Pengawetan ikan adalah berbagai metode yang digunakan untuk memperpanjang usia simpan ikan dan produk ikan. Metode pengawetan diantaranya pengeringan, penggaraman, pengasapan, pembekuan, pengalengan ikan, dan kombinasinya. Pembekuan dan pengalengan merupakan metode yang baru diperkenalkan pada zaman modern.

Bak penggaraman ikan kuno, di Crimea
Es yang digunakan untuk menurunkan temperatur ikan dan menghambat pertumbuhan bakteri

Ikan umumnya didiami bakteri yang tidak menyebabkan pembusukan. Bakteri pembusuk datang dari lingkungan sekitar seperti geladak kapal penangkap ikan dan bak penyimpanan.[1] Untuk berkembang biak dengan cepat, bakteri pembusuk membutuhkan temperatur, air, oksigen, dan derajat keasaman yang tepat. Metode pengawetan menghalangi salah satu atau seluruh faktor tersebut.[2]

Pada masa lalu, kapal penangkap ikan memiliki jangkauan berlayar yang terbatas karena hasil tangkapan mereka harus segera berlabuh sebelum membusuk. Pengenalan refrigerasi dan teknologi pembekuan memperluas jangkauan dan ukuran kapal penangkap ikan hingga mereka mampu berlayar ke tengah samudera dan membawa kembali belasan ton ikan. Pengawetan ikan juga mengubah cara pemasaran ikan sehingga daerah yang jauh dari laut dapat menerima ikan dan produk ikan.

Pengawetan ikan merupakan salah satu cara dalam meningkatkan nilai tambah hasil tangkapan dan budi daya sehingga nelayan dan petambak dapat memperoleh penghasilan tambahan jika dibandingkan dengan menjual dalam bentuk segar. Selain itu, usaha pengawetan ikan dapat membuka lapangan kerja baru.[3]

Sejarah

sunting

Di masa lalu, kapal penangkap ikan dibatasi jangkauannya dengan pertimbangan sederhana bahwa hasil tangkapan harus dikembalikan ke pelabuhan sebelum menjadi rusak dan tidak berharga. Perkembangan teknologi pendinginan dan pembekuan mengubah industri penangkapan ikan komersial: kapal penangkap ikan bisa lebih besar, menghabiskan lebih banyak waktu jauh dari pelabuhan dan oleh karena itu mengakses stok ikan pada jarak yang jauh lebih jauh. Pendinginan dan pembekuan juga memungkinkan tangkapan untuk didistribusikan ke pasar lebih jauh ke pedalaman, menjangkau pelanggan yang sebelumnya hanya memiliki akses ke ikan laut kering atau asin.

Pengalengan, yang dikembangkan selama abad ke-19, juga berdampak signifikan pada penangkapan ikan dengan memungkinkan tangkapan ikan musiman yang mungkin jauh dari pusat populasi besar untuk dieksploitasi. Misalnya: ikan sarden kalengan.

Teknik pengawetan diperlukan untuk mencegah pembusukan ikan dan memperpanjang umur simpan. Mereka dirancang untuk menghambat aktivitas bakteri pembusuk dan perubahan metabolisme yang mengakibatkan hilangnya kualitas ikan. Bakteri pembusuk adalah bakteri spesifik yang menghasilkan bau dan rasa tidak enak yang terkait dengan ikan busuk. Ikan biasanya menampung banyak bakteri yang bukan bakteri pembusuk, dan sebagian besar bakteri yang ada pada ikan busuk tidak berperan dalam pembusukan.[4] Untuk berkembang biak, bakteri membutuhkan suhu yang tepat, air dan oksigen yang cukup, serta lingkungan yang tidak terlalu asam. Teknik pelestarian bekerja dengan menginterupsi satu atau lebih dari kebutuhan ini. Teknik pengawetan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.[5]

