94]

Organisasi sosial

 
Keluarga gajah afrika di Taman Nasional Amboseli. Perhatikan posisi anak gajah yang dilindungi di tengah-tengah kelompok.
 
Keluarga gajah sedang mandi. Mandi merupakan perilaku yang memperkuat ikatan sosial.

Kehidupan sosial gajah jantan dan betina sangat berbeda. Gajah betina menghabiskan hidupnya dalam kelompok keluarga yang matrilineal. Beberapa kelompok terdiri dari lebih dari sepuluh anggota (termasuk tiga pasangan ibu dan anak) yang dipimpin oleh seekor matriark yang biasanya merupakan betina tertua.[95] Sang matriark memimpin kelompok hingga ia meninggal[15] atau jika ia tidak lagi mempunyai cukup energi untuk menjalankan tugasnya;[96] menurut penelitian di kebun binatang, ketika matriark meninggal, kandungan kortikosteron (hormon stres) feses meningkat tajam pada gajah yang masih hidup.[97] Saat tugasnya berakhir, anak perempuan tertua sang matriark akan menggantikannya, bahkan bila saudara perempuan sang matriark masih hidup.[15] Matriark yang lebih tua cenderung menjadi pembuat keputusan yang lebih efektif.[98]

Kehidupan sosial gajah betina tidak hanya terbatas pada satuan keluarga yang kecil. Di Taman Nasional Amboseli, Kenya, gajah betina juga berinteraksi dengan keluarga, klan, dan subpopulasi lain. Kelompok keluarga dapat bergaul dan membuat ikatan dengan kelompok lain, sehingga membentuk kelompok ikatan. Kelompok ikatan biasanya terdiri dari dua kelompok keluarga. Pada musim kemarau, keluarga-keluarga gajah mungkin berkumpul dan membentuk klan. Kelompok-kelompok dalam klan ini tidak memiliki ikatan yang kuat, tetapi mereka mempertahankan wilayah musim kemarau mereka dari klan lain. Biasanya terdapat sembilan kelompok di dalam satu klan. Populasi gajah di Amboseli juga terbagi menjadi subpopulasi “pusat” dan “tepian”.[95]

Beberapa populasi gajah di India dan Sri Lanka juga memiliki organisasi sosial yang serupa. Di wilayah tersebut tampaknya terdapat satuan keluarga yang kohesif dan perkumpulan yang lebih bersifat longgar. Mereka memiliki “satuan perawatan” dan “satuan pengurusan anak”. Di India selatan, populasi gajah terdiri dari kelompok keluarga, kelompok ikatan, dan mungkin klan. Kelompok keluarga cenderung kecil dan terdiri dari satu atau dua betina dewasa dan anaknya. Kelompok yang memiliki lebih dari dua betina dewasa disebut “kelompok gabungan”. Populasi gajah di Malaya bahkan memiliki satuan keluarga yang lebih kecil, dan biasanya tidak memiliki organisasi sosial yang lebih tinggi tingkatannya dari keluarga atau kelompok ikatan. Sementara itu, kelompok gajah hutan afrika umumnya terdiri dari satu betina dewasa dengan satu hingga tiga anak. Kelompok ini tampak berinteraksi dengan kelompok lain, terutama di tanah terbuka.[95]

 
Gajah jantan dewasa menghabiskan waktu mereka sendiri atau dalam kelompok sesama jenis.

Kehidupan gajah jantan sendiri sangat berbeda. Menjelang dewasa, gajah jantan akan menghabiskan lebih banyak waktu di luar kelompoknya dan bergaul dengan jantan dari luar atau bahkan kelompok lain. Di Amboseli, gajah jantan yang berusia 14–15 tahun menghabiskan 80% waktunya di luar kelompok keluarganya. Gajah betina dewasa di kelompok mulai menjadi agresif terhadap sang jantan, yang akan mendorongnya untuk meninggalkan kelompok secara permanen. Setelah sang jantan meninggalkan kelompok, mereka akan hidup sendiri atau bersama jantan lain. Gajah jantan di hutan yang padat biasanya hidup sendiri. Gajah asia jantan pada umumnya menyendiri, tetapi kadang-kadang membentuk kelompok yang terdiri dari dua individu atau lebih, dengan yang terbesar dapat mencapai tujuh anggota. Sementara itu, gajah semak afrika jantan membentuk kelompok yang jumlah anggotanya melebihi 10 individu, dan yang terbesar dapat mencapai 144 anggota.[99] Terdapat hierarki di antara para jantan, baik pada yang menyendiri maupun pada yang berkelompok. Dominasi bergantung pada usia, besar tubuh, dan kondisi seksual.[99] Jantan yang lebih tua tampak mampu mengendalikan keagresifan jantan yang lebih mudah dan mencegah mereka membentuk “geng”.[100] Gajah jantan dan betina berkumpul untuk bereproduksi. Gajah jantan tampaknya berhubungan dengan kelompok keluarga bila terdapat gajah betina yang sedang mengalami siklus estrus.[99]

Perilaku seksual

Musth

 
Gajah jantan sedang mengalami musth.

Gajah jantan dewasa mengalami fase peningkatan testosteron yang disebut musth. Pada populasi gajah di India selatan, gajah jantan pertama kali memasuki periode musth pada umur 15 tahun, tetapi tidak terlalu intens hingga usia mereka melebihi 25. Di Amboseli, gajah jantan yang berusia di bawah 24 tahun tidak mengalami musth, sementara setengah dari mereka yang berumur 25–35 tahun dan semua gajah berusia di atas 35 mengalaminya. Gajah jantan muda tampaknya memasuki periode musth pada musim kemarau (Januari–Mei), sementara gajah jantan yang lebih tua mengalaminya pada musim hujan (Juni–Desember). Ciri-ciri utama gajah yang sedang mengalami musth adalah keluarnya cairan dari kelenjar temporal di wajahnya. Saat musth, sang jantan dapat membuang air kecil dengan penis yang masih berada di dalam kulupnya, sehingga air seni akan menyemprot ke tungkai belakangnya. Beberapa perilaku yang dikaitkan dengan musth adalah berjalan dengan kepala yang terangkat dan berayun, mengorek tanah dengan taring, membuat suara gaduh, dan membentangkan satu telinga saja pada satu waktu. Musth dapat berlangsung antara sehari hingga empat bulan.[101]

Gajah jantan akan menjadi sangat agresif selama musth. Di antara gajah jantan yang sedang dan tidak sedang mengalami musth, besar tubuh merupakan faktor yang menentukan terjadinya perjumpaan yang agonistik. Saat terjadi perkelahian antar individu dari dua kelompok, gajah jantan yang sedang mengalami musth biasanya menang, bahkan bila gajah yang sedang tidak mengalami musth lebih besar. Gajah jantan mungkin akan berhenti menunjukkan tanda-tanda musth bila bertemu dengan gajah yang sedang mengalami musth dari peringkat yang lebih tinggi. Gajah yang sedang mengalami musth dari peringkat yang sama cenderung menghindari satu sama lain. Dalam perjumpaan agonistik, gajah yang mengalami musth biasanya mengancam, mengejar, dan melakukan perkelahian ringan dengan menggunakan taring. Namun, perkelahian yang serius jarang terjadi.[101]

Perkawinan

 
Gajah jantan sedang berkawin dengan gajah betina.

Gajah merupakan hewan poligini,[102] dan kopulasi paling sering terjadi pada puncak musim hujan.[103] Gajah betina yang sedang mengalami siklus estrus mengeluarkan feromon di air seni dan sekresi vaginal lainnya untuk menunjukkan kesiapannya dalam berkawin. Gajah jantanan akan mengikuti pasangan potensial dan menilai keadaannya dengan melakukan respons flehmen, yaitu ketika sang jantan mengumpulkan sampel kimiawi dengan menggunakan belalainya dan membawanya ke organ vomeronasal.[104] Siklus oestrus gajah betina berlangsung selama 14–16 minggu dengan fase folikular selama 4–6 minggu dan fase luteal selama 8–10 minggu. Pada fase folikular, gajah mengalami dua kali peningkatan kadar hormon pelutein, sementara sebagian besar mamalia hanya mengalami satu kali saja. Peningkatan pertama (atau anovulatori) dapat memberi sinyal kepada gajah jantan bahwa sang betina sedang mengalami siklus estrus dengan mengubah baunya, tetapi ovulasi baru terjadi pada peningkatan kedua (atau ovulatori).[105] Tingkat kesuburan pada gajah betina mulai berkurang pada usia 45–50.[96]

Gajah jantan memiliki perilaku yang disebut “menjaga pasangan”, yaitu ketika mereka mengikuti betina yang sedang mengalami siklus estrus dan menjaganya dari jantan lain. Hal ini biasanya dilakukan oleh jantan yang sedang mengalami musth, dan betina secara aktif berupaya agar dijaga oleh mereka, terutama yang lebih tua.[106] Maka jantan yang lebih tua cenderung lebih berhasil secara reproduktif.[99] Musth tampaknya digunakan oleh gajah betina untuk mengetahui keadaan sang jantan, karena gajah jantan yang lemah atau terluka tidak memiliki musth yang normal.[107] Bagi betina muda, mendekatnya jantan yang lebih tua tampak mengintimidasi, sehingga kerabat-kerabatnya berada di dekatnya untuk memberi dukungan dan menentramkan.[108] Selama kopulasi, gajah jantan meletakkan belalainya di punggung betina.[109] Penis gajah sangat gesit dan dapat bergerak bebas.[110] Sebelum bersanggama, penis gajah melengkung ke depan dan ke atas. Kopulasi berlangsung selama sekitar 45 detik tanpa gerakan pinggul atau jeda ejakulasi.[111]

Perilaku homoseksual banyak ditemui pada gajah jantan maupun betina; bahkan menurut perkiraan, 45% perjumpaan seksual pada gajah asia di penangkaran merupakan perjumpaan sesama jenis.[112] Perilaku homoseksual pada gajah meliputi persetubuhan seperti pada interaksi heteroseksual.[112] Gajah jantan sering membentuk "kawanan" yang terdiri dari seekor individu yang lebih tua dan satu atau kadang dua jantan yang lebih muda, dan perilaku seksual merupakan unsur penting dalam dinamika sosial kawanan tersebut.[112] Tidak seperti hubungan heteroseksual yang berlangsung cepat, hubungan antara jantan dapat berlangsung selama bertahun-tahun.[112] Seperti pada perjumpaan heteroseksual, jantan menunjukkan keinginannya untuk bersanggama dengan meletakkan belalainya di punggung jantan lain.[112] Sementara itu, perilaku sesama jenis pada gajah betina telah didokumentasi di penangkaran ketika mereka memasturbasi satu sama lain dengan menggunakan belalai mereka.[112]

Kelahiran dan anak gajah

 
Seekor induk gajah afrika sedang mandi dengan anaknya.

