Pemerkosaan

jenis penyerangan secara seksual biasanya melibatkan hubungan seksual tanpa persetujuan
(Dialihkan dari Rudapaksa)

Pemerkosaan, perogolan, atau rudapaksa adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual yang dapat mengakibatkan kerugian fisik, trauma emosional, dan psikologis terhadap korbannya[1]. Pemerkosaan ini jenis serangan seksual yang biasanya melibatkan hubungan seksual atau bentuk penetrasi seksual lainnya yang dilakukan terhadap seseorang, yang bersifat nonkonsensual atau tanpa persetujuan seksual dari orang tersebut. Perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan kekerasan fisik, pemaksaan, penyalahgunaan wewenang, atau terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sah, seperti orang yang tidak sadarkan diri, lumpuh, tunagrahita, atau di bawah umur yang sah untuk menyetujui.[2][3] Meskipun terdapat beberapa perbedaan, istilah "pemerkosaan" terkadang digunakan bergantian dengan istilah kekerasan seksual.[4]

Peta dunia yang menunjukkan indeks gabungan tentang pemerkosaan terhadap perempuan pada tahun 2018, data berasal dari WomanStats Project
  Pemerkosaan bukanlah masalah utama dalam masyarakat
  Pemerkosaan merupakan masalah di masyarakat
  Pemerkosaan merupakan masalah yang signifikan dalam masyarakat
  Pemerkosaan merupakan masalah utama di masyarakat
  Pemerkosaan merupakan endemik di masyarakat
  Tidak ada data

Tingkat pelaporan, penuntutan, dan penghukuman atas pemerkosaan bervariasi di antara berbagai yurisdiksi. Secara internasional, insiden pemerkosaan yang dicatat oleh polisi selama tahun 2008 berkisar mulai dari 0,2 per 100.000 orang di Azerbaijan hingga 92,9 per 100.000 orang di Botswana dengan median 6,3 kasus per 100.000 orang di Lithuania.[5] Di seluruh dunia, kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, terutama dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.[6] Pemerkosaan oleh orang asing biasanya lebih jarang terjadi dibandingkan pemerkosaan oleh orang yang dikenal korban, dan pemerkosaan di penjara antara laki dengan laki dan perempuan dengan perempuan adalah hal yang umum dan mungkin merupakan bentuk pemerkosaan yang paling sedikit dilaporkan.[7][8][9]

Pemerkosaan yang meluas dan sistematis (misalnya, pemerkosaan perang) dan perbudakan seksual dapat terjadi selama konflik internasional. Praktik-praktik tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Pemerkosaan juga diakui sebagai unsur kejahatan genosida bila dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, dari suatu kelompok etnis yang menjadi sasaran.

Orang yang telah diperkosa dapat mengalami trauma dan mengalami gangguan stres pascatrauma.[10] Cedera serius dapat terjadi bersamaan dengan risiko kehamilan dan infeksi menular seksual. Seseorang yang mengalami pemerkosaan mungkin akan menghadapi kekerasan atau ancaman dari pemerkosa, dan terkadang juga dari keluarga dan kerabat korban.[11][12][13]

Etimologi

sunting

Istilah pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa Latin rapere (kata supine dari raptum) yang berarti "untuk merebut, meraih, membawa pergi".[14][15] Dalam hukum Romawi, membawa pergi seorang wanita dengan paksa, dengan atau tanpa hubungan seksual, merupakan "raptus".[15] Dalam Bahasa Inggris Pertengahan, istilah yang sama dapat merujuk pada penculikan atau pemerkosaan dalam pengertian modern yang berarti "pelanggaran seksual".[14][16] Arti orisinal dari "membawa dengan paksa" masih ditemukan dalam beberapa frasa, seperti "pemerkosaan dan penjarahan", atau dalam judul, seperti dalam cerita Pemerkosaan Wanita Sabine dan Pemerkosaan Europa atau puisi The Rape of the Lock tentang pencurian seikat rambut.

Definisi

sunting

Pemerkosaan didefinisikan di sebagian besar yurisdiksi sebagai hubungan seksual, atau bentuk penetrasi seksual lainnya, yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban tanpa persetujuan (konsensual).[17] Definisi pemerkosaan sendiri tidak konsisten antara organisasi kesehatan pemerintah, penegak hukum, penyedia layanan kesehatan, dan profesi hukum.[18] Definisi pemerkosaan bervariasi secara historis dan budaya.[17][18] Awalnya, pemerkosaan tidak memiliki konotasi seksual dan masih digunakan dalam konteks lain dalam bahasa Inggris. Dalam hukum Romawi, definisi pemerkosaan atau raptus diklasifikasikan sebagai bentuk kejahatan (crimen vis) yaitu "kejahatan penyerangan".[19][20] Raptus mengacu pada penculikan seorang wanita terhadap keinginan pria yang berada di bawah kekuasaannya, dan hubungan seksual bukanlah elemen yang diperlukan. Definisi pemerkosaan lainnya telah berubah dari waktu ke waktu.

Hingga 2012, Biro Investigasi Federal (FBI) menganggap pemerkosaan sebagai kejahatan yang semata-mata dilakukan oleh pria terhadap wanita. Pada tahun 2012, mereka mengubah definisi mereka dari "Kekuasaan fisik duniawi seorang wanita yang dilakukan secara paksa dan bertentangan dengan keinginannya" menjadi "Penetrasi, tidak peduli seberapa kecil, vagina atau anus dengan bagian tubuh atau objek apa pun, atau penetrasi oral oleh organ seks dari orang lain, tanpa persetujuan korban.” Definisi sebelumnya yang tetap dan tidak berubah sejak 1927, dianggap usang dan sempit. Definisi yang diperbarui mencakup pengenalan jenis kelamin korban dan pelaku dan bahwa pemerkosaan dengan suatu objek bisa sama traumatisnya dengan pemerkosaan penis/vaginal. FBI lebih lanjut menjelaskan contoh ketika korban tidak dapat memberikan persetujuan karena ketidakmampuan mental atau fisik. FBI juga mengakui bahwa seorang korban dapat dilumpuhkan oleh obat-obatan dan alkohol dan tidak dapat memberikan persetujuan yang sah. Definisi tersebut tidak mengubah undang-undang pidana federal atau negara bagian atau berdampak pada pembebanan dan penuntutan di tingkat federal, negara bagian, atau lokal; namun hal tersebut berarti pemerkosaan akan lebih akurat ketika dijelaskan secara nasional.[21][22]

Organisasi kesehatan dan banyak lembaga juga telah memperluas pemerkosaan melampaui definisi tradisional. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pemerkosaan sebagai bentuk kekerasan seksual,[23] Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda -- bahkan jika dangkal -- dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik." sedangkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memasukkan pemerkosaan dalam definisi serangan seksual mereka; mereka menyebut pemerkosaan merupakan suatu bentuk kekerasan seksual. CDC mencantumkan tindakan lain selain dari aktivitas seksual yang memaksa dan non-konsensual yang merupakan pemerkosaan maupun yang tidak merupakan pemerkosaan, beberapa diantaranya yang termasuk pemerkosaan adalah penyerangan seksual yang difasilitasi oleh obat, tindakan di mana seorang korban dibuat untuk mempenetrasi pelaku kejahatan atau orang lain, kejadian keracunan di mana korban tidak dapat melakukannya persetujuan (karena ketidakmampuan atau tidak sadar), penetrasi paksa secara fisik yang terjadi setelah seseorang ditekan secara verbal (dengan intimidasi atau penyalahgunaan wewenang untuk memaksa untuk menyetujui), menuntaskan atau mencoba penetrasi paksa korban melalui kekuatan fisik yang tidak diinginkan (termasuk menggunakan senjata atau mengancam untuk menggunakan senjata).[24][25] Veterans Health Administration (VHA) telah menerapkan skrining universal terhadap "Trauma Seksual Militer (military sexual trauma)" (MST) dan menyediakan layanan kesehatan medis dan mental gratis untuk ongkos pendafataran bagi veteran yang melaporkan diri ke MST. (Title 38 United States Code 1720D; Public Law 108-422).

