Budaya Tionghoa-Indonesia

kebudayaan Tionghoa yang berakulturasi dan/atau berasimilasi dengan kebudayaan Indonesia

Budaya Tionghoa-Indonesia merujuk kepada jenis kebudayaan peranakan Tionghoa yang berakulturasi dan/atau berasimilasi dengan kebudayaan Indonesia juga budaya Tionghoa yang berkembang di Indonesia.

Barongsai

Bahasa

sunting

Empat kelompok utama bahasa Tionghoa di Indonesia adalah Hokkien (Min Selatan; Min Nan), Mandarin, Hakka, dan Kantonis. Selain itu, orang-orang Teochew berbicara dengan dialek mereka sendiri yang memiliki tingkat pemahaman yang sama dengan Hokkien. Namun, perbedaan antara keduanya menonjol di luar wilayah asalnya. Ada sekitar 2,2 juta penutur asli dari pelbagai varietas Cina di Indonesia pada tahun 1982: 1.300.000 penutur varietas Min Selatan (termasuk Hokkien dan Teochew); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton; dan 20.000 penutur dari varietas Timur Min (termasuk dialek Fuzhou). Selain itu, sekitar 20.000 berbicara dengan dialek bahasa Indonesia yang berbeda.

Bahasa Indonesia juga menerima pelbagai serapan daripada bahasa Tionghoa. Nio Joe Lan, salah seorang penulis, wartawan dan sastrawan Tionghoa, mencontohkan kata loteng yang berasal dari kata 'lo' yang bermakna puncak, dan 'teng' yang bermakna 'puncak'. Atau langkan, pembatas antara ruang rumah dan taman, yang berasal dari 'lang' (penedengan, pelindung), dan 'kan' (batang).[1]

Kesusastraan

sunting

Pengaruh budaya Tionghoa dapat dilihat dalam sastra Melayu-Tionghoa lokal, yang berasal dari akhir abad ke-19. Salah satu karya paling awal dan paling komprehensif mengenai hal ini, buku Claudine Salmon, 1981, sastra dalam bahasa Melayu oleh orang Tionghoa yang berjudul "Sebuah Bibliografi Beranotasi Sementara", mencantumkan lebih dari 3.000 karya. Sampel sastra ini juga diterbitkan dalam koleksi enam volume yang berjudul "Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia" (Sastra Melayu Tionghoa dan Bangsa Indonesia).

Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo adalah seorang penulis Indonesia keturunan Tionghoa. Dia terkenal di Indonesia dikarenakan fiksi seni bela diri pada latar belakang Tionghoa atau Jawa. Selama 30 tahun kariernya, setidaknya terdapat 120 cerita telah diterbitkan (menurut Leo Suryadinata). Namun, majalah Forum mengklaim setidaknya Kho Ping Hoo memiliki 400 cerita dengan latar belakang Tionghoa dan 50 cerita dengan latar belakang Jawa.

Adapun sastra Jawa-Tionghoa yang mana ditulis oleh kaum Peranakan, sastra Tionghoa ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa, ataupun sebaliknya.

Arsitektur dan seni bangunan

sunting
 
Arsitektur Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang

Berbagai bentuk arsitektur Tionghoa ada di seluruh Indonesia dengan perbedaan yang mencolok antara daerah perkotaan dan pedesaan serta di antara pulau-pulau yang berbeda. Perkembangan arsitektur oleh orang Tionghoa di Asia Tenggara, tentu berbeda dengan di daratan Cina. Dengan memadukan pola desain lokal dan Eropa (Belanda), banyak variasi gaya peleburan yang muncul. Arsitektur Tionghoa di Indonesia telah diwujudkan dalam tiga bentuk: kuil (kadang kala masjid), tempat belajar, dan rumah-rumah. Perkotaan selama periode kolonial dibagi atas tiga distrik yang bersifat rasial, yakni Eropa, oriental atau Timur Asing (Arab, Tionghoa, India, dan Asia lainnya), dan bumiputra. Biasanya tidak ada batas fisik di antara zona, kecuali sungai, dinding, atau jalan dalam beberapa kasus. Batas-batas hukum seperti itu mendorong pertumbuhan tinggi dalam kepadatan perkotaan di setiap zona, terutama di bagian Tionghoa, sering mengarah pada kondisi lingkungan yang buruk.

Pemukim awal tidak mengikuti praktik arsitektur tradisional ketika membangun rumah, tetapi disesuaikan dengan kondisi kehidupan di Indonesia. Meskipun rumah-rumah yang paling awal tidak lagi berdiri, mungkin rumah-rumah tersebut dibangun dari kayu atau bambu dengan atap jerami, menyerupai rumah adat yang gampang dijumpai di seluruh Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Lebih banyak konstruksi permanen menggantikan permukiman ini pada abad ke-19. Kebijakan segregasi di bawah pemerintahan Belanda melarang penggunaan gaya arsitektur Eropa oleh kelompok etnis non-Eropa. Suku Tionghoa dan berbagai kelompok asing, juga pribumi lainnya, hidup sesuai dengan budaya mereka sendiri. Rumah-rumah Tionghoa di sepanjang pantai utara Jawa direnovasi sebab untuk mencakup ornamen khas Tionghoa. Ketika segregasi rasial bergeser pada pergantian abad ke-20, etnis Tionghoa yang telah kehilangan identitasnya memeluk budaya Eropa dan mulai menyingkirkan ornamen etnik dari bangunan mereka. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru yang melarang tampilan budaya Tionghoa untuk publik juga telah mempercepat transisi menuju arsitektur lokal dan Barat.

Kaligrafi Tionghoa

sunting

Kaligrafi Tionghoa merupakan seni lukis yang dipraktikkan berdasarkan aksara Tionghoa.