Gestasi pada gajah biasanya berlangsung selama dua tahun, dengan rentang waktu antar kelahiran antara empat hingga lima tahun. Kelahiran biasanya berlangsung pada musim hujan.[113] Tinggi anak gajah yang baru lahir adalah 85 cm, sementara massanya kurang lebih 120 kg.[108] Umumnya, dalam satu kehamilan hanya satu anak gajah yang lahir, tetapi kadang-kadang lahir anak kembar.[114] Kehamilan gajah yang relatif panjang disokong oleh lima korpus luteum (sementara pada kebanyakan mamalia hanya ada satu) dan memberi lebih banyak waktu bagi fetus untuk tumbuh, terutama otak dan belalainya.[114] Maka dari itu, gajah yang baru lahir bersifat precocial dan dapat berdiri, berjalan, dan mengikuti ibu dan keluarganya.[115] Anak gajah yang baru lahir biasanya menjadi pusat perhatian anggota kelompok. Gajah dewasa dan sebagian besar gajah muda lainnya akan berkumpul di dekat gajah yang baru lahir, kemudian menyentuh dan membelainya dengan menggunakan belalai. Pada hari-hari pertama, sang induk tidak memperbolehkan anggota kelompok lain mendekati anaknya. Alloparenting–yaitu ketika anak gajah diurus oleh gajah lain–terjadi pada beberapa kelompok. Allomother biasanya berusia dua hingga dua belas tahun.[108] Ketika predator mendekat, seluruh kelompok keluarga berkumpul dan menjaga anak gajah di tengah.[116]

Pada hari-hari pertama, kaki gajah yang baru lahir masih goyah dan perlu dibantu oleh induknya. Gajah yang baru lahir bergantung pada sentuhan, penciuman, dan pendengaran, karena penglihatannya masih buruk. Kendali atas belalai masih lemah, sehingga belalai bergerak maju mundur dan anak gajah dapat tersandung olehnya. Pada minggu kedua, anak gajah dapat berjalan lebih tegap dan kendali atas belalai lebih kuat. Setelah melewati bulan pertamanya, anak gajah dapat mengambil, memegang, dan menempatkan benda di mulutnya, tetapi belum dapat menghisap air melalui belalainya dan harus minum langsung dari mulutnya. Anak gajah juga masih bergantung pada induknya dan tetap berada di dekatnya.[115]

Pada tiga bulan pertama, asupan nutrisi gajah hanya berasal dari air susu induk. Setelah itu, gajah mulai mencari tumbuh-tumbuhan dan dapat menggunakan belalainya untuk mengumpulkan air. Pada saat yang sama, koordinasi bibir dan tungkai membaik. Anak gajah masih menyusu hingga berumur enam bulan, dan setelah itu mereka menjadi lebih independen. Pada umur sembilan bulan, koordinasi mulut, belalai, dan kaki sudah sempurna. Setelah setahun, kemampuan anak gajah untuk mengurus, minum dan makan sendiri sudah berkembang sepenuhnya. Sang anak masih memerlukan nutrisi dan perlindungan dari ibunya selama paling tidak satu tahun berikutnya. Menyusui biasanya berlangsung selama 2-4 menit per jam untuk anak gajah yang berusia lebih muda dari setahun, dan gajah masih menyusui hingga mencapai usia tiga tahun atau lebih tua. Menyusui setelah umur dua tahun berperan dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan, keadaan tubuh, dan kemampuan reproduksi.[115]

Terdapat perbedaan antara permainan anak gajah jantan dan betina; betina berlari atau mengejar satu sama lain, sementara jantan bermain-main dengan berkelahi. Gajah betina mencapai kematangan seksual pada umur sembilan tahun,[108] sementara gajah jantan pada usia 14–15 tahun.[99] Rentang hidup gajah kurang lebih 60–70 tahun.[65] Namun, Lin Wang, seekor gajah asia di penangkaran, meninggal pada umur 86 tahun.[117]

Komunikasi

 
Gajah asia menyapa satu sama lain dengan saling melilit belalai.

Sentuhan merupakan alat komunikasi yang penting bagi gajah. Individu menyapai satu sama lain dengan mengelus atau melilit belalai; belalai juga dililit saat kompetisi ringan. Gajah yang lebih tua akan menampar dengan menggunakan belalai, menendang, dan mendorong untuk mendisiplinkan yang lebih muda. Individu berusia atau berjenis kelamin apapun akan menyentuh mulut, kelenjar temporal, dan alat kelamin satu sama lain saat sedang bertemu atau jika senang. Dengan melakukan hal tersebut, individu dapat mengambil sinyal kimiawi. Sementara itu, sentuhan merupakan cara berkomunikasi antara induk dan anak yang sangat penting. Saat bergerak, induk gajah menyentuh anak mereka dengan menggunakan belalai atau kaki bila sedang berdampingan, atau dengan ekor jika anak gajah berada di belakang. Apabila anak gajah ingin beristirahat, ia akan menekan tungkai depan ibunya, sementara bila ingin menyusui, ia akan menyentuh payudara atau tungkainya.[118]

Gajah menunjukkan ancaman dengan mengangkat kepalanya dan membentangkan telinganya. Mereka juga dapat menambah efeknya dengan menggoncangkan kepala, menggertakkan telinga, serta melempar debu dan tumbuhan. Saat melakukan hal-hal tersebut, gajah biasanya hanya menggertak saja. Di sisi lain, gajah yang senang biasanya mengangkat belalainya. Gajah yang tunduk akan menundukkan kepala dan belalainya, serta meratakan telinganya di lehernya, sementara gajah yang menerima tantangan akan membuat telinganya berbentuk V.[119]

Gajah menghasilkan suara melalui laring, walaupun beberapa dimodifikasi oleh belalai. Salah satu suara gajah yang paling dikenal adalah suara terompet yang biasanya dibunyikan saat sedang senang, dalam keadaan sulit, atau agresif.[120] Gajah yang sedang bertengkar biasanya meraung, dan yang terluka akan melenguh.[121] Bunyi berfrekuensi rendah dihasilkan saat sedang sedikit bergairah,[122] dan beberapa di antaranya merupakan infrasonik.[123] Panggilan infrasonik merupakan cara berkomunikasi yang penting, terutama untuk jarak jauh.[120] Frekuensi panggilan infrasonik pada gajah asia berkisar antara 14–24 Hz dengan tekanan suara sebesar 85–90 dB yang biasanya berlangsung selama 10–15 detik.[123] Sementara itu, frekuensi pada gajah afrika kurang lebih from 15–35 Hz dengan tekanan suara yang mencapai 117 dB, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan jarak maksimum 10 km.[124]

Bunyi berfrekuensi rendah yang divisualisasikan oleh kamera akustik.

Di Amboseli, beberapa panggilan infrasonik telah diidentifikasi. Bunyi berfrekuensi rendah untuk menyapa dikeluarkan oleh anggota salah satu kelompok keluarga setelah terpisah selama beberapa jam. Panggilan yang dibuat oleh individu yang telah terpisah biasanya lembut dan tidak termodulasi. Panggilan tersebut dijawab oleh panggilan yang awalnya keras, tetapi kemudian menjadi lebih lembut. Bunyi berfrekuensi rendah yang lembut dibunyikan oleh matriark untuk memberitahukan kepada kawanannya untuk pindah ke tempat lain. Gajah jantan yang sedang mengalami musth mengeluarkan bunyi berfrekuensi rendah yang bergetar, sehingga dijuluki “sepeda motor”. Bunyi gajah yang sedang mengalami musth dijawab oleh "paduan suara betina", yaitu suara-suara termodulasi dan berfrekuensi rendah yang dihasilkan oleh beberapa gajah betina. Suara panggilan yang keras dapat dibunyikan oleh gajah betina setelah berkawin, sementara anggota keluarganya mengeluarkan suara kegembiraan yang disebut "hiruk pikuk perkawinan".[122]

Gajah juga dapat melakukan komunikasi seismik, yaitu getaran yang dihasilkan oleh tubrukan ke permukaan tanah atau gelombang akustik yang melintasi tanah. Gajah tampaknya bergantung pada tulang tungkai dan bahunya untuk mentransmisikan sinyal ke telinga tengah. Setelah mendeteksi sinyal seismik, gajah bersandar ke depan dan memberatkan kaki depannya. Gajah memiliki beberapa adaptasi yang cocok untuk melakukan komunikasi seismik. Struktur khusus pada kaki gajah yang membantu menopang beban (cushion pads) memiliki nodus tulang rawan dan serupa dengan lemak akustik pada mamalia laut seperti paus bergigi dan sirenia. Otot seperti sfingter di sekitar saluran telinga menyempitkan jalur masuk, sehingga meredam sinyal akustik dan membuat gajah dapat mendengar lebih banyak sinyal seismik.[125] Gajah tampaknya menggunakan komunikasi seismik untuk beberapa hal. Individu yang sedang berlari dapat menghasilkan sinyal seismik yang dapat didengar dari jarak yang jauh.[126] Saat mendeteksi panggilan yang memberi tahu bahaya predator, gajah akan berpostur defensif dan kelompok keluarga akan bergerombol. Gelombang seismik yang dihasilkan oleh pergerakan tampaknya dapat merambat hingga jarak 32 km, sementara gelombang hasil vokalisasi hanya mencapai jarak 16 km.[127]

Kecerdasan dan kognisi

Seekor gajah menggunakan sebuah balok agar dapat menjangkau makanan.

