Rumpun bahasa Indo-Eropa memiliki dua pengklasifikasian yang disebut sebagai bahasa kentum dan satem menurut pelafalan konsonan dorsal (bunyi "K" dan "G" ) dari perkembangan bahasa Proto-Indo-Eropa (PIE). Contoh perkembangan yang berbeda yaitu kata untuk menyebut "seratus" yang ditemukan dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa awal yang memiliki bukti tertulis. Dalam bahasa kentum, biasanya dimulai dengan bunyi /k/ (centum dalam bahasa Latin diucapkan dengan bunyi /k/, ), tetapi dalam bahasa satem, dimulai dengan bunyi /s/ (kata satem berasal dari bahasa Avesta dalam kitab Zoroastrianisme).

Perkiraan wilayah penyebaran kentum (biru) dan satem (merah). Warna merah yang lebih gelap (menandai tempat penemuan kebudayaan arkeologi Sintashta/Abashevo/Srubnaya) adalah kawasan asal mula satemisasi menurut hipotesis von Bradke, yang tidak diterima oleh sebagian besar ahli bahasa.

Tabel di bawah ini menunjukkan rekonstruksi tradisional konsonan dorsal bahasa PIE, dengan tiga deret, tetapi menurut beberapa teori yang lebih baru mungkin sebenarnya hanya ada dua deret atau tiga deret dengan pengucapan yang berbeda dari yang dianggap berasal secara tradisional. Dalam bahasa kentum, konsonan palatovelar, yang termasuk konsonan awal dari "seratus", bergabung menjadi konsonan velar biasa. Dalam bahasa satem, bunyi itu tetap berbeda, dan konsonan labiovelar bergabung menjadi konsonan velar biasa.[1]

*kʷ *gʷ *gʷʰ labiovelar Bergabung pada rumpun satem
Bergabung pada rumpun kentum *k *g *gʰ velar biasa
*ḱ *ǵʰ palatovelar terasibilasi pada rumpun satem

Pembagian kentum-satem membentuk isoglos dalam deskripsi sinkroni rumpun bahasa Indo-Eropa. Tidak lagi diperdebatkan bahwa bahasa Proto-Indo-Eropa pertama-tama terpecah menjadi cabang kentum dan satem. Pembagian seperti itu umumnya berdasarkan penemuan bahwa rumpun satem umumnya terletak di timur dan kelompok kentum di barat, namun terdapat pengecualian, yaitu cabang bahasa Indo-Eropa yang paling ke timur, bahasa Tokharia, dikategorikan sebagai bahasa kentum.[2]

Kentum

sunting

Bahasa kentum terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa adalah Helenik, Keltik, Italik, dan Jermanik. Rumpun tersebut menggabungkan palatovelar Proto-Indo-Eropa dan velar polos, menghasilkan konsonan velar polos saja (kentumisasi) tetapi mempertahankan konsonan labiovelar sebagai bunyi yang berbeda.[1]

Sub-rumpun bahasa Anatolia mungkin berada di luar dikotomi kentum-satem; misalnya, bahasa Luwia menunjukkan bahwa ketiga bentuk konsonan dorsal bertahan secara terpisah dari bahasa Proto-Anatolia.[3] Oleh karena itu, kentumisasi pada bahasa Het diasumsikan terjadi hanya setelah dialek dari bahasa Proto-Anatolia berkembang menjadi bahasa tersendiri.[4] Namun, Craig Melchert berpendapat bahwa bahasa Proto-Anatolia termasuk bahasa kentum.

