Allen Lawrence Pope
Allen Lawrence Pope (20 Oktober 1928 – 4 April 2020) adalah seorang intelijen CIA dalam berbagai misi. Beberapa misinya dilakukan di Asia Tenggara di antaranya saat pertempuran di Dien Bien Phu, Vietnam, dan pada saat pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia. Dia tertangkap oleh TNI ketika usahanya mengebom armada gabungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan pesawat pembom B-26 Invader AUREV gagal dan akhirnya berhasil ditembak jatuh. Diduga ia ditembak jatuh oleh P-51 Mustang milik Angkatan Udara Republik Indonesia yang diterbangkan oleh Ignatius Dewanto namun kesaksian lain mengatakan dia tertembak jatuh oleh tembakan gencar yang dilakukan armada Angkatan Laut Republik Indonesia. Buku-buku yang menuliskan sepak terjang CIA di berbagai kancah konflik tidak lupa menyebut-nyebut nama Allen Pope.
Allen Lawrence Pope | |
---|---|
Lahir | 20 Oktober 1928 Miami, Florida, Amerika Serikat |
Meninggal | 4 April 2020 | (umur 91)
Pengabdian | Amerika Serikat |
Dinas/cabang | Angkatan Udara Amerika Serikat Badan Intelijen Pusat |
Pangkat | Letnan Satu |
Perang/pertempuran | Perang Korea Perang Indochina Pertama Pemberontakan Permesta |
Penghargaan | Air Medal (3) Distinguished Flying Cross Chevalier de la Légion d'honneur |
Lawrence Allen Pope sendiri adalah seorang pemuda putus kuliah[1] di Universitas Florida, kelahiran Miami, Oktober 1928. Setelah berhenti kuliah, dia belajar terbang di Texas kemudian bekerja sebagai ko-pilot pesawat angkut.
Menjadi sukarelawan
suntingPada tahun 1953, dia terjun sebagai sukarelawan dalam Perang Korea. Dalam peperangan itu, Pope mendapat pengalaman dalam melaksanakan misi terbang malam hari ke belakang garis pertahanan lawan. Selepas perang Korea, Pope kembali ke Amerika Serikat, bekerja pada perusahaan penerbangan kecil dan berumah tangga.
Setelah menceraikan istrinya, Pope kemudian bergabung dengan Civil Air Transport (CAT) yang merupakan perusahaan kamuflase CIA dalam melaksanakan berbagai misinya di berbagai belahan dunia, seperti halnya perusahaan Intermountain, Southern Air Transport, dan Air America.
Menjadi tentara bayaran
suntingSetelah bergabung ke CAT, Allen Pope kemudian berangkat ke Taiwan, pusat perusahaan itu namun kemudian diberangkatkan ke Vietnam. Di Vietnam, ia menjadi kapten untuk pesawat C-47 Dakota (DC-3 Dakota versi Militer). Setelah memilih bertempat tinggal di Saigon, dia menikah dengan wanita setempat. Kemudian dia melaksanakan misinya melakukan serangkaian penerbangan berbahaya di Vietnam dan Laos. Misinya antara lain adalah mengangkut senjata dan kebutuhan logistik atau bahkan melakukan penerjunan secara rahasia. Waktu luang dan cutinya digunakannya untuk berburu.
Allen Pope sendiri tampaknya adalah orang yang suka menyendiri namun menurut penuturan teman-temannya dia dikenal sebagai seorang yang sangat pemberani untuk memasuki kawasan yang ditebari senjata penangkis serangan udara. Ia tidak ragu-ragu masuk ke kawasan Dien Bien Phu ketika benteng Prancis tersebut dikepung ketat pasukan Viet Minh di bawah pimpinan Ho Chi Minh dan Jenderal Vo Nguyen Giap dalam Perang Vietnam, di tengah hujan peluru untuk menerjunkan suplai makanan. Ini adalah ciri khas tentara bayaran. Penerbang-penerbang militer profesional, seperti misalnya penerbang Korps Marinir Amerika Serikat (USMC/United States Marine Corps) yang paling gila sekalipun masih harus berpikir ulang untuk melakukannya. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan saat persidangan di Jakarta kepada para hakim dengan mengatakan bahwa dirinya telah bertempur melawan orang-orang komunis sejak berusia 22 tahun dari perang Korea hingga Dien Bien Phu. Ketika di Vietnam, Allen Pope kemudian dibujuk CIA untuk membantu PERMESTA.