Beberapa negara atau yurisdiksi membedakan antara pemerkosaan dan kekerasan seksual dengan mendefinisikan pemerkosaan sebagai melibatkan penetrasi penis vagina, atau semata-mata penetrasi yang melibatkan penis, sementara jenis aktivitas seksual non-konsensual lainnya disebut kekerasan seksual.[26][27] Skotlandia, misalnya, menekankan pada penetrasi penis, mengharuskan menggunakan penis jika kekeraasan seksual tersebut memenuhi syarat sebagai pemerkosaan.[28][29] Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai "invasi fisik berwatak seksual yang dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif".[17] Dalam kasus lain, istilah pemerkosaan telah dihapus dari penggunaan hukum demi memasukkan istilah kekerasan seksual atau perilaku kriminal pidana seksual.[30]

Istilah pemerkosaan dapat pula digunakan dalam arti kiasan, misalnya untuk mengacu kepada tindakan-tindakan kriminal umum seperti pembantaian, perampokan, penghancuran, dan penangkapan tidak sah yang dilakukan kepada suatu masyarakat ketika sebuah kota atau negara dilanda perang

Cakupan

sunting
 
Di Zambia, 43% anak perempuan dan perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun pernah mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual.[31]

Korban pemerkosaan atau kekerasan seksual berasal dari berbagai gender, usia, orientasi seksual, etnis, lokasi geografis, budaya, dan derajat gangguan atau difabilitas. Insiden pemerkosaan diklasifikasikan ke dalam sejumlah kategori, dan mereka dapat menggambarkan hubungan pelaku bagi korban dan konteks kekerasan seksual. Cakupan pemerkosaan termasuk pemerkosaan saat pacaran, pemerkosaan berkelompok, pemerkosaan dalam pernikahan, pemerkosaan inses, pelecehan seksual anak, pemerkosaan penjara, perkosaan kenalan, pemerkosaan perang dan pemerkosaan statutori. Aktivitas seksual paksa dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama dengan sedikit atau tidak adanya cedera fisik.[32][33][34]

Persetujuan (konsen)

sunting

Kurangnya konsen adalah kunci dari definisi pemerkosaan.[35] Konsen merupakan afirmatif "persetujuan yang diinformasikan, menunjukkan persetujuan yang diberikan secara bebas" untuk aktivitas seksual.[24] Konsen tidak harus diungkapkan secara verbal, dan mungkin tersirat secara terbuka dari tindakan, tetapi tidak adanya keberatan bukan berarti merupakan konsen.[36] Kurangnya konsen dapat diakibatkan oleh pemaksaan paksa oleh pelaku atau ketidakmampuan untuk memberikan persetujuan dari pihak korban (seperti orang yang sedang tidur, mabuk atau gangguan mental lainnya).[37] Penentuan umur dibawah batas konsen merupakan kewenangan bedasarkan hukum. Hubungan seksual dengan seseorang di dengan umur dibawah batas konsen disebut sebagai pemerkosaan statutori.[38] Di India, seks konsensual yang diberikan dengan janji palsu pernikahan merupakan pemerkosaan.[39]

Paksaan adalah situasi ketika orang tersebut diancam dengan kekuatan atau kekerasan dan dapat mengakibatkan tidak adanya keberatan terhadap aktivitas seksual. Hal ini dapat menimbulkan konsen yang tidak pantas.[37] Paksaan dapat berupa kekuatan atau kekerasan aktual atau ancaman terhadap korban atau seseorang yang dekat dengan korban. Bahkan pemerasan dapat merupakan paksaan. Penyalahgunaan kekuasaan dapat berupa paksaan. Misalnya, di Filipina, seorang pria melakukan pemerkosaan jika dia melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita "dengan cara akal bulus yang menipu atau penyalahgunaan wewenang yang parah".[40] Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda dalam putusannya yang bersejarah pada tahun 1998 menggunakan definisi pemerkosaan yang tidak menggunakan kata 'konsen': "serbuan fisik yang bersifat seksual yang dilakukan pada seseorang dalam keadaan yang memaksa."[41]

Pemerkosaan dalam pernikahan, atau pemerkosaan terhadap pasangan merupakan seks non-konsensual di mana pelaku adalah pasangan korban. Pemerkosaan dalam pernikahan merupakan bentuk pemerkosaan pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Setelah diterima secara luas atau diabaikan oleh hukum, pemerkosaan dalam pernikahan sekarang dikecam oleh konvensi internasional dan pemerkosaan tersebut semakin berubah menjadi kegiatan kriminal. Namun, di banyak negara, pemerkosaan dalam pernikahan tetap legal atau menjadi ilegal tetapi ditoleransi secara luas dan diterima sebagai hak prerogatif suami. Pada tahun 2006, studi mendalam yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal PBB tentang semua bentuk kekerasan terhadap perempuan menyatakan bahwa (hal 113): "Perkosaan dalam perkawinan dapat dituntut di setidaknya di 104 negara bagian. Dari jumlah tersebut, 32 telah menjadikan perkosaan dalam pernikahan sebagai tindak pidana khusus, sementara 74 sisanya tidak mengecualikan pemerkosaan dalam pernikahan dari ketentuan pemerkosaan umum. Pemerkosaan dalam perkawinan bukan merupakan pelanggaran yang dapat dituntut di setidaknya 53 Negara Bagian. Empat Negara mengkriminalkan perkosaan dalam perkawinan hanya ketika pasangan berpisah secara hukum. Empat Negara sedang mempertimbangkan undang-undang yang mengizinkan pemerkosaan dalam pernikahan untuk dituntut."[42] Sejak tahun 2006, beberapa negara bagian lain telah tidak memperbolehkan pemerkosaan dalam pernikahan (misalnya Thailand pada tahun 2007[43]).

Di Amerika Serikat, mengkriminalkan pemerkosaan dalam pernikahan dimulai pada pertengahan 1970-an, dan North Carolina pada tahun 1993 menjadi negara bagian terakhir yang membuat pemerkosaan dalam pernikahan menjadi tindakan yang illegal. Di banyak negara, tidak jelas apakah perkosaan dalam perkawinan dapat dituntut atau tidak dituntut di bawah undang-undang perkosaan yang umumnya.[44] Dengan tidak adanya undang-undang pemerkosaan dalam perkawinan, dimungkinkan untuk menuntut tindakan hubungan seksual paksa di dalam perkawinan dengan menuntut melalui penggunaan tindak pidana lain (seperti tindak pidana penyerangan), tindakan kekerasan atau ancaman pidana yang digunakan untuk memperoleh kepatuhan.[45]

Konsen mungkin diperumit oleh hukum, bahasa, konteks, budaya dan orientasi seksual.[46] Penelitian telah menunjukkan bahwa pria secara konsisten menganggap aksi wanita lebih seksual daripada yang mereka maksudkan. Selain itu, kata 'tidak' untuk seks dapat diartikan sebagai 'terus mencoba', atau bahkan 'ya' oleh pelaku.[47] Beberapa orang mungkin percaya bahwa ketika perasan luka tidak terlihat, wanita itu pasti telah menyetujuinya. Jika seorang pria meminta seks dari pria lain, yang mengejar dianggap macho.[46] Sehingga kata 'tidak' menjadi sulit untuk diterjemahkan oleh pelaku pemerkosaan.