Sementara bahasa Tokharia umumnya dianggap sebagai bahasa kentum,[5] bahasa ini memiliki bentuk yang unik, karena telah menggabungkan ketiga bentuk konsonan pada bahasa PIE (awalnya sembilan konsonan terpisah) menjadi satu fonem, *k. Menurut beberapa ahli, inilah memperumit klasifikasi bahasa Tokharia dalam model kentum-satem.[6] Namun, Tokharia telah menggantikan beberapa konsonan labiovelar pada bahasa PIE menjadi *ku; telah diusulkan bahwa beberapa konsonan labiovelar tetap berbeda pada bahasa Proto-Tokharia, sehingga rumpun bahasa Tokharia termasuk dalam bagian kentum (dengan asumsi bahwa bahasa Proto-Tokharia kehilangan bunyi konsonan palatovelar dan bunyi konsonan labiovelar masih dipertahankan walaupun berbeda secara fonem).[5]

Dalam rumpun kentum, akar bunyi bahasa PIE direkonstruksi secara konsonan palatovelar berkembang menjadi bentuk konsonan velar. Misalnya, *ḱm̥tóm, berarti seratus, konsonan awal palatovelar pada * menjadi velar biasa: /k/, seperti centum pada bahasa Latin (awalnya diucapkan dengan lafal /k/, meskipun sebagian besar turunan modern bahasa Latin memiliki ragam desis yang berbeda), (he)katon pada bahasa Yunani, cant pada bahasa Wales, kante pada bahasa Tokharia. Pada rumpun bahasa Jermanik, bunyi /k/ berubah menjadi bunyi /h/ menurut Hukum Grimm, misalnya hund(red) yang berarti seratus dalam bahasa Inggris.

Rumpun Kentum juga mempertahankan perbedaan antara bunyi konsonan labiovelar PIE (*, *, *gʷʰ) dan konsonan velar biasa. Secara historis, belum jelas apakah baris konsonan labiovelar mewakili suatu inovasi melalui proses labialisasi, atau diwarisi dari bahasa induk (tetapi hilang di cabang-cabang satem); pendapat arus utama saat ini mendukung kemungkinan yang terakhir. Labiovelar sebagai fonem tunggal (sebagai contoh, /kʷ/) sebagai lawan dari fonem ganda (sebagai contoh, bunyi /kw/) dibuktikan dalam bahasa Yunani (bunyi q- dalam Linear B), rumpun bahasa Italik (qu dalam bahasa Latin), rumpun Jermanik (hwair ƕ dan qairþra q dalam Gotik), dan rumpun Keltik (ceirt Q dalam aksara Ogham yang dipakai untuk bahasa Irlandia Kuno, serta /kʷ/ pada rumpun bahasa Galia-Britonik yang berkembang menjadi bunyi /p/; perkembangan serupa terjadi pada rumpun bahasa Osko-Umbri, Hellenik, dan Jermanik). Namun, kaidah boukólos, menyatakan bahwa konsonan labiovelar tereduksi menjadi velar biasa pada bunyi *u atau *w.

Pembagian kentum-satem mengacu pada pengembangan konsonan dorsal pada saat pemisahan paling awal dialek bahasa Proto-Indo-Eropa menjadi bahasa proto tersendiri pada turunannya. Hal tersebut tidak berlaku untuk perkembangan analog selanjutnya dalam sub-rumpun manapun. Misalnya, bunyi palatalisasi dari bahasa Latin, yaitu /k/ menjadi /t͡ʃ/ atau /t͡s/ (dan kemudian menjadi /s/) dalam rumpun bahasa Roman (seperti c dalam cent pada bahasa Prancis diucapkan sebagai /s/), seperti penggabungan bunyi *kʷ dengan *k pada rumpun bahasa Goidelik; terdengar seperti rumpun satem, tetapi perubahan seperti itu tetap mengklasifikasikannya sebagai rumpun kentum.

Sebagian besar model satem terdapat pada rumpun bahasa Indo-Eropa bagian timur, terutama rumpun bahasa Indo-Iran di benua Asia dan Balto-Slavia di benua Eropa. Rumpun bahasa tersebut kehilangan elemen konsonan Labio-Velar pada bahasa Proto-Indo-Eropa dan menggabungkannya menjadi bunyi konsonan velar, tetapi konsonan palatovelar tetap berbeda dan biasanya diwujudkan sebagai konsonan desis.[7] Serangkaian perkembangan itu, terutama pelestarian bunyi konsonan palatovelar, disebut sebagai satemisasi.