Pengendalian temperatur

sunting
 
Ikan yang dikemas dalam tumpukan es

Penurunan temperatur akan membuat aktivitas metabolisme mikrob dan enzim autolisis dapat dikurangi atau dihentikan. Hal ini dapat dilakukan dengan pendinginan di mana temperatur diturunkan hingga menjadi dingin atau beku. Metode ini banyak digunakan pada kapal penangkap ikan untuk menjaga kesegaran ikan yang ditangkap sehingga kapal dapat berada di laut lebih lama sebelum berlabuh. Efisiensi energi dan ukuran ruang penyimpanan merupakan faktor penting dalam mendesain pendingin di dalam kapal penangkap ikan.[2] Berbagai jenis es digunakan, seperti pecahan es, kepingan es, balok es, hingga bubur es.[6] Es bubur (slurry ice) merupakan salah satu metode pendinginan yang paling efektif dengan menggunakan kristal es berukuran mikro dan memiliki perilaku seperti air sehingga mampu dimpompa. Titik beku dari es ini diturunkan lebih jauh lagi dengan menggunakan larutan, misal garam.[7]

Teknologi es mampu pompa merupakan penemuan terkini dalam teknologi pendinginan di mana es mengalir seperti air dan menjadikan strukturnya homogen. Teknologi ini mendinginkan ikan lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan es balok, dan meminimalisasi memar akibat pembekuan (freeze burn). Teknologi ini lebih efisien energi dibandingkan pembuatan es balok dari air.[8][9]

Meski metode pendinginan dapat menjaga kesegaran ikan mentah, namun produk ikan kemungkinan mengalami perubahan kualitas. Seperti penelitian yang dilakukan terhadap bakso ikan yang didinginkan, perubahan kualitas terdapat pada sifat rheologi bahan seperti kekenyalan dan kemampuan lipat, dan warna. Perubahan rasa juga terjadi.[10]

Pengendalian aktivitas air

sunting
 
Pengeringan ikan dengan cara dijemur
 
Rak pengeringan ikan di Norwegia. Makanan yang dikeringkan mengalami penurunan kadar air sehingga pertumbuhan bakteri terhambat

Aktivitas air adalah rasio antara tekanan uap air di dalam suatu bahan (dalam hal ini, daging ikan) dengan tekanan uap air murni pada tekanan udara dan temperatur yang sama. Nilainya bervariasi antara 0 dan 1, dan menggambarkan seberapa banyak air yang terkandung di dalam suatu bahan. Air di dalam tubuh ikan dapat dimanfaatkan oleh bakteri untuk tumbuh dan berkembang biak serta berperan dalam reaksi enzimatis.

Pengeringan, pengasinan, dan pengasapan mengendalikan aktivitas air. Pengeringan dengan cahaya matahari menguapkan air dalam tubuh ikan sehingga menurunkan kadar air. Penggaraman mengangkat air dari dalam tubuh ikan secara osmosis. Pengasapan memindahkan air dan menjadikan molekul asap menempati ruang yang ditinggalkan air. Pengasapan juga mengeringkan ikan.

Teknologi terbaru dalam pengeringan adalah pengeringan beku (freeze drying), penggunaan senyawa pengikat air (humektan), dan pengendalian kelembaban ruang penyimpanan.[2]

Pengendalian oksigen

sunting

Bakteri dan proses oksidasi lipid penyebab pembusukan umumnya membutuhkan oksigen sehingga pengurangan kadar oksigen dalam kemasan maupun ruang penyimpanan dapat memperpanjang usia simpan ikan dan produk ikan. Pengendalian dan modifikasi atmosfer maupun pengemasan vakum dapat dilakukan ketika menyimpan dan/atau mengemas produk. Pada pengendalian dan modifikasi atmosfer, kadar oksigen, karbon dioksida, dan nitrogen diatur dan dikombinasikan dengan pendinginan untuk menjadikannya lebih efektif.[2]

Pengendalian jumlah mikrob secara langsung

sunting

Secara fisik

sunting

Pemanasan atau ionisasi dengan radiasi dapat digunakan untuk membunuh bakteri penyebab pembusukan. Panas diaplikasikan dengan memasaknya maupun dengan pemanasan gelombang mikro (microwave). Temperatur yang akan dicapai tergantung pada tujuan pemanasan, apakah pasteurisasi atau sterilisasi. Pasteurisasi tidak mematikan organisme secara sempurna sehingga harus diikuti dengan pendinginan produk tersebut. Pasteurisasi dilakukan jika temperatur tinggi tidak diinginkan karena dapat mengubah kualitas produk. Baik sterilisasi maupun pasteurisasi harus diikuti dengan pengemasan kedap udara agar bakteri dari lingkungan tidak masuk ke dalam produk.[2]

