Y.B. Mangunwijaya

(Dialihkan dari Romo Mangun)

R.D. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Dipl.Ing. (disingkat Y.B. Mangunwijaya; 6 Mei 1929 – 10 Februari 1999) adalah seorang imam Gereja Katolik Roma, budayawan, arsitek, penulis, aktivis sosial, dan dikenal sebagai pembela wong cilik. Ia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Romo Mangun adalah anak sulung dari dua belas bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.[2]


Yusuf Bilyarta Mangunwijaya
GerejaGereja Katolik Roma
KeuskupanSemarang
Imamat
Tahbisan imam
8 September 1959
oleh Albertus Soegijapranata, S.J.
Informasi pribadi
Nama lahirYusuf Bilyarta Mangunwijaya
Lahir(1929-05-06)6 Mei 1929
Ambarawa, Jawa Tengah
Meninggal10 Februari 1999(1999-02-10) (umur 69)
Jakarta, Indonesia
MakamSeminari Tinggi Santo Paulus Kentungan[1]
KewarganegaraanIndonesia
DenominasiKatolik Roma
Orang tua
  • Ayah: Yulianus Sumadi Mangunwijaya
  • Ibu: Serafin Kamdaniah
Almamater

Riwayat hidup

sunting

Pendidikan

sunting

Ia adalah anak dari mantan Ketua DPRD Magelang pada era Hindia Belanda, Yulianus Sumadi.[3] Pada tahun 1936 Y. B. Mangunwijaya masuk HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang. Setelah tamat pada tahun 1943, dia meneruskan ke STM Jetis Yogyakarta dan di sana dia mulai tertarik kepada Sejarah Dunia dan Filsafat. Sebelum sekolah tersebut dibubarkan setahun kemudian, dia aktif mengikuti kinrohosi yang diadakan tentara Jepang di Lapangan Balapan, Yogyakarta.

Masa Revolusi Fisik (1945-1950)

sunting

Pada tahun 1945 Y. B. Mangunwijaya bergabung sebagai prajurit TKR Batalyon X divisi III dan bertugas di asrama militer di Vrederburg, lalu di asrama militer di Kotabaru, Yogyakarta. Dia sempat ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Setahun kemudian, dia kembali melanjutkan sekolahnya di STM Jetis dan bergabung menjadi prajurit Tentara Pelajar.

Setelah lulus pada 1947, Agresi Militer Belanda I melanda Indonesia sehingga Y. B. Mangunwijaya kembali bergabung dalam TP Brigade XVII sebagai komandan TP Kompi Kedu. Di masa ini, Ia pernah bertugas jadi pengantar makanan komandan batalion Mayor Soeharto (yang kemudian jadi Presiden ke-2 RI) di front Mranggen, Semarang.[3]

Salah satu momen yang mengubah hidupnya adalah pidato dari Mayor Isman ketika Ia bersama rekan-rekan prajurit disambut bak pahlawan oleh masyarakat Malang. Penolakan dari komandan batalion Tentara Rakyat Indonesia Pelajar (TRIP), Mas Isman, dalam pidatonya sebagai berikut, “Kami bukan pahlawan. Kami telah membunuh, membakar, merusak, tangan kami penuh darah. Yang pantas disebut pahlawan adalah rakyat yang terjajah dan teraniaya. Maka jangan mengelu-elukan saya, lebih baik perhatikan anak-anak muda ini, yang bisa berguna nantinya.”[3]

Karier

sunting

Akademik

sunting

Ia pernah menjadi dosen luar biasa di Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada selama 13 tahun (1967-1980). Selepas menjadi dosen di UGM, Ia tetap berkarya sebagai seorang arsitek independen.

Sastra

sunting

Romo Mangun dikenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Novel itu mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996.[2] Ia banyak melahirkan kumpulan novel, di antaranya Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar, dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia. Buku Sastra dan Religiositas yang ditulisnya mendapat penghargaan buku nonfiksi terbaik tahun 1982.

Ia juga pernah diundang sebagai pembicara bidang budaya di dalam acara Maulid Nabi yang diberi nama Maulid Pop oleh Dewan Mahasiswa UGM.[4]

Arsitektur

sunting

Dalam bidang arsitektur, ia juga kerap dijuluki sebagai Bapak Arsitektur Modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur,[5] yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan permukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Rancangan pemukiman ini sempat dipuja oleh Emil Salim.[6]

Ia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship pada tahun 1995 sebagai bukti dari dedikasinya terhadap wong cilik.[7] Hasil jerih payahnya untuk mengubah perumahan miskin di sepanjang tepi Kali Code mengangkatnya sebagai salah satu arsitek terbaik di Indonesia selain dipuji oleh Emil Salim.[8] Sebagai catatan, rumah-rumah penghuni pinggiran kali Code tersebut kebanyakan dibangun oleh Romo Mangun menggunakan dana sendiri bukan berasal dari dana LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).[9]

