Bhāṇaka

(Dialihkan dari Bhanaka)

Bhāṇaka (Pali untuk "pelafal kitab suci") merujuk kepada para biksu yang berspesialisasi dalam menghafal dan melafalkan kumpulan teks tertentu dalam Tripitaka. Silsilah para bhāṇaka bertanggung jawab untuk memelihara dan mentransmisikan ajaran Buddha hingga Kanon ditulis pada abad ke-1 SM. Tradisi ini pun mengalami penurunan seiring dengan digantikannya transmisi lisan Buddhisme awal oleh tulisan.

Era Buddhisme awal

sunting

Konsensus akademis dan tradisi Buddhis menyatakan bahwa semua aliran Buddhis awalnya melestarikan teks mereka melalui transmisi lisan–bukti penting dari hal ini termasuk struktur dan ciri khas teks Buddhis awal, tidak adanya peraturan Vinaya yang mengatur dengan bahan tulisan dan tulisan, dan istilah-istilah yang berasal dari praktik mendengarkan dan pembacaan yang digunakan untuk menjelaskan ajaran Buddha dan tindakan awal dari Sangha.[1]

Sistem bhāṇaka diyakini berasal dari India, tetapi sebagian besar bukti sastra dan prasasti yang berkaitan dengan bhāṇaka berasal dari Sri Lanka.[2] Para cendekiawan menduga bahwa teknik yang sama digunakan oleh para biksu dari semua aliran Buddhis awal untuk memperbaiki dan menyebarkan isi kitab-kitab Āgama. Namun, di luar aliran Theravāda, hanya sedikit informasi yang tersedia mengenai periode pra-sastra dari tradisi-tradisi ini.[3] Bukti paling awal mengenai hubungan antara para biksu yang dikenal sebagai bhāṇaka dengan pengetahuan dan pembacaan bagian-bagian tertentu dari kitab suci Buddhisme berasal dari abad ke-2 atau ke-3 SM.[2][1]

Semua aliran Buddhisme sepakat bahwa segera setelah wafatnya Sang Buddha, diadakanlah suatu sidang yang dihadiri oleh para murid senior-Nya guna mengklarifikasi dan mencatat ajaran-ajaran-Nya.[3] Pada sidang ini (dikenal sebagai Sidang Buddhis Pertama), Upāli ditanyai tentang isi Vinaya dan Ānanda ditanyai tentang Dhamma. Setelah dewa sidang menyetujui isi ajaran, mereka mengakui penerimaan mereka terhadap teks-teks suci dengan membacanya bersama-sama.[3]

Sidang-sidang keagamaan besar dan kecil berikutnya digambarkan mengikuti prosedur dasar yang sama untuk membandingkan, mengoreksi, dan menetapkan isi Kanon, dengan para spesialis di setiap bidang koleksi diminta untuk membacakan teks lengkap untuk dikonfirmasi oleh Sangha yang ikut berkumpul.[3]

Aliran Theravāda

sunting

Buddhaghosa melaporkan bahwa menurut tradisi lisan Mahāvihāravasin, masing-masing dari empat Nikāya (Dīgha, Majhima, Saṁyutta, dan Aṅguttara) dipercayakan kepada seorang sesepuh dari Sangha awal dan murid-murid mereka untuk dilestarikan.[3] Ānanda diberi tanggung jawab atas Dīgha Nikāya, Sāriputta atas Majjhima Nikāya, Mahākassapa atas Saṁyutta Nikāya, dan Anuruddha atas Aṅguttara Nikāya.[3]

Para cendekiawan meragukan bahwa teks-teks suci dan empat Nikāya sebagaimana bentuk akhirnya telah disusun sejak masa yang seawal itu. K.R. Norman berpendapat bahwa cerita tersebut mungkin merupakan refleksi dari praktik-praktik selanjutnya yang muncul belakangan.[1] Beberapa teks Abhidhamma Piṭaka dan Khuddaka Nikāya milik aliran Theravāda jelas berasal dari suatu masa setelah Sidang Pertama, tetapi Theravāda pada umumnya menganggap sebagian Abhidhamma sudah termasuk pada masa Sidang Pertama sebagai bagian dari dhamma/sutta.[3] Teks-teks yang diketahui memiliki asal-usul yang relatif belakangan (setelah Sidang Ketiga) juga dicatat oleh tradisi Theravāda sebagai teks-teks yang sudah ada sejak masa Sidang Pertama.[3][1] Teks-teks yang polanya dan gaya sastranya tidak sesuai dengan salah satu dari empat Nikāya dimasukkan ke dalam suatu bagian yang dinamakan Khuddaka (dalam tradisi beberapa aliran lain, bagian ini juga menyertakan teks-teks Abhidharma).[3]