Porselen

sunting

Dalam hal-ihwal porselen, Tionghoa-Indonesia (yakni Peranakan Tionghoa itu sendiri) menonjolkan identitas mereka, dengan memesan model dan warna porselen langsung ke Jingdezhen. Porselen itu dikenal dengan selera Peranakan, disebut Nonya Ware, karena dipesan ibu-ibu dari kalangan peranakan.[2]

Seni pertunjukan

sunting

Teater

sunting

Wayang potehi

sunting
 
Pertunjukan Wayang Potehi.

Wayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Cina bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia.

Potehi berasal dari kata 'pou' 布 (kain), 'te' 袋 (kantong), dan 'hi' 戯 (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain.

Gambang kromong

sunting

Atau ditulis gambang keromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong.

Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740).

Barongsai

sunting

Barongsai adalah tarian tradisional Cina dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa.

Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad ke-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan.

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai.

biasanya barongsai di pertunjukan pada saat perayaanperayaan hari besar cina

Liang liong

sunting

Liang liong adalah suatu pertunjukan dan tarian tradisional dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa.

Tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan tongkat. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari. Para penari menirukan gerakan-gerakan makhluk naga ini, berkelok-kelok dan berombak-ombak. Gerakan-gerakan ini secara tradisional melambangkan peranan historis dari naga yang menunjukkan kekuatan yang luar biasa dan martabat yang tinggi. Tari naga merupakan salah satu puncak acara dari perayaan Imlek di pecinan-pecinan di seluruh Indonesia.

Busana

sunting

Baju koko

sunting

Baju koko merupakan baju model Cina yang kerahnya bulat tertutup, modelnya seperti piyama. Biasanya digunakan oleh Muslim Tionghoa

 
Batik Lasem

Batik pun juga mengalami proses akulturasi dengan budaya lain. Salah satunya adalah budaya bangsa Cina. Batik lasem cina menjadi bukti nyata pembauran budaya Jawa dan Tionghoa di Rembang, khususnya Lasem, Jawa Tengah.[3] Batik lasem cina yang sering juga disebut Batik lasem oriental ini mensinergikan sense of art masyarakat Jawa dan Cina.

Batik lasem pernah berjaya pada tempo akhir abad ke-19 sampai pada tahun 1970-an. Dengan inilah, industri batik lasem menjadi penopang ekonomi masyarakat sekitar. Diperkirakan sebagian besar masyarakat Lasem, khususnya perempuan, bekerja sebagai perajin, pengusaha atau pekerjaan lain terkaitan dengan pembatikan, giat memproduksi batik Lasem.[3]

Selain batik lasem, memang batik pesisiran Jawa juga mendapat pengaruh keramik, dan rumah Cina (di luar buket bunga Eropa).[4]

Cheongsam

sunting

Cheongsam merupakan busana tradisional (perempuan) Tionghoa. Pakaian dicirikan oleh kerah berdiri, membuka sisi kanan, pas pinggang, dan tergelincir bawah, yang sepenuhnya dapat memicu keindahan bentuk tubuh perempuan. Cheongsam berasal dari chèuhngsāam (Tradisional Cina: 长衫/長衫, 'kemeja panjang/baju').

Perayaan dan festival

sunting

Cap Go Meh

sunting

Qingming

sunting

Duan Wu

sunting

Festival Ronde

sunting

Bakar Tongkang

sunting

Hidangan

sunting
 
Lontong Cap Go Meh

Adapun dalam hal ihwal makanan, salah satu contoh akan adanya pengaruh budaya Tionghoa adalah soto. Soto memiliki bermacam ragam jenis variasi di Nusantara, namun begitu akarnya adalah sama, berasal dari Cina.[2]

Contoh lainnya adalah bakso. Nama bakso berasal dari kata bak-so (, Pe̍h-ōe-jī: bah-so.), yaitu pengucapan Hokkien untuk "daging halus" atau "daging yang dicincang".[5] Inilah pendapat yang menyatakan bahwa bakso itu asalnya termasuk dalam pada Hidangan Tionghoa-Indonesia.[6]

Terlepas dari hal itu, khazanah makanan paduan antara Tionghoa dan Indonesia sangat banyak, diantaranya bakmi babi, laksa, kwetiau, bihun babi, capcai, nasi tim, ifu mi, char kway teow, dan yee sang.

Lihat pula

sunting

Budaya peranakan lainnya:

Referensi

sunting
  1. ^ Nio, Joe Lan (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Hlm.28. Jakarta:KPG. ISBN 978-979-91-0528-8.
  2. ^ a b Thamrin, Mahandis Yoanata (Agustus 2018). "Memuliakan Warisan Kebinekaan Indonesia". Intisari. 671:70 – 73. Jakarta: KPG.
  3. ^ a b Gadabima, Bimo (22 Maret 2018). "Batik Lasem: Pembauran yang Rindu Pembaruan". Kumparan.com. Diakses tanggal 27 Oktober 2018. 
  4. ^ Sanjaya, Aep Ahmad (2012). Batik: Warisan Budaya Indonesia untuk Dunia. Hlm.13. Bandung: CV Rawansah. ISBN 978-602-898001-2.
  5. ^ Herman Ichsan Pangestu (2014). Edward Sitorus, ed. Sukses Wirausaha Gerobak Terlaris dan Tercepat Balik Modal: 15 Jenis rekomendasi usaha terbaik (dalam bahasa Indonesian). Lembar Langit Indonesia. hlm. 32. ISBN 9786027993716. 
  6. ^ Alison Murray. No Money, No Honey: A study of street traders and prostitutes in Jakarta. Oxford University Press, 1992. hlm. Glossary page xi.