Muntilan, Magelang

kecamatan di Magelang, Jawa Tengah
(Dialihkan dari Muntilan)

Muntilan (bahasa Jawa: ꦩꦸꦤ꧀ꦛꦶꦭꦤ꧀, translit. Munthilan) adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia yang menjadi pusat perdagangan dan jasa di bagian Selatan Kabupaten Magelang. Muntilan terletak sekitar 10 Km dari Kota Mungkid yang menjadi pusat pemerintahan atau ibu kota dari Kabupaten Magelang, 15 Km dari Kota Magelang, dan 25 Km dari Kota Yogyakarta. Muntilan telah lama menjadi pusat perdagangan dan jasa di bagian Selatan Kabupaten Magelang dan berada di jalur nasional yang menghubungkan dua ibukota provinsi yaitu Kota Semarang dan Kota Yogyakarta. Muntilan juga berada di jalur kereta api tua yang menghubungkan Stasiun Tugu Kota Yogyakarta, Stasiun Blabak Mungkid, Stasiun Kebonpolo Kota Magelang, Stasiun Ambarawa, dan Stasiun Tambaksari Kota Semarang yang sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Kecamatan Muntilan dilewati sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi antara lain Sungai Pabelan, Lamat dan Blongkeng. Sungai sungai tersebut merupakan jalur banjir lahar hujan Gunung Merapi yang membawa material berupa pasir dan batu.

Muntilan
Kantor Kecamatan Muntilan
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenMagelang
Pemerintahan
 • CamatDrs. Titok Lestiyanto, MM
Populasi
 • Total79,874 (2.018) jiwa
Kode Kemendagri33.08.08 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS3308070 Edit nilai pada Wikidata
Luas28,61 km²
Kepadatan- jiwa/km²
Desa/kelurahan13 desa, 1 kelurahan
Situs webkecamatanmuntilan.magelangkab.go.id
Peta
PetaKoordinat: 7°34′52.00″S 110°17′34.01″E / 7.5811111°S 110.2927806°E / -7.5811111; 110.2927806
Gerai kerajinan batu khas Muntilan

Geografi

sunting

Kecamatan Muntilan berbatasan dengan:

Utara Kecamatan Sawangan
Timur laut Kecamatan Dukun dan
Kecamatan Srumbung
Timur Kecamatan Salam
Tenggara Kecamatan Ngluwar
Selatan Kecamatan Borobudur
Barat daya Kecamatan Mungkid
Barat Kecamatan Mungkid
Barat laut Kecamatan Mungkid

Sejarah

sunting
 
Seseorang sedang memahat patung, Muntilan

Kecamatan Muntilan sudah ada sejak peralihan kekuasaan atas Karesidenan Kedu dari Kesultanan Yogyakarta kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812. Pada awal keberadaannya, kecamatan ini merupakan tempat pemukiman orang Tionghoa. Pada masa Perang Diponegoro, laporan Belanda menyebutkan bahwa salah satu benteng dari proyek Benteng Stelsel dari Jendral De Kock dibangun di kecamatan ini.

Setelah Perang Diponegoro selesai dan Kultuurstelsel diberlakukan di Jawa termasuk di Karesidenan Kedu, Muntilan tumbuh menjadi kecamatan. Namun wilayah ini diperintah oleh seorang wedana yang berkedudukan di Probolinggo (Bolinggo), satu kilometer di sebelah timur Muntilan ke arah Yogyakarta, yaitu di wilayah Kecamatan Salam sekarang. Baru pada saat pemerintah kolonial mengadakan reorganisasi pemerintahan pada tahun 1900, Muntilan menerima status sebagai kawedanan sekaligus distrik. Dengan perubahan status ini, sejak itu kedudukan wedana dipindahkan dari Probolinggo ke Muntilan sementara di kecamatan ini juga ditempatkan seorang pejabat Belanda berpangkat kontrolir yang tunduk kepada asisten residen di Magelang.

Peristiwa sejarah penting di Muntilan di antaranya adalah kedatangan Pastur F. van Lith pada tahun 1894 yang memulai penyiaran agama Katolik di antara masyarakat Jawa. Dalam waktu sepuluh tahun van Lith telah berhasil membangun suatu komunitas umat Katolik Jawa yang mencakup daerah pelayanan hingga Sendangsono di Kulon Progo, Sumber di utara, Salam di timur, dan Tumpang di arah barat. Sementara itu wilayah Borobudur dilayani oleh rekannya, Pastur Hoevenaar. Van Lith bukan hanya membangun komunitas Katolik namun juga kompleks pendidikan sekolah Katolik yang sampai sekarang masih berfungsi termasuk asrama dan rumah sakit, yang diresmikan pada tahun 1902.

Peristiwa sejarah lain yang mempengaruhi tata ruang Kecamatan Muntilan adalah pembukaan rel kereta api oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada tahun 1892 yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Kecamatan Muntilan dilewati jalur ini dan sebagai teknisinya adalah Ir. The Tjien Ing, yang dipindahkan dari Secang oleh direksi NISM ke Muntilan pada tahun 1892. The Tjien Ing kemudian diangkat menjadi kepala kampung Tionghoa (Chineezen Wijk) pada tahun 1903 dan pada tahun 1912 dilantik di klenteng Muntilan sebagai letnan Tionghoa (het luitenant voor Chineezen) oleh kontrolir Muntilan. Rumah The Tjien Ing yang sekarang berada di Jalan dr. Sutomo, merupakan tempat tinggal sementara Pastur Van Lith ketika tiba di Muntilan pada tahun 1893. Ia baru pindah ke kompleks Perikanan Muntilan sekarang pada tahun 1894.

