Wapen der Genie (dalam bahasa Indonesia berarti: "Cabang Zeni") adalah kesatuan militer yang bertanggung jawab untuk semua pekerjaan zeni di Hindia Belanda. Bagian paling utama dari cabang tersebut adalah Korps Tentara Zeni (KNIL), sebuah korps saudara dari korps yang pernah ada di Belanda. Wapen der Genie hampir selalu ikut serta dalam semua ekspedisi militer KNIL bersama detasemen dan di sini memberikan dukungan yang penting. Lebih jauh, personel kesatuan ini telah berdinas di semua daerah dan tempat di seantero Nusantara.

Sejarah

sunting

Zeni dan sapper

sunting

KNIL memiliki korps sapper sendiri. Pada tahun 1856, Korps Sapper tersebut ditempatkan sebagai pengganti di seluruh Nusantara:

Pada tahun 1864, pegawai militer (kls. 1-3) juga bekerja sebagai karikatur, pelukis litografi, maupun pembuat alat di zeni tersebut.

Wapen der Genie dan Korps Mineurs en Sappeurs

sunting

Pada tanggal 25 Januari 1871, awal penyempurnaan reorganisasi zeni dirumuskan berdasarkan Surat Keputusan bulan Juli 1870. Reorganisasi tersebut menandai akhir kesatuan ganda sapper-kompi dan menjadi cikal bakal Wapen der Genie sebagai bagian paling mengemuka dari Korps Penyapu Ranjau dan Sapper yang terdiri atas 1 staf dan 2 kompi di Fort Willem I dan juga Banyubiru, Semarang. Di masa ini, mulai muncul dukungan untuk Divisi Militer 1-3 dan juga dinas zeni pendukung sehingga Fort Willem I menjadi markas untuk anggota kerja zeni, dan pada tahun 1870, Biro Topografi dan Survei Militer didirikan oleh May. Karel Lodewijk Pfeiffer. Biro tersebut terutama terdiri dari perwira Wapen der Infanterie. Hal yang terjadi sejak awal tahun 1870 adalah relatif banyaknya perwira infanteri yang dimutasi dari zeni, yang jumlahnya sekitar 29 orang, termasuk perwira Dinas Topografi dan Survei Militer, berkaitan dengan berkas sekitar 47 perwira zeni.

Perang Aceh Pertama

sunting

Pada tanggal 22 Maret 1873, angkatan militer dikirim untuk Perang Aceh Pertama. Pemimpin angkatan zeni dalam ekspedisi tersebut adalah Kapt. WJ. Leers. Zeni tersebut terdiri atas 1 kompi penyapu ranjau dan sapper di bawah Egbert Broer Kielstra, sebuah anggota kerja detasemen dan dinas tografi. Kekuatan seluruh zeni adalah 8 perwira dan 129 lainnya. Di samping perwira zeni yang disebutkan di atas, ada pula LetTu. Zeni H. Broese van Groenou yang dimutasi ke zeni, LetTu Infanteri I Adamus Sebastianus Henricus Booms dan SJ. Seibert, dari infanteri yang dimasukkan Kapt. Infanteri Felix von Balluseck dan LetTu Infanteri I Josephus Fredericus Dominicus Bruinsma.

Keberangkatan

sunting
 
JG. Kerlen

Ketika tiba di Kesultanan Aceh, pertama-tama dilakukan survei di mana LetTu Zeni I Johannes Godfried Kerlen menerima perintah untuk menyiapkan pendaratan dengan perahu. Pada tanggal 8 April, pendaratan angkatan pertama yang dipimpin oleh Kapt. Antoon Arnold Frederik Lanzing tersebut berlangsung di perbukitan di Ulee Lheue dengan bantuan sekoci yang diikuti dengan armada perahu zeni tersebut. Keberangkatan tersebut sepenuhnya berada di bawah pimpinan Luitenant der zee Tadema yang disertai oleh Kerlen. Pendaratan itu berlangsung dalam 4 bagian, di mana pasukan zeni terbagi dalam Bagian I dan IV. Pendaratan tersebut berbarengan dengan 16 perahu bersenjata AL dengan divisi pendaratan dalam perahu. Di saat yang sama, musuh ditembaki kapal-kapal AL dari arah laut. Banyak orang Aceh yang tewas dalam serbuan pertama tersebut. Sekitar sejam kemudian, armada perahu bergabung bersama pasukan artileri dan berkuda di pantai. Di hari yang sama, pasukan zeni yang dipimpin oleh Kapt. Kielstra menerima perintah untuk membentengi jembatan yang membentang di atas laguna, namun, dengan kurangnya material, laluan tersebut diperlebar hingga 0,7 meter. Dari logistik zeni yang ada, bivak pantai di Ulee Lheue mulai didirikan, dipimpin oleh Kerlen. Untuk staf, didirikan sebuah barak besar sendiri dengan ruang makan, dapur, dan gudang. Di barak itu juga dibangun tempat untuk prajurit yang sakit dan terluka, dengan ambulans untuk mengangkut mereka. Di samping itu, dibuatkan pula kamar operasi kecil sederhana.