Dalam rumpun satem, bunyi refleks yang diduga sebagai konsonan palatovelar pada bahasa PIE biasanya berupa bunyi konsonan frikatif atau afrikat, articulated further forward in the mouth. Misalnya, *ḱm̥tóm, berarti "seratus" pada bahasa PIE, palatovelar awal biasanya menjadi desisan [s] atau [ʃ], seperti satem pada bahasa Avesta, sad pada bahasa Persia, śatam pada bahasa Sanskrit, сто / sto pada semua bahasa Slavia modern, sъto pada bahasa Slavonik Gerejawi Kuno, simts pada bahasa Latvia, dan šimtas pada bahasa Lituania. Contoh lain adalah imbuhan awal sъ(n)- ("dengan"), yang muncul dalam bahasa Latin, rumpun kentum, sebagai co(n)-; conjoin serumpun dengan soyuz ("serikat") pada bahasa Rusia. Sebuah bunyi [s] (*ḱ pada bahasa PIE) dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Latvia, Avesta, Rusia, dan Armenia, tetapi bahasa Lituania dan Sanskerta memiliki bunyi [ʃ] (š dalam transkripsi Lituania, ś dalam transkripsi Sanskrit).

"Satemisasi tidak lengkap" juga dapat dibuktikan dengan sisa-sisa elemen bunyi konsonan labial dari labiovelar pada rumpun bahasa Balto-Slavia, termasuk ungurys (belut) < *angʷi- dan dygus (runcing) < *dʰeigʷ- pada bahasa Lituania. Beberapa contoh juga diklaim dalam bahasa Indo-Iran, seperti guru (padat) < *gʷer- dan kulam (kawanan) < *kʷel- dalam bahasa Sanskerta, tetapi bunyi tersebut mungkin merupakan perkembangan sekunder, seperti dalam kasus kuru (membuat) < *kʷer- di mana jelas bahwa kelompok imbuhan ku- muncul pada bahasa Weda setelah zaman Rigweda, juga dinyatakan bahwa dalam bahasa Sansekerta dan Balto-Slavia, dalam beberapa cakupan, konsonan resonansi (diwakili dengan bunyi /R/) menjadi /iR/ setelah velar biasa tetapi /uR/ setelah labiovelar.

Beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa bahasa Albania[8] dan Armenia juga harus diklasifikasikan sebagai satem,[9] tetapi beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa mereka menunjukkan bukti perlakuan terpisah dari ketiga baris konsonan dorsal dan mungkin tidak bergabung dengan konsonan labiovelar, tidak seperti rumpun satem yang lainnya.

Asibilasi konsonan velar dalam lingkungan fonem tertentu adalah fenomena umum dalam perkembangan bahasa (seperti cent pada bahasa Prancis dan cien pada bahasa Spanyol, yang merupakan konsonan frikatif meskipun berasal dari bunyi /k/ pada bahasa Latin). Akibatnya, kadang-kadang sulit untuk menetapkan secara tegas bahasa-bahasa yang merupakan bagian dari difusi satem asli dan bahasa-bahasa yang dipengaruhi oleh asibilasi sekunder. Sementara dokumentasi ekstensif bahasa Latin dan Swedia Kuno, sebagai contoh, misalnya, menunjukkan bahwa asimilasi yang ditemukan dalam bahasa Prancis dan Swedia hanyalah perkembangan sekunder. Tidak ada cukup bukti tertulis tentang bentuk bunyi bahasa Dacia dan Trakia. Kata serapan leksikon secara lanjut, seperti bahasa Armenia dari bahasa Iran, juga belum diketahui.