Menjadi penerbang AUREV
suntingDalam misinya untuk membantu PERMESTA, Pope kemudian ditugasi sebagai pilot AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) yang berpangkalan utama di Mapanget, Sulawesi Utara (sekarang Bandara Sam Ratulangi) di bawah pimpinan Mayor Petit Muharto. AUREV sendiri berkekuatan sekitar 10 pesawat pembom-tempur, di antaranya adalah pesawat pembom sedang/ringan B-26 Invader dan P-51 Mustang.
CIA sendiri sebenarnya sudah menyediakan 15 pesawat pengebom B-26 untuk PRRI/PERMESTA dari sisa-sisa Perang Korea, setelah dipergunakan di berbagai konflik di Kongo, Kuba dan Vietnam. Pesawat-pesawat itu disiagakan di sebuah lapangan terbang di Filipina, tempat yang juga digunakan untuk melatih para awak sebelum dikirim ke wilayah PERMESTA. Sejumlah modifikasi dilakukan agar tidak terlalu kelihatan bahwa mereka disiapkan oleh Amerika Serikat yang memiliki teknologi maju. Di antara modifikasi yang dilakukan adalah mengubah jumlah senapan mesin yang semula memiliki enam laras pada hidung pesawat, menjadi delapan laras.
Sejak saat itu, kekuatan udara AUREV menjadi momok yang menakutkan di wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur. Berbagai misi dilakukan AUREV, di antaranya serangan udara pada tanggal 13 April 1958 terhadap lapangan terbang Mandai (sekarang Bandara Hassanuddin), Makassar. Yang lainnya adalah pelabuhan Donggala, Ambon, Balikpapan, Ternate dan tempat lainnya menjadi target serangan yang cukup mematikan. Kapal perang Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), RI Hang Toeah (satu dari empat kapal perang korvet yang dihibahkan Belanda atas perjanjian Konferensi Meja Bundar) yang sedang membuang jangkar di pelabuhan Balikpapan dibom hingga tenggelam. Kondisi inilah yang membuat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia segera menuntaskan operasi PRRI dan langsung juga menuntaskan operasi PERMESTA dengan pemusatan perebutan keunggulan di udara yang saat itu masih dikuasai AUREV.
Di Mapanget sendiri banyak penerbang asing selain penerbang kulit putih. Ada pula penerbang lain yang berkebangsaan Filipina dan juga Taiwan. Taiwan sendiri sudah banyak membantu dan sudah siap-siap akan mengikuti Amerika Serikat untuk mengakui negara baru yang akan disebut-sebut akan didirikan PERMESTA bila mereka berhasil.
Ditembak jatuh
suntingPada tanggal 18 Mei 1958, Gugus Tugas amfibi (Amphibius task force) ATF-21 Angkatan Laut Republik Indonesia yang berkekuatan dua kapal angkut dan lima kapal pelindung penyapu ranjau cepat, dipimpin oleh Letnan Kolonel (KKO/sekarang Korps Marinir) Huhnholz dengan Kepala Staf Mayor Soedomo berlayar dengan posisi dekat Pulau Tiga lepas Ambon guna melaksanakan Operasi Mena II dalam rangka menuntaskan konflik Permesta dengan sasaran Morotai guna merebut lapangan terbang, operasi itu didukung oleh P-51 Mustang dan B-26 milik AURI serta Pasukan Gerak Tjepat (PGT, sekarang Kopaskhas TNI AU). Pasukan yang turun antara lain gabungan dari Marinir, Angkatan Darat Kodam Brawijaya dan Brigade Mobil (Brimob). Di atas kapal disiagakan senjata penangkis udara berbagai jenis.
Harry Rantung saat itu bersama Allen Pope, menyamar sebagai seorang berkebangsaan Filipina bernama Pedro. Setelah ia bersama Allen Pope menyerang Ambon dari Mapanget, ia melihat konvoi kapal perang ALRI. Setelah melapor ke Manado untuk mendapatkan instruksi lebih lanjut dan perintah untuk menyerang, Allen Pope mengarahkan pesawat B-26 Invader menukik dan menyerang konvoi kapal perang lalu menjatuhkan bom dengan sasaran KRI Sawega, tetapi meleset hanya beberapa meter dari buritan kapal.
