Hidangan Romawi kuno

Hidangan Romawi kuno mengalami transformasi signifikan sepanjang sejarah peradaban ini. Kebiasaan makan masyarakat Romawi kuno banyak dipengaruhi oleh perubahan politik yang mereka alami, mulai dari sistem kerajaan, republik hingga akhirnya menjadi kekaisaran. Selain itu, interaksi perdagangan dengan bangsa lain dan perluasan wilayah yang masif juga berperan besar dalam memperkenalkan beragam makanan baru, tradisi kuliner di setiap provinsi, serta beragam teknik memasak kepada bangsa Romawi.

Lukisan Romawi Kuno yang menggambarkan telur, burung, dan piring perunggu yang ditemukan di Rumah Julia Felix

Pada awalnya, perbedaan makanan antar kelas sosial di zaman Romawi kuno tidaklah besar, tetapi kemudian kesenjangan tersebut menjadi semakin membesar seiring berkembangnya kekaisaran.

Arkeologi

sunting

Kebanyakan makanan organik biasanya membusuk seiring waktu. Namun, abu dan tulang hewan seringkali memberikan petunjuk penting bagi para arkeolog untuk memahami pola makan masyarakat Romawi kuno. Sebagai contoh, fosil fitolit yang ditemukan di sebuah pemakaman di Tarragona, Spanyol. Di Colchester, buah ara impor berhasil terawetkan dalam kondisi hangus saat Boudica dan pasukannya membakar sebuah toko milik orang Romawi. Di Herculaneum, sisa-sisa kacang arab dan mangkuk berisi buah-buahan masih utuh setelah terkubur oleh letusan gunung Vesuvius yang menghancurkan kota tersebut pada tahun 79 M. Penemuan lain di saluran pembuatan kota juga menunjukkan banyak sisa-sisa tulang ikan kecil, duri bulu babi, dan tanaman yang mengalami mineralisasi.

Selain itu, para arkeolog berhasil mengidentifikasi berbagai jenis tanaman yang dikonsumsi pada masa itu, termasuk tanaman yang telah diidentifikasi, termasuk, adas sowa, ketumbar, flaks, lentil (miju-miju), kubis, tanaman opium, aneka kacang-kacangan, buah-buahan, serta polong-polongan lainnya, dan berbagai jenis ikan dan kerang. Di Pompeii, penemuan berupa anggur, keju, roti dan kue kering yang dulunya dikubur di taman halaman peristilium sebagai persembahan kepada dewa rumah tangga, Lares.[1]

Hidangan sehari-hari

sunting

Secara tradisional, sarapan di masa Romawi kuno disebut sebagai ientaculum[2] yang disajikan saat dini hari. Sementara pada siang hingga awal sore, mereka menghidangkan cena,[2] sebagai makanan utama pada hari itu, dan pada malam hari mereka menyantap makan malam ringan yang disebut vesperna. Namun, seiring meningkatnya impor makanan dari luar negeri, cena menjadi lebih banyak dan beragam. Akibatnya, waktu makan cena secara berangsur bergeser ke malam hari, sementara vesperna[3] perlahan-lahan ditinggalkan. Sebagai gantinya, makan siang yang disebut prandium berubah menjadi santapan ringan untuk menahan rasa lapar hingga waktu cena.[2] Adapun untuk kalangan masyarakat kelas bawah Romawi, perubahan-perubahan ini tidak terlalu terasa karena kebiasaan makan mereka yang berkaitan erat dengan ritme kerja fisik harian.

 
Sendok Romawi dengan gagang bebek atau angsa

Berbeda dengan kalangan kelas atas yang biasanya tidak melakukan pekerjaan fisik, masyarakat kelas atas terbiasa untuk menjadwalkan semua urusan bisnis di pagi hari. Setelah prandium, mereka mengerjakan sisa pekerjaan untuk hari itu, lalu dilanjutkan dengan mengunjungi pemandian umum. Sekitar jam 2 siang, cena dimulai. Hidangan ini dapat berlangsung hingga larut malam, terutama jika ada tamu yang diundang, dan sering diikuti oleh comissatio, yaitu serangkaian acara minuman beralkohol (biasanya berupa minuman anggur).