Pada bahasa Armenia, beberapa pendapat ahli bahasa mengemukakan bahwa bunyi /kʷ/ dapat dibedakan dari bunyi /k/ sebelum vokal depan.[10] Martin Macak (2018) menegaskan bahwa penggabungan bunyi * dan *k terjadi dalam sejarah bahasa Proto-Armenia itu sendiri.[11]

Pada bahasa Albania, bunyi konsonan dorsal asli tetap dapat dibedakan sebelum perubahan vokal depan.[12][13][14] Sebagian besar bunyi konsonan labiovelar dibedakan dari semua deret konsonan velar bahasa Indo-Eropa lainnya sebelum vokal depan (yang berkembang menjadi bunyi s dan z), tetapi bergabung menjadi konsonan velar murni (belakang) dalam beberapa dialeknya.[12] Deret konsonan velar palatal, yang terdiri dari bunyi bahasa-Indo-Eropa, yaitu * dan *ģ atau ģʰ, berubah menjadi th dan dh, tetapi didepalatalisasi untuk bergabung dengan bunyi konsonan velar belakang saat bersentuhan dengan sonoran.[12] Karena perbedaan tiga bagian bunyi pada bahasa Proto-Indo-Eropa dalam konsonan dorsal dipertahankan dalam refleks semacam itu, Demiraj berpendapat bahwa bahasa Albania tidak dapat dianggap sebagai rumpun kentum ataupun satem, seperti bahasa Luwia.[13] Dengan demikian, bunyi *, *, dan *k pada bahasa PIE berubah menjadi th (thom (saya mengatakan) dalam bahasa Albania dari bahasa PIE: *ḱeHsmi), s (si (bagaimana) dalam bahasa Albania, dari bahasa PIE: kʷiH1, bandingkan dengan quī dalam bahasa Latin), dan q (/c/: pleq (tua) < dari bahasa PIE: *plak-i atau *plH2-ko-).[15]

Fonem pada bahasa turunan

sunting

Tabel berikut merangkum hasil dari rekonstruksi bunyi konsonan palatal dan labiovelar pada bahasa Proto-Indo-Eropa dan bahasa turunannya, baik kentum maupun satem. (Hasil dari konsonan velar biasa dapat diasumsikan sama dengan hasil bunyi konsonan palatal pada rumpun kentum dan konsonan labiovelar pada rumpun satem.)