WHO menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, adalah:[48]

Tidak ada satu aspek pun yang menjelaskan motivasi pemerkosaan; motif yang mendasari pemerkosa bisa beragam. Beberapa faktor telah diusulkan: kemarahan,[49] kekuasaan,[50] penyimpangan sadisme seksual, gratifikasi seksual, atau kecenderungan evolusioner.[51][52] Namun, beberapa faktor memiliki bukti kausal yang signifikan yang mendukungnya. Psikolog klinis Amerika David Lisak, penulis bersama di studi tahun 2002 tentang pemerkosa yang tidak terdeteksi,[53] mengatakan bahwa dibandingkan dengan non-pemerkosa, baik pemerkosa yang tidak terdeteksi maupun yang dihukum secara mencolok lebih marah pada wanita dan lebih termotivasi oleh keinginan untuk mendominasi dan mengendalikan mereka, lebih impulsif, pemalu, antisosial, hipermaskulin, dan kurang empatik.[54]

Agresi seksual sering dianggap sebagai ciri identitas maskulin kejantanan di beberapa kelompok pria dan secara signifikan berkorelasi dengan keinginan untuk dihargai lebih tinggi di antara teman sebaya pria.[55] Perilaku agresif seksual di antara laki-laki muda telah berkorelasi dengan geng atau keanggotaan kelompok serta memiliki rekan-rekan nakal lainnya.[56][57]

Pemerkosaan berkelompok sering dianggap oleh pelaku laki-laki sebagai metode yang dibenarkan untuk mengecilkan hati atau menghukum apa yang mereka anggap sebagai perilaku tidak bermoral di kalangan perempuan, misalnya mengenakan rok pendek atau mengunjungi bar. Di beberapa daerah di Papua Nugini, perempuan dapat dihukum dengan pemerkosaan massal, biasanya dengan izin orang yang dituakan.[58][butuh pemutakhiran]

Pemerkosaan berkelompok dan pemerkosaan massal sering digunakan sebagai sarana ikatan laki-laki. Hal ini terlihat jelas di antara para tentara, karena pemerkosaan beramai-ramai menyumbang sekitar tiga perempat atau lebih dari pemerkosaan perang, sementara pemerkosaan beramai-ramai menyumbang kurang dari seperempat perkosaan selama masa damai. Komandan terkadang mendorong rekrutan untuk memperkosa, karena melakukan pemerkosaan bisa jadi tabu dan ilegal sehingga dapat membangun loyalitas di antara mereka yang terlibat. Kelompok pemberontak yang melakukan perekrutan paksa lebih terlibat dalam pemerkosaan jika dibandingkan dengan perekrutan sukarelawan, karena diyakini bahwa perekrutan merupakan aspek untuk memulai loyalitas yang lebih rendah kepada kelompok tersebut.[59] Di Papua Nugini, geng perkotaan seperti geng Raskol sering meminta pemerkosaan terhadap perempuan untuk alasan perpeloncoaan.[60]

Pelaku perdagangan seks dan perdagangan seks dunia maya menyediakan atau melakukan pemerkosaan[61][62][63] untuk keuntungan finansial[64] dan atau gratifikasi seksual.[65] Pornografi pemerkosaan, termasuk pornografi anak, dibuat untuk demi kepentingan profit dan alasan lainnya.[66] Terdapat kasus pelecehan seksual anak dan video pemerkosaan anak di Pornhub.[67][68]

Satu metrik yang digunakan oleh WHO untuk menentukan tingkat keparahan global dari aktivitas seksual paksaan adalah pertanyaan "Apakah Anda pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual di luar keinginan Anda?" Mengajukan pertanyaan tersebut menghasilkan tingkat respons positif yang lebih tinggi daripada yang ditanyakan, apakah mereka pernah dilecehkan atau diperkosa.[69]

Laporan WHO menjelaskan konsekuensi dari pelecehan seksual:

Emosional dan psikologis

sunting

Seringkali, korban mungkin tidak menyadari bahwa apa yang terjadi pada mereka merupakan pemerkosaan. Beberapa mungkin tetap dalam penyangkalan selama bertahun-tahun sesudahnya.[70][71] Kebingungan tentang apakah pengalaman mereka merupakan pemerkosaan adalah hal yang khas, terutama bagi korban pemerkosaan yang dipaksakan secara psikologis. Perempuan mungkin tidak mengidentifikasi pembohongan yang mereka anggap sebagai pemerkosaan karena berbagai alasan seperti perasaan aib, malu, definisi hukum yang tidak seragam, keengganan untuk mendefinisikan teman/pasangan sebagai pemerkosa, atau karena mereka telah menginternalisasi sikap-sikap yang malah menyalahkan korban.[71] Publik sering menganggap perbuatan tersebut sebagai 'berlawanan dengan intuisi' dan, oleh karena itu, menjadi bukti seorang wanita yang tidak dapat dipercaya.[70]

Selama penyerangan, seseorang akan merespon dengan melawan, lari, membeku, ketulusan yang terpaksa, atau tergeletak.[72] Korban mungkin bereaksi dengan cara yang tidak mereka duga. Setelah pemerkosaan, mereka mungkin merasa tidak nyaman/frustrasi dan mereka tidak memahami reaksi/keadaan mereka.[73][74] Sebagian besar korban menanggapi dengan 'membeku' atau menjadi patuh dan kooperatif selama pemerkosaan terjadi. Hal tersebut respon kelangsungan hidup yang umum terjadi semua mamalia..[75] Hal ini dapat menyebabkan kebingungan bagi orang lain dan orang yang diserang. Asumsinya adalah bahwa seseorang yang diperkosa akan meminta bantuan atau berontak. Berontak akan mengakibatkan pakaian robek atau cedera.[73]

Disosiasi dapat terjadi selama penyerangan.[73] Memori mungkin terfragmentasi terutama segera setelah pemerkosaan. Ingatan tersebut terkonsolidasi bersamaan dengan waktu dan tidur.[73] Seorang pria atau anak laki-laki yang diperkosa mungkin terangsang dan bahkan ejakulasi selama pengalaman pemerkosaan. Seorang wanita atau gadis mungkin orgasme selama serangan seksual. Hal tersebut yang mungkin menjadi sumber rasa malu dan kebingungan bagi mereka yang diserang bersama dengan orang-orang yang berada sekitar mereka.[76][77][78]

Gejala trauma mungkin tidak muncul sampai bertahun-tahun setelah serangan seksual terjadi. Segera setelah pemerkosaan, orang yang selamat dapat bereaksi secara lahiriah dalam berbagai cara, dari ekspresif hingga tertutup; emosi umum termasuk kesedihan, kecemasan, malu, jijik, tidak berdaya, dan rasa bersalah.[73] Reaksi penyangkalan tidak jarang terjadi.[73]

Dalam minggu-minggu setelah pemerkosaan, penyintas dapat mengalami gejala sindrom stres pasca-trauma dan dapat mengalami beragam keluhan psikosomatik.[73][79]:310 Gejala sindrom stres pasca-trauma dapat mengalami kembali ingatan terkait pemerkosaan, menghindari hal-hal yang terkait dengan pemerkosaan, mati rasa, dan peningkatan kecemasan dan mengalami respon kejut.[73] Kemungkinan gejala parah yang berkelanjutan akan lebih tinggi jika pemerkosa mengurung atau menahan orang tersebut, atau jika orang yang diperkosa percaya bahwa pemerkosa akan membunuh mereka, atau orang yang diperkosa masih sangat muda atau sangat tua, atau jika pemerkosa adalah seseorang yang mereka kenal.[73] Kemungkinan gejala parah yang berkelanjutan juga lebih tinggi jika orang-orang di sekitar penyintas mengabaikan (atau tidak mengetahui) pemerkosaan atau menyalahkan penyintas pemerkosaan.[73]