Penaklukan pertama Masjid Raya

sunting

Pada pagi hari tanggal 10 April, diluncurkan sebarisan pasukan yang beranggotakan 110 perwira, 2.100 prajurit biasa, 650 kuli dan pelayan. Barisan tersebut membawa perbekalan yang cukup untuk sehari. Dalam barisan tersebut, ½ kompi dibagi dalam pasukan zeni. Dengan cepat hal tersebut menyebabkan pembangunan jembatan baru, yang tampaknya tak bermanfaat untuk pasukan artileri dan berkuda, yang merupakan sebuah penundaan besar. Hal itu menyebabkan barisan tersebut harus melintasi laguna tersebut dalam waktu 4½ jam di bawah teriknya sinar matahari. Barisan besar tersebut berjalan dan akhirnya melepas lelah di sebuah bangunan besar dekat Masjid Raya. Artileri menembakinya dengan peluru ringan hingga terbakar sehingga menyebabkan musuh kocar-kacir. Dengan mudah, Masjid Raya diduduki oleh barisan tersebut. Di sisi timur yang tak terlindung, barisan tersebut terus-menerus diserang pejuang Aceh, material zeni untuk membangun pertahanan tak tersedia. Di sisi barat, pasukan ranjau gagal mencoba melintasi batas dinding. Pasukan zeni diperintahkan oleh panglima tertingginya sendiri untuk membangun jalan dan jembatan, bukan bahan peledak. Di hari itu pula, Kielstra terluka sehingga ia tidak dapat mengikuti ekspedisi ini lagi. Pada akhirnya, komandan memutuskan bahwa mereka tidak dapat mendudukinya. Di tengah hari tersebut, pasukan itu kembali dan setelah itu, masjid dimiliki kembali oleh rakyat Aceh.

Penaklukan kedua Masjid Raya

sunting

Pada tanggal 14 April 1873, Kol. Eeldert Christiaan van Daalen memutuskan untuk mencoba menaklukkan Masjid Raya untuk yang kedua kalinya. Sebarisan angkatan bersenjata yang dipimpin oleh May. Frans Petrus Cavaljé bergerak dengan sepeloton mineur dan 44 pekerja paksa dengan tangga panjang. Setelah pertempuran singkat namun sengit, Masjid Raya berhasil dikuasai lagi. Sisi timur yang terbuka telah diblokade secara langsung oleh pasukan zeni, sementara di sisi barat, pasukan zeni membuat celah. Berulang kali mereka mencoba menghalau serbuan musuh, namun banyak yang jadi korban. Pada malam harinya, pasukan Belanda membangun bivak di kawasan masjid. Pagi harinya, Batalyon Infanteri III meluncurkan serangan mendadak dengan dukungan pasukan zeni, tangga panjang, dan pekerja paksa yang juga membawa perancah dan kemudian muncul di bangunan istana. Serangan tersebut berhenti setelah jatuh banyak korban jiwa. Pada tanggal 17 April, E.C. van Daalen memutuskan kembali ke bivak di pantai. Jembatan kecil di atas laguna dihancurkan oleh pasukan zeni agar tidak diserang pejuang Aceh.