Dalam kitab-kitab komentar Theravāda, ditemukan referensi-referensi kepada para bhāṇaka yang mengkhususkan diri dalam masing-masing dari empat Nikāya, serta Jātaka-bhāṇaka, Dhammapada-bhāṇaka, dan Khuddaka-bhāṇaka (untuk beberapa kitab Khuddaka Nikāya lainnya).[3] Setiap kelompok bhāṇaka bertanggung jawab untuk membacakan dan mengajarkan teks-teks mereka. Tampaknya, para bhāṇaka telah melakukan penilaian independen terkait bagaimana teks-teks tersebut disusun, dan terkait versi cerita serta ajaran yang mereka lestarikan. Varian pembacaan antarversi yang dilestarikan, baik dalam Dīgha Nikāya maupun Majjhima Nikāya, misalnya, mungkin disebabkan oleh pelestarian versi-versi yang berbeda oleh berbagai aliran bhāṇaka.[3] Berbagai aliran bhāṇaka mungkin telah ‘menutup’ (meresmikan secara sah) Kanon mereka pada waktu yang berbeda. Dalam beberapa kasus, mereka tampaknya memiliki kesepakatan yang berbeda terkait kitab-kitab Khuddaka Nikāya dan Abhidhamma Piṭaka yang mereka terima sebagai kanonis.[3] Misalnya, Dīgha-bhāṇaka memasukkan Khuddakagantha (kitab-kitab yang kini menjadi bagian dari Khuddaka Nikāya) ke dalam Abhidhamma Piṭaka, mengklasifikasikan teks-teks dalam urutan berikut: Jātaka, Mahāniddesa, Cūḷaniddesa, Paṭisambhidāmagga, Suttanipāta, Dhammapada, Udāna, Itivuttaka, Vimānavatthu, Petavatthu, Theragāthā, dan Therīgāthā. Akan tetapi, Majjhima-bhāṇaka menempatkan kitab-kitab tersebut dalam Sutta Piṭaka, bersama dengan Cariyāpiṭaka, Apadāna, dan Buddhavaṁsa. Dengan demikian, mereka menghilangkan Khuddakapāṭha dari kanon.

Prasasti stupa dari India yang berasal dari abad ke-2 SM menyebutkan bhāṇaka yang mengkhususkan diri dalam mengajarkan sutta atau mengetahui empat Nikāya (atau Āgama), tetapi tidak menggambarkan mereka sebagai orang yang mengkhususkan diri dalam satu Nikāya.[2] Sebaliknya, prasasti gua dari Sri Lanka yang berasal dari abad ke-3 SM hingga abad ke-1 M secara khusus merujuk kepada para biksu yang mengkhususkan diri dalam Saṁyutta Nikāya, Majjhima Nikāya, atau Aṅguttara Nikāya.[2] Peran sebagai bhāṇaka dari kitab Nikāya tertentu diwariskan dari guru ke murid.[2]

K.R. Norman berpendapat bahwa praktik Theravāda dalam mengelompokkan bhāṇaka berdasarkan teks Nikāya mungkin baru muncul setelah Sidang Buddhis Kedua.[1] Dīpavaṁsa (kronik sejarah tradisional Sri Lanka) menyebutkan bahwa teks-teks awal disusun dalam 'lipat-sembilan' yang dibagi menjadi bab-bab tersendiri pada Sidang Pertama, yang mungkin mencerminkan metode pengelompokkan yang lebih awal.[3]

Referensi kepada para abhidhammika (para ahli dalam Abhidhamma), tetapi tidak kepada para Abhidhamma-bhāṇaka dalam kitab Milindapañha mungkin menunjukkan bahwa sistem bhāṇaka berasal dari suatu masa sebelum Abhidhamma Piṭaka 'ditutup' (disahkan sebagai kanonis) oleh Theravādin (yang mereka perkirakan berasal dari era Asoka pada Sidang Buddhis Ketiga). Akan tetapi, oleh karena Abhidhamma mungkin telah dibacakan oleh beberapa jenis Sutta-bhāṇaka, hal tersebut juga dapat menunjukkan bahwa menjadi seorang spesialis dalam suatu bagian dari teks berbeda dengan bertanggung jawab atas pelafalan ulang teksnya.[1]

Penurunan

sunting

Tidak ada tanggal pasti yang ditetapkan untuk berakhirnya tradisi bhāṇaka, tetapi para cendekiawan secara umum meyakini bahwa tradisi tersebut mengalami kemunduran ketika Kanon Buddhis mulai dilestarikan melalui teks-teks tertulis.[2][3] Kitab-kitab komentar yang disusun oleh Buddhaghosa menyertakan cerita tentang bhāṇaka yang seolah-olah hidup sezaman dengannya, pada sekitar abad ke-5 Masehi, tetapi gaya penulisan tersebut mencerminkan perspektif kitab-kitab komentar Sinhala yang sudah sebelumnya sebagai referensi penyusunannya–pernyataan ulang yang disusun Buddhaghosa tersebut tidak secara definitif menetapkan bahwa praktik bhāṇaka masih bertahan hingga eranya sendiri.[2][3][1]

Cūḷavaṃsa (suatu kronik sejarah tradisional Sri Lanka) merujuk kepada seorang bhāṇaka hingga akhir abad ke-13 M, tetapi, pada saat itu, istilah tersebut mungkin telah lazim digunakan untuk merujuk pada seorang pengkhotbah atau spesialis dalam pelafalan kitab suci, dan bukan lagi seorang biksu yang menghafal sebagian besar isi Kanon.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g Norman, Kenneth Roy (2012). A Philological Approach to Buddhism: The Bukkyō Dendō Kyōkai Lectures 1994 (dalam bahasa Inggris). Berkeley: The Institute of Buddhist Studies. hlm. 41–56. ISBN 978-0-7286-0276-2. 
  2. ^ a b c d e f g h Mahinda, Deegalle (2007). Popularizing Buddhism: Preaching as Performance in Sri Lanka (dalam bahasa Inggris). SUNY Press. hlm. 40–44. ISBN 978-0791468982. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Norman, Kenneth Roy (1983). Pali Literature  (dalam bahasa Inggris). Wiesbaden: Otto Harrassowitz. hlm. 7-12. ISBN 3-447-02285-X.