Sukuk adalah surat berharga komersial berbentuk sertifikat hak milik yang menjadi bukti bahwa suatu aset merupakan kepemilikan dari pihak tertentu. Aset yang diperbolehkan meliputi aset berwujud benda, nilai manfaat, maupun jasa. Selain itu, aset dapat berupa kepemilikan dalam suatu proyek atau kegiatan investasi tertentu. Sukuk dapat berupa surat berharga dalam jumlah tunggal maupun himpunan surat berharga. Istilah sukuk berasal dari bahasa Arab yang dibaca "sakk" yang berarti dokumen. Prinsip penerapan sukuk menggunakan ekonomi syariah. Di dalam penerbitan dan pembelian sukuk dilarang hal yang bersifat haram dalam Islam yaitu adanya unsur riba, serta ketidakpastian dan spekulasi. Aset yang disampaikan di dalam sukuk hanya aset yang dapat dilihat secara nyata. Negara menggunakan sukuk dalam bentuk surat berharga syariah negara. Pemakaiannya untuk keperluan pembiayaan negara secara umum atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu dalam skala nasional. Selain itu, Sukuk digunakan sebagai instrumen keuangan dalam pasar uang untuk keperluan pembiayaan kas negara yang mengalami ketidaksesuaian antara keperluan dan jumlah ketersediaan dana. Negara menggunakan sukuk untuk kegiatan investasi dalam jangka waktu yang tidak lama. Kelebihan sistem sukuk adalah aset dapat diperjualbelikan sambil diberikan peringkat serta dapat dikelola melalui jalur hukum secara terbuka. Selain itu, penawaran sukuk dapat dalam skala nasional maupun global. Pajak yang dikenakan pada sukuk berbeda-beda sesuai dengan tingkat kepentingan dan tingkat kebutuhannya di dalam pasar uang. Persyaratan pemakaian sukuk yang wajib dimiliki ialah aset dasar dalam wujud yang nyata. Kondisi ini membuat sukuk menjadi salah satu instrumen pasar uang yang terjamin keamanannya. Beberapa jenis proyek pembangunan menggunakan sistem sukuk yaitu bendungan, pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Beberapa negara di dunia telah menggunakan sukuk sebagai salah satu instrumen keuangan, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam, Uni Emirate Arab, Qatar, Pakistan, dan Arab Saudi.[1]

Sukuk dapat pula diartikan dengan Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: (1) kepemilikan aset berwujud tertentu; (2) nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau (3) kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.

Sejarah

sunting

Sukuk telah digunakan dalam masa awal penyebaran Islam di dunia Arab sebagai salah satu alat pembayaran gaji untuk para pegawai negara. Pemakaiannya dalam sejarah Islam pertama kali dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahan Umar, sukuk ditandai dengan membubuhkan stempel di bawah kertas sukuk tersebut. Istilah sukuk telah dikenal oleh para pedagang muslim sejak abad pertama Hijriyah untuk kegiatan perdagangan antar-bangsa. Para pedagang menggunakan sukuk sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban keuangan yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriyah (abad ke-11 dan ke-12 Masehi), seorang pedagang dapat menerima sukuk dari pembelinya. Di dalam sukuk tercantum nama barang yang ingin dibeli, harga barang, dan tanda tangan pembeli. Barang yang dibeli kemudian dikirimkan oleh pedagang kepada pembeli pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Pembeli kemudian membayar harga sesuai dengan barang yang dibelinya. Pada abad pertengahan, sukuk diberlakukan kepada lima hal yaitu aset berwujud tertentu, nilai manfaat atas aset berwujud, jasa, aset proyek tertentu dan kegiatan investasi yang telah selesai dilaksanakan. Pengguna sukuk diperbolehkan untuk swasta maupun pemerintah. Pengelolaan sukuk dapat diselenggarakan oleh baitulmal, para pedagang, atau para bendaharawan. Di dalamsukuk umumnya terdapat nama dan tanda tangan dua saksi yang diakui mempunyai sikap yang adil dalam perdagangan. Beberapa jenis sukuk juga mencantumkan nama penjamin pembayarannya ketika penerbit sukuk tidak sanggup membayar. Sedangkan tujuan diterbitkannya sukuk pada masa kontemporer terutama untuk menghindari praktik riba yang terjadi pada obligasi konvensional. Selain itum sukuk pada masa modern dijadikan sebagai salah satu instrumen pembiayaan bagi pengusaha atau negara yang sesuai dengan syariah. Sukuk pada masa modern didukung oleh fatwa ulama yang mengharamkan obligasi konvensional.[2]

Negara pemakai

sunting

Indonesia

sunting

Pengertian sukuk di Indonesia diatur dalam fatwa nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia. Dalam fatwa tersebut, sukuk diartikan sebagai surat berharga jangka panjang yang ditetapkan berdasarkan prinsip syariah. Sukuk diterbitkan oleh emiten dan diberikan kepada pemegang obligasi syariah. Sukuk hanya diberlakukan bagi pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah. Pembayaran dilakukan dalam sistem bagi hasil terhadap laba marjinal. Selain itu, sukuk juga digunakan untuk membayar kembali dana obligasi saat masa surat berharga telah berakhir.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ Laila, Nisful (2019). Suhesta, Bahtiar H., ed. Pengembangan Sukuk negara di Indonesia: Analisis Komprehensif dalam Menggali Alternatif Solusi dan Strategi Pengembangan Sukuk Negara Indonesia (PDF). Surabaya: Nizamia Learning Center. hlm. 2–3. ISBN 978-623-7169-95-6. 
  2. ^ Afrianty, dkk. (2019). Lembaga Keuangan Syariah (PDF). Bengkulu: Penerbit CV. Zifie Utama. hlm. 103–104. ISBN 978-623-7558-46-0. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17. 
  3. ^ Mugiyati (2016). Sukuk di Pasar Modal: Tinjauan Bisnis Investasi dan Fiqh (PDF). Surabaya: UIN Sunan Ampel Press. hlm. 52. ISBN 978-602-332-068-4.