Menurut Erwinthon P. Napitupulu, penulis buku tentang Romo Mangun yang diluncurkan pada akhir tahun 2011, Romo Mangun termasuk dalam daftar 10 arsitek Indonesia terbaik.[8]

Politik

sunting

Ia dikenal dekat dengan beberapa tokoh-tokoh yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).[10] Terkait kontroversi saat Uskup Belo dan Ramos Horta menerima Nobel Perdamaian pada tahun 1996, Ia justru mengkritik reaksi yang ada di tanah air.[11]

Sosial

sunting

Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani" menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.[12] Meskipun dirinya selalu mendampingi dan melindungi kaum miskin, Ia menganggap dirinya bukan produk keluarga miskin. Ia berpendapat bahwa “Yang paling dibutuhkan orang miskin adalah harga diri,” serta “Untuk itu kan saya tidak perlu harus miskin. Saya tidak miskin, paling tidak secara intelektual.” (Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1985 - 1986 (1986)).[3]

Membina Warga Pinggiran Kali Code
sunting

Pada tahun 1980an (sekitar 1983-1984), Ia mulai mencurahkan perhatian kepada warga penghuni bantaran/ pinggiran kali Code yang terancam digusur untuk proyek penataan lahan hijau (sekarang berada di pinggir Jalan Faridan M. Noto, Gondokusuman, Kota Yogyakarta). Ia beralasan bahwa daripada warga penghuni bantaran kali sungai digusur dan tidak diberikan kepastian, lebih baik mereka didampingi dan dibina sehingga lingkungan tersebut menjadi jauh lebih aman daripada digusur dan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) yang justru menjadi tidak lebih aman di masa depan.[9][13]

Akibat sengitnya perdebatan antara dirinya dengan pemerintah setempat (Pemerintah Kota Yogyakarta), Ia bahkan sempat melakukan mogok makan pada tahun 1986 (yang kemungkinan terinspirasi oleh tindakan mogok makan aktivis Irlandia Utara Bobby Sands).[9][14]

Cara Romo Mangun mendampingi warga pinggiran Kali Code saat itu terbilang cukup unik dan berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh beberapa orang saat itu bahkan oleh pihak Gereja Katolik sendiri. Salah satu pendekatannya adalah nasehat kepada anak-anak penghuni pinggiran kali Code yang kebanyakan berasal dari "dunia malam" (pelacuran) sebagai berikut “Oleh wae ibumu lonte, tapi kowe ora oleh dadi lonte.” Boleh saja ibumu seorang pelacur, tetapi kamu tidak boleh jadi pelacur juga”. Bahkan, di kawasan Kali Code Romo Mangun membangun sebuah masjid, bukan gereja yang merupakan binaan Pastoran Katolik, yang bernama Masjid Kalimosodo.[15] Selain itu, di dalam memberdayakan masyarakat pinggiran kali Code, Ia juga mengadakan beberapa pelatihan seperti menjahit, berkebun, serta pelatihan lainnya yang dianggap memiliki nilai produksi yang tinggi. Selain itu, selama berkunjung ke setiap rumah warga pinggiran Kali Code untuk memperhatikan warga, Ia mengajarkan untuk tidak membuang makanan karena menganggap sebagai salah satu tindakan tidak bersyukur. Selain itu, Ia juga merancang rumah warga pinggiran Kali Code untuk dihadapkan ke kali karena jika setiap kali warga menghadapkan diri ke kali dan berada dalam keadaan kotor maka warga yang memandang akan merasa perlu untuk selalu membersihkan kali karena menganggap sebagai halaman rumah mereka.[9]

Kedung Ombo
sunting

Saat membela warga yang terdampak oleh proyek Kedung Ombo, Ia pernah dijuluki oleh Gubernur Jawa Tengah (saat itu) Muhammad Ismail sebagai "ular" / ulo.[16] Tindakannya membela warga Kedung Ombo yang mengalami penggusuran paksa juga dibantu Abdurrahman Wahid.

Pendidikan

sunting

Salah satu karyanya di bidang pendidikan adalah SD Eksperimental Mangunan yang terdapat di Kalasan, Sleman.[17] Kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar.[18] Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.

