Magistratus

pejabat tinggi yang memainkan peran penting dalam pemerintahan Republik Romawi

Magistratus adalah pejabat tinggi yang memainkan peran penting dalam pemerintahan Republik Romawi. Mereka bertanggung jawab atas berbagai fungsi administratif, yudikatif, dan militer. Ada beberapa jenis magistratus, termasuk konsul, praetor, censor, dan quaestor, yang masing-masing memiliki kewenangan khusus. Para magistratus dipilih oleh rakyat melalui komitia atau majelis, dengan batasan masa jabatan yang ditetapkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, mereka harus menjalani karier politik berjenjang, dikenal sebagai "cursus honorum," yang merupakan tangga menuju jabatan yang lebih tinggi. Struktur ini mencerminkan prinsip-prinsip keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan Romawi, yang berupaya mencegah tirani melalui pembatasan otoritas individu.

Pada zaman kerajaan, Raja Roma adalah magistratus eksekutif utama.[1] Pada praktiknya, raja berkuasa mutlak. Ia adalah imam besar sekaligus pembuat undang-undang, hakim, dan panglima angkatan bersenjata.[1][2] Bilamana raja mangkat, kewenangannya beralih kepada senatus (senat). Senatus kemudian memilih seorang interrex (pemangku sementara) untuk memfasilitasi pemilihan raja baru.

Pada masa transisi dari kerajaan ke republik, perimbangan kekuasaan konstitusional bergeser dari lembaga eksekutif (Raja Roma) ke senatus. Ketika negara Republik Romawi berdiri pada tahun 509 pra-Masehi, kewenangan yang sebelumnya dipegang raja dialihkan kepada para consul. Tiap-tiap tahun, digelar pemilihan dua orang consul. Magistratus-magistratus zaman republik dipilih rakyat Roma, dan masing-masing diberi kewenangan sampai taraf tertentu. Kewenangan magistratus disebut maior potestas (kewenangan utama).[3] Dictator (magistratus tertinggi luar biasa) mengampu lebih banyak maior potestas daripada semua magistratus lain. Magistratus dengan maior potestas terbanyak di bawah dictator berturut-turut adalah censor (pejabat sensus), consul (magistratus tertinggi), praetor (panglima), curulis aedilis (pejabat dinas ketertiban dan kesejahteraan sosial dari kalangan ningrat), dan akhirnya quaestor (pejabat dinas pengawasan dan pemeriksaan). Tiap-tiap magistratus berhak membatalkan (veto) keputusan magistratus lain yang setara atau yang lebih sedikit maior potestas-nya.[4] Berdasarkan definisi magistratus di atas, para tribunus plebis (pemimpin rakyat jelata) dan aedilis plebis (pejabat dinas ketertiban dan kesejahteraan sosial dari kalangan rakyat jelata) dianggap bukan magistratus[5] karena hanya dipilih rakyat jelata (plebs) saja.[3]

Pada masa transisi dari republik ke kekaisaran, perimbangan kekuasaan konstitusional bergeser kembali dari senatus ke lembaga eksekutif (Kaisar Romawi). Pada teorinya, senatus berwenang memilih kaisar baru, tetapi pada praktiknya, kaisar memilih sendiri penggantinya, meskipun hasil keputusannya kerap dimentahkan angkatan bersenjata atau perang saudara. Kewenangan kaisar (imperium) wujud karena kaisar memiliki kedudukan hukum, setidaknya dalam teori. Dua komponen terpenting dari imperium adalah "kewenangan tribunus" dan "kewenangan proconsul".[6] Setidaknya dalam teori, kewenangan tribunus (sama dengan kewenangan tribunus plebis zaman republik) membuat kaisar berwenang mengepalai pemerintahan sipil, sementara kewenangan proconsul (sama dengan kewenangan para wali negeri militer, atau para proconsul zaman republik) membuat kaisar berwenang mengepalai angkatan bersenjata. Meskipun didefinisikan secara jelas pada permulaan zaman kekaisaran, kewenangan-kewenangan istimewa ini akhirnya hilang, dan Kewenangan kaisar pun kian tidak konstitusional dan semakin bersifat monarkis.[7] Jabatan-jabatan magistratus yang masih bertahan selepas zaman republik adalah consul, praetor, tribunus plebis, aedilis, quaestor, dan tribunus militum (pemimpin pasukan).[8] Marcus Antonius menghapus jabatan dictator dan magister equitum (panglima pasukan berkuda) ketika menjabat sebagai consul pada tahun 44 pra-Masehi, sementara jabatan interrex dan censor dihapuskan tak lama kemudian.