PIE *ḱ *ǵʰ *kʷ *gʷ *gʷʰ
Keltik k g kw, p[* 1] b gw
Italik g g, h[* 2] kw, p[* 3] gw, v, b[* 3] f, v
Venetia h kw ?
Hellenik kh p, t, k[* 4] b, d, g[* 4] ph, kh, th[* 4]
Frigia k[* 5] g[* 5] g, k k b g
Jermanik h k g ~ ɣ[* 6] hw kw gw[* 7] ~ w[* 6]
Anatolia k,[* 8] kk[* 9] g,[* 10] k[* 11] kw, kkw[* 9] gw,[* 12] kw[* 11]
Tokharia k k, kw
Albania[16] θ, c, k[* 13] ð, d[* 13] k, c, s g, ɟ, z
Trakia s z k, kh g, k g
Armenia c dz kh k
Slavia z k g
Baltik ž
Indo-Arya ś h[* 14] k, č g gh
Iran s z g
  1. ^ Dalam rumpun Kelt, sub-rumpun "p-Kelt" dan "q-Kelt" memiliki perbedaan akar bunyi *kʷ: *ekwos → ekwos, epos dari PIE. Sub-rumpun Britonik dan Lepontik merupakan bagian dari P-Kelt, sedangkan Goidelik dan Keltiberia adalah bagian dari Q-Kelt, serta ragam bahasa Galia belum terklasifikasi.
  2. ^ Bunyi *ǵʰ pada PIE → menjadi /h/ atau /ɡ/ pada bahasa Latin, tergantung letak bunyi dalam kata, dan → *kh → /h/ pada Osko-Umbri.
  3. ^ a b Bunyi *kʷ and *gʷ pada PIE berkembang menjadi dua perbedaan dalam rumpun Italik: /kw/, /w/ pada bahasa Latin (*kwis → quis), dan /p/, /b/ pada sub-rumpun Osko-Umbri (*kwis → pis).
  4. ^ a b c Bunyi *kʷ, *gʷ, *gʷʰ pada PIE berkembang menjadi tiga bunyi berbeda dalam ragam Yunani seperti Attika dan Doria:
    /t, d, th/ sebelum /e, i/ (*kʷis pada PIE → tis pada Yunani)
    /k, ɡ, kh/ sebelum /u/ (*wl̥kʷos pada PIE → lukos pada Yunani)
    /p, b, ph/ sebelum /a, o/ (*sekʷ- pada PIE → hep- pada Yunani)
    Namun, pada bahasa Yunani Mikenai, *kw tetap ada, dan pada bahasa Yunani Aeolia, bunyi itu berubah menjadi /p/.
  5. ^ a b Bukti Frigia terbatas dan sering ambigu sehingga masalah karakteristik ragam lafal kentum vs. satem belum dapat ditentukan, tetapi pendapat yang berlaku adalah bahwa Frigia menunjukkan lafal kentum bersama dengan palatalisasi sekunder dari /k/ menjadi /ts/, dan /ɡ/ menjadi /dz/ sebelum vokal depan, seperti pada mayoritas bahasa Roman, lihatBahasa Frigia § Fonologi.
  6. ^ a b Akar bunyi dari bahasa Proto-Jermanik menunjukkan alofon spiran dalam PIE, yang dipertahankan dalam posisi intervokal dalam bahasa Gotik.
  7. ^ Bunyi tersebut merupakan akar konsonan sengau. Hasil di posisi lain diperdebatkan dan dapat bervariasi sesuai dengan lingkungan fonetik. Lihat Hukum Grimm § Catatan.
  8. ^ Pada bahasa Luwia, terdapat bunyi ts, pada hampir semua kosakata apapun.
  9. ^ a b Non-initial
  10. ^ Pada bahasa Luwia, bunyi itu berubah menjadi *y pada awalan, hilang secara intervokal.
  11. ^ a b Non-initial
  12. ^ Pada bahasa Luwia, terdapat bunyi w.
  13. ^ a b Bunyi *ḱ, *ǵ, *ǵʰ pada PIE menjadi konsonan gesek pada bunyi /ts/ dan /dz/ pada bahasa Albania Kuno dan kemudian menjadi /θ/ dan /ð/. Namun dalam konteks tertentu, satu atau kedua proses tidak terjadi sehingga beberapa contoh dipertahankan sebagai konsonan velar (krah, sebagai contoh) sementara yang lain berakhir sebagai /s/ dan /z/, /ts/ dan /dz/, atau /c/ dan /ɟ/ sesuai konteks. Selanjutnya frikatif /ð/ menjadi /d/ letup dalam konteks tertentu pada bahasa modern
  14. ^ Bunyi *ǵʰ pada PIE → *džjh pada PII → /h/ pada Proto-Indo-Arya, /z/ pada Proto-Iran.