Kedatangan pasukan

sunting

Pada tanggal 25 April, angkatan bersenjata mulai diberangkatkan. Semuanya berangkat kecuali perahu penyelamat dan juga armada perahu milik pasukan zeni yang juga berdinas. Pada praktiknya, hal tersebut tidak begitu memuaskan, karena perahu tersebut segera penuh muatan di saat laut sedang berombak dan armada tersebut harus bersandar di pantai. Setelah berakhirnya pemberangkatan, kapal pasukan zeni juga kemudian mudah tenggelam. Kapal eselon terakhir bertugas mengangkut 1 kompi infanteri dan 1 seksi mineur. Pasukan ranjau memerintahkan menyiram semua barak dengan minyak yang kemudian dibakar. Ketika semua angkatan naik kapal pada tanggal 29 April 1873 pada pk. 10.00, bivak tersebut telah terbakar. Di hari itu, angkatan bersenjata meninggalkan Aceh.

Perang Aceh Kedua

sunting
 
Johann Philip Ermeling

Perang Aceh Kedua adalah kelanjutan ekspedisi pertama yang gagal. Secara resmi, ekspedisi ke-2 ini bermula dari tanggal 20 November 1873 (ketika Jend. Jan van Swieten dan pasukannya bertolak ke Aceh) hingga tanggal 26 April 1874 (ketika Jend. Van Swieten kembali ke Jawa beserta pasukannya). Persiapan untuk Perang Aceh II dilaksanakan tak lama setelah ekspedisi pertama gagal. Berkaitan dengan zeni, LetKol. Johann Philip Ermeling memegang peranan yang terpenting. Antara lain, ia membuat seluruh persiapan untuk alat angkut dan bangunan yang diperlukan dan mewujudkannya. Sehingga, ia merancang barak bambu dan kayu yang dapat dipindahkan serta magasin peluru, yang belakangan terbukti memuaskan pada praktiknya dan untuk pengangkutan ke pantai, ia membuat armada bernakhoda dari besi yang bisa bergerak sebagai ganti armada perahu yang pada ekspedisi pertama terbukti kurang efektif.

 
Kolonel Zeni Gustaaf Eugenius Victor Lambert van Zuylen

Kepala angkatan zeni ekspedisi tersebut adalah Mayor Zeni Gustaaf Eugenius Victor Lambert van Zuylen, dengan wakilnya Kapiten Zeni Nolthenius. Semasa ekspedisi, Nolthenius meninggal akibat kolera dalam bivak zeni di Peunayong. Peloton I dari Kompi Penyapu Ranjau dan Sapper I, terdiri atas 3 perwira dan 60 bawahannya, digabungkan ke dalam Brigade Infanteri I. Peloton I dari Kompi Penyapu Ranjau dan Sapper II digabungkan ke dalam Brigade Infanteri II dan Brigade Infanteri III menerima 2 peloton dari Kompi Penyapu Ranjau dan Sapper I dan II yang bersangkutan dengan 4 perwira dan 120 bawahannya. Di wilayah zeni berkumpul: 27 barak, bahan bangunan, armada, 2 jembatan kayu, pertukangan kayu dekat pemecah ombak di pantai, bahan baku kereta api yang dapat dipindahkan (12.000 meter rel dan 16 gerbong), 20 pompa norton, 350 tangga panjang, bengkel pandai besi, laboratorium terbuka, dll. Semua karya pasukan zeni itu berfungsi baik.

 
Pembangunan Benteng Peunayong oleh anggota zeni kompi, dari tanggal 22 Desember 1873.

Pasukan mendarat pada tanggal 9 Desember 1873 di Kuala Gigieng, agak ke timur dari tempat yang diperkirakan ada musuhnya. Operasi kemudian dilanjutkan ke arah barat hingga mencapai Peunayong pada tanggal 22 Desember 1873, tempat pasukan zeni tersebut mendirikan sebuah bivak besar. Melalui gerakan pergi dan pendudukan benteng laut ini, muara Krueng Aceh menjadi kosong dan pengangkutan bahan yang diperlukan amat mudah dilakukan. Di bantaran kiri sungai, sebuah jembatan dari pinang yang dibangun oleh anggota kerja zeni kompi menjamin lancarnya komunikasi. Kompi tersebut dikomando oleh Kapiten Zeni Broese van Groenou, dan di saat yang sama, Letnan Zeni Bik ditugasi mengawasi pembangunan tersebut. Krueng Aceh ternyata lebih deras dari yang diperkirakan, karena dalam waktu 2 hari setelah dibuat, jembatan tersebut hanyut tersapu arus sungai. Untuk menjamin lancarnya perhubungan di sisi kiri sungai, kini harus mulai dibangun jembatan kayu yang kokoh secepat mungkin dan saat penyelesaiannya bertepatan dengan awal serangan ke masjid dan istana. Pada tanggal 24 Januari 1874, seantero istana telah dikuasai Belanda. Dari saat itu, angkatan kerja zeni berbaris setiap dari dari bivaknya di Peunayong menuju istana dengan menyeberangi sungai untuk mengatur mereka membuat permukiman tetap. Di istana, pembangunan barak untuk pasukan Belanda pun dimulai.