Magistratus eksekutif Kerajaan Romawi

sunting

Para magistratus eksekutif Kerajaan Romawi adalah pejabat-pejabat negara yang dipilih rakyat. Pada zaman kerajaan, Raja Roma adalah magistratus eksekutif utama.[1] Ia adalah kepala eksekutif, imam kepala, ketua legislator, hakim ketua, dan satu-satunya panglima tertinggi angkatan bersenjata.[1][2] Kewenangan-kewenangannya didasarkan atas hukum serta preseden, dan hanya diperoleh melalui proses politik, yakni pemilihan. Pada praktiknya, tidak ada batasan nyata terhadap kewenangannya. Bila perang meletus, raja menjadi satu-satunya orang yang berhak mengerahkan tenaga rakyat untuk berperang, membentuk angkatan perang, mengangkat kepala-kepala pasukan, dan bila perlu memimpin sendiri kampanye-kampanye militer.[2] Raja adalah penguasa seluruh harta benda milik negara, satu-satunya orang yang berhak membagi tanah rampasan dan barang jarahan perang, wakil utama kota Roma dalam urusan-urusan yang melibatkan dewa-dewi atau pemimpin-pemimpin komunitas lain, dan satu-satunya orang yang secara sepihak berhak memberlakukan hukum baru.[2] Adakalanya raja mengajukan rancangan maklumat ke hadapan sidang rakyat atau senatus untuk diratifikasi secara seremonial, tetapi tidak ada yang dapat mengganggu gugat pemberlakuan maklumat. Raja mengangkat beberapa pejabat untuk membantunya menyelengarakan pemerintahan,[9] dan secara sepihak memberi kewenangan kepada mereka. Bila raja sedang keluar kota, pemerintahan negara diselenggarakan oleh praefectus urbi (pejabat kota).[9] Raja juga didampingi dua orang quaestor selaku pembantu panglima, dan dibantu beberapa pejabat lain dalam kasus-kasus makar. Pada masa perang, adakalanya raja hanya memimpin pasukan pejalan kaki, sementara kewenangan memimpin pasukan berkuda didelegasikan kepada kepala pasukan pengawal pribadinya, tribunus celerum.[9] Kadang-kadang raja bertindak mengikuti preseden, pada umumnya untuk kepentingan praktis. Sebagai contoh, kendati secara sepihak dapat memaklumkan perang, lazimnya raja menghendaki maklumat tersebut terlebih dahulu diratifikasi sidang rakyat.[9][10]

Selang waktu antara kemangkatan raja dan pemilihan raja baru disebut interregnum.[11] Selama interregnum, senatus memilih salah seorang senator menjadi interrex[12] untuk memfasilitasi pemilihan raja baru. Begitu mendapat bakal calon yang layak, interrex mengajukannya ke hadapan senatus untuk diloloskan menjadi calon raja. Jika disetujui senatus (melalui pemungutan suara), calon raja dapat diajukan ke hadapan comitia curiata (sidang rakyat) untuk dipilih rakyat.[12] Jika calon raja terpilih menjadi raja, hasil pemilihan sidang rakyat diratifikasi senatus dengan menerbitkan maklumat.[12] Selanjutnya interrex secara resmi memasyhurkan raja terpilih sebagai Raja Roma yang baru. Sesudah dimasyhurkan, raja melakukan "ambil auspicium" (mengamati dan menafsirkan gelagat burung), yakni menjalankan ritual pencarian pertanda dari dewa-dewi, kemudian diserahi kewenangan hukum (imperium) oleh sidang rakyat.[12]

Magistratus eksekutif Republik Romawi

sunting
 
Tribunus Plebis Gaius Gracchus memimpin Concilium Plebis (sidang rakyat jelata)

Para magistratus eksekutif Republik Romawi adalah pejabat-pejabat negara yang dipilih rakyat. Tiap-tiap magistratus diberi kewenangan sampai taraf tertentu.[3] Dictator (magistratus eksekutif utama luar biasa, khusus dalam situasi darurat) adalah magistratus dengan kewenangan terbesar. Di bawah dictator, magistratus dengan kewenangan paling besar adalah consul (magistratus eksekutif utama biasa, di luar situasi darurat), kemudian praetor, censor, aedilis curialis, dan akhirnya quaestor. Setiap magistratus hanya berhak memveto tindakan magistratus lain yang setaraf atau lebih rendah kewenangannya. Karena secara teknis bukan magistratus,[5] para tribunus plebis (maupun aedilis plebis) hanya mengandalkan sacrosanctitas (hak untuk diluhurkan, pantang dicelakai) yang melekat pada jabatan mereka jika hendak mencegah suatu tindakan.[13] Jika larangannya tidak dituruti, tribunus plebis dapat memanfaatkan sacrosanctitas-nya[14] untuk menghentikan suatu tindakan secara fisik, karena setiap perlawanan terhadap tindakan fisik tribunus plebis dianggap sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.