Gajah dapat mengenali dirinya di cermin, sehingga mengindikasikan kesadaran diri dan kognisi, yang juga telah ditemukan pada kera dan lumba-lumba.[128] Penelitian terhadap gajah asia betina di penangkaran menunjukkan bahwa gajah dapat mempelajari dan membedakan sesuatu secara visual dan akustik. Individu pada penelitian tersebut bahkan dapat melakukannya dengan sangat akurat pada percobaan visual yang sama setahun kemudian.[129] Gajah merupakan salah satu spesies yang dapat menggunakan alat. Seekor gajah asia telah diamati memodifikasi cabang pohon dan menggunakannya untuk memukul lalat.[130] Namun, modifikasi alat oleh gajah tidak semaju simpanse. Sementara itu, kemungkinan gajah memiliki peta kognitif yang dapat membuat mereka mengingat ruang spasial yang luas dalam waktu yang lama. Gajah-gajah individu juga tampaknya dapat melacak lokasi kelompok keluarga mereka.[56]

Ilmuwan masih memperdebatkan sejauh mana gajah dapat merasakan emosi. Gajah tampaknya menunjukkan ketertarikan pada tulang-tulang gajah lain, walaupun gajah tersebut bukan kerabatnya.[131] Seperti pada simpanse dan lumba-lumba, gajah yang sekarat atau sudah mati akan menarik perhatian dan mendapat bantuan dari gajah lain, termasuk gajah dari kelompok lain. Perilaku seperti ini telah diinterpretasikan sebagai "perhatian";[132] tetapi, interpretasi tersebut dikritik karena dianggap antropomorfik.[133][134] Oxford Companion to Animal Behaviour (1987) menganjurkan agar ilmuwan mempelajari perilaku hewan daripada mencoba mengetahui emosi yang mendasarinya.[135]

Konservasi

Status

Persebaran gajah
Gajah afrika
Gajah asia

Gajah afrika didaftarkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2008, sementara status dua subspesies gajah afrika tidak dinilai secara independen.[27] Pada tahun 1979, terdapat kurang lebih 1,3 juta gajah di Afrika, dan batas tertinggi sebesar 3,0 juta. Sementara itu, populasi pada tahun 1989 diperkirakan sebesar 609.000, dengan 277.000 di Afrika Tengah, 110.000 di Afrika Timur, 204.000 di Afrika Selatan, dan 19.000 di Afrika Barat. Diperkirakan sekitar 214.000 gajah hidup di hutan hujan, yang lebih rendah dari yang diduga sebelumnya. Dari tahun 1977 hingga 1989, populasi gajah berkurang sebanyak 74% di Afrika Timur. Setelah tahun 1987, penurunan populasi gajah semakin cepat, dan populasi gajah di sabana dari Kamerun hingga Somalia jatuh sebesar 80%. Gajah hutan afrika mengalami penurunan sebesar 43%. Di sisi lain, tren populasi di Afrika Selatan bermacam-macam: di beberapa tempat di Zambia, Mozambik, dan Angola, jumlah populasi mengalami penurunan, sementara di Botswana dan Zimbabwe, populasi gajah bertambah, dan di Afrika Selatan populasinya stabil.[136] Namun, penelitian pada tahun 2005 dan 2007 menunjukkan bahwa populasi di Afrika Timur dan Selatan mengalami peningkatan sebesar 4,0% setiap tahunnya.[27] Akibat luasnya persebaran gajah, populasi gajah afrika masih sulit diperkirakan dan terdapat unsur tebakan. IUCN memperkirakan terdapat sekitar 440.000 individu pada tahun 2012.[137]

Gajah afrika memperoleh perlindungan secara hukum di negara habitat mereka, tetapi 70% persebarannya berada di luar wilayah yang dilindungi. Upaya konservasi yang berhasil di beberapa wilayah menghasilkan kepadatan populasi yang tinggi. Pada tahun 2008, jumlah gajah di tingkatan lokal dikendalikan melalui kontrasepsi atau translokasi. Pembantaian berdasarkan kriteria tertentu (culling) berakhir pada tahun 1988 setelah Zimbabwe menghapuskan praktik tersebut. Pada tahun 1989, gajah afrika dimasukkan dalam Lampiran I oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sehingga perdagangan gajah afrika menjadi ilegal. Status Lampiran II (yang memperbolehkan perdagangan terbatas) diberikan kepada gajah di Botswana, Namibia, dan Zimbabwe pada tahun 1997, dan Afrika Selatan pada tahun 2000. Di beberapa negara, perburuan gajah untuk memperoleh trofi diperbolehkan; Afrika Selatan, Botswana, Gabon, Kamerun, Mozambik, Namibia, Tanzania, Zambia, dan Zimbabwe menetapkan kuota ekspor CITES untuk trofi gajah.[27]

Pada tahun 2008, IUCN mendaftarkan gajah asia sebagai spesies terancam akibat penurunan populasi sebesar 50% dalam 60–75 tahun terakhir,[138] sementara CITES memasukannya ke dalam Lampiran I.[138] Gajah asia pernah tersebar dari Suriah dan Irak (subspesies Elephas maximus asurus) hingga Tiongkok (hingga Sungai Kuning)[139] dan Jawa. Gajah asia kini telah punah di wilayah-wilayah tersebut,[138] dan persebarannya saat ini sangat terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang kecil.[139] Jumlah populasi gajah asia diperkirakan sebesar 40.000–50.000, walaupun perkiraan ini merupakan perkiraan kasar. Meskipun jumlah gajah asia secara keseluruhan mengalami penurunan (terutama di Asia Tenggara), populasi di Ghat Barat tampaknya mengalami peningkatan.[138]

Ancaman

 
Beberapa orang membawa gading gajah di Dar es Salaam, Tanzania, sekitar tahun 1900.

Perburuan untuk mengambil gading, daging, dan kulit merupakan salah satu ancaman terbesar bagi keberlangsungan gajah.[138] Dalam sejarah, beberapa peradaban membuat ornamen dan karya seni lain dari gading gajah, dan penggunaannya menyaingi emas.[140] Perdagangan gading menjadi salah satu penyebab penurunan populasi gajah afrika pada abad ke-20.[27] Hal ini memicu larangan impor gading yang dimulai oleh Amerika Serikat pada Juni 1989, yang kemudian diikuti oleh negara-negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang.[140] Sementara itu, Kenya menghancurkan semua persediaan gadingnya.[141] CITES memberlakukan larangan perdagangan gading pada Januari 1990.[140] Setelah larangan tersebut ditetapkan, jumlah pengangguran meningkat di India dan Tiongkok, karena secara ekonomi industri gading merupakan industri yang penting. Di sisi lain, Jepang dan Hong Kong, yang juga merupakan bagian dari industri, mampu beradaptasi dan tidak terkena dampak buruk.[140] Zimbabwe, Botswana, Namibia, Zambia, dan Malawi ingin melanjutkan perdagangan gading dan hal tersebut diperbolehkan, tetapi hanya jika gajah tersebut mati secara alami atau merupakan hasil culling.[141]

Berkat larangan ini, populasi gajah di Afrika mulai pulih.[140] Pada Januari 2012, ratusan gajah di Taman Nasional Bouba Njida, Kamerun, dibunuh oleh penyerang dari Chad. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai "salah satu pembunuhan terkonsentrasi terburuk" semenjak diberlakukannya larangan perdagangan gading.[141] Sementara itu, gajah asia tidak terlalu rentan terhadap perdagangan gading karena gajah betina umumnya tidak memiliki taring. Namun, sejumlah gajah telah dibunuh untuk diambil gadingnya di beberapa wilayah, seperti di Taman Nasional Periyar di India.[138]

Ancaman lain terhadap gajah adalah kehancuran dan fragmentasi habitat.[27] Gajah asia hidup di wilayah yang sangat padat. Karena mereka membutuhkan lebih banyak wilayah dibanding hewan darat simpatrik lainnya, merekalah yang pertama kali merasakan dampak keberadaan manusia. Bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrem, habitat gajah terbatas pada hutan kecil yang dikelilingi oleh wilayah yang didominasi oleh manusia. Gajah tidak dapat hidup berdampingan dengan manusia di wilayah pertanian karena besar tubuh dan kebutuhan makanan mereka. Pada umumnya gajah merusak dan memakan tanaman petani, sehingga memicu konflik dengan manusia, dan akibatnya ratusan gajah dan manusia telah mati. Mitigasi konflik merupakan salah satu unsur penting dalam konservasi.[138] Salah satu usulan yang diajukan adalah penyediaan ‘koridor urban’ yang memungkinkan gajah mengakses wilayah penting.[142]

Gajah dan manusia

Hewan pekerja

 
Seekor gajah pengangkut.