Untuk keberaniannya selama ekspedisi, Kapiten Zeni CA. Rombouts diangkat sebagai ksatria kls. 4 dalam Militaire Willems-Orde.

Perang Aceh setelah tahun 1874

sunting
 
Jembatan yang dibangun oleh zeni di atas Krueng Aceh dekat Kutaraja (kini Banda Aceh.

Dari tahun 1874, pasukan zeni juga menempatkan 1 detasemen tetap di Aceh yang tugas utamanya adalah mengawasi pembangunan Trem Aceh, pembangunan benteng untuk Garis Pel, barak dan bivak baru, sumur, dan juga jembatan. Untuk pelaksanaan sejumlah pekerjaan yang merupakan tanggung jawab Wapen der Genie, dikerahkanlah buruh dan kuli Tionghoa dari Penang, yang menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tinggal di Gampong Jawa.

Pada tanggal 25 November 1874, pengeboran sumur artesis di istana dimulai. Hal itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan minum, karena keadaan sanitasi pasukan sangat buruk dan meningkatnya kebutuhan air bersih di markas besar. Dari sekitar tahun 1879, detasemen zeni di Aceh disebut sebagai Kompi III dan staf, Kompi I dan II ditempatkan di Fort Willem I. Pada tahun 1881, ada separuh kompi zeni di Aceh. Di samping aktivitas sipil lintas sektoral di Aceh, sering sebuah detasemen bergabung dengan pasukan zeni ke medan peperangan infanteri. Di situ, pasukan zeni tak hanya ditugaskan menghancurkan barikade musuh dengan menggunakan kapak atau bahan peledak sehingga pasukan infanteri dapat maju, namun juga membangun benteng di daerah yang telah ditaklukkan.

 
Letnan Satu Zeni Nicolaas Hageman, 26 Juli 1889, berperang di Kuta Teungku, Kesultanan Aceh.

Beberapa contoh medan pertempuran di Aceh antara tahun 1874-1896 di mana pasukan penyapu ranjau dan/atau sapper zeni terlibat adalah:

Malang

sunting

Sekitar tahun 1892, Kompi I dan II dari Fort Willem I dipindahkan sementara ke Malang. Dari sini pulalah, sebuah detasemen diberangkatkan untuk turut serta dalam Perang Lombok pada tahun 1894 hingga sekitar tahun 1899.

Perang Lombok

sunting

Pada tahun 1894, sebuah detasemen zeni diikutkan dalam ekspedisi ke Lombok dan diberangkatkan dari Malang. Detasemen tersebut dipimpin oleh Kapiten Zeni EBE. Ruempol, LetTu Zeni C. de Waal, LetTu Zeni Frederik Willem Cornelis van der Staay, 56 orang Eropa dan 33 pribumi pembuka jalan. Di situlah, pada tanggal 17 September 1894, LetTu Zeni N. Plantenga bergabung. LetTu Zeni Walter Robert de Greve ikut serta dalam ekspedisi tersebut sebagai anggota staf jenderal dan kemudian dianugerahi gelar ksatria Militaire Willems-Orde kls. 4 atas peranannya, begitu juga perwira zeni N. Plantenga dan JE. de Rochemont, dan sepertiga anggota zeni lainnya. Pada malam hari tgl. 25-26 Agustus 1894, huru hara pun pecah dan pasukan Belanda dikalahkan di Cakranegara, di mana korban jiwa dan pihak Belanda banyak berjatuhan. Pasukan Belanda terpaksa menerima kekalahan pahit tersebut dan kembali dari Mataram. Selama ekspedisi tersebut, LetTu Zeni FWC. van der Staay gugur di usia 29 tahun pada tanggal 27 Agustus 1894, tak lama setelah dirinya dianugerahi Eervol Vermeld (Sebutan Kehormatan) atas peranannya dalam pertempuran di Kluet, Aceh. Pada bulan Januari 1895, 2 seksi pasukan zeni kembali ke Surabaya dengan menaiki kapal Amboina. Pada tahun setelah ekspedisi Lombok, sebuah seksi pasukan zeni Kompi III ditempatkan di Ampenan. Pasukan zeni itu tetap berada di Lombok hingga tahun 1899, seksi Kompi III lainnya tetap di Aceh. Pada akhir bulan Maret 1896, berdasarkan keputusan GubJend. James Loudon. 147 perwira pasukan zeni didatangkan ke Ampanan di bawah pimpinan Kapt. Zelle dan LetTu Zeni N. Plantenga dan Van Zandt. Kini juga ada sekitar 60 prajurit zeni yang ditugasi menyelesaikan pembangunan kamp baru di Kapitan, sebuah kompleks besar yang terdiri atas 73 bangunan yang berbeda. Bangunan di Kapitan telah rusak akibat badai kencang sehingga pembangunannya terhenti.