Pada masa pemerintahan kerajaan, masa Republik awal, dan juga pada masa-masa setelahnya (untuk kelas pekerja), cena pada dasarnya terdiri dari sejenis bubur yang disebut puls.[4] Versi paling sederhana dari puls terbuat dari emmer, air, garam dan lemak. Sementara variasi yang lebih mewah dibuat dengan minyak zaitun, dan disantap bersama berbagai sayuran jika tersedia. Adapun untuk orang-orang kaya umumnya mereka memakan bubur mereka dengan telur, keju, dan madu dan kadang-kadang disajikan dengan daging atau ikan.

Selama periode Republik, cena berkembang menjadi dua hidangan, yaitu hidangan utama dan hidangan penutup dengan buah dan boga bahari (misalnya moluska dan udang). Kemudian pada akhir Republik, biasanya cena disajikan dalam tiga bagian: hidangan pembuka (gustatio), hidangan utama (primae mensae), dan hidangan penutup (secundae mensae).

Sementara untuk prajurit legiun Romawi, makanan pokok mereka adalah gandum. Pada abad ke-4, sebagian besar legiun menikmati makanan yang sama dengan penduduk di kota Roma pada umumnya. Mereka diberi jatah roti dan sayuran, disertai dengan daging seperti sapi, kambing, atau babi. Untuk jenis jatah makanan, ini bergantung pada apakah legiun tersebut sedang ditempatkan atau sedang melakukan kampanye militer. Di wilayah Gaul utara dan Britannia, daging kambing termasuk populer. Namun, sebagai makanan utama, daging babi tetap merupakan jatah utama yang mereka dapatkan.[5]

Makanan dan bahan-bahan

sunting

Koloni Romawi menyediakan banyak makanan bagi kota Roma. Seperti ham dari Belgia, tiram dari Bretonia, garum dari Mauretania, daging hewan buruan liar dari Tunisia, silphium (laser) dari Kirenaika, bunga dari Mesir, selada dari Kapodakia, dan ikan dari Pontus.

Pola makan Romawi kuno mencakup banyak bahan makanan yang kini menjadi bagian penting masakan Italia modern. Plinius Tua mencatat lebih dari 30 jenis pohon zaitun, 40 jenis buah pir, buah ara (baik yang asli maupun hasil impor dari Afrika dan provinsi bagian timur), dan berbagai macam sayuran.[a] Beberapa jenis sayuran tersebut sudah tidak ada lagi di dunia modern, sementara yang lainnya telah mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya, wortel dengan warna-warna yang berbeda saat itu banyak dikonsumsi, tetapi mereka tidak mengonsumsi wortel yang berwarna oranye. Selain itu, banyak ragam jenis sayuran yang dibudidayakan dan dikonsumsi[7], termasuk seledri, bawang putih, beberapa umbi bunga, kubis dan brasila lainnya (seperti kubis keriting dan brokoli), selada, andewi, bawang bombay, daun bawang, asparagus, lobak, lobak cina, ubi jalar, wortel, bit, kacang hijau, lobak Swiss, sayuran daun (green fields), kardun, zaitun, dan mentimun.[7] Beberapa sayuran tersebut bahkan digambarkan dalam bentuk relief.

Namun, beberapa makanan yang kini dianggap sebagai ciri khas masakan Italia modern belum digunakan pada masa itu[8].Bayam dan terong (aubergine), misalnya, baru diperkenalkan kemudian melalui dunia Arab. Sementara tomat, kentang, cabai, jagung (yang kini menjadi bahan utama polenta), dan kacang-kacangan dari genus Phaseolus vulgaris (seperti kacang hijau - Prancis, kacang runner, kacang lima, dan kacang merah), baru muncul di Eropa setelah penemuan Dunia Baru dan Pertukaran Kolumbus.[8] Untuk beras, sebenarnya orang Romawi kuno telah mengenal beras, tetapi ketersediaannya masih sangat terbatas. Buah-buahan sitrus juga jarang ditemukan.[8] Meskipun lemon telah dikenal di Italia sejak abad kedua Masehi, buah ini belum dibudidayakan secara luas pada masa itu.[9]

Roti dan biji-bijian

sunting
 
Lukisan dinding yang menunjukkan sepotong roti dan dua buah ara, dari Pompeii, Museum Arkeologi Nasional Naples. Roti merupakan makanan pokok di dunia Romawi.