Gajah telah dijadikan hewan pekerja paling tidak semenjak masa Peradaban Lembah Indus[143] dan masih digunakan hingga masa modern. Pada tahun 2000, terdapat 13.000–16.500 gajah pekerja di Asia. Gajah-gajah tersebut biasanya ditangkap di alam bebas saat berumur 10–20 tahun, dan pada usia tersebut mereka dapat dilatih dengan cepat dan mudah, serta mampu bekerja untuk waktu yang lebih lama.[144] Mereka biasanya ditangkap secara tradisional dengan menggunakan perangkap dan laso, tetapi semenjak tahun 1950 obat penenang telah digunakan.[145] Gajah asia lebih umum dijadikan hewan pekerja, tetapi di Afrika praktik tersebut juga dilakukan. Penjinakan gajah afrika di Kongo Belgia dimulai berdasarkan dekret Leopold II dari Belgia pada abad ke-19, dan masih berlanjut hingga kini di Pusat Domestikasi Gajah Api.[146]

Wisatawan menaiki gajah di Jaipur.

Gajah asia melakukan tugas seperti mengangkut beban ke wilayah terpencil, memindahkan kayu ke truk, membawa wisatawan di taman nasional, menarik gerobak, dan menjadi bagian dari proses religius.[144] Di Thailand utara, gajah digunakan untuk menelan biji kopi agar dapat menghasilkan kopi Black Ivory.[147] Gajah lebih dihargai dari mesin karena dapat bekerja di perairan yang relatif dalam, memerlukan biaya perawatan yang relatif sedikit, hanya membutuhkan tumbuhan dan air, dan dapat dilatih untuk mengingat beberapa tugas. Gajah dapat dilatih untuk menanggapi lebih dari 30 perintah.[144] Namun, gajah yang sedang mengalami musth berbahaya dan dirantai hingga musth selesai.[148] Di India, banyak gajah yang mengalami penyiksaan. Maka dari itu, gajah dilindungi oleh "Undang-Undang Pencegahan Kekejaman terhadap Binatang 1960".[149]

Peperangan

 
Lukisan Pertempuran Zama oleh Henri-Paul Motte, 1890.

Dalam sejarah, gajah digunakan sebagai alat perang. Gajah dilengkapi dengan baju baja untuk melindunginya, dan di ujung taringnya dipasang besi atau kuningan tajam bila taring tersebut cukup besar. Gajah perang dilatih untuk mengambil tentara musuh dan melemparnya ke orang yang mengendarai gajah tersebut atau meletakkannya di tanah dan kemudian menusuknya.[150]

Salah satu sumber pertama yang menyebut penggunaan gajah dalam perang adalah epos Mahabharata (ditulis pada abad ke-4 SM, tetapi diduga mendeskripsikan peristiwa antara abad ke-11 hingga abad ke-8 SM). Namun, Pandawa dan Kurawa lebih banyak menggunakan kereta kuda. Sementara itu, pada masa Kerajaan Magadha (yang dimulai pada abad ke-6 SM), secara budaya gajah mulai menjadi lebih penting dari kuda, dan nantinya kerajaan-kerajaan di India banyak menggunakan gajah; 3.000 gajah digunakan oleh tentara Nanda pada abad ke-5 dan abad ke-4 SM, sementara 9.000 gajah dipakai oleh tentara Maurya antara abad ke-4 hingga abad ke-2 SM. Arthashastra (ditulis sekitar tahun 300 SM) menyarankan kepada pemerintah Maurya agar mencagarkan beberapa hutan untuk gajah liar yang kemudian akan digunakan dalam angkatan bersenjata; buku tersebut juga mengusulkan agar hukuman mati diberlakukan bagi siapapun yang membunuh gajah di cagar tersebut.[151] Penggunaan gajah dalam perang menyebar dari Asia Selatan ke Persia[150] dan Asia Tenggara.[152] Bangsa Persia mulai menggunakannya pada masa Kekaisaran Akhemeniyah (antara abad ke-6 hingga abad ke-4 SM),[150] sementara negara-negara di Asia Tenggara kemungkinan menggunakan gajah perang untuk pertama kalinya pada abad ke-5 SM dan berlanjut hingga abad ke-20.[152]

Aleksander Agung melatih tentaranya untuk melukai gajah dan membuat mereka panik selama peperangan melawan Persia dan India. Ptolemaios, yang merupakan salah satu jenderal Aleksander, menggunakan gajah perang asia selama masa kekuasannya di Mesir (yang dimulai pada tahun 323 SM). Penerusnya, Ptolemaios II (yang mulai berkuasa pada tahun 285 SM), memperoleh persediaan gajah perang dari Nubia. Semenjak itu, gajah perang digunakan di wilayah Laut Tengah dan Afrika Utara pada periode klasik. Raja Yunani Pyrrhos menggunakan gajah saat menyerang Romawi pada tahun 280 SM. Meskipun mampu membuat takut kuda-kuda Romawi, gajah tidak berperan penting dan Pyrrhos pada akhirnya mengalami kekalahan. Jenderal Qart Hadast Hannibal menyeberangi Pegunungan Alpen dengan gajah-gajahnya selama perang melawan Romawi dan berhasil mencapai lembah Po pada tahun 217 SM, tetapi kemudian banyak gajah yang mati akibat penyakit.[150]

Kebun binatang dan sirkus

 
Gajah afrika di Kebun Binatang Barcelona.

Dalam sejarah, gajah disimpan untuk dijadikan tontonan di Mesir, Tiongkok, Yunani, dan Romawi Kuno. Bangsa Romawi mempertarungkan gajah dengan manusia dan hewan lain dalam acara gladiator. Pada masa modern, gajah biasanya dapat ditemui di kebun binatang dan sirkus di seluruh dunia. Gajah di sirkus dilatih untuk melakukan trik-trik. Salah satu gajah sirkus yang paling terkenal adalah Jumbo (1861–15 September 1885), yang merupakan atraksi utama di Sirkus Barnum & Bailey.[153] Gajah-gajah tersebut tidak dapat bereproduksi dengan baik karena kesulitan penanganan gajah jantan yang sedang mengalami musth dan terbatasnya pemahaman mengenai siklus estrus pada gajah betina. Gajah yang lebih umum digunakan di sirkus dan kebun binatang modern adalah gajah asia. Setelah CITES memasukkan gajah asia ke dalam Lampiran I pada tahun 1975, jumlah gajah afrika di kebun binatang meningkat pada tahun 1980-an, walaupun impor gajah asia berlanjut. Setelah itu, Amerika Serikat menerima banyak gajah afrika dari Zimbabwe, yang mengalami overpopulasi gajah.[154] Pada tahun 2000, terdapat sekitar 1.200 gajah asia dan 700 gajah afrika di kebun binatang dan sirkus. Populasi gajah di penangkaran terbesar adalah di Amerika Utara, yang memiliki 370 gajah asia dan 350 gajah afrika. Sekitar 380 gajah asia dan 190 gajah afrika hidup di Eropa, sementara Jepang memiliki sekitar 70 gajah asia dan 67 gajah afrika.[154]

 
Poster sirkus sekitar tahun 1900

Keberadaan gajah di kebun binatang telah menjadi subjek kontroversi. Pendukung kebun binatang meyakini bahwa keberadaan gajah memberikan kemudahan akses bagi para peneliti dan menyediakan uang dan keahlian untuk melestarikan habitat alami mereka; selain itu, kebun binatang dikatakan dapat mengamankan spesies. Sementara itu, kritikus mengklaim bahwa gajah-gajah di kebun binatang mengalami tekanan fisik dan mental.[155] Selain itu, gajah di penangkaran menunjukkan perilaku stereotipi (perilaku repetitif karena kurangnya stimulasi untuk hewan) dengan bergerak maju mundur atau menggoyang-goyangkan belalai. Perilaku seperti ini telah diamati pada 54% gajah di kebun binatang di Britania Raya.[156] Lebih lagi, gajah-gajah di kebun binatang tampaknya memiliki rentang kehidupan yang lebih pendek daripada gajah di alam bebas, yaitu 17 tahun; tetapi, penelitian lain menunjukkan bahwa gajah di kebun binatang hidup sama lamanya dengan gajah di alam bebas.[157]

Penggunaan gajah di sirkus juga menuai kontroversi; Humane Society of the United States menuduh sirkus melakukan penganiayaan dan membuat sengsara hewan-hewan mereka.[158] Berdasarkan kesaksian di pengadilan federal Amerika Serikat pada tahun 2009, CEO Sirkus Barnum & Bailey Circus Kenneth Feld mengakui bahwa gajah sirkus dipukul dengan menggunakan pecutan berujung logam di belakang telinga, di bawah dagu, dan di tungkai. Feld menyatakan bahwa hal tersebut penting untuk melindungi pekerja sirkus dan mengakui bahwa seorang pelatih gajah pernah ditegur karena menggunakan alat kejut listrik pada gajah. Walaupun begitu, ia menentang klaim bahwa praktik tersebut melukai gajah.[159] Beberapa pelatih mencoba melatih gajah tanpa menggunakan hukuman fisik. Ralph Helfer dikenal karena menggunakan kelemahlembutan dan pahala saat melatih hewan-hewannya, termasuk gajah dan singa.[160]

Penularan penyakit

Seperti mamalia-mamalia lainnya, gajah dapat mengidap menyakit dan menulari manusia, seperti tuberkulosis. Pada tahun 2012, dua gajah di Kebun Binatang Tete d’Or, Lyon, didiagnosis mengidap tuberkulosis. Karena berisiko menulari hewan lain dan pengunjung kebun binatang, pemerintah kota memerintahkan agar gajah-gajah tersebut dieutanasia, tetapi pengadilan nantinya membatalkan keputusan ini.[161] Di cagar gajah di Tennessee, seekor gajah afrika yang berusia 54 tahun diyakini merupakan penyebab infeksi tuberkulosis pada delapan pekerja.[162]

Serangan

Gajah dapat menunjukkan perilaku agresif dan melancarkan tindakan yang destruktif terhadap manusia.[163] Di Afrika, kelompok gajah remaja menghancurkan rumah-rumah di desa-desa setelah dilakukannya pembantaian gajah pada tahun 1970-an dan 1980-an. Serangan ini diyakini merupakan pembalasan dendam.[100][164] Di India, gajah jantan sering kali memasuki desa pada malam hari, sehingga menghancurkan rumah-rumah dan membunuh beberapa warga. Antara tahun 2000 hingga 2004, gajah menewaskan sekitar 300 orang di Jharkhand, sementara dari tahun 2001 hingga 2006, 239 orang di Assam dibunuh oleh gajah.[163] Penduduk setempat melaporkan bahwa beberapa gajah tampak mabuk selama terjadinya serangan, walaupun para pejabat meragukan hal ini.[165][166] Gajah yang diduga mabuk menyerang sebuah desa di India untuk kedua kalinya pada Desember 2002, sehingga menewaskan enam orang, yang kemudian dibalas oleh warga dengan membunuh 200 gajah.[167]

Penggambaran dalam budaya

 
Ilustrasi kisah "The Elephant's Child" oleh Rudyard Kipling.