Secara kimiawi

sunting

Pertumbuhan dan penyebaran bakteri dapat dicegah dengan menggunakan bahan antimikroba atau dengan meningkatkan keasaman ikan dan produk ikan. Menignkatkan keasaman dapat dilakukan dengan menambahkan bahan kimia yang bersifat asam (misal asam asetat) atau dengan melakukan fermentasi. Bakteri asam laktat yang berperan dalam fermentasi mengeluarkan senyawa yang bersifat asam dan bahan antimikroba seperti nisin sehingga mampu mengawetkan ikan. Senyawa lainnya yang memiliki fungsi sama yaitu nitrit, sulfit, sorbat, benzoat, dan minyak nabati.[2][11] Beberapa senyawa fitokimia juga memiliki kemampuan antimikroba sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan ikan dan memberikan rasa yang khas, misal senyawa hasil ekstraksi daun teh dan pandan,[12] serta produk samping industri seperti kitosan dan karagenan.[13]

Teknik gabungan

sunting

Dua atau lebih dari teknik ini sering dikombinasikan. Ini dapat meningkatkan pengawetan dan mengurangi efek samping yang tidak diinginkan seperti denaturasi nutrisi dengan perlakuan panas yang parah. Kombinasi yang umum adalah penggaraman/pengeringan, penggaraman/pengasingan, penggaraman/pengasapan, pengeringan/pengasapan, pasteurisasi/pendinginan dan atmosfir/pendinginan terkendali.[5] Kombinasi proses lainnya saat ini sedang dikembangkan di sepanjang teori rintangan berganda.[14]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Huss HH (1988). Quality and quality changes in fresh fish. FAO Fisheries Technical Paper 348, Rome. ISBN 92-5-103507-5. 
  2. ^ a b c d e f "Preservation techniques". Fisheries and aquaculture department, Rome. Diakses tanggal 14 Maret 2011. 
  3. ^ Nurhayati, Popong (2004). "Nilai Tambah Produk Olahan Perikanan pada Industri Perikanan Tradisional di DKI Jakarta". Buletin Ekonomi Perikanan IPB. 
  4. ^ Quality and quality changes in fresh fish. Hans Henrik Huss. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1995. ISBN 92-5-103507-5. OCLC 33444169. 
  5. ^ a b BONDAD-REANTASO, MELBA G. (2018-12-31). "FAO Technical Assistance Efforts to Deal with Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) of Cultured Shrimp". Asian Fisheries Science. 31S. doi:10.33997/j.afs.2018.31.s1.001. ISSN 0116-6514. 
  6. ^ "Handling of fish and fish products". Fisheries and aquaculture department, Rome. Diakses tanggal 22 July 2012. 
  7. ^ Kauffeld M, Kawaji M dan Egol PW (Eds.) (2005). Handbook on ice slurries: fundamentals and engineering. International Institute of Refrigeration. ISBN 978-2-913149-42-7. 
  8. ^ "Deepchill™ Variable-State Ice in a Poultry Processing Plant in Korea". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-06. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  9. ^ "Results of Liquid Ice Trails aboard Challenge II" (PDF). April 27, 2003. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-01-29. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  10. ^ Uju (2006). "Pengaruh Penyimpanan Beku Surimi Terhadap Mutu Bakso Ikan Jangilus (Istiophorus sp.)". Buletin Teknologi Hasil Perikanan IPB. 
  11. ^ Ananou1 S, Maqueda1 M, Martínez-Bueno1 M and Valdivia1 E (2007). "Biopreservation, an ecological approach to improve the safety and shelf-life of foods". Dalam A. Méndez-Vilas. Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology (PDF). Formatex. ISBN 978-84-611-9423-0. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-26. Diakses tanggal 2014-06-10. 
  12. ^ "Mahasiswa Brawijaya Temukan Pengawet Alami untuk Ikan Asin". The Globe Journal. 4 Juni 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-06-06. Diakses tanggal 2014-06-10. 
  13. ^ Zahiruddin, Winarti; Erungan, Anna C.; Wiraswanti, Ira (2008). "Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam Pembuatan Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) pada Penyimpanan Suhu Dingin dan Beku". Buletin Teknologi Hasil Perikanan IPB. 
  14. ^ Leistner, Lothar (2002). Hurdle technologies : combination treatments for food stability, safety, and quality. G. W. Gould. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. ISBN 0-306-47263-5. OCLC 50479233.