Sejak tahun 123 SM, pemerintah Romawi mulai mendistribusikan jatah gandum yang belum digiling (sebanyak 33 kg), yang dikenal sebagai frumentatio, didistribusikan kepada sekitar 200.000 orang setiap bulannya.[10] Awalnya, penerima jatah diwajibkan membayar biaya tertentu, tetapi sejak 58 SM, biaya ini dihapuskan oleh tribunus plebis, Publius Clodius Pulcher yang memutuskan bahwa untuk menerima frumentatio seseorang harus berstatus warga negara Romawi dan berdomisili di Roma.[10]

Awalnya, orang Romawi mengonsumsi roti pipih bundar yang terbuat dari emmer (biji-bijian serealia yang berkerabat dekat dengan gandum) dengan sedikit garam. Adapun di kalangan kelas atas, roti tersebut dikonsumsi bersama dengan telur, keju, dan madu, serta susu dan buah-buahan.

Pada masa Kekaisaran, sekitar tahun 1 M, roti yang terbuat dari gandum diperkenalkan. Seiring waktu, makanan berbahan dasar gandum ini banyak menggantikan roti Emmer.

Saat itu, terdapat banyak jenis roti dengan kualitas yang berbeda-beda. Umumnya roti putih dipanggang untuk kalangan elit, roti berwarna lebih gelap dipanggang untuk kelas menengah, dan roti paling gelap untuk petani miskin.[11]

Roti tersebut kadang-kadang dicelupkan ke dalam minuman anggur dan dimakan bersama zaitun, keju, dan buah anggur. Pada saat kehancuran Pompeii pada tahun 79 M, setidaknya ada 33 toko roti di kota itu.[12]

Para koki Romawi juga membuat roti manis yang dibumbui dengan kismis hitam dan kue keju yang dibuat dengan tepung, madu, telur, keju seperti ricotta, dan biji poppy. Terdapat pula kue yang diberi minuman anggur manis ditambah dengan madu, anggur merah yang direduksi, dan kayu manis. Pai buah populer di kalangan kelas atas, tetapi masyarakat kelas bawah tidak mampu membuatnya sendiri atau membelinya dari pasar dan pedagang.[ <span title="This claim needs references to reliable sources. (April 2021)">kutipan diperlukan</span> ]

Juscellum adalah sup kaldu yang dibuat dengan campuran roti parut, telur, daun sage dan saffron. Resep hidangan ini dituliskan dalam Apicius, buku resep Romawi dari akhir abad ke-4 atau awal abad ke-5 Masehi.[13]

Daging

sunting

Daging dari tukang daging merupakan barang mewah yang tidak umum. Jenis daging-dagingan yang paling populer adalah daging babi, terutama dalam bentuk sosis.[14] Adapun untuk daging sapi, daging jenis ini jarang dikonsumsi di Romawi kuno sebab tidak disebutkan oleh Juvenal atau Horace [14], meskipun lebih umum di Yunani kuno.

Boga bahari, daging buruan, dan unggas, termasuk bebek dan angsa, lebih umum ditemukan. Misalnya, pada saat kemenangannya, Caesar mengadakan pesta kemenangan untuk 260.000 orang humiliores (rakyat miskin) yang menghadirkan ketiga jenis makanan ini, tanpa menyertakan daging yang didapatkan dari tukang daging[14] . Menurut John E. Stambaugh menyebutkan bahwa “daging merupakan makanan yang sangat langka, kecuali pada acara pengorbanan dan jamuan makan malam orang-orang kaya”[15]. Sapi lebih dihargai karena susunya, sementara banteng dihargai sebagai hewan bajak dan penarik beban. Daging dari hewan pekerja biasanya alot dan tidak enak. Daging sapi muda sesekali dikonsumsi. Dalam Apicius, hanya terdapat empat resep yang menggunakan daging sapi, dengan opsi penggantian menggunakan daging domba atau babi. Selain itu, buku tersebut hanya mencantumkan satu resep untuk semur daging sapi dan satu resep untuk veal scallopini.[16]

Tikus dormice juga dikonsumsi dan dianggap sebagai makanan lezat di Romawi kuno. Dengan mengonsumsinya, hal tersebut menjadi simbol status di kalangan orang Romawi yang kaya, dan beberapa bahkan menimbangnya di depan tamu makan malam.