Gajah telah digambarkan dalam seni semenjak zaman Paleolitikum. Di Afrika terdapat banyak lukisan batu dan ukiran gajah, terutama di Sahara dan Afrika bagian selatan.[168] Di Timur Jauh, gajah digambarkan dalam bentuk motif di kuil-kuil Hindu dan Buddha.[169] Orang-orang yang belum pernah bertemu langsung dengan gajah sering kali mengalami kesulitan dalam menggambar mereka.[170] Bangsa Romawi Kuno, yang menyimpan gajah di penangkaran, mampu menggambar gajah secara akurat dalam bentuk mosaik di Tunisia dan Sisilia. Pada awal Abad Pertengahan, ketika Bangsa Eropa tidak terlalu mengenal gajah, gajah digambarkan seperti makhluk fantasi. Mereka digambarkan dengan tubuh seperti kuda atau hewan-hewan Bovinae, dengan belalai yang seperti terompet dan taring seperti yang dimiliki oleh babi hutan. Gajah umumnya digambarkan dalam motif yang dibuat oleh tukang batu di gereja-gereja Gotik. Setelah dikirim sebagai hadiah kepada raja-raja Eropa pada abad ke-15, penggambaran gajah menjadi lebih akurat, termasuk salah satu gambar yang dibuat oleh Leonardo da Vinci. Walaupun begitu, beberapa orang Eropa masih menggambarkan gajah dengan gaya tertentu.[171] Lukisan surealis Max Ernst pada tahun 1921 yang berjudul The Elephant Celebes menggambarkan seekor gajah sebagai sebuah silo dengan selang yang seperti belalai.[172]

 
Perumpamaan seekor gajah dengan biksu-biksu buta; gambar oleh Hanabusa Itchō (Ukiyo-e tahun 1888).
 
Wayang kulit yang menggambarkan gajah.

Gajah juga menjadi subjek kepercayaan religius. Suku Mbuti percaya bahwa roh leluhur mereka yang sudah meninggal berdiam di dalam tubuh gajah.[169] Suku-suku Afrika lain juga percaya bahwa kepala suku mereka akan bereinkarnasi menjadi seekor gajah. Pada abad ke-10, suku Igbo-Ukwu mengubur pemimpin mereka bersama dengan taring gajah.[173] Walaupun peran gajah dalam kepercayaan suku-suku di Afrika hanya bersifat totemik,[174] di Asia gajah memiliki lebih banyak peranan. Di Sumatra, gajah dikaitkan dengan petir. Demikian pula dengan Hinduisme, yang percaya bahwa gajah terkait dengan badai petir karena Airawata, bapak semua gajah, melambangkan petir dan pelangi.[169] Salah satu dewa terpenting dalam Hinduisme, yaitu Ganesha yang berkepala gajah, memiliki peringkat yang sama dengan dewa-dewa tertinggi lain, yaitu Siwa, Wisnu, dan Brahma.[175] Ganesha dikaitkan dengan penulis dan pedagang dan diyakini dapat memberi keberhasilan dan mengambulkan keinginan seseorang.[169] Sementara itu, dalam Buddhisme, Buddha dikatakan sebagai gajah putih yang bereinkarnasi menjadi manusia.[176] Dalam tradisi Islam, tahun 570, yaitu tahun ketika Nabi Muhammad lahir, dikenal sebagai Tahun Gajah.[177] Bangsa Romawi sendiri mengira gajah merupakan hewan yang menyembah matahari dan bintang.[169] Dalam budaya populer Barat, gajah merupakan lambang eksotik, terutama karena tidak ada hewan sejenis yang akrab dikenal oleh penonton di Barat (sama seperti jerapah, kuda nil, dan badak).[178] Penggunaan gajah sebagai lambang Partai Republik Amerika Serikat dimulai setelah digambarnya kartun pada tahun 1874 oleh Thomas Nast.[179] Gajah juga dijadikan tokoh fiksi, terutama dalam cerita untuk anak-anak, yang menggambarkan gajah sebagai tokoh dengan perilaku yang patut dicontoh. Mereka biasanya menjadi penganti manusia dengan nilai-nilai manusia yang ideal. Banyak kisah yang menceritakan gajah muda yang kembali ke komunitas yang berhubungan erat, seperti kisah "The Elephant's Child" dari Just So Stories karya Rudyard Kipling, kisah Dumbo oleh The Walt Disney Company, dan The Saggy Baggy Elephant oleh Kathryn and Byron Jackson. Pahlawan gajah lain meliputi Babar oleh Jean de Brunhoff, Elmer oleh David McKee, dan Horton oleh Dr. Seuss.[178]

Beberapa referensi budaya menekankan besar tubuh dan keunikan eksotik gajah. Contohnya, dalam bahasa Inggris, istilah "white elephant" (gajah putih) adalah istilah untuk sesuatu yang mahal, tidak berguna, dan aneh.[178] Ungkapan "elephant in the room" (gajah di dalam ruangan) merujuk kepada kebenaran yang begitu jelas tetapi diabaikan.[180] Dalam bahasa Indonesia, peribahasa yang mirip dengan ungkapan tersebut adalah "gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat", yang berarti kesalahan sendiri tidak terlihat tetapi kesalahan orang lain terlihat jelas.[181] Sementara itu, kisah orang-orang buta dan seekor gajah dari anak benua India pada zaman kuno mengajarkan bahwa realita dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda.[182]