Kebanyakan orang pulih dari pemerkosaan dalam tiga sampai empat bulan, tetapi banyak yang mengalami sindrom stres pasca-trauma terus-menerus yang dapat bermanifestasi dalam kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, lekas marah, marah, mengalami kilas balik, atau mimpi buruk.[73] Selain itu, korban perkosaan mungkin memiliki gangguan kecemasan umum dalam jangka panjang, dapat mengalami satu atau lebih fobia spesifik, gangguan depresi mayor, dan mungkin mengalami kesulitan untuk melanjutkan kehidupan sosial mereka dan kesulitan dengan fungsi seksual.[73] Orang yang telah diperkosa memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri.[76][80]

Pria mengalami efek psikologis yang serupa dalam pemerkosaan, tetapi mereka cenderung tidak mencari konseling.[76]

Efek lain dari pemerkosaan dan penyerangan seksual adalah stres yang ditimbulkan pada mereka yang mempelajari pemerkosaan atau memberi nasihat kepada para penyintas. Ini disebut sebagai traumatisasi perwakilan.[81]

Ada atau tidak adanya cedera fisik dapat digunakan untuk menentukan apakah pemerkosaan telah terjadi.[82] Mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual namun tidak mengalami trauma fisik biasanya cenderung tidak melapor ke pihak berwenang atau mencari perawatan kesehatan.[83]

Sementara pemerkosaan penetrasi umumnya tidak melibatkan penggunaan kondom, namun dalam beberapa kasus kondom digunakan. Penggunaan kondom secara signifikan mengurangi kemungkinan kehamilan dan penularan penyakit, baik kepada korban maupun pemerkosa. Alasan penggunaan kondom antara lain: menghindari tertular infeksi atau penyakit (khususnya HIV), terutama dalam kasus pemerkosaan terhadap pekerja seks atau pemerkosaan berkelompok (untuk menghindari tertular infeksi atau penyakit dari sesama pemerkosa); menghilangkan bukti, membuat penuntutan lebih sulit (dan memberikan rasa kekebalan); memberikan kesan persetujuan (dalam kasus pemerkosaan kenalan); dan cemas akan perencanaan dan penggunaan kondom sebagai penyangga tambahan. Kepedulian terhadap korban dalam hal menggunakan kondom umumnya tidak dianggap sebagai faktor memperingan.[84]

Infeksi seksual menular

sunting

Mereka yang telah diperkosa memiliki infeksi saluran reproduksi yang relatif lebih banyak daripada mereka yang tidak diperkosa.[85] HIV dapat ditularkan melalui pemerkosaan. Menderita AIDS dari pemerkosaan menempatkan seseorang pada risiko menderita masalah psikologis. Menderita HIV melalui pemerkosaan dapat mendorong tingkah laku yang menimbulkan risiko narkoba suntik.[86] Mengalami infeksi menular seksual meningkatkan risiko tertular HIV.[85] Keyakinan bahwa berhubungan seks dengan perawan dapat menyembuhkan HIV/AIDS ada di beberapa bagian Afrika. Ini mengarah pada pemerkosaan remaja wanita dan perempuan.[87][88][89][90] Klaim bahwa mitos tekait yang mendorong infeksi HIV atau pelecehan seksual anak tersebut di Afrika Selatan dibantah oleh peneliti Rachel Jewkes dan Helen Epstein[91]

Menyalahkan korban, viktimisasi sekunder dan perlakuan buruk lainnya

sunting
 
Dalam penggambaran romawi tentang pertarungan antara Nymph dan Satyr (Naples National Archaeological Museum), Nimfa ditunjukkan dengan penuh semangat melawan rayuan seksual Satyr, lalu meninjunya di mulut - contoh dari ketahanan wanita yang ideal, akan tetapi kurang ditafsirkan sebagai keberadaan persetujuan/konsen.

Perlakuan masyarakat terhadap korban berpotensi memperburuk trauma mereka.[71] Orang yang telah diperkosa atau diserang secara seksual terkadang disalahkan dan dianggap bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.[18] Ini mengacu pada sesat pikir 'kesalahan dunia yang adil' dan penerimaan akan mitos pemerkosaan bahwa perilaku korban (seperti mabuk, menggoda atau mengenakan pakaian yang merangsang secara seksual) dapat mendorong pemerkosaan.[92][93] Dalam banyak kasus, korban dikatakan "memintanya" karena tidak melawan serangan mereka atau menyalahi ekspektasi gender perempuan.[93][94] Sebuah survei global tentang sikap terhadap kekerasan seksual oleh Global Forum for Health Research menunjukkan bahwa konsep menyalahkan korban setidaknya diterima sebagian di banyak negara. Wanita yang diperkosa terkadang dianggap berperilaku tidak pantas. Biasanya, hal tersebut merupakan budaya di mana ada kesenjangan sosial yang signifikan antara kebebasan dan status yang diberikan kepada pria dan wanita.[95]

“Korban pemerkosaan lebih dipersalahkan ketika mereka melawan serangan di kemudian hari dalam perkosaan daripada sebelumnya [ketika pemerkosaan] (Kopper, 1996), yang tampaknya menunjukkan stereotip bahwa para wanita tersebut turut terlibat dalam token resistance (Malamuth & Brown, 1994; Muehlenhard & Rogers, 1998) atau perbimbingan pria karena mereka telah melalui pengalaman seksual yang sudah sejauh itu. Akhirnya, korban pemerkosaan lebih disalahkan ketika mereka diperkosa oleh seorang kenalan atau kencan daripada oleh orang asing (mis., Bell, Kuriloff, & Lottes , 1994; Bridges, 1991; Bridges & McGr ail, 1989; Check & Malamuth, 1983; Kanekar, Shaherwalla, Franco, Kunju, & Pinto, 1991; L'Armand & Pepitone, 1982; Tetreault & Barnett, 1987), [maka] yang terlihat memunculkan stereotip bahwa korban benar-benar ingin berhubungan seks karena mereka mengenal penyerangnya dan bahkan mungkin berkencan dengannya. Pesan yang mendasari penelitian ini terlihat bahwa ketika elemen stereotip tertentu dari pemerkosaan merupakan suatu hal yang ada, korban pemerkosaan cenderung disalahkan."[96]

Pengulas menyatakan: "Individu dapat mendukung mitos pemerkosaan dan pada saat yang sama mengenali efek negatif dari pemerkosaan."[96] Sejumlah stereotip peran gender dapat berperan dalam rasionalisasikan pemerkosaan. Hal tersebut termasuk gagasan bahwa keperkasaan disediakan untuk pria sedangkan wanita tertakdirkan untuk berhubungan seks dan diobjekkan, bahwa wanita ingin seks paksa dan didorong,[97] dan bahwa impuls dan perilaku seksual pria tidak terkendali dan harus dipenuhi.[98]

Bagi perempuan, sikap menyalahkan korban berkorelasi dengan rasa takut. Banyak korban pemerkosaan menyalahkan diri mereka sendiri. Para juri (jurors) wanita ketika melihat wanita berdiri menjadi saksi terhadap pemerkosaan yang mereka alami dan para juri wanita percaya bahwa wanita tersebut terlibat melakukan sesuatu untuk menggoda terdakwa.[99] Budaya Cina, sikap menyalahkan korban memiliki keterkaitan erat dengan kejahatan pemerkosaan, karena perempuan diharapkan untuk melawan perkosaan menggunakan kekuatan fisik. Dengan demikian, jika terjadi pemerkosaan, itu dianggap setidaknya sebagian kesalahan wanita itu, dan moralitasnya dipertanyakan.[100]

