Fermentasi (makanan)

Fermentasi atau peragian dalam pengolahan bahan pangan adalah pengubahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbon dioksida atau asam amino organik menggunakan ragi/khamir, bakteri, fungi atau kombinasi dari ketiganya dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen). Perilaku mikroorganisme terhadap makanan dapat menghasilkan dampak positif maupun negatif, dan fermentasi makanan biasanya mengacu pada dampak positifnya. Keilmuan yang mempelajari fermentasi disebut dengan zimologi.

Tape, salah satu makanan hasil fermentasi

Sejarah

sunting

Fermentasi telah ada sejak zaman prasejarah. Bukti paling awal fermentasi makanan ada pada minuman beralkohol yang terbuat dari buah, beras, dan madu, bertanggal 7000-6600 SM di Jiahu, China,[1] dan minuman anggur sejak 6000 SM di Georgia.[2] Kendi berusia 7000 tahun berisi sisa minuman anggur ditemukan di Pegunungan Zagros, Iran dan disimpan di Universitas Pennsylvania.[3] Diperkirakan bangsa Babilonia memfermentasikan minuman sejak tahun 3000 SM,[4] Mesir Kuno sekitar 3150 SM,[5] Meksiko Kuno sekitar 2000 SM,[4] dan Sudan sekitar 1500 SM.[6]

Louis Pasteur merupakan pakar Zymologist pertama di dunia, ketika pada tahun 1856 ia menghubungkan keberadaan ragi terhadap proses fermentasi.[7] Pasteur pada awalnya mendefinisikan fermentasi sebagai proses "respirasi tanpa udara". Pasteur juga menemukan bahwa fermentasi sejalan dengan perkembang biakan mikroorganisme di dalam makanan.

Manfaat

sunting
 
Roti dan bir dua bahan pangan utama yang difermentasi di dunia

Manfaat utama fermentasi adalah pengubahan karbohidrat menjadi asam organik yang bersifat mengawetkan makanan. Contoh fermentasi yaitu jus anggur yang difermentasi menjadi minuman anggur, gandum menjadi bir, dan sebagainya. Fermentasi menjadikan makanan lebih tahan lama.

Setidaknya ada lima manfaat fermentasi:[8]

  • Memperkaya variasi makanan dengan mengubah aroma, rasa, dan tekstur makanan
  • Mengawetkan makanan dengan menghasilkan sejumlah asam laktat, alkohol, dan asam asetat dalam jumlah yang signifikan
  • Memperkaya nutrisi makanan dengan menambahkan sejumlah protein, asam amino, serta vitamin
  • Mengeliminasi senyawa anti nutrien
  • Mengurangi waktu dan sumber daya yang diperlukan dalam memproses makanan

Keamanan

sunting

Botulisme akibat makanan fermentasi pernah terjadi di Alaska sejak tahun 1985 yang disebabkan oleh praktik fermentasi produk ikan secara tradisional, termasuk fermentasi walrus, singa laut, dan paus. Kondisi ini diperparah ketika kemasan plastik digunakan sebagai wadah fermentasi, bukan menggunakan lubang tanah yang ditutupi jerami seperti cara tradisional, karena bakteri Clostridium botulinum berkembang dengan baik pada kondisi kedap udara.[9]

WHO mengklasifikasikan acar sebagai karsinogen berdasarkan studi epidemiologi.[10] Studi lainnya menemukan bahwa bahan pangan hasil fermentasi mengandung produk samping berupa karsinogen seperti etil karbamat.[11][12] Sebuah kajian pada tahun 2009 di Asia menemukan bahwa warga yang memakan acar sayuran secara berkala memiliki risiko kanker esofagus hingga dua kali lipat.[13]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ DOI:10.1073/pnas.0407921102
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  2. ^ "8,000-year-old wine unearthed in Georgia". The Independent. 2003-12-28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-01-03. Diakses tanggal 2007-01-28. 
  3. ^ "Now on display ... world's oldest known wine jar". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-16. Diakses tanggal 2007-01-28. 
  4. ^ a b "Fermented fruits and vegetables. A global perspective". FAO Agricultural Services Bulletins - 134. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-19. Diakses tanggal 2007-01-28. 
  5. ^ Cavalieri, D (2003). "Evidence for S. cerevisiae fermentation in ancient wine" (PDF). Journal of Molecular Evolution. 57 Suppl 1: S226–32. doi:10.1007/s00239-003-0031-2. PMID 15008419. 15008419. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-04-17. Diakses tanggal 2007-01-28. 
  6. ^ Dirar, H., (1993), The Indigenous Fermented Foods of the Sudan: A Study in African Food and Nutrition, CAB International, UK
  7. ^ "Fermentation" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-05-30. Diakses tanggal 2014-04-12. 
  8. ^ Steinkraus, K. H., Ed. (1995). Handbook of Indigenous Fermented Foods. New York, Marcel Dekker, Inc.
  9. ^ "Why does Alaska have more botulism". Centers for Disease Control and Prevention (U.S. federal agency). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-07. Diakses tanggal 18 July 2011. 
  10. ^ "Agents Classified by the IARC Monographs, Volumes 1–105" (PDF). International Agency for Research on Cancer (United Nations World Health Organization agency). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-12-24. Diakses tanggal 10 October 2012. 
  11. ^ "Fermented Food : contains carcinogenic ethyl carbamate (urethane)". Live in Green Company Limited. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-13. Diakses tanggal 10 October 2012. 
  12. ^ "New Link Between Wine, Fermented Food And Cancer". ScienceDaily. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-24. Diakses tanggal 10 October 2012. 
  13. ^ "The WHO Says Cellphones—and Pickles—May Cause Cancer". Slate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-29. Diakses tanggal 10 October 2012. 

Pranala luar

sunting