Catatan kaki

  1. ^ (Indonesia) Arti kata liman dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ (Indonesia) Arti kata biram dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  3. ^ Hardiyanto dan Afendy Widayat, Sumbangan Kosakata Bahasa Sanskerta terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia dan Jawa Baru Diarsipkan 2022-04-24 di Wayback Machine., dimuat di jurnal diksi 1 Januari 2006, hlm. 12
  4. ^ a b ἐλέφας. Liddell, Henry George; Scott, Robert; A Greek–English Lexicon at the Perseus Project
  5. ^ a b Harper, D. "Elephant". Online Etymology Dictionary. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-24. Diakses tanggal 25 October 2012. 
  6. ^ Lujan, E. R.; Bernabe, A. "Ivory and horn production in Mycenaean texts". Academia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-07. Diakses tanggal 22 January 2013. 
  7. ^ "elephant". Palaeolexicon, Word study tool of ancient languages. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-04. Diakses tanggal 19 January 2013. 
  8. ^ Kalb, J. E.; Mebrate, A. (1993). Fossil Elephantoids from the Hominid-Bearing Awash Group, Middle Awash Valley, Afar Depression, Ethiopia. The American Philosophical Society. hlm. 52–59. ISBN 0-87169-831-5. 
  9. ^ Kellogg, M.; Burkett, S.; Dennis, T. R.; Stone, G.; Gray, B. A.; McGuire, P. M.; Zori, R. T.; Stanyon, R. (2007). "Chromosome painting in the manatee supports Afrotheria and Paenungulata". Evolutionary Biology. 7: 6. doi:10.1186/1471-2148-7-6. 
  10. ^ a b Ozawa, T.; Hayashi, S.; Mikhelson, V. M. (1997). "Phylogenetic position of mammoth and Steller's sea cow within tethytheria demonstrated by mitochondrial DNA sequences". Journal of Molecular Evolution. 44 (4): 406–13. doi:10.1007/PL00006160. PMID 9089080. 
  11. ^ a b c d e Shoshani, hlm. 38–41.
  12. ^ a b c d Shoshani, J.; Eisenberg, J. F. (1982). "Elephas maximus" (PDF). Mammalian Species. 182: 1–8. doi:10.2307/3504045. JSTOR 3504045. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  13. ^ a b Cranbrook, E.; Payne, J.; Leh, C. M. U. (2008). "Origin of the elephants Elephas maximus L. of Borneo" (PDF). Sarawak Museum Journal. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-09-27. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  14. ^ Fernando, P.; Vidya, T. N. C.; Payne, J.; Stuewe, M.; Davison, G.; Alfred, R. J.; Andau, P.; Bosi, E.; Kilbourn, A.; Melnick, D. J. (2003). "DNA analysis indicates that Asian Elephants are native to Borneo and are therefore a high priority for conservation". PLoS Biol. 1 (1): e6. doi:10.1371/journal.pbio.0000006. PMC 176546 . PMID 12929206. 
  15. ^ a b c d e Laursen, L.; Bekoff, M. (1978). "Loxodonta africana" (PDF). Mammalian Species. 92 (92): 1–8. doi:10.2307/3503889. JSTOR 3503889. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-04-30. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  16. ^ a b c Shoshani, J. (2005). "Order Proboscidea". Dalam Wilson, D. E.; Reeder, D. M. Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference, Volume 1 (edisi ke-3rd). Johns Hopkins University Press. hlm. 90–91. ISBN 978-0-8018-8221-0. OCLC 62265494. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-13. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  17. ^ Sukumar, hlm. 46.
  18. ^ Barnes, R. F. W.; Blom, A.; Alers M. P. T. (1995). "A review of the status of forest elephants Loxodonta africana in Central Africa". Biological Conservation. 71 (2): 125–32. doi:10.1016/0006-3207(94)00014-H. 
  19. ^ a b c d e Shoshani, hlm. 42–51.
  20. ^ Grubb, P.; Groves, C. P.; Dudley J. P.; Shoshani, J. (2000). "Living African elephants belong to two species: Loxodonta africana (Blumenbach, 1797) and Loxodonta cyclotis (Matschie, 1900)" (PDF). Elephant. 2 (4): 1–4. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-04-19. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  21. ^ a b Rohland, N.; Malaspinas, Anna-Sapfo; Pollack, Joshua L.; Slatkin, Montgomery; Matheus, Paul; Hofreiter, Michael (2007). "Proboscidean mitogenomics: chronology and mode of elephant evolution using mastodon as outgroup". PLoS Biology. 5 (8): e207. doi:10.1371/journal.pbio.0050207. PMC 1925134 . PMID 17676977. 
  22. ^ Roca, A. L.; Georgiadis, N.; Pecon-Slattery, J.; O'Brien, S. J. (2001). "Genetic evidence for two species of elephant in Africa". Science. 293 (5534): 1473–77. doi:10.1126/science.1059936. PMID 11520983. 
  23. ^ Eggert, L. S.; Rasner, C. A.; Woodruff, D. S. (2002). "The evolution and phylogeography of the African elephant inferred from mitochondrial DNA sequence and nuclear microsatellite markers". Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 269 (1504): 1993–2006. doi:10.1098/rspb.2002.2070. 
  24. ^ a b Debruyne, R. (2005). "A case study of apparent conflict between molecular phylogenies: the interrelationships of African elephants". Cladistics. 21 (1): 31–50. doi:10.1111/j.1096-0031.2004.00044.x. 
  25. ^ a b Rohland, N.; Reich, D.; Mallick, S.; Meyer, M.; Green, R. E.; Georgiadis, N. J.; Roca, A. L.; Hofreiter, M. (2010). Penny, David, ed. "Genomic DNA Sequences from Mastodon and Woolly Mammoth Reveal Deep Speciation of Forest and Savanna Elephants". PLoS Biology. 8 (12): e1000564. doi:10.1371/journal.pbio.1000564. PMC 3006346 . PMID 21203580. 
  26. ^ a b Ishida, Y.; Oleksyk, T. K.; Georgiadis, N. J.; David, V. A.; Zhao, K.; Stephens, R. M.; Kolokotronis, S.-O.; Roca, A. L. (2011). Murphy, William J, ed. "Reconciling apparent conflicts between mitochondrial and nuclear phylogenies in African elephants". PLoS ONE. 6 (6): e20642. doi:10.1371/journal.pone.0020642. PMC 3110795 . PMID 21701575. 
  27. ^ a b c d e f Blanc, J. (2008). "Loxodonta africana". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 2010-04-04. 
  28. ^ "Loxodonta cyclotis (Matschie, 1900)". UNEP-WCMC Species Database. Diakses tanggal 12 December 2012. [pranala nonaktif permanen]
  29. ^ Eggert, L. S. Eggert, J. A. Woodruff, D. S. (2003). "Estimating population sizes for elusive animals: the forest elephants of Kakum National Park, Ghana" (PDF). Molecular Ecology. 12 (6): 1389–1402. doi:10.1046/j.1365-294X.2003.01822.x. PMID 12755869. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  30. ^ Debruyne, R.; Van Holt, A.; Barriel, V.; Tassy, P.; (2003). "Status of the so-called African pygmy elephant (Loxodonta pumilio (NOACK 1906)): phylogeny of cytochrome b and mitochondrial control region sequences" (PDF). Comptes Rendus de Biologie. 326 (7): 687–97. doi:10.1016/S1631-0691(03)00158-6. PMID 14556388. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-12-03. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  31. ^ Gheerbrant, E. (2009). "Paleocene emergence of elephant relatives and the rapid radiation of African ungulates". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS). 106 (26): 10717–10721. doi:10.1073/pnas.0900251106. PMC 2705600 . PMID 19549873. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-05. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  32. ^ Sukumar, hlm. 13–16.
  33. ^ a b c d Sukumar, hlm. 16–19.
  34. ^ Sukumar, hlm. 22.
  35. ^ Sukumar, hlm. 24–27.
  36. ^ a b Sukumar, hlm. 28–31.
  37. ^ Sukumar, hlm. 44.
  38. ^ Sukumar, hlm. 36–37.
  39. ^ a b c d e f g h i j k Shoshani, J. (1998). "Understanding proboscidean evolution: a formidable task". Trends in Ecology and Evolution. 13 (12): 480–87. doi:10.1016/S0169-5347(98)01491-8. 
  40. ^ Carpenter, K. (2006). Foster, J.R. and Lucas, S.G. (eds.), ed. "Paleontology and Geology of the Upper Jurassic Morrison Formation". New Mexico Museum of Natural History and Science Bulletin. 36. New Mexico Museum of Natural History and Science: 131–138. 
  41. ^ a b c d West, J. B. (2002). "Why doesn't the elephant have a pleural space?". Physiology. 17 (2): 47–50. PMID 11909991. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-27. Diakses tanggal 2014-04-26. 
  42. ^ Debruyne, R.; Barriel, V.; Tassy, P. (2003). "Mitochondrial cytochrome b of the Lyakhov mammoth (Proboscidea, Mammalia): new data and phylogenetic analyses of Elephantidae" (PDF). Molecular Phylogenetics and Evolution. 26 (3): 421–34. doi:10.1016/S1055-7903(02)00292-0. PMID 12644401. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-11-13. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  43. ^ Noro, M.; Masuda, R.; Dubrovo, I. A.; Yoshida, M. C.; Kato, M. (1998). "Molecular phylogenetic inference of the woolly mammoth Mammuthus primigenius, based on complete sequences of mitochondrial cytochrome b and 12S ribosomal RNA genes". Journal of Molecular Evolution. 46 (3): 314–26. doi:10.1007/PL00006308. PMID 9493356. 
  44. ^ Gross, L. (2006). "Reading the evolutionary history of the Woolly Mammoth in its mitochondrial genome". PLoS Biology. 4 (3): e74. doi:10.1371/journal.pbio.0040074. PMC 1360100 . PMID 20076539. 
  45. ^ Sukumar, hlm. 46–47.
  46. ^ Choi, C. (2011). "Woolly Mammoths Could Be Cloned Someday, Scientist Says". Live Science. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-01. Diakses tanggal 18 September 2012. 
  47. ^ a b c Sukumar, hlm. 31–33.
  48. ^ Vartanyan, S. L., Garutt, V. E., Sher, A. V. (1993). "Holocene dwarf mammoths from Wrangel Island in the Siberian Arctic". Nature. 362 (6418): 337–40. doi:10.1038/362337a0. 
  49. ^ Tikhonov, A.; Agenbroad, L.; Vartanyan, S. (2003). "Comparative analysis of the mammoth populations on Wrangel Island and the Channel Islands". Deinsea. 9: 415–20. ISSN 0923-9308. 
  50. ^ a b Shoshani, hal. 68–70.
  51. ^ Somgrid, C. "Elephant Anatomy and Biology: Skeletal system". Elephant Research and Education Center, Department of Companion Animal and Wildlife Clinics, Faculty of Veterinary Medicine, Chiang Mai University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-13. Diakses tanggal 21 September 2012. 
  52. ^ Kingdon, hal. 11.
  53. ^ Somgrid, C. "Elephant Anatomy and Biology: Special sense organs". Elephant Research and Education Center, Department of Companion Animal and Wildlife Clinics, Faculty of Veterinary Medicine, Chiang Mai University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-29. Diakses tanggal 21 September 2012. 
  54. ^ Yokoyama, S.; Takenaka, N.; Agnew, D. W.; Shoshani, J. (2005). "Elephants and human color-blind deuteranopes have identical sets of visual pigments". Genetics. 170 (1): 335–44. doi:10.1534/genetics.104.039511. PMC 1449733 . PMID 15781694. 
  55. ^ a b Byrne, R. W.; Bates, L.; Moss C. J. (2009). "Elephant cognition in primate perspective" (PDF). Comparative Cognition & Behavior Review. 4: 65–79. doi:10.3819/ccbr.2009.40009. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-05-20. Diakses tanggal 2014-04-30. 
  56. ^ a b c d e f Shoshani, hlm. 78–79.
  57. ^ Narasimhan, A. (2008). "Why do elephants have big ear flaps?" (PDF). Indian Academy of Sciences. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2013-04-30. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  58. ^ Reuter, T.; Nummela, S.; Hemilä, S. (1998). "Elephant hearing" (PDF). Journal of the Acoustical Society of America. 104 (2): 1122–23. doi:10.1121/1.423341. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-12-07. Diakses tanggal 2014-04-24. 
  59. ^ a b c d Shoshani, hlm. 74–77.
  60. ^ a b Martin, F.; Niemitz C. (2003). ""Right-trunkers" and "left-trunkers": side preferences of trunk movements in wild Asian elephants (Elephas maximus)". Journal of Comparative Psychology. 117 (4): 371–79. doi:10.1037/0735-7036.117.4.371. PMID 14717638. 
  61. ^ a b Sukumar, hlm. 149.
  62. ^ a b c Kingdon, hlm. 9.
  63. ^ Cole, M. (14 November 1992). "Lead in lake blamed for floppy trunks". NewScientist. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-03. Diakses tanggal 25 June 2009. 
  64. ^ a b Shoshani, hlm. 70–71.
  65. ^ a b c Shoshani, hlm. 71–74.
  66. ^ Sukumar, hlm. 120
  67. ^ Clutton-Brock, J. (1986). A Natural History of Domesticated Mammals. British Museum (Natural History). hlm. 208. ISBN 0-521-34697-5. 
  68. ^ "Elephants Evolve Smaller Tusks Due to Poaching". Environmental News Network. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-21. Diakses tanggal 25 September 2012. 
  69. ^ Zhuoqiong, W. (16 July 2005). "Tuskless elephants evolving thanks to poachers". China Daily. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-28. Diakses tanggal 27 January 2013. 
  70. ^ Gray, R. (20 January 2008). "Why elephants are not so long in the tusk". The Daily Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-07. Diakses tanggal 27 January 2013. 
  71. ^ a b Shoshani, hlm. 66–67.
  72. ^ a b c d Shoshani, hlm. 69–70.
  73. ^ a b c Weissengruber, G. E.; Egger, G. F.; Hutchinson, J. R.; Groenewald, H. B.; Elsässer, L.; Famini, D.; Forstenpointner, G. (2006). "The structure of the cushions in the feet of African elephants (Loxodonta africana)". Journal of Anatomy. 209 (6): 781–92. doi:10.1111/j.1469-7580.2006.00648.x. PMC 2048995 . PMID 17118065. 
  74. ^ Shoshani, hal. 74.
  75. ^ Pennisi, E. (22 December 2011). "Elephants Have a Sixth 'Toe'". ScienceMag.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-09. Diakses tanggal 23 December 2011. 
  76. ^ Hutchinson, J. R.; Schwerda, D.; Famini, D. J.; Dale, R. H.; Fischer, M. S. Kram, R. (2006). "The locomotor kinematics of Asian and African elephants: changes with speed and size". Journal of Experimental Biology. 209 (19): 3812–27. doi:10.1242/jeb.02443. PMID 16985198. 