Pembunuhan karena rasa malu dan pernikahan paksa

sunting

Dalam banyak budaya, mereka yang diperkosa memiliki risiko tinggi menderita kekerasan atau ancaman kekerasan tambahan setelah pemerkosaan. Hal tersebut dapat dilakukan oleh pemerkosa, teman, atau kerabat pemerkosa. Hal tersebut dengan maksud bisa untuk mencegah korban melaporkan pemerkosaan. Alasan lain untuk pemberian ancaman tersebut bagi pemerkosa adalah untuk menghukum mereka karena melaporkannya, atau memaksa mereka untuk menarik pengaduan. Kerabat korban yang telah diperkosa mungkin ingin mencegah dengan alasan akan "membawa rasa malu" kepada keluarga dan juga dapat mengancam korban. Hal tersebut terutama terjadi dalam budaya di mana keperawanan wanita sangat dihargai dan dianggap wajib sebelum menikah; Dalam kasus-kasus ekstrem, korban pemerkosaan tewas dalam pembunuhan karena rasa malu.[11][12][13][101]

Perawatan

sunting
 
Cedera non-genital pada wanita yang diserang secara seksual

Di Amerika Serikat, hak korban termasuk hak untuk meminta advokat berada disisi korban untuk memimpin setiap langkah pemeriksaan medis/hukum dalam rangka menjamin kepekaan terhadap korban, memberikan dukungan emosional, dan meminimalkan risiko traumatisasi ulang. Korban harus diinformasikan tentang hal tersebut dengan penegak hukum atau penyedia layanan medis.[102][103] Ruang gawat darurat dari banyak rumah sakit memperkerjakan perawat kekerasan seksual / penguji forensik (SAN / FEs) dengan pelatihan khusus untuk merawat mereka yang telah mengalami pemerkosaan atau kekerasan seksual. Mereka dapat melakukan ujian medis-hukum yang terfokus. Jika dokter terlatih seperti itu tidak tersedia, departemen darurat memiliki protokol penyerangan seksual yang telah ditetapkan untuk melakukan pengobatan dan pengumpulan bukti.[25][104] Staf juga dilatih untuk menjelaskan pemeriksaan secara rinci, dokumentasi dan hak-hak yang terkait dengan persyaratan untuk persetujuan informasi. Perhatian ditempatkan untuk dapat melakukan pemeriksaan pada kecepatan yang sesuai untuk orang tersebut, keluarga mereka, usia mereka, dan tingkat pemahaman mereka. Kerahasiaan pribadi (privasi) direkomendasikan dalam rangka mencegah tingkah laku menyakiti diri.[105]

Cedera non-genital

sunting

Asesmen Jasmani

sunting

Banyak pemerkosaan tidak mengakibatkan cedera fisik yang serius.[106] Tanggapan medis pertama untuk serangan seksual adalah asesmen lengkap. Asesmen umum ini akan memprioritaskan perawatan cedera oleh staf ruang gawat darurat. Personel medis yang terlibat serta dilatih untuk mengasesmen dan merawat mereka yang diserang atau mengikuti protokol yang ditetapkan untuk memastikan privasi dan praktik perawatan terbaik. Persetujuan informasi selalu diperlukan sebelum perawatan kecuali orang yang diserang tidak sadarkan diri, mabuk atau tidak memiliki kapasitas mental untuk memberikan persetujuan.[25][104] Prioritas pengaturan pemeriksaan fisik bedasarkan perawatan keadaan darurat serius yang mengancam jiwa kemudian penilaian umum dan lengkap.[107] Beberapa cedera fisik mudah terlihat seperti, gigitan,[108] gigi patah, bengkak, memar, cabikan dan goresan. Dalam kasus yang lebih kejam, korban mungkin perlu dirawat dengan luka tembak atau luka tusuk.[25] Hilangnya kesadaran merupakan relevan bedasarkan rekam historis medis.[104] Jika ditemukan lecet, imunisasi tetanus ditawarkan jika 5 tahun telah berlalu sejak imunisasi terakhir.[109]

Tes diagnostik

sunting

Setelah penilaian umum dan pengobatan cedera serius, evaluasi lebih lanjut dapat mencakup penggunaan tes diagnostik tambahan seperti rontgen, citra CT atau MRI, dan pemeriksaan darah. Adanya infeksi ditentukan dari pengambilan sampel cairan tubuh dari mulut, tenggorokan, vagina, perineum, dan anus.[104]

Pengambilan sampel forensik

sunting

Korban berhak menolak pengumpulan barang bukti. Advokat korban memastikan keinginan korban dihormati oleh staf rumah sakit. Setelah cedera fisik ditangani dan perawatan dimulai, maka pemeriksaan forensik dilanjutkan dengan pengumpulan bukti yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan cedera.[25] Pengumpulan bukti semacam itu hanya dilakukan dengan persetujuan penuh dari pasien atau pengasuh pasien. Foto-foto cedera dapat diminta oleh staf.[104] Pada titik dalam perawatan ini , jika advokat korban tidak diminta, staf dukungan sosial yang berpengalaman tersedia untuk pasien dan keluarga.[110]

Jika pasien atau pengasuh (biasanya orang tua) setuju, tim medis menggunakan pengambilan sampel dan pengujian terstandarisasi yang biasanya disebut sebagai kit bukti forensik atau "kit pemerkosaan".[104] Pasien diberi tahu bahwa mengajukan untuk penggunaan kit pemerkosaan tidak mewajibkan mereka untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap pelaku. Pasien yang hilang kepercayaan dirinya untuk mandi dalam rangka mendapatkan sampel dari rambut mereka. Bukti yang dikumpulkan dalam 72 jam terakhir berkemungkinan lebih valid.[104] Semakin cepat sampel diperoleh setelah penyerangan, semakin besar kemungkinan bukti tertampilkan dalam sampel dan memberikan hasil yang valid. Setelah cedera pasien telah ditangani dan pasien stabil, pengambilan sampel akan dimulai. Staf akan mendorong kehadiran konselor penyerangan pemerkosaan / seksual untuk memberikan advokasi dan jaminan.[110]

Selama pemeriksaan medis, bukti sekresi tubuh diasesmen. Air mani kering yang berada di pakaian dan kulit dapat dideteksi dengan lampu fluorescent.[104][111] Catatan akan dilampirkan ke dalam daftar dimana air mani ditemukan. Spesimen tersebut ditandai, ditempatkan di kantong kertas,[112] dan ditandai untuk analisis kedepannya untuk pengujian keberadaan antigen spesifik vesikel seminalis.[104][105]

Meskipun secara teknis, staf medis bukan bagian dari sistem hukum, hanya tenaga medis terlatih yang dapat memperoleh bukti yang dapat diterima selama persidangan. Prosedur telah distandarisasi. Bukti dikumpulkan, ditandatangani, dan dikunci di tempat yang aman untuk menjamin bahwa prosedur bukti hukum dipertahankan. Prosedur pengumpulan dan penjagaan bukti dipantau dengan hati-hati, hal tersebut dikenal sebagai rantai bukti. Mempertahankan rantai bukti dari pemeriksaan medis, pengujian, dan asal usul pengumpulan sampel jaringan hingga sampai ke pengadilan memungkinkan hasil pengambilan sampel untuk diterima sebagai bukti.[110] Fotografi sering digunakan untuk dokumentasi.[113]

Setelah pemeriksaan

sunting

Beberapa efek fisik pemerkosaan tidak segera terlihat. Pemeriksaan lanjutan juga dilakukan untuk mengasesmen pasien sakit tegang kepala, kelelahan, gangguan pola tidur, iritabilitas gastrointestinal, nyeri panggul kronis, nyeri haid atau ketidakteraturan, penyakit radang pelvis, disfungsi seksual, tekanan pramenstruasi, fibromyalgia, keputihan, gatal pada vania dan nyeri vagina umum.[107]

The World Health Organization merekomendasikan[114][115][116] untuk menawarkan akses cepat ke obat kontrasepsi darurat yang secara signifikan dapat mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan jika digunakan dalam waktu 5 hari sejak pemerkosaan;[117] Diperkirakan sekitar 5% dari perkosaan laki-laki pada wanita menghasilkan kehamilan.[109] Ketika pemerkosaan menghasilkan kehamilan, pil aborsi dapat dengan aman dan efektif digunakan untuk mengakhiri kehamilan hingga 10 minggu dari periode menstruasi terakhir.[118] Di Amerika Serikat, dana federal tersedia untuk menutupi biaya layanan aborsi kehamilan yang terjadi sebagai akibat dari pemerkosaan, bahkan dana state yang tidak menawarkan pendanaan publik untuk layanan aborsi.

