Douglas C-47 Skytrain

(Dialihkan dari Dakota C-47)

Douglas C-47 Skytrain atau Dakota (sebutan dari RAF) adalah pesawat angkut militer sayap rendah (low wing) yang dikembangkan dari pesawat Douglas DC-3.

Douglas C-47 Skytrain
Dakota C-47
TipePesawat transportasi militer
PerancangDouglas Aircraft Company
Terbang perdana23 December 1941[1]
StatusTidak diproduksi, dalam pelayanan (di Kolombia, El Salvador dan Afrika Selatan)
Pengguna utamaPasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat
Pengguna lainAngkatan Udara AS
Angkatan Laut AS
TNI AU
Jumlah produksi>10,000
Acuan dasarDouglas DC-3
VarianDouglas XCG-17
Douglas AC-47 Spooky

Pesawat ini digunakan secara luas oleh Sekutu selama Perang Dunia II dan tetap di garis depan pelayanan dengan berbagai operator militer selama 1950.

Selain itu pesawat ini juga dipergunakan oleh TNI AU sebagai bagian dari alut sista (alat utama sistem senjata) yang diterima Indonesia atas pengakuan kedaulatannya dari Belanda dan pernah memperkuat Skadron Udara 2, Skadron Udara 1 dan Skadron DAUM.

Di TNI AU, ia telah turut serta dalam operasi militer penumpasan pemberontakan RMS, DI/TII, PRRI/Permesta, Operasi Trikora dan Operasi Seroja. Pesawat ini di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, berkiprah dari tahun 1950-an hingga akhirnya pada tahun 1978 diabadikan sebagai salah satu koleksi alat utama sistim senjata (alutsista) dari Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.[2]

Sejarah

sunting

C-47 Dakota berkiprah sejak Perang Dunia II hingga Perang Vietnam

Perang Dunia II

sunting
 
Kru Penerbangan U.S. Army Pathfinders dan USAAF sebelum D-Day, Juni 1944, di depan sebuah C-47 Skytrain di RAF North Witham

Di Eropa, C-47 dan versi yang khusus untuk mengangkut pasukan yang lebibh dikenal sebagai C-53 Skytrooper, sangat banyak dipergunakan dalam perang, khususnya untuk menarik glider dan menerjukan pasukan. Pada pendudukan Sisilia di Juli 1943, ia menerjukan tidak kurang dari 4,381 pasukan terjung payung sekutu. Selain itu, tidak kurang dari 50,000 pasukan terjun payung diterjunkannya selama beberapa hari pertama dari D-Day yang dikenal juga sebagai Invasi Normandia, Prancis, pada Juni 1944.[3] Selama Perang Pasifik, dengan mempergunakan beberapa landasan pendaratan di beberapa pulau di Lautan Pasifik, pesawat ini dipergunakan untuk membawa para tentara yang bertugas di sana kembali ke Amerika Serikat.

 
C-47 sedang menurunkan muatan di Bandara Tempelhof, Berlin selama operasi Berlin Airlift

C-47 Dakota di TNI AU

sunting

Tiga pesawat ini, termasuk salah satu alut sista yang diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia, ketika mereka mengakui kedaulatannya, dimana pada masa itu, kekuasaannya diserahkan kepada negara Republik Indonesia Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949.[4] Berdasarkan Surat Perintah KASAU No. 0493,Pr/KSAU/50 tanggal 1 Agustus 1950, ia ditempatkan di Skadron Udara 2 yang berkedudukan di Pangkalan Udara Andir (PU Andir), di Bandung. Pada saat itu para penerbangnya hanyalah[5] :

Pada 1 Januari 1951, Skadron Udara 2 yang tadinya berkedudukan di PU Andir, Bandung dipindahkan ke Pangkalan Udara Cililitan yang selanjutnya membawahi semua pesawat Dakota termasuk yang tadinya ada di Skadron Udara 1. Sedangkan mantan Skadron Udara 2 yang di PU Andir, diubah menjadi Skadron Djawatan Angkutan Udara Militer (DAUM).[6] DAUM dengan pesawat C-47 Dakota bertugas sebagai penerbangan reguler, menjelajah ke seluruh Pangkalan Udara AURI untuk menjaga kontinuitas pasokan logistik, sehingga ia juga berfungsi sebagai jembatan udara nusantara untuk menyatukannya.[6]

Operasi

sunting

Pesawat ini hingga paruh akhir 1950-an, menjadi satu-satunya pesawat transportasi udara militer dan tulang punggung untuk pergeseran pasukan dan logistik ke garis depan.

