Tayamum

bersuci dengan debu ketika air bersih tak tersedia

Tayamum (bahasa Arab: تيمم) mengacu pada tindakan menyucikan diri tanpa menggunakan air dalam Islam, yaitu dengan menggunakan pasir atau debu.[1] Secara literal atau bahasa, tayamum bermakna al-qashd, wa al-tawajjuh (maksud dan mengarahkan).[2][3]

Seorang anak sedang bertayamum dengan pasir.

Tayamum disyariatkan berdasarkan firman Allah SWT sebagai berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur". (QS. Al-Maidah [5]:6)

Selain surat diatas, Allah juga memperbolehkan tayamum melalui firman-Nya yang berbunyi:

"Dan jika kamu sakit tau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS. An-Nissa [4]:43)[4]

Hadits Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan tayamum adalah sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Zaid: "Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kami tidak memiliki air yang cukup untuk bersuci. Maka beliau bersabda, 'Jika kalian tidak menemukan air selama satu hari atau satu malam, maka tayammumlah dengan tanah yang baik kemudian bersucilah (dengan shalat).'" (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

Tayamum dilakukan sebagai pengganti wudu atau mandi wajib.

Hal yang membolehkan

sunting

Tayamum diperbolehkan dilakukan hanya bila:[5][4]

  1. Tidak adanya air yang cukup untuk wudu atau mandi.[6]
  2. Tidak mampu menggunakan air, seperti orang lemah, orang yang di penjara, atau takut binatang buas.[7]
  3. Sakit atau memperlambat sembuh dari sakit bila menggunakan air.[8]
  4. Jumlah air sedikit dan lebih dibutuhkan untuk menyambung hidup (minum).[9]
  5. Tidak adanya alat untuk menimba/mendapatkan air, meski airnya ada dalam sumur misalnya.
  6. Takut habisnya waktu salat sedangkan untuk mendapatkan air sangat jauh.[10]
  7. Kondisi yang sangat dingin dengan persyaratan tertentu.

Mazhab Syafi'i dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa syarat bertayamum adalah harus mencari air terlebih dahulu. Mazhab Hanafi tidak mempersyaratkan untuk mencari air agar dapat bertayamum. Sedangkan Mazhab Hambali mewajibkan mencari air terlebih dahulu sebelum bertayamum.[11]

Rukun dan sunnah

sunting

Rukun tayamum ada empat, yaitu;[12] (1) Niat, bersamaan dengan sapuan pertama;[13] (2) mengusap seluruh bagian wajah dengan tanah; (3) mengusap kedua tangan sampai siku;[14] dan (4) tertib. Dalam bertayamum tidak cukup berniat menghilangkan hadas saja, sebab tayamum tidak menghilangkan hadas. Dalam tayamum, harus berniat untuk diperbolehkan salat.[15]

Sedangkan sunnah tayamum ada tiga, yaitu; (1) Membaca basmalah; (2) Meniup kedua telapak tangan setelah menepukkan tangan ke debu atau pasir, dan (3) Mendahulukan anggota kanan dari yang kiri.[12]

Hal yang membatalkan

sunting

Sedangkan yang membatalkan tayamum juga ada tiga, yaitu semua hal yang membatalkan wudu, melihat air yang bisa dipakai berwudu, dan riddah. Hal lain yang dapat membatalkan tayamum ialah murtad (keluar dari Islam).[16]

Hal yang dilarang

sunting

Selain ketersediaan air melimpah, seseorang dilarang untuk bertayamum dalam kondisi dan situasi tertentu. Kondisi dan situasi yang melarang seseorang bertayamum itu antara lain:

  1. Berhadas besar. Jika kondisi sudah ditemukan air yang berlimpah, maka wajib untuk mandi.[17]
  2. Belum masuk waktu salat.[18]
  3. Bertayamum untuk salat Hari Raya ataupun untuk salat jenazah.[19]

Pemberlakuan

sunting

Tayamum hanya berlaku untuk satu kali salat fardu meskipun tayamum masih sah dan belum batal sama sekali. Pada salat sunnah, tayamum tetap sah selama belum batal, sehingga dapat digunakan untuk beberapa kali salat dalam sekali tayamum. Pengecualian diberikan kepada orang yang bagian tubuhnya mengalami luka dan ditempeli perban. Pada kondisi demikian, bagian yang diusap saat tayamum adalah bagian perbannya saja.[20]

Menurut Mazhab Syafi'i, Mazhab Maliki dan mazhab Hambali, satu tayamum tidak boleh digunakan untuk dua salat fardu. Hal ini berlaku bagi penduduk maupun musafir. Pendapat ini disepakati oleh sejumlah Sahabat Nabi dan Tabi'in. Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tayamum sama halnya seperti wudu. Tayamum dapat digunakan untuk beberapa kali salat hingga ada air yang dapat digunakan untuk wudu. Pendapat ini disepakati oleh ats-Tsauri dan al-Hasan.[21]