Cedera Genital

sunting

Pemeriksaan pelvis internal tidak direkomendasikan untuk gadis-gadis yang belum matang atau belum pubertas secara seksual karena probabilitas cedera pelvis internal tidak ada pada kelompok usia tersebut. Namun, pemeriksaan internal dapat direkomendasikan jika debit berdarah signifikan teramati.[104] Pemeriksaan pelvis lengkap untuk pemerkosaan (anal atau vagina) dilakukan bedasarkan panduan. Pemeriksaan oral dilakukan jika ada cedera pada mulut, gigi, gusi, atau faring. Meskipun pasien mungkin tidak memiliki keluhan tentang tanda-tanda nyeri genital sebagai tanda trauma namun masih dapat diasesmen. Sebelum pemeriksaan tubuh dan genital lengkap, pasien diminta untuk membuka pakaian, berdiri di atas layar putih untuk mengumpulkan serpihan hal-hal yang mungkin ada di dalam pakaian. Pakaian dan helaian dikantongkan dengan benar dan berlabel bersama dengan sampel lain yang dapat dihapus dari tubuh atau pakaian pasien. Sampel serat, lumpur, rambut, atau daun dikumpulkan jika ada. Sampel cairan dikumpulkan untuk menentukan keberadaan liur/saliva dan air mani pelaku yang masih ada pada saat pasien, vagina atau rektum. Kadang-kadang korban telah mencakar pelaku ketika membela diri dan dari kepingan kuku dapat dikumpulkan sampel.[110]

Cedera pada area genital dapat berupa pembengkakan, laserasi, dan memar.[110][119] Cedera genital yang umum adalah cedera anal, abrasi labial, memar hymenal, dan robekan pada fourchette dan fossa posterior.[110] Memar, robekan, lecet, peradangan, dan laserasi dapat terlihat. Jika benda asing digunakan selama penyerangan, visualisasi x-ray akan mengidentifikasi fragmen yang tertinggal.[120] Cedera genital lebih sering terjadi pada wanita pascamenopause dan gadis praremaja. Cedera internal pada serviks dan vagina dapat divisualisasikan menggunakan kolposkopi. Menggunakan kolposkopi telah meningkatkan deteksi luka (trauma) di internal dari enam persen menjadi lima puluh tiga persen. Cedera genital pada masa anak-anak yang telah diperkosa atau diserang secara seksual berbeda karena pelecehan tersebut mungkin sedang berlangsung atau mungkin telah terjadi di masa lalu setelah cedera sembuh. Bekas luka merupakan salah satu tanda pelecehan seksual pada anak.[110]

Beberapa penelitian telah mengeksplorasi hubungan antara warna kulit dan cedera genital di antara korban pemerkosaan. Banyak penelitian menemukan perbedaan dalam cedera terkait pemerkosaan berdasarkan ras, dengan lebih banyak cedera dilaporkan terjadi pada wanita dan pria kulit putih daripada wanita dan pria kulit hitam. Hal tersebut mungkin dapat terjadi karena warna kulit gelap dari beberapa korban mengaburkan memar. Pemeriksa yang memperhatikan korban dengan kulit yang lebih gelap, terutama paha, labia mayora, posterior fourchette, dan fossa navicularis, dapat membantu mengatasi hal tersebut.[121]

Infeksi

sunting

Adanya infeksi menular seksual tidak dapat dipastikan setelah pemerkosaan karena tidak dapat dideteksi sampai 72 jam setelahnya.[122] Orang yang diperkosa mungkin sudah memiliki infeksi menular seksual dan jika didiagnosis, hal tersebut diperlukan.[109][113] Pengobatan antibiotik profilaksis untuk vaginitis, gonore, trikomoniasis dan klamidia dapat dilakukan. Infeksi klamidia dan gonokokal pada wanita menjadi perhatian khusus karena kemungkinan infeksi asenden. Imunisasi terhadap hepatitis B sering menjadi bahan pertimbangan.[109][122][105] Setelah pengobatan profilaksis dimulai, pengujian lebih lanjut dilakukan untuk menentukan pengobatan lain apa yang mungkin diperlukan untuk infeksi lain yang ditularkan selama serangan.[109] Diantaranyaː

Pengobatan mungkin termasuk pemberian zidovudine/lamivudine, tenofovir/emtricitabine, atau ritonavir/lopinavir. Informasi mengenai pilihan pengobatan lain disediakan oleh CDC.

Penularan HIV sering menjadi perhatian utama pasien.[113] Pengobatan profilaksis untuk HIV tidak harus diberikan. Pengobatan rutin untuk HIV setelah pemerkosaan atau penyerangan seksual kontroversial karena rendahnya risiko infeksi setelah satu serangan seksual. Penularan HIV setelah satu kali melakukan hubungan seks anal penetratif diperkirakan 0,5 sampai 3,2 persen. Penularan HIV setelah satu kali eksposur hubungan seksual penetratif adalah 0,05 sampai 0,15 persen. HIV juga dapat ditularkan melalui rute oral tetapi hal tersebut dianggap jarang terjadi.[110][123] Rekomendasi lain adalah agar pasien dirawat secara profilaksis HIV jika pelakunya diketahui terinfeksi.[108]

Pengujian pada saat pemeriksaan awal biasanya tidak memiliki nilai forensik jika pasien aktif secara seksual dan memiliki IMS (Infeksi menular seksual) karena bisa jadi sudah terjangkit sebelum penyerangan. Undang-undang pelindung pemerkosaan melindungi orang yang diperkosa dan yang memiliki hasil tes positif. Undang-undang tersebut mencegah penggunaan bukti semacam itu terhadap seseorang yang diperkosa. Seseorang yang diperkosa mungkin khawatir bahwa infeksi sebelumnya mungkin menunjukkan pergaulan bebas. Namun, mungkin ada situasi di mana pengujian memiliki tujuan hukum, seperti dalam kasus di mana ancaman penularan atau penularan IMS yang sebenarnya merupakan bagian dari kejahatan. Pada pasien yang tidak aktif secara seksual, tes awal negatif yang diikuti oleh IMS berikutnya dapat digunakan sebagai bukti, jika pelaku juga memiliki IMS.[113]

Kegagalan pengobatan dimungkinkan karena munculnya strain patogen yang resisten terhadap antibiotik.[124]

Emosional dan psikiatri

sunting

Kepentingan psikiatris dan emosional dapat terlihat segera setelah perkosaan dan tampaknya perlu untuk mengobatinya sejak awal dalam evaluasi dan pengobatan.[113] Gangguan emosional dan kejiwaan lainnya yang dapat diobati mungkin tidak menjadi jelas sampai beberapa waktu setelah pemerkosaan. Gangguan emosial dan kejiwaan tersebut bisa berupa gangguan makan, kecemasan, ketakutan, pikiran mengganggu, takut keramaian, penghindaran, kemarahan, depresi, penghinaan, hiperarousal gangguan stres pascatrauma (PTSD), gangguan seksual (termasuk ketakutan terlibat dalam aktivitas seksual), gangguan mood, ide bunuh diri, gangguan kepribadian ambang, mimpi buruk, ketakutan akan situasi yang mengingatkan pasien akan pemerkosaan dan ketakutan sendirian,[107] agitasi psikomotor, mati rasa (hypoesthesia) dan menjauhi emosional.[110] Korban dapat menerima bantuan dengan menggunakan hotline telepon, konseling, atau tempat yang memberikan naungan. Pemulihan dari kekerasan seksual adalah konsep yang rumit dan kontroversial,[125] tetapi kelompok pendukung, yang biasanya diakses melalui organisasi, tersedia untuk membantu pemulihan. Konseling profesional dan perawatan berkelanjutan oleh penyedia layanan kesehatan terlatih merupakan hal sering dicari oleh korban.[126]