Perang Aceh sejak tahun 1896

sunting

Dalam keuangan Hindia Belanda pada tahun 1896, digelontorkan sejumlah besar uang untuk pendirian Kompi III Tentara Zeni. Di samping itu, korps perwira zeni diperkecil dengan 1 mayor, 5 LetTu dan LetDa, ketimbang diperbesar dengan 1 kapiten. Tak lama setelah pengkhianatan Teuku Umar pada tahun 1896, sejumlah besar markas pasukan dipindahkan dari Jawa dan Padang ke Aceh. Kemudian, menyusul pasukan cadangan dipindahkan ke Semarang pada tanggal 26-27 April 1896, seperti Batalyon Infanteri VII dari Magelang, Batalyon Infanteri V dari Semarang, Artileri Gunung Baterai II dari Salatiga, 1 peloton kavaleri Eropa dan 2 seksi pasukan zeni dari Malang. Untuk mengangkut pasukan tersebut, dipergunakan kapal paket seperti Bantam, Coen, Reael, Japara, Carpentier dan Van Goens.

 
Pesta Oranje Korps Tentara Zeni di Cimahi, sekitar tahun 1905.

Magelang

sunting

Sekitar tahun 1897, Kompi I dan II dipindahkan sementara dari Malang ke Magelang. Menjelang pergantian abad, Wapen der Genie juga memiliki wewenang dinas daerah dan lokal, dari Korps Pasukan Zeni dengan 1 staf dan 3 kompi di Magelang. Dari Kompi III, selalu ada pasangan seksi yang ditugaskan di Aceh. Pada masa ini, ada magasin zeni di Batavia (kini Jakarta), Semarang dan Ulee Lheue (Aceh).

Cimahi

sunting

Sekitar tahun 1905, markas besar sementara zeni tersebut dipindahkan ke Cimahi, dekat Bandung. Pada tahun itu, Korps Pasukan Zeni terdiri atas 1 staf, Kompi I, II, dan III, serta Kompi Kereta Api dan Telegraf di Cimahi. 1 seksi dari Kompi III dan Divisi KA dari Kompi KA dan Telegraf ditempatkan sementara di Aceh untuk membangun Trem Aceh. Lebih lanjut, ada pula magasin zeni di Aceh dan Cimahi.

Di awal/akhir tahun 1920-an, Korps Penyapu Ranjau dan Sapper dimasukkan ke Batalyon Pasukan Zeni, terdiri atas 1 staf, 1 kompi medan, 1 kompi teknis (divisi telegraf, radio, dan lampu sorot) dan 1 kompi depot dengan sekolah kader di Cimahi. Di saat yang sama, dinas zeni sementara di Bandung mengawasi kompi mobil. Pada bulan Januari 1929, diperingati perayaan uang Korps Pasukan Zeni dalam bentuk awalnya. Mayor Zeni Marcella, yang terkenal karena jasanya dalam pembangunan Trem Aceh, menuliskan hal ini dalam terbitannya De geschiedenis van het korps genietroepen pada tahun 1898.

Pendirian Tentara Zeni Batalyon I, II, dan III

sunting
 
GJF. Statius Muller, inspektur cabang zeni.