Kewenangan konstitusional terpenting yang dapat dimiliki seorang magistratus adalah imperium (kewenangan memerintah), yakni kewenangan konstitusional yang hanya diampu para consul dan praetor. Pengampu imperium secara konstitusional berwenang menurunkan perintah-perintah (perintah militer maupun perintah-perintah lain). Begitu masa jabatan seorang magistratus berakhir, yang bersangkutan harus menunggu sepuluh tahun baru dapat kembali menjadi magistratus. Karena ketentuan ini menimbulkan masalah bagi beberapa magistratus, magistratus-magistratus tersebut kadang-kadang mengusahakan agar kewenangan memerintah mereka diperpanjang, sehingga mereka masih mengampu kewenangan tersebut selaku promagistratus (laksana pejabat).[15]

Pada zaman republik, consul adalah magistratus biasa yang paling tinggi.[16][17] Tiap-tiap tahun dipilih dua orang consul. Para consul terpilih mengampu kewenangan tertinggi di bidang sipil maupun militer. Sepanjang tahun jabatan, salah seorang consul berkedudukan lebih tinggi daripada rekan sejawatnya. Kedudukan ini bertukar tiap-tiap bulan.[18] Para praetor menjalankan penegakan hukum sipil, memimpin sidang-sidang pengadilan, dan mengepalai angkatan bersenjata di daerah jajahan.[19] Para censor bertugas menyelenggarakan sensus. Selama penyelenggaraan sensus, para censor dapat mengangkat orang-orang menjadi anggota senatus.[20] Para aedilis adalah pejabat-pejabat negara yang dipilih untuk menangani urusan-urusan rumah tangga negara di Roma, dan diberi kewenangan untuk membawahi pengurusan pasar-pasar, penyelenggaraan kejuaraan-kejuaraan, dan pergelaran pertunjukan-pertunjukan.[21] Para quaestors biasanya membantu para consul di Roma dan para wali negeri di daerah-daerah jajahan dalam penanganan urusan-urusan finansial.[21] meskipun secara teknis bukan magistratus, para tribunus plebis dan aedilis plebis dihormati sebagai wakil-wakil rakyat. Mereka mewakili rakyat mengawasi senatus (melalui hak veto), dan memelihara kebebasan sipil seluruh rakyat Roma.

Dalam situasi-situasi darurat militer, seorang dictator diangkat untuk menjabat selama enam bulan.[22] Pemerintahan konstitusional dibekukan, dan dictator menjadi penguasa mutlak atas negara.[23] Dictator selanjutnya mengangkat seorang magister equitum (kepala pasukan berkuda) sebagai wakilnya yang paling senior.[24] Dictator sering kali mengundurkan diri dari jabatannya begitu masalah yang menimbulkan situasi darurat militer teratasi.[22] Bilamana masa jabatan dictator berakhir, pemerintahan konstitusional kembali berjalan. Dictator biasa terakhir kali diangkat pada tahun 202 pra-Masehi. Selepas tahun 202 pra-Masehi, keadaan darurat diberlakukan dengan menerbitkan maklumat senatus consultum ultimum (ketetapan tertinggi senatus). Maklumat ini membekukan pemerintahan sipil, memberlakukan darurat militer,[25] dan melimpahkan kewenangan-kewenangan jabatan dictator kepada para consul.

Magistratus eksekutif Kekaisaran Romawi

sunting
 
Augustus, Kaisar Romawi yang pertama

Para magistratus eksekutif Kekaisaran Romawi adalah pejabat-pejabat negara yang dilipih rakyat. Kewenangan kaisar (imperium) wujud karena kaisar memiliki kedudukan hukum, setidaknya dalam teori. Dua unsur terpenting dari imperium kaisar adalah "kewenangan tribunus" (potestas tribunicia) dan "kewenangan proconsul" (imperium proconsulare).[6] Setidaknya dalam teori, kewenangan tribunus (mirip dengan kewenangan tribunus plebis pada zaman republik) membuat kaisar berhak mengepalai pemerintahan sipil Roma, sementara kewenangan proconsul (mirip dengan kewenangan wali negeri militer, atau proconsul, pada zaman republik) membuat kaisar berhak mengepalai angkatan bersenjata. Meskipun didefinisikan secara jelas pada permulaan zaman kekaisaran, kewenangan-kewenangan istimewa ini pada akhirnya hilang, dan kewenangan kaisar pun kian tidak konstitusinal dan semakin bersifat monarkis.[7]