Meskipun, hukum kemewahan yang ditetapkan pada masa pemerintahan Marcus Aemilius Scaurus melarang tikus penidur, praktik tersebut tetap berlanjut dan tidak berhasil dihentikan.

Ikan dan makanan laut

sunting

Pada masa itu, ikan lebih umum dikonsumsi dibandingkan daging. Budidaya perairan saat itu sudah sangat maju, dengan banyaknya industri berskala besar yang dikhususkan untuk budidaya tiram.[15] Selain itu, bangsa Romawi juga membudidayakan siput dan larva pohon ek.[15] Beberapa jenis ikan sangat dihargai dan memiliki harga tinggi, seperti ikan belanak yang dibesarkan di perikanan di Cosa. Dengan berbagai "cara-cara rumit diciptakan untuk menjamin kesegarannya".[15]

Buah-buahan

sunting
 
Lukisan alam benda dengan keranjang buah dan vas (Pompeii, sekitar tahun 70 M)
 
Thermopolium (tempat makan) Pompeii, Italia, abad ke-1 Masehi.

Columella menawarkan saran tentang cara mengawetkan buah ara, yaitu dengan menghancurkannya menjadi pasta lalu mencampurnya dengan adas manis, biji adas, jinten dan wijen panggang yang kemudian dibungkus dengan daun ara.[17]

Sayuran mayur

sunting

Meskipun cikal bakal sayuran, seperti kubis brussel, articok, kacang polong, rutabaga, dan mungkin kembang kol kemungkinan besar sudah ada pada zaman Romawi, bentuk budidaya modern yang kita kenal saat ini baru dikembangkan pada masa akhir Abad Pertengahan dan awal masa Renaisans.

Untuk kubis, sayuran ini umumnya dimakan mentah (atau kadang-kadang dicelupkan ke dalam cuka) dan dimasak. Cato sangat menghargai kubis, meyakini bahwa kubis baik untuk pencernaan. Ia juga bahkan mempercayai bahwa seseorang yang sakit dapat sembuh jika mengonsumsi banyak kubis dan mandi dengan air seninya sendiri.

Legume

sunting

Legume pada masa Romawi kuno terbatas pada kacang polong kering, kacang kara, kacang arab, lentil, dan kacang lupin. Selain itu, bangsa Romawi mengenal beberapa varietas kacang Arab, seperti venus, ram, dan punic yang biasanya dimasak menjadi sup kental atau dipanggang sebagai camilan. Buku resep Romawi Apicius bahkan memuat beberapa resep yang menggunakan kacang Arab sebagai bahan utamanya.

Kacang-kacangan

sunting

Bangsa Romawi kuno mengonsumsi berbagai jenis kacang-kacangan, seperti kenari, kacang almond, badam hijau, kastanya, hazelnut (filbert), kacang tusam, dan biji wijen. Kacang- kacangan ini terkadang mereka haluskan untuk mengentalkan saus anggur manis berbumbu yang disajikan sebagai pelengkap di samping atau atas daging sebagai acai.

Selain itu, kacang-kacangan juga digunakan dalam saus gurih mirip pesto untuk hidangan daging dingin. Mereka juga menggunakannya menjadi bahan utama dalam kue pastri, tart, dan puding yang dimaniskan dengan madu.