Tanah bersuci

sunting

Para ulama menyepakati bahwa tayamum dilakukan menggunakan tanah yang suci. Tayamum hanya dilakukan ketika tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi takut untuk memakainya. Para ulama berbeda pendapat dengan jenis tanah yang digunakan. Mazhab Hambali berpendapat bahwa tayamum hana dilakukan dengan menggunakan tanah yang suci atau pasir yang berdebu. Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa tanah yang digunakan untuk bersuci adalah segala jenis tanah dan bagiannya. Tanah ini meliputi batu yang tidak bertanah sampai pasir yang tidak berdebu. Mazhab Maliki menambahkan bahwa tayamum juga boleh dilakukan dengan bagian apapun dari Bumi, termasuk tumbuhan.[11]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 166. : "Hukum ini diijma'i oleh para ulama. Dalam pada itu para imam berselisih yang dinamai sha'id. Asj Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa sha'id itu turab = tanah. Karena itu tidak boleh kita bertayamum melainkan dengan tanah yang suci atau dengan pasir yang berdebu. Kata Abu Hanifah dan Malik: sha'id itu ialah bumi. Oleh karena itu boleh bertayamum dengan bumi dan dengan segala suku-sukunya, walaupun batu yang tidak ada tanah diatasnya, atau dengan pasir yang tak ada debu padanya. Dan Malik berkata: Boleh bertayamum dengan segala yang berhubungan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan,".
  2. ^ Muiz 2013, hlm. 26. : "Sedangkan menurut Syariat Islam artinya adalah menyapu wajah dan kedua belah tangan sampai pergelangan dengan tanah yang suci sebagai pengganti wudu dan mandi.".
  3. ^ Sabiq 1990, hlm. 163. : "Menurut logat, tayamum itu artinya ialah menyengaja. Sedangkan menurut syara' ialah menyengaja tanah untuk penghapus muka dan kedua tangan dengan maksud dapat melakukan shalat...".
  4. ^ a b Muiz 2013, hlm. 27.
  5. ^ Tanya jawab tentang tayammum
  6. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 166. : "Mencari air syarat sah tayamum.".
  7. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 168. : "Barangsiapa dikurung dalam suatu kota, tidak dibenarkan berjalan kemana-mana, karena itu ia tiada mendapati air, hendaklah ia bertayamum dan bersembahyang; dan tidak diberatkan atasnya untuk mengulangi sembahyangnya.".
  8. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 167. : "Orang yang takut akan binasa jika memakai air, boleh tidak berwudu, hanya bertayamum saja. Dan boleh juga ia bertayamum jika ia khawatir akan bertambah sakitnya atau terlambat sembuh atau timbul penyakit jika berwudu.".
  9. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 166. : "Musafir yang mempunyai air sedikit dan perlu untuk minum, boleh memelihara air itu untuk minum, dan ia bertayamum.".
  10. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 167. : "Apabila seseorang mendapat air sesudah bersembahyang, tidaklah ditunut mengulangi sembahyangnya, walaupun waktu masih ada.".
  11. ^ a b ad-Dimasyqi 2017, hlm. 30.
  12. ^ a b Muiz 2013, hlm. 28.
  13. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 167. : "Niat itu syarat sah tayamum.".
  14. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 166. : "Menyapu dua tangan dalam bertayamum, ialah hingga ke siku.".
  15. ^ Republika, "Tayamum", Jumat, 05 Agustus 2005
  16. ^ Muiz 2013, hlm. 31.
  17. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 167. : "Tayamum tidak mengangkat hadas, hanya sekadar memperbolehkan sembahyang saja.".
  18. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 167. : "Tidak boleh bertayamum sebelum masuk waktu.".
  19. ^ Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 167. : "Tidak boleh bertayamum untuk sembahyang Hari Raya dan jenazah di dalam hadlar, walaupun ditakuti tidak akan dapat kita kerjakannya jika tidak dengan bertayamum.".
  20. ^ Hambali, Muhammad (2017). Rusdianto, ed. Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari: Dari Kandungan hingga Kematian. Yogyakarta: Laksana. hlm. 57. ISBN 978-602-407-185-1. 
  21. ^ ad-Dimasyqi 2017, hlm. 31.

Daftar Pustaka

sunting
  • Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-602-97157-3-6. 
  • Muiz, Abdul. Panduan Shalat Terlengkap. Jakarta: Pustaka Makmur. 2013. ISBN 602-7639-65-2
  • Ash' Shiddieqy. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
  • Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma'Arif. 1990. ISBN 979-400-038-8