Kehidupan pribadi

sunting

Romo Mangun dikenal sebagai orang yang disiplin waktu serta tidak suka melihat makanan tidak habis.[19]

Kematian

sunting

Rama Mangun meninggal pada hari Rabu, 10 Februari 1999, pukul 14.10 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, setelah terkena serangan jantung saat berbicara di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia dimakamkan di makam para Imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang di kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta.[20]

Pendidikan

sunting

Ringkasan waktu

sunting
  • 1948: Masuk SMU-B Santo Albertus, Malang
  • 1950: Sebagai perwakilan dari Pemuda Katolik menghadiri perayaan kemenangan RI di Alun-Alun Kota Malang. Di sini Mangun mendengar pidato Mayor Isman yang kemudian sangat berpengaruh bagi masa depannya.
  • 1951: Lulus SMU-B Santo Albertus, melanjutkan ke Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta.
  • 1952: Pindah ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang.
  • 1953: Melanjutkan ke Seminari Tinggi. Sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Salah satu pengajarnya adalah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.
  • 1959: 8 September ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. dan Melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur ITB.
  • 1960: Melanjutkan pendidikan arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman.
  • 1963: Menemani saat Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ meninggal dunia di Biara Suster Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Harleen, Belanda
  • 1966: Lulus pendidikan arsitektur dan kembali ke Indonesia.
  • 1967-1980: Menjadi Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia, Desa Salam, Magelang; menjadi pelindung Kring Karitas Nandan; mulai berhubungan dengan pemuka agama lain, seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes Oka; menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM; mulai menulis artikel untuk koran Indonesia Raya dan Kompas, tulisan-tulisannya kebanyakan bertema: agama, kebudayaan, dan teknologi. Juga menulis cerpen dan novel.
  • 1975: Memenangkan Piala Kincir Emas, dalam cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland.
  • 1978: Atas dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang masalah kemanusiaan sebagai Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, AS.
  • 1980-1986: Mendampingi warga tepian Kali Code yang terancam penggusuran. Ia melakukan mogok makan menolak rencana penggusuran.
  • 1986-1994: Mendampingi warga Kedung Ombo yang menjadi korban proyek pembangunan waduk.
  • 1987-1988: Mendampingi warga Pantai Grigak, Gunung Kidul dalam upaya penyediaan sarana air bersih.
  • 1992: Mendapat The Aga Khan Award untuk arsitektur pemukiman pinggir Kali Code.
  • 1994: Mendirikan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Model pendidikan DED ini diterapkan di SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta.
  • 1998 26 Mei: Menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta.
  • 10 Februari 1999: Wafat karena serangan jantung, setelah memberikan ceramah dalam seminar Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Karya arsitektur

sunting
 
Altar dan tabernakel di Gereja Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Sebuah karya ukiran kayu yang dirancang oleh Romo Mangun mengelilingi tabernakel; Bunda Maria yang mengatupkan tangan terukir di atasnya.[21]

Penghargaan

sunting

Buku dan tulisan

sunting

Burung-burung Manyar

sunting

Burung-burung Manyar merupakan sebuah novel yang diterbitkan pertama kali pada bulan Agustus 1981. Novel ini diterbitkan oleh Penerbit Djambatan di Jakarta. Penerbit Djambatan telah menerbitkan Burung-burung Manyar sebanyak enam kali. Cetakan kedua hingga keenam secara berturut-turut diterbitkan pada Desember 1981, Juni 1983, Maret 1986, Oktober 1985 dan Agustus 1993.[23]

Mangunwijaya juga mengarang tulisan berikut:[butuh rujukan]

  • Balada Becak, novel, 1985
  • Balada dara-dara Mendut, novel, 1993
  • Burung-Burung Rantau, novel, 1992
  • Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987
  • Durga Umayi, novel, 1985
  • Esei-esei orang Republik, 1987
  • Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980
  • Gereja Diaspora, 1999
  • Gerundelan Orang Republik, 1995
  • Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983
  • Impian Dari Yogyakarta, 2003
  • Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000
  • Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999
  • Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999
  • Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999
  • Menuju Indonesia Serba Baru, 1998
  • Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998
  • Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999
  • Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999
  • Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986
  • Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999
  • Politik Hati Nurani, 1997
  • Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978
  • Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern, 1987
  • Ragawidya : Religiositas Hal-hal Sehari-hari, 1986
  • Romo Rahadi, novel, 1981 (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya)
  • Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, dimuat 1982-1987 di harian Kompas, dibukukan 2008
  • Rumah Bambu, kumpulan cerpen, 2000
  • Sastra dan Religiositas, kumpulan esai, 1982
  • Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999
  • Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001
  • Spiritualitas baru : agama dan aspirasi rakyat, 1994
  • Teknologi dan dampak kebudayaannya, 1983
  • Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999
  • Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994
  • Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988