Produk susu

sunting
 
Sebuah kreasi ulang moretum, yaitu olesan keju dan herba yang dimakan bersama roti

Sejak masa Kekaisaran Romawi, keju sudah merupakan hidangan yang umum, dengan pembuatan yang sudah mapan[18]. Keju juga merupakan bagian dari jatah standar untuk prajurit Romawi, dan juga populer di kalangan warga sipil. Bahkan, Kaisar Diokletianus (284–305 M) menetapkan harga maksimum untuk keju.[18]

Selain itu, pembuatan keju, kualitas, dan penggunaan kulinernya juga disebutkan oleh beberapa penulis Romawi di masa itu, seperti Plinius Tua yang menggambarkan penggunaan keju untuk makanan dan obat-obatan dalam Historia Naturalis (Buku 28), sementara Varro dalam De Agricultura menggambarkan musim pembuatan keju Romawi (musim semi dan musim panas), dan membandingkan keju segar yang lembut dengan keju tua yang lebih kering. Penjelasan paling lengkap mengenai pembuatan keju Romawi datang dari Columella, dari risalahnya mengenai pertanian Romawi, De Re Rustica.

Bumbu-bumbu

sunting

Garum adalah saus ikan khas Romawi kuno[19] yang digunakan sebagai bumbu pengganti garam, bahan penyedap, dan saus. Ada empat jenis kecap ikan utama: garum, liquamen, muria, dan allec.[19] Garum diproduksi dalam kualitas yang berbeda-beda, dari ikan seperti tuna, mullet, dan seabass.[19] Saus ini sering dibumbui, misalnya dicampur dengan anggur merah,atau diencerkan dengan air (hydrogarum), yang populer di kalangan prajurit Romawi. Bahkan, Kaisar Elagabalus menyatakan bahwa dialah orang pertama yang menyajikan minuman ini dalam jamuan makan umum di Roma.[19]

Jenis garum yang paling mahal adalah garum sociorum, dibuat dari ikan tenggiri (scomber) di perikanan Cartagena, Spanyol, dan diperdagangkan secara luas.[19] Plinius Tua dalam Historia Naturalis mencatat bahwa dua congii (7 liter) saus ini berharga 1.000 sestertius yang setara dengan 110 g emas.[<span title="This claim needs references to reliable sources. (April 2021)">kutipan diperlukan</span>]

Memasak

sunting
 
Seorang anak laki-laki memegang sepiring buah-buahan dan kemungkinan seember kepiting, di dapur dengan ikan dan cumi-cumi, pada panel bulan Juni dari sebuah mosaik yang menggambarkan bulan-bulan (abad ke-3)
 
Ketel Romawi ini dibuat berbentuk benteng dan menambahkan referensi kehidupan militer pada benda sehari-hari.

Salah satu metode memasak di Romawi kuno adalah focus, yaitu perapian yang diletakkan di depan lararium, altar rumah tangga yang berisi patung-patung kecil dewa rumah tangga (lares, atau roh leluhur pelindung, dan penates, yang dipercaya merupakan pelindung lantai dan tempat penyimpanan makanan)[20]. Di rumah-rumah yang larariumnya dibangun di dinding, focus-nya terkadang dibangun dari batu bata yang ditinggikan di keempat sisinya dan dibangun menempel pada lis lantai tempat api dinyalakan. Jenis focus yang lebih umum berbentuk persegi panjang dan portabel, berupa perapian yang dapat dipindahkan dengan kaki batu atau perunggu[21]. Setelah perkembangan dapur terpisah, focus mulai digunakan hanya untuk persembahan keagamaan dan penghangat ruangan, bukan untuk memasak.[21]

Bangsa Romawi menggunakan kompor dan oven portabel. Beberapa di antaranya dilengkapi dengan panci air dan pemanggang yang diletakkan di atasnya. Di Pompeii, sebagian besar rumah memiliki dapur terpisah. Sebagian besar berukuran kecil, tetapi ada juga yang berukuran besar, seperti Villa dei Misteri yang mencakup area seluas 9 x 12 meter[22]. Selain itu, beberapa dapur di Pompeii tidak memiliki atap dan lebih menyerupai halaman daripada ruangan biasa sehingga memungkinkan asap untuk keluar.[22] Dapur yang memiliki atap cenderung sangat berasap karena satu-satunya ventilasi berasal dari jendela tinggi atau lubang di langit-langit. Meskipun orang Romawi membangun cerobong asap untuk toko roti dan bengkel pandai besi, cerobong asap tidak dikenal di rumah-rumah pribadi sampai sekitar abad ke-12 M, jauh setelah runtuhnya peradaban Romawi.