Operasi militer penumpasan pemberontakan organisasi Republik Maluku Selatan (RMS)
sunting

Pesawat ini juga pernah mendukung operasi militer penumpasan Organisasi Republik Maluku Selatan (RMS). Salah satu tugasnya adalah mempersiapkan Pangkalan Udara Kendari sebagai pangkalan aju, dimana untuk itu diterbangkan pesawat ini dengan nomor ekor T-457 dari Pangkalan Udara Cililitan menuju Kendari. Pesawat ini dipiloti LU I Sudarjono dan LU I Sutardjo Sigit, yang bertujuan membantu pergeseran pasukan dan logistik. Pesawat ini mendarat pertama kali pada 14 Juli 1950 di Pulau Buru dimana 2 hari kemudian Namlea berhasil diduduki oleh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yaitu gabungan antara Angkatan Perang Republik Indonesia dengan KNIL.[7] Dengan direbutnya Namlea, maka APRIS, memiliki pangkalan udara yang bisa dipakai sebagai pangkalan aju. Pada September 1950, diadakan uji coba pendaratan dengan C-47 Dakota untuk memastikan kelayakan pangkalan, dimana pesawat ini diterbangkan oleh Kapten Udara Noordraven. Setelah kondisi aman, barulah mendarat pesawat-pesawat pembom B-25 Mitchell. Pangkalan ini menjadi sangat penting sebagai pangkalan aju atau pangkalan terdepan, karena dari tempat ini, akan lebih mudah untuk mengepung kota Ambon dari pelbagai arah. Dalam hal ini pesawat ini bertugas untuk mendukung pasokan logistik dan pasukan.[7]

Operasi militer penumpasan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
sunting

Dalam operasi ini, pesawat ini juga bertugas untuk mensuplai logistik lewat udara dikarenakan tidak memungkinkan melalui jalan darat.[8]

Operasi militer penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta
sunting

Dalam operasi militer, PRRI di Sumatra, C-47 Dakota merupakan bagian dari operasi gabungan, dimana ia bertugas untuk memberikan perlindungan udara (air cover), dan juga pasokan logistik serta pasukan. Dalam operasi tersebut, andilnya cukup besar dengan menerjunkan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI dan RPKAD dan mereka tergabung dalam tim Komando X Ray dipimpin oleh LU (Letnan Udara) Sugiri Sukani, sehingga TNI mengusai lapangan terbang Simpang Tiga, Pekanbaru pada 12 Maret 1958. Begitu juga lapangan terbang Polonia, Medan berhasil dikuasai pada 17 Maret 1958. Penguasaan kedua lapangan terbang ini membuat pihak pemberontak tidak bisa mempergunakannya sebagai lapangan aju. Tercatat tidak kurang dari 26 pesawat C-47 Dakota dikerahkan ke Tanjung Pinang, sebagai pangkalan aju.[9]

Selanjutnya pesawat-pesawatnya digeser ke Sulawesi, untuk penumpasan Permesta, dengan sandi Operasi Merdeka, yang terbagi menjadi Operasi Mena dan Operasi Saptamarga. Dalam pemberontakan ini, pihak musuh didukung oleh B-26 Invader dan P-51 Mustang yang didukung oleh penerbang-penerbang asing. Kali ini, pesawat ini bertugas untuk penerjunan pasukan beserta perbengkalannya guna merebut pangkalan udara dari tangan pemberontak.[9]

Operasi Trikora
sunting

Dalam operasi ini pihak TNI AU melibatkan kekuatan yang sangat besar hingga membentu AULA (Angkatan Udara Mandala), sebagai salah satu unsur Komando Mandala. Dalam operasi ini, pesawat ini dipergunakan untuk mempersiapkan pangkalan-pangkalan aju di perbatasan Maluku dan Irian Barat, seperti Morotai, Amahai, Letfuan, Kendari, Kupang, Gorontalo, Namlea, Laha, Langgur, Doka Barat dan Selaru.[9]

Penyiapan ini dilakukan oleh C-47 Dakota dengan registrasi T-477 dan T-474 dengan mendarat di landasan Kendari yang antara lain diterbangkan oleh LU I Suhardjo. Dalam operasi inilah timbul ide untuk mempersenjatai pesawat ini sehingga bisa memiliki kemampuan serang. Sehingga, ia tidak hanya membantu pergeseran pasukan maupun medis udara, ia dapat digunakan sebagai bantuan tembakan udara.[10]

Perubahan atas dua pesawat ini dilakukan oleh tim Depo Pesbang 10 Lanud Husein Sastranegara, Bandung. Perubahan yang dilakukan dengan menempatkan masing-masing 3 pucuk senapan kaliber 12,7 mm yang ditempatkan di jendela-jendela di belakang sayap. Dan Dakota C-47 hasil modifikasi ini dikenal dengan julukan "C-47 Dakota Gunship".[10]

Operasi Seroja
sunting

Dalam operasi inilah dipergunakan untuk pertama kalinya C-47 Dakota Gunship yang bertugas mendampingi B-26 Invader dalam melakukan serangan udara langsung guna menghadapi senapan mesin pihak Fretilin. Ujicoba modifikasi ini, dengan penembakan di Pameungpeuk, Jawa Barat dan Lanud Penfui, Kupang. Namun akhirnya pesawat tidak dipergunakan karena berdasarkan informasi intelejen, kekuatan musuh telah melemah.[10]

Sebagai pengabdian terakhirnya dan juga untuk mengenang peranan, pengabdian dan jasa-jasanya dalam menegakkan kedaulatan NKRI dan juga pembinaan potensi dirgantara, maka satu pesawat ditempatkan di kantor Wing Udara 1, Lanud Halim Perdanakusuma, lainnya ditempatkan di Lakespra Dr Saryanto serta di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta pada tahun 1978.[11][2]