Ketika Perang Dunia II, Muntilan menjadi tempat sebuah kamp tahanan perang oleh tentara Jepang yang menggunakan kompleks sekolah Katolik di sana. Mereka yang menghuni kamp internir ini terutama terdiri atas banyak keluarga Belanda.

Pemerintahan

sunting

Desa/kelurahan

sunting

Pendidikan

sunting

Sekolah Dasar

sunting
  • Play Group Bentara Wacana Muntilan
  • PAUD Bina Anak Sholeh Muntilan
  • TK Bentara Wacana Muntilan
  • TK ABA Aisiyah muntilan
  • TK Pertiwi
  • SD Kanisius Mandala
  • SD Terpadu Ma'arif (Tema) Gunungpring
  • SD Muhammadiyah 1 Muntilan
  • SD Muhammadiyah Gunungpring Muntilan
  • SD Muhammadiyah Tamanagung
  • SD Bentara Wacana Muntilan
  • SD Marsudirini Mater Dei
  • SD Marsudirini St. Yoseph
  • SD Pangudiluhur St.Ignatius
  • SD Negeri Muntilan
  • SD Negeri Muntilan 3
  • SD Negeri Pucungrejo 1
  • SD Negeri Pucungrejo 2
  • SD Negeri Tamanagung 3
  • MI Ma'arif Adikarto
  • MI Ma'arif Ponggol Tamanagung
  • MI Muhammadiyah kaweron muntilan

Sekolah Menengah Pertama

sunting
  • SMP Marsudirini Marganingsih Muntilan
  • SMP Kanisius Muntilan
  • SMP Negeri 1 Muntilan
  • SMP Negeri 2 Muntilan
  • SMP Negeri 3 Muntilan
  • SMP Terpadu Ma'arif Muntilan
  • SMP Muhammadiyah Plus Gunungpring
  • SMP Muhammadiyah Muntilan
  • SMP Bentara Wacana Muntilan
  • SMP Trisula Muntilan
  • MTs Maarif 1 Muntilan di Gondosuli
  • MTs Maarif 2 Muntilan di Gunungpring
  • MTs Pon-Pes Al Iman Muntilan

Sekolah Menengah Atas

sunting

Sekolah Menengah Kejuruan

sunting

Pariwisata

sunting

Wisata religi yang sangat dikenal oleh masyarakat di antaranya adalah makam Kyai Raden Santri Gunungpring di Desa Gunungpring,[1] Muntilan, Magelang, yang dikunjungi oleh sekitar 1000 pengunjung setiap harinya dari berbagai daerah di Indonesia. Makam ini berada di gugusan bukit Gunungpring. Juga makam Romo Sandyoyo, Kerkop Muntilan, yang dikenal dan dikunjungi oleh umat Katholik di Indonesia.

Pusat penyebaran agama Islam yang utama pada abad 16 adalah wilayah Gunungpring. Pada abad 19-an akhir berdiri Pondok Pesantren Watucongol Muntilan yang didirikan oleh Kyai Nahrawi Dalhar atau dikenal dengan Mbah Dalhar bin Abdurrahman. Ia mukim di Mekah selama 25 tahun dan termasuk keturunan Amangkurat II Kasultanan Surakarta. Watucongol juga menjadi pusat Tarekat Syadzaliyah, salah satu tarekat mu'tabarah di lingkungan Nahdlatul Ulama. Sepeninggal Mbah Dalhar, Pondok ini diteruskan KH. Ahmad Abdul Haq (w.2010), putra kedua Mbah Dalhar. Pondok ini sering dikunjungi presiden-presiden yang sedang menjabat. Sepeninggal beliau, pondok diteruskan oleh putra-putra beliau, di antara yang utama adalah KH. Ali Qoishor Abdul Haq. Hingga kini, di lingkungan Watucongol berdiri Pondok Addalhariyah, Darussalam TImur, dan Darussalam itu sendiri.

Pada awal abad 20 Yesuit hadir di Muntilan. Terdapat sebuah seminari dan nekropolis yang banyak berisi peninggalan para anggota lamanya. Kardinal Julius Darmaatmadja, kardinal Gereja Katolik Roma dan Uskup Agung Jakarta saat ini, lahir di Muntilan. Selain itu di kota ini terdapat lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan Katolik sejak zaman Belanda. Yang paling menonjol adalah Sekolah Guru (Kweekschool)(sekarang SMA Van Lith Pangudi Luhur). Di samping itu juga ada beberapa sekolah dasar bagi anak-anak pribumi. Selain beberapa tokoh rohaniawan Katolik, lembaga pendidikan itu juga meluluskan sejumlah tokoh nasional seperti mendiang Frans Seda (mantan Menteri Keuangan), Simbolon (Kolonel), dan Sartono Kartodirdjo (sejarawan).

Di wilayah kecamatan ini juga terdapat candi peninggalan agama Buddha, yaitu Candi Ngawen. Candi ini yang cukup menarik karena berjajar lima bangunan dalam satu kompleks, dengan pahatan singa pada masing-masing sudut kaki candi.

Referensi

sunting
  1. ^ Qowiyyudin, Adib Abbiya (2021-01-15). "Situs Makam Gunungpring (Studi Tentang Peran Kyai Raden Santri Terhadap Islamisasi di Magelang, Jawa Tengah (1660-1810 M)". Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat. 4 (1): 73–87. doi:10.14421/panangkaran.2020.0401-04. ISSN 2614-3461. 

Pranala luar

sunting