Beberapa dokter secara khusus dilatih dalam merawat mereka yang pernah mengalami pemerkosaan dan penyerangan/pelecehan seksual. Perawatan bisa panjang dan menantang baik bagi konselor maupun pasien. Beberapa pilihan perawatan ada dan bervariasi berdasarkan aksesibilitas, biaya, atau ada atau tidaknya pertanggungan asuransi untuk perawatan tersebut. Perawatan juga bervariasi tergantung pada keahlian konselor—beberapa memiliki lebih banyak pengalaman dan atau memiliki spesialisasi dalam perawatan trauma seksual dan pemerkosaan. Agar menjadi paling efektif, rencana perawatan harus dikembangkan berdasarkan perjuangan pasien dan tidak harus berdasarkan pengalaman traumatis. Rencana perawatan yang efektif akan mempertimbangkan hal-hal berikut: tingkat stress saat ini, keterampilan mengatasi, kesehatan fisik, konflik interpersonal, harga diri, masalah keluarga, keterlibatan wali, dan adanya gejala kesehatan mental.[126]

Tingkat keberhasilan perawatan emosional dan psikiatri sering bergantung pada terminologi yang digunakan dalam perawatan, yaitu mendefinisikan ulang peristiwa dan pengalaman. Label yang digunakan seperti korban perkosaan dan penyintas perkosaan untuk menggambarkan identitas baru perempuan yang diperkosa menunjukkan bahwa peristiwa tersebut merupakan pengaruh dominan dan pengendali dalam hidupnya. Hal tersebut dapat mempengaruhi personel mendukung. Dampak dari penggunaan label tersebut perlu diasesmen.[107] Hasil positif dari perawatan emosional dan psikiatri untuk pemerkosaan yaitu dapat berupa peningkatan konsep diri, pengakuan pertumbuhan, dan penerapan gaya koping baru.[107]

Seorang pelaku yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan seringkali diharuskan untuk menerima perawatan. Ada banyak pilihan untuk pengobatan, beberapa lebih berhasil daripada yang lain. Faktor psikologis yang melatarbelakangi terpidana pelaku pemerkosaan untuk melakukan pemerkosaan cukup kompleks namun penanganannya masih bisa efektif. Seorang konselor biasanya akan mengevaluasi gangguan yang saat ini ada pada pelaku. Menyelidiki latar belakang perkembangan pelaku dapat membantu menjelaskan asal mula perilaku kasar yang terjadi. Perlakuan emosional dan psikologis bertujuan untuk mengidentifikasi prediktor residivisme, atau potensi pelaku untuk melakukan pemerkosaan lagi. Dalam beberapa kasus, kelainan neurologis telah diidentifikasi pada pelaku, dan dalam beberapa kasus mereka sendiri mengalami trauma masa lalu. Remaja yang belum matang dan anak-anak dapat menjadi pelaku pemerkosaan, meskipun hal ini jarang terjadi. Dalam hal ini, konseling dan evaluasi yang tepat biasanya dilakukan.[34]

Pengobatan jangka pendek dengan benzodiazepin dapat membantu mengatasi kecemasan (walaupun hati-hati dianjurkan dengan penggunaan obat ini karena orang dapat menjadi kecanduan dan gejala putus obat setelah penggunaan biasa) dan antidepresan dapat membantu untuk gejala gangguan stres pasca trauma, depresi dan serangan panik.[109]

Pencegahan

sunting

Karena kekerasan seksual mempengaruhi semua bagian masyarakat, respons terhadap kekerasan seksual bersifat komprehensif. Responnya dapat dikategorikan sebagai pendekatan individu, respon perawatan kesehatan, upaya berbasis masyarakat, dan tindakan untuk mencegah bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.[127]

Kekerasan seksual dapat dicegah oleh sekolah menengah,[128] kampus,[129][130] dan edukasi tempat kerja.[131] Setidaknya satu program untuk warga persaudaraan pria menghasilkan "perubahan perilaku yang berkelanjutan."[129][132] Berkenaan dengan kekerasan seksual di kampus, hampir dua pertiga mahasiswa melaporkan bahwa mengetahui korban pemerkosaan, dan dalam satu penelitian, lebih dari setengahnya melaporkan mengetahui pelaku kekerasan seksual; satu dari sepuluh melaporkan bahwa mengetahui korban pemerkosaan; dan hampir satu dari empat melaporkan bahwa mengetahui korban pemerkosaan yang difasilitasi alkohol.[133]

Statistik

sunting
 

International Crime on Statistics and Justice oleh Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menemukan bahwa di seluruh dunia, sebagian besar korban pemerkosaan adalah wanita dan sebagian besar pelakunya adalah pria.[134] Perkosaan terhadap perempuan jarang dilaporkan ke polisi dan sejumlah korban pemerkosaan perempuan sangat diremehkan. Afrika Selatan, Oseania, dan Amerika Utara dilaporkan memiliki jumlah pemerkosaan tertinggi.[134]

Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh seseorang yang dikenal korban.[135] Sebaliknya, pemerkosaan yang dilakukan oleh orang asing relatif jarang terjadi. Statistik yang dilaporkan oleh Rape, Abuse & Incest National Network (RAINN) menunjukkan bahwa 7 dari 10 kasus kekerasan seksual melibatkan pelaku yang dikenal korban.[136]

 
UNODC : Perkosaan yang dilaporkan per 100.000 penduduk (2011)

Organisasi berita kemanusiaan IRIN mengklaim bahwa diperkirakan "500.000 perkosaan dilakukan setiap tahun di Afrika Selatan[137] yang pernah disebut sebagai 'ibu kota pemerkosaan dunia'.[138] Negara tersebut memiliki beberapa insiden pelecehan seksual anak tertinggi di dunia dengan lebih dari 67.000 kasus pemerkosaan dan serangan seksual terhadap anak-anak yang dilaporkan pada tahun 2000, dan kelompok kesejahteraan percaya bahwa insiden yang tidak dilaporkan bisa mencapai 10 kali lebih tinggi.[87] Data saat ini menunjukkan bahwa insiden pemerkosaan telah meningkat secara signifikan di India.[139]

Sebagian besar penelitian pemerkosaan dan laporan pemerkosaan terbatas pada bentuk pemerkosaan laki-laki terhadap perempuan. Penelitian tentang pemerkosaan antar-lelaki dan perempuan ke lelaki jarang dilakukan. Kurang dari satu per sepuluh pemerkosaan antar-lelaki dilaporkan. Sebagai sebuah grup, laki-laki yang telah diperkosa oleh kedua jenis kelamin sering mendapatkan sedikit layanan dan dukungan, dan sistem hukum seringkali tidak dilengkapi dengan baik untuk menangani jenis kejahatan ini. Kasus-kasus di mana pelakunya adalah perempuan mungkin tidak jelas dan dapat mengarah pada mengecilkan perempuan sebagai agresor seksual, yang dapat mengaburkan dimensi masalah. Penelitian juga menunjukkan bahwa pria dengan teman sebaya yang agresif secara seksual memiliki peluang lebih tinggi untuk melaporkan hubungan seksual koersif atau paksaan di luar lingkaran kelompok daripada pria tanpa teman sebaya yang agresif secara seksual.[140]

Faktor risiko bervariasi antara etnis yang berbeda di Amerika Serikat. Sekitar sepertiga remaja perempuan Afrika-Amerika melaporkan mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual termasuk pemerkosaan.[141] Satu dari tiga wanita penduduk asli Amerika mungkin mengalami serangan seksual, lebih dari dua kali rata-rata nasional untuk wanita Amerika.[142]

Penuntutan

sunting

Pelaporan

sunting
 
Orang-orang di Bangalore, India menuntut keadilan untuk anak muda yang diperkosa beramai-ramai di Delhi pada Desember 2012.