Pada tanggal 10 Juni 1938, Batalyon Pasukan Zeni I didirikan di Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta Timur). Perayaan tersebut dihadiri oleh Komandan Divisi I, MayJend. T. Bakker. Pada tanggal 24 Januari 1939, di lapangan latihan militer di Cimahi, diselenggarakan pembentukan seremonial Batalyon Pasukan Zeni II dan III yang dihadiri oleh MayJend. T. Bakker (komandan Divisi I) dan GJF. Statius Muller (inspektur Wapen der Genie). Pembentukan batalyon tersebut terjadi setelah pembubaran batalyon teknis dan pioner secara bersamaan.

Aktivitas

sunting

Penyediaan dukungan dalam ekspedisi militer

sunting

Wapen der Genie ditugaskan secara sukarela untuk semua ekspedisi militer di Hindia Belanda dengan 1 detasemen pasukan zeni untuk menyediakan bantuan yang diperlukan oleh angkatan darat. Dalam serangan militer, pasukan zeni diperlukan untuk menghancurkan pemblokiran dan benteng musuh, atau misalnya untuk rancangan sarana bantuan spefisik, seperti armada, jembatan, dan semacamnya yang diperlukan untuk operasi tertentu. Setelah berakhirnya pertempuan, sebagian besar benteng musuh dihancurkan oleh pasukan zeni maupun hanya diperbaiki untuk digunakan oleh pasukan mereka sendiri. Sehingga, setelah berakhirnya pertempuan 7 hari pada tahun 1896, rumah Teuku Umar di Lampisang dibumihanguskan oleh pasukan zeni. Selama ekspedisi, pasukan zeni juga bertanggung jawab untuk kemungkinan pembangunan benteng dan kamp sebagai markas (sementara) pasukan.

Prasarana militer

sunting

Pasukan zeni bertanggung jawab untuk pembangunan dan pengaturan seluruh prasarana militer di Hindia Belanda, antara lain benteng, jalan raya, jembatan, barak, rumah sakit, kamp, cadangan air, telepon, maupun jaringan kereta api. Untuk tujuan tersebut, semua divisi militer di Nusantara dibagi-bagi dalam dinas zeni wilayah maupun lokal. Biasanya, rancangan tersebut dibuat oleh pasukan zeni itu sendiri, sementara sebagian besar pekerjaan tersebut dikerjakan oleh kontraktor setempat. Pada tahun 1905, telah ada arsitek militer dan pengawas zeni. Ketika diperlukan, pembangunan tersebut diawasi oleh infanteri. Terkadang, penduduk setempat dipaksa menyediakan lahan untuk itu, dan tidak dibayar sama sekali.

Fort merupakan kosakata Belanda untuk "benteng". Kebanyakan di awal pendirian KNIL, pasukan tersebut mengerjakan sejumlah titik dukungan strategis, antara lain fort. Beberapa fort tersebut merupakan peninggalan dari masa VOC dan digunakan hingga masa akhir KNIL. Beberapa contoh fort tersebut antara lain;

Benteng

sunting

Benteng merupakan tempat yang utamanya digunakan sebagai pertahanan bagi pejuang anti-Belanda. Salah satu contoh terbaik adalah Garis Konsentrasi di Aceh, yang terdiri atas cangkang benteng di sekitar Kutaraja.

Bivak dan kamp

sunting

Bivak awalnya dipergunakan untuk tempat tinggal sementara bagi pasukan yang harus bertempat di sana untuk suatu ekspedisi maupun patroli. Untuk yang sementara, permukiman biasanya sederhana dan dibangun dari tiang dan daun pisang yang dikeringkan yang berfungsi sebagai penahan hujan tropis. Sangat umum kehadiran militer akan lebih lama dari yang direncanakan, di mana sebuah bivak dapat berkembang menjadi kamp (semi-)permanen. Khususnya hal ini banyak dijumpai di Aceh sebagaimana yang ditunjukkan oleh gambar-gambar di bawah ini.

Barak dan rumah sakit militer

sunting

Barak KNIL bersifat permanen dan dibangun untuk menampung kesatuan militer dalam jangka panjang. Barak sering dibangun lengkap dengan rumah sakit militer dan prasarana militer lainnya. Hanya di pos-pos garnisun besar seperti di Malang, Bandung, Magelang, Cimahi, Padang, Semarang, Meester Cornelis, dll, barak dibangun dari batu, sementara di pos-pos luar, barak kebanyakan dibangun dari kayu. Banyak barak yang dibangun dari batu tersebut itu dipergunakan kembali oleh Tentara Nasional Indonesia kelak.