Awak kapal yang siaga setelah melihat dan mendapatkan tanda bahaya udara itu, langsung menembak balas atas perintah Soedomo. Tidak hanya senjata penangkis udara dan anti serangan udara yang dimiliki kelima kapal itu, tetapi juga semua pasukan yang ada di atas kapal mengarahkan senjatanya ke udara mulai dari senapan serbu, senapan otomatis, senapan infantri hingga pistol pun mereka tembakkan.
Peristiwa itu terjadi sekitar enam sampai tujuh mil lepas pantai Tanjung Alang, tak jauh dari kota Ambon, tempat yang sebelumnya diserang Pope dengan pesawat B-26-nya itu. Kabar serangan itu disampaikan kepada Kapten (Pnb) Ignatius Dewanto yang sudah siap di kokpit P-51 Mustangnya di apron Liang, karena pagi itu ditugaskan untuk menyerang Sulawesi Utara. Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas. Dia tidak menemukan B-26 AUREV buruannya tetapi melihat Ambon dengan tanda-tanda terkena serangan udara. Sesuai petunjuk P-51 Mustang dia arahkan ke barat. Ferry Tank (tangki bahan bakar cadangan) dilepas, di laut terlihat konvoi kawan yang diserang B-26 AUREV buruannya. Dengan cepat Dewanto mengejar dengan mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan berkali-kali tetapi lolos, disusul dengan tembakan 6 senapan mesin 12,7 milimeter yang tersedia pada pesawat dengan rentetan penuh, karena jaraknya lebih dekat kemungkinannya kenanya lebih besar. Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran.
Sementara itu, pasukan yang menembak balas dari seluruh armada laut juga melihat pesawat B-26 AUREV terbakar terkena tembakan. Masih tidak jelas tembakan siapa yang mengena namun berkat prestasi itu, Kapten (Pnb) Dewanto mendapat gelar ace. Mereka juga melihat pesawat P-51 Mustang yang dianggap tidak jelas kawan atau lawan karena setelah pesawat B-26 AUREV terbakar dan jatuh, P-51 Mustang itu lepas dari perhatian dan terbang menjauh.
Dua awak B-26 AUREV kemudian berhasil menyelamatkan diri dengan parasut. Allen Pope tersangkut pohon dan jatuh dengan luka-luka akibat terhempas karang. Sementara seorang lagi, operator radio Harry Rantung yang menyamar sebagai seorang warga Filipina bernama Pedro kelahiran Davao namun identitas sebenarnya mudah diketahui karena di atas kapal KRI Sawega terdapat seorang sersan AURI yang mengenalinya karena pernah satu angkatan dalam pendidikan tentara. Sebenarnya Allen Pope berusaha bunuh diri dengan menyerahkan pistol kepada Rantung untuk menembaknya. Namun permintaan ini ditolak Rantung.
Tertangkapnya Allen Pope kemudian dilaporkan ke Jakarta. Namun hal ini tetap dirahasiakan karena Operasi Morotai sendiri harus dijaga kerahasiaannya sampai semuanya tuntas. Sejak tertangkapnya Allen Pope, bisa dikatakan AUREV lumpuh dan keunggulan di udara di wilayah Indonesia Timur berangsur-angsur dikuasai oleh AURI. Operasi-operasi pendaratan-pendaratan yang dilakukan ABRI berhasil dilakukan di berbagai tempat yang sebelumnya dikuasai PERMESTA.
Reaksi Amerika Serikat dan perubahan hubungan dengan Indonesia
suntingTiga minggu sebelum Allen Pope ditembak jatuh, sebagai upaya cuci tangan Amerika Serikat (AS), maka Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles lantang menyatakan bahwa apa yang terjadi di Sumatra adalah urusan dalam negeri Indonesia. AS tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Mengenai senjata-senjata yang terbilang mutakhir di tangan PRRI dan di Pekanbaru, Presiden AS, Dwight D. Eisenhower mengadakan jumpa pers dengan memberi keterangan bahwa AS akan tetap netral dan tidak akan berpihak selama tidak ada urusannya dengan AS. Dikatakannya bahwa senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI adalah senjata-senjata yang mudah ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa di mana ada konflik pasti akan ditemukan tentara bayaran. Apa yang dikatakan Eisenhower kemudian jadi arahan. Ketika kemudian terdengar ada penerbang AS tertangkap di Ambon dan bagaimana ia tertangkap, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta cepat-cepat menimpali bahwa orang itu tentara bayaran.