Operator

sunting
 
Sebuah Dakota dalam peringatan perang Inggris Raya dengan pintu parasut terbuka di Duxford tahun 2008

Spesifikasi

sunting
 
An orthographically projected diagram of the C-47 Skytrain

Data from Buku McDonnell Douglas aircraft since 1920 : Volume I

General characteristics

  • Crew: 4 (pilot, co-pilot, navigator dan radio operator)
  • Capacity: 28 personil
  • Length: 63 ft 9 in (19,43 m)
  • Wingspan: 95 ft 6 in (29,11 m)
  • Height: 17 ft 0 in (5,18 m)
  • Wing area: 987 sq ft (91,7 m2)
  • Airfoil: root: NACA 2215; tip: NACA 2206[15]
  • Empty weight: 18.135 pon (8.226 kg)
  • Gross weight: 26.000 pon (11.793 kg)
  • Max takeoff weight: 31.000 pon (14.061 kg)
  • Powerplant: 2 × Pratt & Whitney R-1830-90C Twin Wasp 14-cylinder air-cooled radial piston engines, 1.200 hp (890 kW) each
  • Propellers: 3-bladed constant-speed propellers

Performance

  • Maximum speed: 224 mph (360 km/h; 195 kn) at 10.000 ft (3.000 m)
  • Range: 1.600 mi (1.390 nmi; 2.575 km)
  • Ferry range: 3.600 mi (3.128 nmi; 5.794 km)
  • Service ceiling: 26.400 ft (8.047 m)
  • Time to altitude: 10.000 ft (3.000 m) in 9 minutes 30 seconds
  • Wing loading: 263 pon/sq ft (1.280 kg/m2)
  • Power/mass: 00.926 hp/lb (1.522 kW/kg)

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ "C-47 Skytrain Military Transport". Boeing. Diakses tanggal 26 Juli 2019. 
  2. ^ a b Tarigan 2015, hlm. 95.
  3. ^ The world's greatest aircraft : an illustrated history of the most famous civil and military planes. New York, NY: Exeter Books. 1988. ISBN 0791700119. OCLC 18771089. 
  4. ^ Saragih 2019, hlm. 29.
  5. ^ Saragih 2019, hlm. 31.
  6. ^ a b Saragih 2019, hlm. 32.
  7. ^ a b Saragih 2019, hlm. 33.
  8. ^ Saragih 2019, hlm. 34.
  9. ^ a b c Saragih 2019, hlm. 35.
  10. ^ a b c Saragih 2019, hlm. 36.
  11. ^ Saragih 2019, hlm. 37.
  12. ^ "Douglas DC-3 (CC-129) Dakota". Angkatan Udara Kanada. 11 Juni 2011. Archived from the original on 2011-06-11. Diakses tanggal 14 Oktober 2009. 
  13. ^ "Das Archiv der Deutschen Luftwaffe." (in German) LuftArchiv.de. Retrieved: 5 July 2010.
  14. ^ a b "Trade Registers". Armstrade.sipri.org. Diakses tanggal 2013-06-20. 
  15. ^ Lednicer, David. "The Incomplete Guide to Airfoil Usage". m-selig.ae.illinois.edu. Diakses tanggal 16 April 2019. 

Daftar Pustaka

sunting
  • Saragih, Kol. Sus Dra. Maylina (2019). Alat Utama Sistem Senjata TNI AU Periode Tahun 1951 - 1960. Jakarta: Sub Dinas Sejarah Dinas Penerangan TNI AU. 
  • Tarigan, Kol Sus Dra. Lisa M. (2015). Monumen Angkatan Udara (Revisi I). Jakarta: Sub Dinas Sejarah Dinas Penerangan TNI AU. 
  • Donald, David. The Complete Encyclopedia of World Aircraft. New York: Barnes & Noble, 1997. ISBN 0-7607-0592-5.
  • Flintham, Victor. Air Wars and Aircraft: A Detailed Record of Air Combat, 1945 to the Present. New York: Facts on File, 1990. ISBN 0-8160-2356-5.
  • Francillon, René J. McDonnell Douglas Aircraft Since 1920. London: Putnam & Company Ltd., 1979. ISBN 0-370-00050-1.
  • Gradidge, Jennifer M. The Douglas DC-1, DC-2, DC-3: The First Seventy Years. Two volumes. Tonbridge, UK: Air-Britain (Historians) Ltd., 2006. ISBN 0-85130-332-3.
  • Pearcy, Arthur Jr. "Douglas R4D variants (US Navy's DC-3/C-47)". Aircraft in Profile, Volume 14. Windsor, Berkshire, UK: Profile Publications Ltd., 1974, pp. 49–73. ISBN 0-85383-023-1.
  • Yenne, Bill. McDonnell Douglas: A Tale of Two Giants. Greenwich, Connecticut: Bison Books, 1985. ISBN 0-517-44287-6.

Pranala luar

sunting