Jalan, jembatan, dan jalur kereta api

sunting

Salah satu alat penaklukan terpenting di Buitenbezittingen adalah jalan. Dengan itulah, pasukan KNIL dapat berpindah dengan cepat dan semua daerah dapat dijangkau. Setelah suatu daerah dapat dikuasai KNIL, sering kali dibangun jalan atau rel kereta api. Satu contoh bagus dari jalur KA militer adalah Trem Aceh. Jalur KA tersebut membantu mobilisasi tentara Belanda sepanjang pantai utara dan timur Aceh. Di banyak daerah di Kepulauan Hindia, jalanan tersebut banyak dibangun atas perintah dinas zeni. Salah satu contoh bagus untuk jalanan tersebut adalah Jalan Gayo yang menjangkau daerah pedalaman Aceh. Jalanan tersebut menunjang ekonomi daerah dan kemajuan setempat.

Perwira Wapen der Genie yang terkenal

sunting

Anggota yang dianugerahi Militaire Willems Orde kls. 3

sunting

Anggota yang dianugerahi Militaire Willems Orde kls. 4

sunting
 
David Maarschalk
 
Willem Frederik Versteeg

Penerima MWO kls. 4 selama ditarik dari zeni

sunting
 
Kapiten zeni Cornelis Jacobus Snijders.
  • J.W.N. Cramer sebagai LetTu korps insinyur, ranjau, dan sapper angkatan darat, berperan dalam pemaklukan Garuet pada tanggal 28 Juni 1874.
  • Gillis Pieter de Neve, sebagai LetTu yang dibebaskan oleh Wapen der Genie selama Perang Bali III.
  • H.W. Nijenhuis sebagai LetTu infanteri yang dibebaskan oleh Wapen der Genie selama pertempuran di Aceh antara bulan September-Oktober 1876.
  • Cornelis Jacobus Snijders sebagai LetDa korps insinyur, ranjau, dan sapper AD, berperan dalam penaklukan Kuta Alam pada tanggal 13 November 1874.

Bintang Perjuangan Asia Timur

sunting

Perwira zeni yang terlibat dalam pembangunan Trem Aceh

sunting
 
Louis Willem Franciscus Julian Mann
  • Caspersz.
  • J.C.H. Fischer.
  • J. de Graaff.
  • Johannes Godfried Kerlen, seorang mayor jenderal zeni yang sebagai kepala perwira hampir terlibat dalam pembangunan Trem Aceh.
  • Klerks.
  • Louis Willem Franciscus Julian Mann, LetTu zeni. Pada tahun 1907, ia dibunuh di Beureunuen (KM 106).
  • E. Marcella, menyumbangkan informasi mengenai Trem Aceh dan sebagian sejarah pasukan zeni KNIL.
  • A. Schadee

Rujukan

sunting
  • Oost-Indische Krijgsgeschiedenis, oleh JWF Herfkens 1905, III De Atjeh Oorlog van 1873 tot 1896
  • De Sumatra Post, 09-06-1938, Het Eerste Bataljon Genietroepen te Meester Cornelis
  • De Sumatra Post, 25-05-1908, perbaikan sungai di Sumatra.
  • De Indische Courant, 01-11-1938, May. P. Droog, komandan zeni batalyon
  • Het Algemeen Handelsblad, Laatste Berichten Indische Begrooting 1896
  • Het Nieuws van de Dag voor Nederlandsch-Indië, 30-04-1873
  • Het Nieuws van de Dag voor Nederlandsch-Indië, 26-03-1896, Lombok
  • Het Nieuws van de Dag voor Nederlandsch-Indië, 13-05-1908, pasukan zeni Borneo
  • Het Nieuws van de Dag voor Nederlandsch-Indië, 25-01-1939, bukti sejarah untuk Yayasan Zeni di Tentara Zeni Batalyon II dan III – cocok untuk tugas perang
  • Het Nieuws van de Dag voor Nederlandsch-Indië, 29-01-1929, perayaan emas
  • Diverse Naam- en Ranglijsten der Officieren van het nederlandsche Leger en dat in Nederlandsch Indië

Pranala luar

sunting