  77. ^ Genin, J. J. Willems, P. A.; Cavagna, G. A.; Lair, R.; Heglund, N. C. (2010). "Biomechanics of locomotion in Asian elephants". Journal of Experimental Biology. 213 (5): 694–706. doi:10.1242/jeb.035436. PMID 20154184. 
  78. ^ Hutchinson, J. R.; Famini, D.; Lair, R.; Kram, R. (2003). "Biomechanics: Are fast-moving elephants really running?". Nature. 422 (6931): 493–94. doi:10.1038/422493a. PMID 12673241. 
  79. ^ Shoshani, hlm. 60.
  80. ^ Benedict, F. G.; Lee, R. C. (1936). "The heart rate of the elephant". Proceedings of the American Philosophical Society. 76 (3): 335–41. JSTOR 984548. 
  81. ^ "How elephants 'snorkel'". BBC News. 31 August 2002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-05. Diakses tanggal 3 November 2012. 
  82. ^ Shoshani, hlm. 80.
  83. ^ "BBC Nature — Dung eater videos, news and facts". Bbc.co.uk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-29. Diakses tanggal 2011-11-27. 
  84. ^ a b c Eltringham, hlm. 124–27.
  85. ^ Siegel, J.M. (2005). "Clues to the functions of mammalian sleep". Nature. 437 (7063): 1264–71. doi:10.1038/nature04285. PMID 16251951. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-20. Diakses tanggal 2014-04-27. 
  86. ^ Sukumar, hlm. 159.
  87. ^ Hoare, B. (2009). Animal Migration: Remarkable Journeys in the Wild. University of California Press. hlm. 58–59. ISBN 0-520-25823-1. 
  88. ^ a b Shoshani, hlm. 226–29.
  89. ^ Campos-Arceiz, A.; Blake, S. (2011). "Mega-gardeners of the forest–the role of elephants in seed dispersal" (PDF). Acta Oecologica. 37 (6): 542–53. doi:10.1016/j.actao.2011.01.014. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2013-06-18. Diakses tanggal 2014-04-27. 
  90. ^ Campos-Arceiz, A.; Traeholt, C.; Jaffar, R.; Santamaria, L.; Corlett, R. T. (2012). "Asian tapirs are no elephants when it comes to seed dispersal". Biotropica. 44 (2): 220–27. doi:10.1111/j.1744-7429.2011.00784.x. 
  91. ^ "Elephants kill endangered rhino". BBC News. 14 February 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-18. Diakses tanggal 5 October 2012. 
  92. ^ Power, R. J.; Shem Compion, R. X. (2009). "Lion predation on elephants in the Savuti, Chobe National Park, Botswana". African Zoology. 44 (1): 36–44. doi:10.3377/004.044.0104. 
  93. ^ Sukumar, hlm. 121.
  94. ^ a b c Sukumar, hlm. 175–79.
  95. ^ a b Kingdon, hlm. 53.
  96. ^ Harris, M.; Sherwin, C.; Harris, S. (2008). "Defra final report on elephant welfare" (PDF). University of Bristol. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2014-11-24. Diakses tanggal 2014-04-27. 
  97. ^ McComb, K.; Shannon, G.; Durant, S. M.; Sayialel, K.; Slotow, R.; Poole, J.; Moss, C. (2011). "Leadership in elephants: the adaptive value of age" (PDF). Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 278 (1722): 3270–76. doi:10.1098/rspb.2011.0168. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2013-04-29. Diakses tanggal 2014-04-27. 
  98. ^ a b c d e Sukumar, hlm. 179–83.
  99. ^ a b Highfield, R. (17 February 2006). "Elephant rage: they never forgive, either". The Sydney Morning Herald. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-20. Diakses tanggal 16 June 2007. 
  100. ^ a b Sukumar, hlm. 100–08.
  101. ^ Sukumar, hlm. 89.
  102. ^ Sukumar, hlm. 262.
  103. ^ Sukumar, hlm. 98–99.
  104. ^ "Elephant Reproduction Project: The Estrous Cycle of Elephants". Smithsonian National Zoo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-06. Diakses tanggal 8 October 2012. 
  105. ^ Sukumar, hlm. 113.
  106. ^ Sukumar, hlm. 117.
  107. ^ a b c d Moss, hlm. 106–13.
  108. ^ Kingdon, hlm. 69.
  109. ^ Murray E. Fowler; Susan K. Mikota (2006). Biology, Medicine, and Surgery of Elephants. John Wiley & Sons. hlm. 353. ISBN 978-0-8138-0676-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2014-04-27. 
  110. ^ Estes, R. (1991). The behavior guide to African mammals: including hoofed mammals, carnivores, primates. University of California Press. hlm. 266. ISBN 978-0-520-08085-0. 
  111. ^ a b c d e f Bagemihl, B. (1999). Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity. St. Martin's Press. hlm. 427–30. ISBN 1-4668-0927-2. 
  112. ^ Sukumar, hlm. 259–62.
  113. ^ a b Lueders, I.; Niemuller, C.; Rich, P.; Gray, C.; Hermes, R.; Goeritz, F.; Hildebrandt, T. B. (2012). "Gestating for 22 months: luteal development and pregnancy maintenance in elephants". Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 279 (1743): 3687–96. doi:10.1098/rspb.2012.1038. PMC 3415912 . PMID 22719030. 
  114. ^ a b c Sukumar, hlm. 126–29.
  115. ^ Kingdon, hlm. 64.
  116. ^ "War veteran elephant dies". BBC News. 26 February 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-12. Diakses tanggal 8 January 2013. 
  117. ^ Payne and Langbauer, hlm. 116.
  118. ^ Payne and Langbauer, hlm. 119–20.
  119. ^ a b Payne and Langbauer, hlm. 120–21.
  120. ^ Kingdon, hlm. 63.
  121. ^ a b Sukumar, hlm. 142–45.
  122. ^ a b Payne, K.B.; Langbauer, W.R.; Thomas, E.M. (1986). "Infrasonic calls of the Asian elephant (Elephas maximus)". Behavioral Ecology and Sociobiology. 18 (4): 297–301. doi:10.1007/BF00300007. 
  123. ^ Larom, D.; Garstang, M.; Payne, K.; Raspet, R.; Lindeque, M. (1997). "The influence of surface atmospheric conditions on the range and area reached by animal vocalizations" (PDF). Journal of Experimental Biology. 200 (Pt 3): 421–31. PMID 9057305. 
  124. ^ O'Connell-Rodwell, E.O. (2007). "Keeping an "ear" to the ground: seismic communication in elephants". Physiology. 22 (4): 287–94. doi:10.1152/physiol.00008.2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-27. Diakses tanggal 2014-04-30. 
  125. ^ O'Connell-Rodwell C. E.; Arnason, B.; Hart, L. A. (2000). "Seismic properties of Asian elephant (Elephas maximus) vocalizations and locomotion". Journal of the Acoustical Society of America. 108 (6): 3066–72. doi:10.1121/1.1323460. PMID 11144599. 
  126. ^ O'Connell-Rodwell, C. E.; Wood, J. D.; Rodwell, T. C.; Puria, S.; Partan, S. R.; Keefe, R.; Shriver, D.; Arnason, B. T.; Hart, L. A. (2006). "Wild elephant (Loxodonta africana) breeding herds respond to artificially transmitted seismic stimuli" (PDF). Behavioural and Ecological Sociobiology. 59 (6): 842–50. doi:10.1007/s00265-005-0136-2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-12-03. Diakses tanggal 2014-04-30. 
  127. ^ Plotnik, J. M.; de Waal, F. B. M.; Reiss, D. (2006). "Self-recognition in an Asian elephant". Proceedings of the National Academy of Sciences. 103 (45): 17053–57. doi:10.1073/pnas.0608062103. 
  128. ^ Rensch, B. (1957). "The intelligence of elephants". Scientific American. 196 (2): 44–49. doi:10.1038/scientificamerican0257-44. 
  129. ^ Hart, B. J.; Hart, L. A.; McCory, M.; Sarath, C. R. (2001). "Cognitive behaviour in Asian elephants: use and modification of branches for fly switching". Animal Behaviour. 62 (5): 839–47. doi:10.1006/anbe.2001.1815. 
  130. ^ McComb, K.; Baker, L.; Moss, C. (2006). "African elephants show high levels of interest in the skulls and ivory of their own species". Biology Letters. 2 (1): 26–28. doi:10.1098/rsbl.2005.0400. PMC 1617198 . PMID 17148317. 
  131. ^ Douglas-Hamilton, I.; Bhallaa, S.; Wittemyera, G.; Vollratha, F. (2006). "Behavioural reactions of elephants towards a dying and deceased matriarch" (PDF). Applied Animal Behaviour Science. 100 (1): 87–102. doi:10.1016/j.applanim.2006.04.014. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-05-11. Diakses tanggal 2014-04-30. 
  132. ^ "What really prompts the dog's 'Guilty Look'". Science Daily. 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-20. Diakses tanggal September 5, 2013. 
  133. ^ Bekoff, M. (2009). "Anthropomorphic Double-Talk: Can Animals Be Happy But Not Unhappy? No!". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-28. Diakses tanggal September 5, 2013. 
  134. ^ Masson, Jeffrey Moussaieff; Susan McCarthy (1996). When Elephants Weep: Emotional Lives of Animals. Vintage. hlm. 272. ISBN 0-09-947891-9. 
  135. ^ Douglas-Hamilton, hlm. 178–82.
  136. ^ African Elephant Specialist Group (AfESG) (2013). "2012 Continental Totals ("2013 AFRICA" analysis)". Elephant Database. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-02. Diakses tanggal February 27, 2014. 
  137. ^ a b c d e f g Choudhury, A.; Lahiri Choudhury, D. K.; Desai, A.; Duckworth, J. W.; Easa, P. S.; Johnsingh, A. J. T.; Fernando, P.; Hedges, S.; Gunawardena, M.; Kurt, F.; Karanth, U.; Lister, A.; Menon, V.; Riddle, H.; Rübel, A.; Wikramanayake, E. (2008). "Elephas maximus". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 2012-10-16. 
  138. ^ a b Daniel, hlm. 174.
  139. ^ a b c d e Martin, hlm. 202–07
  140. ^ a b c Christy, B. (October 2012). "Ivory Worship". National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-26. Diakses tanggal 17 October 2012. 
  141. ^ Steyn, Paul (12 December 2013). "Urban Wildlife Corridors Could Save Africa's Free-Roaming Elephants". A Voice for Elephants. National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-24. Diakses tanggal 23 December 2013. 
  142. ^ Sukumar, hlm. 57.
  143. ^ a b c McNeely, hlm. 149–50.
  144. ^ Wylie, hlm. 120–23.
  145. ^ Smith, hlm. 152–54.
  146. ^ Topper, R (15 October 2012). "Elephant Dung Coffee: World's Most Expensive Brew Is Made With Pooped-Out Beans". The Huffington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-26. Diakses tanggal 10 December 2012. 
  147. ^ Easa, hlm. 86.
  148. ^ Bist, S. S.; Cheeran, J. V.; Choudhury, S.; Barua, P.; Misra, M. K. "The domesticated Asian elephant in India". Regional Office for Asia and the Pacific. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-01. Diakses tanggal 25 December 2012. 
  149. ^ a b c d Wylie (2000), hlm. 146–48.
  150. ^ Sukumar, hlm. 59–64.
  151. ^ a b Griffin, B (2004). "Elephants: From the Sacred to the Mundane". Dalam Gin Ooi, K. Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, Volume 1. hlm. 487–89. ISBN 1-57607-770-5. 
  152. ^ Shoshani, hlm. 168–69.
  153. ^ a b Tuttle, hlm. 184–88.
  154. ^ Sterm, A. (28 February 2005). "Elephant deaths at zoos reignite animal debate: Zoo supporters cite conservation, activists cite confined spaces". MSNBC/Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal 24 October 2012. 
  155. ^ Harris, M.; Sherwin, C.; Harris, S. (10 November 2008). "Defra Final Report on Elephant Welfare" (PDF). University of Bristol. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2014-11-24. Diakses tanggal 16 November 2011. 
  156. ^ Mott, M. (11 December 2008). "Wild elephants live longer than their zoo counterparts". National Geographic News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-04. Diakses tanggal 24 October 2012. 
  157. ^ "Circus Myths: The true cruelty under the big top". Humane Society of the United States. 25 September 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-05. Diakses tanggal 24 October 2012. 
  158. ^ Pickler, N. (4 March 2009). "Circus CEO says elephants are struck, but not hurt". Associated Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-20. Diakses tanggal 25 October 2012. 
  159. ^ Wylie, hlm. 142.
  160. ^ Anon. (2 March 2013). "Victory for Brigitte Bardot as elephants are reprieved". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-05. Diakses tanggal 2 March 2013. 
  161. ^ Ghianni, T. (18 February 2011). "Elephant behind TB outbreak at Tennessee sanctuary". Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-04-29. Diakses tanggal 1 February 2013. 
  162. ^ a b Huggler, J. (12 October 2006). "Animal Behaviour: Rogue Elephants". London: The Independent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-14. Diakses tanggal 16 June 2007. 
  163. ^ Siebert, C. (8 October 2006). "An Elephant Crackup?". Nytimes.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-03. Diakses tanggal 25 October 2012. 
  164. ^ "India elephant rampage". BBC News. 24 December 1998. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-26. Diakses tanggal 16 June 2007. 
  165. ^ "Drunken elephants trample village". BBC News. 21 October 1999. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-26. Diakses tanggal 16 June 2007. 
  166. ^ "Drunk elephants kill six people". BBC News. 17 December 2002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-04-08. Diakses tanggal 16 June 2007. 
  167. ^ Wylie, hlm. 63–65.
  168. ^ a b c d e McNeely, hlm. 158–60.
  169. ^ Kingdon, hlm. 31.
  170. ^ Wylie, hlm. 83–84.
  171. ^ Klinsöhr-Leroy, C.; Grosenick, U. (2004). Surrealism. Taschen. hlm. 50. ISBN 3-8228-2215-9. 
  172. ^ Wylie, hlm. 79.
  173. ^ Sukumar, hlm. 87.
  174. ^ Sukumar, hlm. 64.
  175. ^ Sukumar, hlm. 62.
  176. ^ Haykal, M. H. (2008). The Life of Muḥammad. Islamic Book Trust. hlm. 52. ISBN 978-983-9154-17-7. 
  177. ^ a b c Van Riper, A. B. (2002). Science in Popular Culture: A Reference Guide. Greenwood Press. hlm. 73–75. ISBN 0-313-31822-0. 
  178. ^ "Cartoon of the Day: "The Third-Term Panic"". HarpWeek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-21. Diakses tanggal 1 September 2008. 
  179. ^ Cambridge Academic Content Dictionary Paperback with CD-ROM. Cambridge University Press. hlm. 298. ISBN 978-0-521-69196-3. 
  180. ^ Koleksi Peribahasa & Pantun Indonesia Terlengkap. Indonesia Cerdas. 2009. hlm. 76. ISBN 9786028276184. 
  181. ^ Nevid, J. S. (2008). Psychology: Concepts and Applications. Wadsworth Publishing. hlm. 477. ISBN 0-547-14814-3. 