Banyak dapur bangsa Romawi yang memiliki oven (furnus atau fornax), dan beberapa (seperti dapur Villa dei Misteri) memiliki dua oven[23]. Oven tersebut berbentuk persegi atau kubah dari batu bata atau batu biasa, dengan lantai datar yang seringkali terbuat dari granit dan terkadang lava. Oven ini diisi dengan ranting kering dan lalu dinyalakan.[23] Di dinding dapur terdapat kait dan rantai untuk menggantungkan peralatan memasak, termasuk berbagai panci dan wajan, pisau, garpu daging, saringan, parutan, rotissari, penjepit, pemotong keju, pemecah kacang, teko untuk mengukur, dan cetakan pate.[23]

Minuman beralkohol

sunting
 
Lukisan dinding Romawi yang menggambarkan adegan perjamuan dari Casa dei Casti Amanti, Pompeii

Di Romawi Kuno, anggur biasanya dicampur dengan air sebelum diminum, karena fermentasinya tidak terkendali sehingga kadar alkoholnya tinggi. Pembuat minuman anggur terkadang menyesuaikan dan “meningkatkan” kualitas anggur mereka. Terdapat petunjuk untuk membuat anggur putih dari anggur merah dan sebaliknya, serta cara untuk menyelamatkan anggur yang mulai berubah menjadi cuka.[24] Petunjuk tersebut beserta deskripsi rinci mengenai budidaya anggur Romawi berasal dari tahun 160 SM dalam teks prosa Latin tertua yang masih bertahan.[25]

Minuman anggur ini juga memiliki berbagai macam rasa. Misalnya, passum, anggur kismis yang kuat dan manis, dengan resep tertua yang diketahui berasal dari Kartago, mulsum, campuran anggur dan madu segar (sekarang disebut pyment), dan conditum, campuran anggur, madu, dan rempah-rempah yang dibuat terlebih dahulu dan dibiarkan matang. Salah satu resep khusus, Conditum Paradoxum, terdiri dari campuran anggur, madu, merica, daun salam, kurma, damar wangi, dan saffron, yang dimasak dan disimpan untuk digunakan nanti. Resep lain menganjurkan penambahan air laut, gegala, dan gondorukem ke dalam anggur. Di samping itu. seorang pelancong Yunani melaporkan bahwa minuman tersebut tampaknya memerlukan kebiasaan untuk menikmatinya.[24] Sementara untuk masyarakat kelas bawah dan prajurit Romawi, anggur asam yang dicampur dengan air dan rempah-rempah (posca) merupakan minuman populer.[26]

Bir (cerevisia) juga telah dikenal, tetapi dianggap vulgar, dan dikaitkan dengan kaum barbar.[27][28]

Makanan penutup

sunting

Meskipun tidak memiliki bahan-bahan penting yang umum digunakan dalam pembuatan makanan manis modern, seperti gula rafinasi atau mentega kocok, bangsa Romawi kuno tetap memiliki hidangan penutup yang biasanya disajikan setelah mereka selesai makan bersama minuman anggur.[24] Salah satu hidangan penutup yang paling terkenal adalah piring besar berisi berbagai buah-buahan segar. Bahkan beberapa buah yang lebih eksotis yang tidak dapat tumbuh di Roma dikirim dari benua yang jauh untuk orang-orang kaya. Karena tidak adanya pemanis seperti gula, selalu ada keinginan untuk buah-buahan termanis yang tersedia.

Spira adalah sejenis kue manis yang mudah didapat pada masa itu, dibuat dengan lapisan tipis menyerupai kue yang terkadang berisi buah. Selain itu, Enkythoi adalah jenis kue Romawi lainnya yang lebih lembut yang menyerupai kue bolu spons modern.