Buku tentang Romo Mangun

sunting
  • Sumartana, dkk. Mendidik Manusia Merdeka Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun. Institut Dian/Interfedei dan Pustaka Pelajar, 1995. ISBN 979-8726-01-4.
  • Wahid, Abdurrahman. Romo Mangun Di Mata Para Sahabat. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-431-6.
  • Priyanahadi, dkk. Y.B. Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-435-9.
  • Prawoto, Eko A. Tektonika Arsitektur Y.B. Mangunwijaya. Cemeti Art House Yogyakarta, 1999.
  • Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-433-2.
  • Sindhunata. Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya. Kanisius, 1999. ISBN 979-672-432-4.
  • Purwatma. Romo Mangun Imam bagi Kaum Kecil. Kanisius, 2001. ISBN 979-672-959-8.
  • Rahmanto, B. Y.B. Mangunwijaya: Karya dan Dunianya. Grasindo, 2001. ISBN 978-979-96526-1-4.
  • Yahya, Iip D. dan Shakuntala, I.B. Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa. Kanisius, 2005. ISBN 978-979-21-0563-6.
  • Murtianto, B. Kata-Kata Terakhir: Romo Mangun. Kompas, 2014. ISBN 978-979-708-795-0

Dalam budaya populer

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Eko Sutriyanto, ed. (12 November 2015). "Tempat Peristirahatan Terakhir Mgr Johannes Pujasumarta dan Romo Mangun Berdampingan". Diakses tanggal 20 Juni 2024. 
  2. ^ a b Margianto, Heru, ed. (11 November 2010). "Romo Mangun Dianugerahi Bintang Budaya". Kompas.com. Diakses tanggal 13 Januari 2012. 
  3. ^ a b c d "Romo Mangun: Kami Bukan Pahlawan! - Intisari". intisari.grid.id. Diakses tanggal 2022-06-26. 
  4. ^ "Sejarah – LDK Jama'ah Shalahuddin UGM". Diakses tanggal 2022-11-12. 
  5. ^ (Inggris)[www.akdn.org/architecture/pdf/1117_Ind.pdf].
  6. ^ Publishing, TEMPO (2020-01-01). Kiprah Romo Mangunwijaya dan Kali Code Di Yogyakarta. Tempo Publishing. ISBN 978-623-262-437-5. 
  7. ^ "Perkampungan Code: Memperingati 12 Tahun Kepergian Romo Mangun, Seorang Tokoh Multi Talenta". Kompasiana. 23 Februari 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-29. Diakses tanggal 13 Januari 2012. 
  8. ^ a b (Inggris) "An Architectural Culture for the People". Tempo Interaktif. 17 August 2011. Diakses tanggal 13 January 2012. 
  9. ^ a b c d "Inspirasi Inovasi Sosial dari Romo Mangun". Creative HUB Fisipol UGM. 2020-08-17. Diakses tanggal 2023-07-05. 
  10. ^ "Habitat "Orang Kita" di Atas Panggung Politik". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2015-08-31. Diakses tanggal 2022-05-18. 
  11. ^ "StackPath". indoprogress.com. Diakses tanggal 2022-11-12. 
  12. ^ (Inggris) Biodata Pengarang Lontar. Jakarta: Lontar. hlm. 31. 
  13. ^ Caritra, Caritra. "Mengenang Romo Mangun, Pahlawan Kampung Code yang Warna-warni". Caritra. Diakses tanggal 2023-07-05. 
  14. ^ Administrator (1986-04-19). "Protes dari pinggir kali". Tempo. Diakses tanggal 2023-07-05. 
  15. ^ Yudhapratama, Ageng (2020-11-21). "Romo Mangun Tidak Mengkristenkan Kampung Code". KATOLIKANA. Diakses tanggal 2023-07-04. 
  16. ^ "Konflik Wadas dan Kasus Kedungombo yang Terlupakan". Panturapost.com. 2022-02-12. Diakses tanggal 2022-11-12. 
  17. ^ Pradipto, Yosef Dedy; Abraham, Juneman (2014-05-15). "Psychoanthropology of Power Contestation: Mangunan Alternative Education "Versus" the National Curriculum of the Indonesian Government". Procedia - Social and Behavioral Sciences. 6th International Conference on Intercultural Education “Education and Health: From a transcultural perspective" (dalam bahasa Inggris). 132: 186–195. doi:10.1016/j.sbspro.2014.04.297. ISSN 1877-0428. 
  18. ^ "Dinamika Edukasi Dasar". Dinamika Edukasi Dasar. Diakses tanggal 13 Januari 2012. [pranala nonaktif permanen]
  19. ^ "Disiplin ala Romo Mangun, tepat waktu dan makan wajib habis". merdeka.com. 2014-02-12. Diakses tanggal 2023-07-05. 
  20. ^ Mangunwijaya, Y.B. 2008. "Rara Mendut: Sebuah Trilogi". Penerbit Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3583-8.
  21. ^ Paulus Adhitama, OFM (8 April 2007), Rahib Juga Manusia, hidupkatolik.com [pranala nonaktif permanen]
  22. ^ Pyou (2018-07-16). "Sejarah Polteka Mangunwijaya". Polteka Mangunwijaya. Diakses tanggal 2022-11-13. 
  23. ^ Sugono, D., dkk., ed. (2003). Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 73. ISBN 979-685-308-6. 

Pranala luar

sunting