Daftar pustaka

  • Shoshani, J., ed. (2000). Elephants: Majestic Creatures of the Wild. Checkmark Books. ISBN 0-87596-143-6. 
    • --- Shoshani, J.; Shoshani, S. L. What is an Elephant?. hlm. 14–15. 
    • --- Shoshani, J. Comparing the Living Elephants. hlm. 36–51. 
    • --- Shoshani, J. Anatomy and Physiology. hlm. 66–80. 
    • --- Easa, P. S. Musth in Asian Elephants. hlm. 85–86. 
    • --- Moss, C. Elephant Calves: The Story of Two Sexes. hlm. 106–13. 
    • --- Payne, K. B.; Langauer, W. B. Elephant Communication. hlm. 116–23. 
    • --- Eltringham, S. K. Ecology and Behavior. hlm. 124–27. 
    • --- Wylie, K. C. Elephants as War Machines. hlm. 146–48. 
    • --- McNeely, J. A. Elephants as Beasts of Burden. hlm. 149–50. 
    • --- Smith, K. H. The Elephant Domestication Centre of Africa. hlm. 152–54. 
    • --- McNeely, J. A. Elephants in Folklore, Religion and Art. hlm. 158–65. 
    • --- Shoshani, S. L. Famous Elephants. hlm. 168–71. 
    • --- Daniel, J. C. The Asian Elephant Population Today. hlm. 174–77. 
    • --- Douglas-Hamilton, I. The African Elephant Population Today. hlm. 178–83. 
    • --- Tuttle, C. D. Elephants in Captivity. hlm. 184–93. 
    • --- Martin, E. B. The Rise and Fall of the Ivory Market. hlm. 202–07. 
    • --- Shoshani, J. Why Save Elephants?. hlm. 226–29. 
  • Sukumar, R. (2003). The Living Elephants: Evolutionary Ecology, Behaviour, and Conservation. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-510778-4. 
  • Kingdon, J. (1988). East African Mammals: An Atlas of Evolution in Africa, Volume 3, Part B: Large Mammals. Academic Press. ISBN 0-12-408355-2. 
  • Wylie, D. (2009). Elephant. Reaktion Books. ISBN 978-1-86189-397-0. 

Bacaan lanjut

Pranala luar