Lihat juga

sunting
  • Apicius, Dari Re Coquineria
  • Masakan Yunani Kuno
  • Masakan Bizantium, Kekaisaran Romawi Timur
  • Masakan Italia
  • Daftar hidangan kuno
  • Penggunaan rempah-rempah pada zaman kuno
  • Asarotos oikos
  • Makanan di Roma kuno

Catatan

sunting
  1. ^ Jacques André listed 54 cultivated and 43 wild vegetables in ancient Rome.[6]

Referensi

sunting
  1. ^ Wilkins, John. A Companion to Food in the Ancient World. Wiley Blackwell. hlm. 105–109. 
  2. ^ a b c Artman, John:"Ancient Rome- Independent Learning Unit", page 26, Good Apple, 1991.
  3. ^ Artman, John::"Ancient Rome- Independent Learning Unit", page 26, Good Apple,1991.
  4. ^ Greg Woolf (2007). Ancient civilizations: the illustrated guide to belief, mythology, and art. Barnes & Noble. hlm. 388. ISBN 978-1-4351-0121-0. 
  5. ^ Giacosa, Ilaria Gozzini (1992). A taste of Ancient Rome. chicago: University of Chicago. 
  6. ^ André, Jacques. L'alimentation et la cuisine à Rome. Paris: Les Belles Lettres, 1981.
  7. ^ a b Patrick Faas, Around the Roman Table: Food and Feasting in Ancient Rome, University of Chicago Press (2005), p. 209.
  8. ^ a b c Phyllis Pray Bober, Art, Culture, and Cuisine: Ancient and Medieval Gastronomy, University of Chicago Press (2001), p. 187.
  9. ^ Julia F. Morton (1987). "Lemon | Lemon in Fruits of Warm Climates". Purdue University. hlm. 160–168. 
  10. ^ a b Garnsey, Peter (1998). Scheidel, Walter, ed. Cities, Peasants and Food in Classical Antiquity: Essays in Social and Economic History (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 237–238. doi:10.1017/cbo9780511585395. ISBN 9780521591478. 
  11. ^ Feldman, Charles (2005-03-01). "Roman Taste". Food, Culture & Society. 8 (1): 7–30. doi:10.2752/155280105778055407. ISSN 1552-8014. 
  12. ^ Berry, Joanne (17 February 2011). "Bakery". Pompeii Art and Architecture Gallery. BBC. Diakses tanggal 23 September 2016. 
  13. ^ Way, A. (1843). Promptorium parvulorum sive clericorum, lexicon Anglo-Latinum princeps, recens. A. Way. Camden Society. hlm. 268. Diakses tanggal May 18, 2016. 
  14. ^ a b c Maguelonne Toussaint-Samat, A History of Food, John Wiley & Sons (2009), p. 93.
  15. ^ a b c d John E. Stambaugh, The Ancient Roman City, JHU Press (1988), p. 148.
  16. ^ Ilaria Gozzini Giacosa, A Taste of Rome, 1992, pp. 91–92, ISBN 0-226-29032-8
  17. ^ Shephard, Sue (2000). Pickled, Potted, and Canned: How the Art and Science of Food Preserving Changed the World. Simon & Schuster. hlm. 41. 
  18. ^ a b P.F. Fox and P.L.H. McSweeney, Cheese: An Overview, in Cheese: Chemistry, Physics, and Microbiology Vol. 1 (3d ed.), p. 2-3.
  19. ^ a b c d e Harlan Walker, Fish: Food from the Waters, Proceedings of the Oxford Symposium on Food and Cookery, 105-06 (1998).
  20. ^ Faas, p. 50-52.
  21. ^ a b Faas, p. 52.
  22. ^ a b Faas, p. 130.
  23. ^ a b c Faas, p. 132.
  24. ^ a b c Erdoes, Richard (1981), 1000 Remarkable Facts about Booze, New York: The Rutledge Press, hlm. 88, ISBN 978-0831709587  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Erdoes 1981 88" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  25. ^ Stilo, Aelius. "Wine and Rome". University of Chicago. Diakses tanggal 11 December 2014. 
  26. ^ Dalby, Andrew (2003). Posca | Food in the Ancient World from A to Z. Routledge. hlm. 270. ISBN 978-0-415-23259-3. 
  27. ^ Stambaugh, John E. (1988), The Ancient Roman City, Baltimore: Johns Hopkins University Press, hlm. 149, ISBN 978-0801835742 
  28. ^ Bonfante, Larissa (2011), The Barbarians of Ancient Europe: Realities and Interactions, New York: Cambridge University Press, hlm. 23, ISBN 9780521194044 

Pranala luar

sunting

  Media tentang Ancient Roman food di Wikimedia Commons

Templat:Cuisines