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b J.P. Mallory and D.Q. Adams (eds.), The Encyclopedia of Indo-European Culture (1997), p. 461.
  2. ^ Fortson 2010, chpt. 3.2–3.25
  3. ^ Fortson 2010, hlm. 59, originally proposed in Melchert 1987
  4. ^ Fortson 2010, hlm. 178
  5. ^ a b Fortson 2010, hlm. 59
  6. ^ Lyovin 1997, hlm. 53
  7. ^ Mallory 1997, p. 461.
  8. ^ Matasović, Ranko (2012). "A Grammatical Sketch of Albanian for students of Indo-European". Page 13:"It has been claimed that the difference between the three PIE series of gutturals is preserved in Albanian before front vowels. This thesis, sometimes referred to as Pedersen’s law, is often contested, but still supported by the majority of Albanologists (e. g. Hamp, Huld, and Ölberg). In examining this view, one should bear in mind that it seems certain that there were at least two palatalizations in Albanian: the first palatalization, whereby labiovelars were palatalized to s and z before front vowels and *y, and the second palatalization, whereby all the remaining velars (*k and *g) were palatalized to q and gj, in the same environment. PIE palatalized velars are affected by neither palatalization (they yield Alb. th, d, dh, cf. Alb. thom ‘I say’ < *k’ensmi, cf. OInd. śa m s- ‘praise’, L c e nse o ‘reckon’). It may be that th yielded f before a consonant, if Alb. ënfle ‘sleep’ is from *nthle < *n-k’loye- (cf. G klínō ‘recline’). "
  9. ^ Andrew Miles Byrd (2018). "121. The phonology of Proto-Indo-European". Dalam Fritz, Matthias; Joseph, Brian; Klein, Jared. Handbook of Comparative and Historical Indo-European Linguistics. De Gruyter Mouton. hlm. 2061. ISBN 978-3-11-054036-9. 
  10. ^ Holger Pedersen, KZ 36 (1900) 277–340; Norbert Jokl, in: Mélanges linguistiques offerts à M. Holger Pedersen (1937) 127–161.
  11. ^ Martin Macak. "61. The phonology of Classical Armenian". Dalam Klein, Jared; Joseph, Brian; Fritz, Matthias. Handbook of Comparative and Historical Indo-European Linguistics. de Gruyter Mouton. hlm. 1048. ISBN 978-3-11-052161-0. A characteristic feature of satem languages, the merger of *K and *K u̯ , seems to have taken place within the history of PA itself... After the merger of *K and *K u̯ , a preceding labial segment “satemizes” the velar so that the latter shows reflex- es identical to those of the original PIE palatovelar *K̑... 
  12. ^ a b c Orel, Vladimir (2000). A CONCISE HISTORICAL GRAMMAR OF THE ALBANIAN LANGUAGE: Reconstruction of Proto-Albanian . Leiden: Brill. hlm. 66, 70-71. ISBN 90-04-11647-8. 
  13. ^ a b Bardhyl Demiraj (2018). "100. The evolution of Albanian". Dalam Fritz, Matthias; Joseph, Brian; Klein, Jared. Handbook of Comparative and Historical Indo-European Linguistics. De Gruyter Mouton. hlm. 1812. ISBN 978-3-11-054036-9. and the outcomes of the three dorsal series suggest that Albanian, like Luwian, may have originally retained this three-way opposition intact and therefore is neither centum nor satem, despite the clear satem-like outcome of its palatal dorsals in most instances 
  14. ^ Don Ringe (2018). "1. General and methodological issues". Dalam Fritz, Matthias; Joseph, Brian; Klein, Jared. Handbook of Comparative and Historical Indo-European Linguistics. De Gruyter Mouton. hlm. 65. ISBN 978-3-11-054036-9. 
  15. ^ Matthew C. Curtis (2018). "99. The dialectology of Albanian". Dalam Fritz, Matthias; Joseph, Brian; Klein, Jared. Handbook of Comparative and Historical Indo-European Linguistics. de Gruyter Mouton. hlm. 1807–1808. ISBN 978-3-11-054036-9. 
  16. ^ Orel, Vladimir (2000). A CONCISE HISTORICAL GRAMMAR OF THE ALBANIAN LANGUAGE: Reconstruction of Proto-Albanian. Pages 66-72. Historic palatalizations further discussed on pages 72-77, palatalization of former velar sounds specifically 72-74.

Daftar pustaka

sunting

Bacaan lebih lanjut

sunting
  • Kortlandt, Frederik. "Balto-Slavic and Indo-Iranian". In: Baltistica 2016, t. 51, Nr. 2, p. 355-364. DOI: https://doi.org/10.15388/Baltistica.51.2.2284
  • Mayer, Harvey E. (1980). "Baltic membership in the West Satem subgroup". In: Journal of Baltic Studies, 11:4, pp. 356-366. DOI: 10.1080/01629778000000351
  • Mottausch, Karl-Heinz. "Eine Neue Lösung Für Ein Altes Problem: Kentum Und Satəm". In: Historische Sprachforschung [Historical Linguistics] 119 (2006): 35-76. www.jstor.org/stable/40849375.

Pranala luar

sunting