Sastra Jawa-Tionghoa
Sastra Jawa-Tionghoa adalah karya sastra dalam bahasa Jawa yang ditulis oleh orang Tionghoa di daerah Jawa. Karya-karya sastra ini terutama menyangkut cerita-cerita dari Tiongkok yang dialihbahasakan atau digubah ulang dalam bahasa Jawa. Selain itu ada pula karya-karya asli dalam bahasa Jawa yang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan komunitas Tionghoa di Jawa.
Karya sastra Jawa yang ditulis oleh orang Jawa mengenai orang Tionghoa tidaklah termasuk sastra Jawa-Tionghoa. Karya-karya ini antara lain adalah Babad Bangun Tapa (atau Babad Nonah Kuwi)[1] dan Babad Geger Pacinan[2]
Latar belakang
suntingBangsa Tionghoa telah berhubungan dengan Jawa tidak hanya selama ratusan tahun tetapi mungkin sudah ribuan tahun. Bukti tertua hubungan (budaya) antara Jawa dan Tiongkok ialah sebuah laporan oleh I Ching, seorang rohaniawan Tionghoa yang ingin mempelajari agama Buddha. Ia lalu belajar bahasa Sanskerta kepada seorang Jawa bernama Jñanabhadra.
Lalu pada sebuah prasasti berbahasa Jawa yang berasal dari abad ke-9 disebutkan frasa juru Cina yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai "Kepala bangsa China/Tionghoa". Hal ini membuktikan bahwa saat itupun sudah banyak warga dari Tiongkok yang menetap di pulau Jawa. Mereka lambat laun berbaur dengan penduduk setempat terutama di daerah-daerah pesisir. Lalu pada abad ke-18 dan terutama akhir abad ke-19 banyak pendatang dari Tiongkok yang bermukim di tanah Jawa.
Para pendatang ini di Jawa setelah sekian lama tidak semata-mata hanya menggunakan bahasa Tionghoa untuk berkomunikasi namun lalu juga menggunakan bahasa Jawa. Lalu merekapun akhirnya meniru bangsa Jawa dan mulai menuliskan karya sastra Tionghoa tidak hanya dalam bahasa Jawa namun juga menggunakan konvensi Jawa; yaitu menulis dalam bentuk tembang.