Atas dasar kewenangan proconsul yang diampunya, kaisar memiliki kewenangan yang sama dengan magistratus-magistratus tertinggi zaman republik (para consul dan proconsul) dalam kepemimpinan angkatan bersenjata. Meskipun demikian, kaisar tidak wajib tunduk kepada batasan-batasan konstitusional yang ditetapkan bagi para consul dan proconsul.[26] Pada akhirnya kaisar diserahi kewenangan-kewenangan yang merupakan kewenangan khusus senatus dan sidang-sidang rakyat pada zaman republik, termasuk hak untuk memaklumkan perang, mengesahkan perjanjian, dan berunding dengan pemimpin asing.[27] Kewenangan proconsul yang diampu kaisar menjadikannya berhak membawahi segenap wali negeri militer, dan dengan demikian membawahi pula sebagian besar angkatan bersenjata Romawi. Atas dasar Kewenangan tribunus yang diampunya, kaisar berhak membawahi segenap aparatur sipil negara,[28][29] serta berhak memimpin sidang senat maupun sidang-sidang rakyat, dan dengan demikian berkesempatan untuk mendominasi lembaga-lembaga tersebut.[28] Begitu kaisar diserahi kewenangan tribunus, jabatan maupun diri sendiri menjadi sacrosantus,[28] sehingga segala macam tindakan yang bertujuan mencelakai atau menghalang-halangi kaisar diancam dengan hukuman mati.[28] Kaisar juga berwenang melaksanakan sejumlah tugas yang pada zaman republik merupakan tugas-tugas censor, antara lain kewenangan mengatur akhlak rakyat (sensor) dan kewenangan menyelenggarakan sensus. Sebagai bagian dari kewenangan menyelenggarakan sensus, kaisar berhak mengubah status sosial seseorang, termasuk orang-orang dari golongan senator, sehingga memungkinkan kaisar untuk mengendalikan keanggotaan senatus tanpa perlu khawatir ditentang.[30] Kaisar juga berwenang menafsirkan undang-undang dan menetapkan preseden.[31] Selain itu, kaisar mengendalikan lembaga-lembaga keagamaan, karena menjadi kaisar berarti sekaligus menjadi pontifex maximus (imam besar) dan anggota dari keempat golongan utama imam-imam Romawi.[27]

Pada zaman kekaisaran, warga negara dibedakan menjadi tiga golongan. Bagi anggota masing-masing golongan dibuka kesempatan untuk berkarier di bidang tertentu (dikenal dengan sebutan cursus honorum).[8] Jabatan-jabatan magistratus tradisional hanya terbuka bagi warga negara dari golongan senator. Jabatan-jabatan magistratus yang masih dipertahankan selepas zaman republik adalah consul, praetor, tribunus plebis, aedilis, quaestor, dan tribunus militum (diurut berdasarkan cursus honorum).[8] Orang dari luar golongan senator hanya mungkin menduduki salah satu dari jabatan-jabatan tersebut jika diizinkan kaisar untuk mengikuti ajang pemilihan atau jika diangkat kaisar. Pada masa transisi dari sistem republik ke sistem kekaisaran, jabatan yang banyak kehilangan kekuasaan maupun gengsi adalah jabatan consul, karena semua kewenangan hakiki para consul pada zaman republik dialihkan kepada kaisar. Para consul pada zaman kekaisaran berhak memimpin sidang senat, berhak menjadi hakim dalam sidang pengadilan atas kasus-kasus kejahatan tertentu, dan berhak mengatur penyelenggaraan kejuaraan-kejuaraan dan pertunjukan-pertunjukan hiburan.[32] Jabatan praetor juga kehilangan banyak sekali kewenanangannya, dan pada akhirnya hanya memiliki kekuasaan yang sangat terbatas di luar kota.[33] Praetor tertinggi di Roma, yakni praetor urbanus, pernah diberi kewenangan atas perbendaharaan negara selama jangka waktu yang singkat.[33] Pada zaman kekaisaran, para tribunus plebis tetap dipandang sacrosanctus.[34] Setidaknya dalam teori, para tribunus plebis masih mengampu kewenangan untuk memerintahkan penyelenggaraan maupun memveto keputusan sidang-sidang senat dan sidang-sidang rakyat.[34] Kaisar Augustus membagi para quaestors menjadi dua kelompok. Satu kelompok ia tugaskan menjadi penyelenggara pemerintahan di daerah-daerah jajahan yang dibawahi senatus, dan satu kelompok lagi ia serahi tugas menjalankan roda pemerintahan sipil di kota Roma.[35] Di bawah kepemimpinan Kaisar Augustus, kewenangan mengatur pasokan gandum dicabut dari para aediles dan diserahkan kepada sebuah dewan komisioner. Para aedilis baru benar-benar kehilangan seluruh kekuasaannya sesudah kewenangan menegakkan ketertiban di kota Roma juga dicabut, dan jabatan aedilis pun akhirnya lenyap dari sistem ketatanegaraan Romawi pada abad ke-3 Masehi.[34]