AS yakin karena Allen Pope pasti tertangkap dalam keadaan bersih. Walaupun bukti-bukti pesawat sudah jelas, AS masih berdalih bahwa itu serdadu bayaran. Namun ketika ABRI mencari dan berusaha mendapatkan barang bukti yang lebih banyak, hasilnya bukan sekadar nama-nama sejumlah pedagang yang ikut mengail di air keruh dan peranan Korea Selatan, tetapi membuat pemerintah AS terperangah dan mengutuk Pope mengapa dia tidak sekalian ikut mati saja di dasar laut dengan pesawatnya. Washington kehilangan muka. Bukti-bukti mengarahkan tuduhan ke lembaga yang dipimpin saudara kandung Menteri Luar Negeri AS yang merupakan pimpinan CIA, Allen Dulles meski CIA sendiri tidak disebut-sebut sementara Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF/United States Air Force) dinilai terlibat.
Prosedur CIA sendiri sebenarnya mengharuskan tiap awak pesawat yang akan melaksanakan misinya harus dipastikan bersih dan diperiksa dengan teliti dan disediakan pakaian khusus yang akan digunakan dalam penerbangan misinya itu yang bersifat rahasia sehingga mereka tidak memiliki identitas apapun. Namun Allen Pope cukup cerdik. Mungkin karena dianggap sudah berpengalaman sehingga dia tidak diperiksa, padahal pada saat sebelum diberangkatkan ke Mapanget, dia menyelipkan beberapa keterangan mengenai dirinya di pesawat. Ia tahu kalau sampai dia ditangkap dalam keadaan bersih, maka negaranya bisa saja mengatakan bahwa dia bukan warga negaranya atau serdadu bayaran atau apa saja dengan demikian dia bisa mati konyol. Barangkali Pope merasa semua itu hanya menguntungkan satu pihak sementara CIA merasa hal tersebut adalah bagian dari kontrak. Kenyataannya semua identitas Pope ditemukan di badannya. Di antaranya adalah surat keterangan yang mengizinkan Pope memasuki semua fasilitas militer di Clark Air Base (Pangkalan udara AS, Clark di Filipina). Juga ada kartu klub perwira di pangkalan itu. Pope berharap agar identitas itu mengangkat dirinya dari semacam petualang murahan menjadi pion politik yang punya harga. Kenyataannya, ini mengangkat namanya ke permukaan dunia khususnya yang berhubungan dengan spionase. Banyak buku yang menceritakan ulah CIA tidak lupa mengisahkan Lawrence Allen Pope, dan Amerika Serikat terpojok dibuatnya.
Peristiwa ini memaksa pemerintah Amerika Serikat mengubah sikapnya terhadap Presiden Sukarno. Washington menjadi ramah dengan harapan Presiden Indonesia itu akan diam. Soekarno sendiri sudah menyebutkan adanya kemungkinan bantuan dari sukarelawan-sukarelawan penerbang Cina dan sudah menyebut-nyebutkan Perang Dunia III. Dalam waktu lima hari disetujui permintaan Indonesia agar dapat mengimpor beras dengan pembayaran rupiah. Bola politik benar-benar dimainkan oleh Presiden Soekarno. Penahanan Pope diulur untuk mendapatkan manfaat keramahtamahan diplomasi Amerika Serikat. Embargo senjata terhadap Republik Indonesia dicabut. Pemerintah Amerika Serikat segera menyetujui pembelian senjata juga berbagai suku cadang yang dibutuhkan ABRI termasuk suku cadang persawat terbang AURI. Dukungan terhadap pemberontak dihapuskan.
Sidang pengadilan, penahanan dan pembebasan Allen Pope
suntingAllen Pope kemudian dihadapkan ke pengadilan militer dan disana sempat berdebat dengan para saksi yang dihadirkan oleh oditur militer. Pope kemudian dijatuhi hukuman mati namun naik banding sedangkan Harry Rantung diganjar hukuman 15 tahun. Kabarnya ia ditahan di sebuah villa di Kaliurang dekat Yogyakarta dan penerbang ini sempat mengajari para penjaganya dengan teknik bela diri judo.
Setelah John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat, hubungan Amerika Serikat dengan Presiden Soekarno mengalami perbaikan. Presiden Soekarno sendiri mengatakan bahwa hanya dialah presiden AS yang mengerti jalan pikirannya. Pemerintah Amerika Serikat berusaha juga untuk membebaskan Allen Pope. Jaksa Agung Amerika Serikat Robert Kennedy diutus ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno dengan membawa surat Kepresidenan yang isinya agar Pope dibebaskan. Di samping itu, istri Pope yang cantik juga diterbangkan secara khusus dari Amerika Serikat untuk menghadap Soekarno. Konon, Presiden Soekarno menerima dengan penuh keramahan. Rupanya kekaguman Presiden Soekarno kepada wanita dimanfaatkan Amerika Serikat untuk membujuk Presiden.
Menurut Harry Rantung, suatu hari menjelang subuh pada Februari 1962, dia dan Pope yang berstatus sebagai terpidana didatangi beberapa anggota Corps Polisi Militer (CPM) bersenjata lengkap. Keduanya diminta ikut. Pope diminta mengemasi milik pribadinya, sedangkan Rantung diperintahkan ikut saja tanpa perlu membawa apa-apa. Di luar penjara ternyata sudah menunggu sebuah panser dan kemudian setelah mereka naik, mereka bergerak kencang menuju arah yang mereka tidak tahu. Anggota CPM tidak berbicara sepatah katapun. Rantung bicara kepada Pope tentang situasi yang akan mereka alami. Dengan tenang Pope menjawab bahwa dirinya tidak tahu, tetapi dia mengira bahwa mereka tidak akan berani berbuat apa-apa kepada kita, karena mengetahui bahwa pemerintahnya sudah mengirimkan utusan khusus.
Setelah setengah jam perjalanan, kemudian panser berhenti dan mereka dipersilahkan turun. Ternyata mereka dibawa ke Bandara Kemayoran. Di pintu masuk ruang tunggu VIP, beberapa orang asing menunggu di antaranya terlihat Duta Besar Amerika Serikat dan stafnya di Jakarta. Sebuah pesawat Lockheed Constellation sudah siap. Dalam perpisahannya, Pope memeluk Rantung dan dengan mata berkaca-kaca dia mengatakan pasti kita akan berjumpa lagi. Beberapa tahun kemudian, Rantung mengaku pernah menerima undangan dari Pope yang saat itu bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di California, semuanya gratis. Harry Rantung sendiri, setelah pembebasan bekerja di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan mendapat pensiun dari kedutaan. Konon, untuk itu pemerintah Indonesia mendapat kompensasi di antaranya proyek jalan raya by pass di Jakarta.
Selama beberapa bulan Allen Pope disembunyikan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan kemudian pulang ke Miami serta hidup dengan istri dan keluarganya namun tidak lama kemudian istrinya meminta cerai. Alasan istrinya adalah kekejaman yang keterlaluan, Pope dikatakan "ringan tangan". Pihak berwenang menekan istrinya agar tidak membawa-bawa CIA di depan hakim dalam sidang perceraian mereka. Perempuan yang mengisi hidup Pope di Saigon itu hanya bisa mengatakan bahwa suaminya berubah. Sejak pulang dari Indonesia, setiap malam Pope selalu meletakkan pistol siap tembak di bawah bantalnya. Ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan anak-anaknya.
Kembali Pope bertualang, Allen Pope dikabarkan jatuh ke tangan CIA dengan menandatangani kontrak di perusahaan penerbangan Southern Air Transport. Tidak jelas kabar Pope sekarang setelah semua perusahaan penerbangan CIA dikabarkan dilikuidasi dan dijual. Tetapi kehadiran Pope di Indonesia telah memberikan pengalaman betapa masalah keamanan dalam negeri juga dapat menimbulkan "kerepotan" bagi Angkatan Udara.
Referensi
sunting- Allen Pope Kisah Binal Serdadu Bayaran, Majalah Angkasa edisi Oktober 1990
- Kesaksian Saleh Kamah: Di balik Tertembaknya Pope, Majalah Angkasa No. 3 Desember 2001 Tahun XII
- ^ Leirissa, R.Z (1991). PRRI/Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. hlm. 233.