Baca juga

sunting


Rujukan

sunting
  1. ^ a b c d Abbott, 8
  2. ^ a b c d Abbott, 15
  3. ^ a b c Abbott, 151
  4. ^ Abbott, 154
  5. ^ a b Abbott, 196
  6. ^ a b Abbott, 342
  7. ^ a b Abbott, 341
  8. ^ a b c Abbott, 374
  9. ^ a b c d Abbott, 16
  10. ^ Abbott, 19
  11. ^ Abbott, 12
  12. ^ a b c d Abbott, 14
  13. ^ Holland, 27
  14. ^ Polybius, 136
  15. ^ Lintott, 113
  16. ^ Polybius, 132
  17. ^ Byrd, 20
  18. ^ Cicero, 236
  19. ^ Byrd, 32
  20. ^ Lintott, 119
  21. ^ a b Byrd, 31
  22. ^ a b Byrd, 24
  23. ^ Cicero, 237
  24. ^ Byrd, 42
  25. ^ Abbott, 240
  26. ^ Abbott, 344
  27. ^ a b Abbott, 345
  28. ^ a b c d Abbott, 357
  29. ^ Abbott, 356
  30. ^ Abbott, 354
  31. ^ Abbott, 349
  32. ^ Abbott, 376
  33. ^ a b Abbott, 377
  34. ^ a b c Abbott, 378
  35. ^ Abbott, 379

Sumber

sunting
  • Abbott, Frank Frost (1901). A History and Description of Roman Political Institutions. Elibron Classics (ISBN 0-543-92749-0).
  • Byrd, Robert (1995). The Senate of the Roman Republic. U.S. Government Printing Office, Senate Document 103-23.
  • Cicero, Marcus Tullius (1841). The Political Works of Marcus Tullius Cicero: Comprising his Treatise on the Commonwealth; and his Treatise on the Laws. Translated from the original, with Dissertations and Notes in Two Volumes, oleh Francis Barham, Esq. London: Edmund Spettigue. Jld. 1.
  • Lintott, Andrew (1999). The Constitution of the Roman Republic. Oxford University Press (ISBN 0-19-926108-3).
  • Polybius (1823). The General History of Polybius: Translated from the Greek, oleh James Hampton. Oxford: Dicetak oleh W. Baxter. Edisi ke-5, Jld. 2.
  • Taylor, Lily Ross (1966). Roman Voting Assemblies: From the Hannibalic War to the Dictatorship of Caesar. The University of Michigan Press (ISBN 0-472-08125-X).

Sumber primer

sunting

Sumber sekunder

sunting

Bacaan lanjutan

sunting
  • Ihne, Wilhelm. Researches Into the History of the Roman Constitution. William Pickering. 1853.
  • Johnston, Harold Whetstone. Orations and Letters of Cicero: With Historical Introduction, An Outline of the Roman Constitution, Notes, Vocabulary and Index. Scott, Foresman and Company. 1891.
  • Mommsen, Theodor. Roman Constitutional Law. 1871-1888
  • Tighe, Ambrose. The Development of the Roman Constitution. D. Apple & Co. 1886.
  • Von Fritz, Kurt. The Theory of the Mixed Constitution in Antiquity. Columbia University Press, New York. 1975.
  • Historiai karya Polibios
  • Cambridge Ancient History, Jilid 9–13.
  • A. Cameron, The Later Roman Empire (Fontana Press, 1993).
  • M. Crawford, The Roman Republic (Fontana Press, 1978).
  • E. S. Gruen, "The Last Generation of the Roman Republic" (U California Press, 1974)
  • F. Millar, The Emperor in the Roman World (Duckworth, 1977, 1992).
  • A. Lintott, "The Constitution of the Roman Republic" (Oxford University Press, 1999)