Pada tahun 2005, kekerasan seksual dan khususnya pemerkosaan, dianggap sebagai kejahatan kekerasan yang paling tidak dilaporkan di Inggris Raya.[143] Jumlah perkosaan yang dilaporkan di Inggris Raya lebih rendah daripada tingkat insiden dan prevalensi.[144] Korban yang tidak bertindak seperti yang diharapkan atau stereotip bahwa korban tidak dapat dipercaya, seperti yang terjadi dalam kasus pemerkosaan seorang wanita di negara bagian Washington pada tahun 2008 dimana korban menarik laporannya setelah menghadapi skeptisisme polisi.[145] Pemerkosanya kemudian menyerang beberapa wanita lagi sebelum pelaku diidentifikasi.[146]

Persyaratan hukum untuk melaporkan pemerkosaan berbeda-beda menurut yurisdiksi—setiap negara bagian Amerika Serikat mungkin memiliki persyaratan yang berbeda.[butuh rujukan] Selandia Baru memiliki batasan yang tidak terlalu ketat.[147]

Di Italia, survei National Statistic Institute tahun 2006 tentang kekerasan seksual terhadap perempuan menemukan bahwa 91,6% perempuan yang menderita kekerasan seksual tidak melaporkannya ke polisi.[148]

Hukuman

sunting

Di Inggris Raya, Pada tahun 1970 ada tingkat hukuman di sekitar 33%, sementara pada tahun 1985 ada tingkat hukuman di sekitar 24% untuk persidangan pemerkosaan di Inggris, pada tahun 2004 tingkat hukuman mencapai 5%.[149] Pada saat itu dalam laporan pemerintah telah menyatakan terkait pendokumentasian peningkatan pengurangan kasus pemerkosaan yang dilaporkan dari tahun ke tahun, dan berjanji untuk mengatasi "kesenjangan keadilan" tersebut.[143] Menurut Amnesty International, Irlandia memiliki tingkat hukuman terendah untuk pemerkosaan, (1%) di antara 21 negara Eropa, pada tahun 2003.[150] Di Amerika Serikat pada 2012, ada perbedaan mencolok dalam tingkat hukumjan di antara perempuan dari berbagai identitas etnis; penangkapan dilakukan hanya dalam 13% dari serangan seksual yang dilaporkan oleh wanita Indian Amerika, dibandingkan dengan 35% untuk wanita kulit hitam dan 32% untuk kulit putih.[142]

Bias yudisial karena mitos pemerkosaan dan prasangka tentang pemerkosaan merupakan masalah penting dalam hukuman pemerkosaan, tetapi intervensi voir dire dapat digunakan untuk mengekang bias tersebut.[151]

Tuduhan palsu

sunting

Tuduhan palsu pemerkosaan adalah pelaporan pemerkosaan di mana tidak ada pemerkosaan yang terjadi. Sulit untuk menilai prevalensi sebenarnya dari tuduhan pemerkosaan palsu, tetapi umumnya disepakati oleh para akademisi bahwa tuduhan palsu pemerkosaan sekitar 2% sampai 10%.[152][153][154] Dalam kebanyakan kasus, tuduhan palsu tidak akan menyebut nama tersangka tertentu.[155]

Delapan persen dari 2.643 kasus kekerasan seksual diklasifikasikan sebagai laporan palsu oleh polisi dalam satu penelitian. Para peneliti mencatat bahwa banyak dari klasifikasi ini didasarkan pada penilaian pribadi dan bias dari penyelidik polisi dan dibuat dengan melanggar kriteria resmi untuk menetapkan tuduhan palsu. Analisis lebih dekat dari kategori tersebut menerapkan aturan penghitungan dari Kantor Induk (Home Office) untuk menetapkan tuduhan palsu, yang membutuhkan "dasar bukti yang kuat" dari tuduhan palsu atau pencabutan "jelas dan kredibel" oleh pengadu, mengurangi persentase laporan palsu menjadi 3%. Para peneliti menyimpulkan bahwa "seseorang tidak dapat menerima semua sebutan polisi begitu saja" dan bahwa "disini [disana] adalah perkiraan yang berlebihan dari skala tuduhan palsu oleh petugas polisi dan jaksa".[156]

Studi skala besar lainnya dilakukan di Australia, dengan 850 perkosaan dilaporkan ke polisi Victoria antara tahun 2000 dan 2003 (Heenan & Murray, 2006). Menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, para peneliti memeriksa 812 kasus dan menemukan 15,1% pengaduan ditarik, 46,4% ditandai "tidak ada tindakan polisi lebih lanjut", dan 2,1% dari total "jelas" diklasifikasikan oleh polisi sebagai laporan palsu. Dalam kasus-kasus ini, korban yang diduga dituduh mengajukan laporan polisi palsu matau diancam dengan tuduhan, dan akhirnya pengaduan tersebut kemudian ditarik.[157]

Di Inggris Raya, Crown Prosecution Service (CPS) menganalisis setiap pengaduan pemerkosaan yang dibuat selama periode 17 bulan dan menemukan bahwa "indikasinya adalah bahwa sangat jarang tersangka dengan sengaja membuat tuduhan palsu pemerkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga yang murni karena kedengkian."[158][159]

Laporan FBI secara konsisten menyebutkan jumlah tuduhan pemerkosaan yang "tidak berdasar" sekitar 8%. Tingkat tidak berdasar lebih tinggi untuk pemerkosaan paksa daripada kejahatan Indeks lainnya.[160] Tingkat rata-rata laporan tidak berdasar untuk kejahatan Indeks adalah 2%. "Tidak berdasar" tidak identik dengan tuduhan palsu.[161] Bruce Gross dari Pemeriksa Forensik menggambarkannya sebagai ketidakberartian serta mengatakan sebuah laporan dapat ditandai sebagai tidak berdasar jika tidak ada bukti fisik atau korban yang diduga tidak mengalami cedera fisik.

Studi lain menunjukkan bahwa tingkat tuduhan palsu di Amerika Serikat mungkin lebih tinggi. Sebuah studi yang dilakukan dalam sembilan tahun oleh Eugene J. Kanin dari Universitas Purdue di daerah metropolitan kecil di Midwestern Amerika Serikat mengklaim bahwa 41% dari tuduhan pemerkosaan adalah palsu.[162] Namun David Lisak, seorang profesor psikologi dan direktur Proyek Penelitian Trauma Seksual Pria di Universitas Massachusetts Boston menyatakan bahwa "Artikel Kanin tahun 1994 tentang tuduhan palsu adalah opini yang provokatif, tetapi ini bukan studi ilmiah tentang masalah pelaporan palsu pemerkosaan". Dia lebih lanjut menyatakan bahwa studi Kanin memiliki metodologi sistematis yang sangat buruk dan tidak memiliki definisi independen dari laporan palsu. Sebaliknya, laporan kanin yang dirahasiakan yang diperoleh dari laporan rahasia kepolisian merupakan palsu, jadi laporan tersebut merupakan laporan palsu juga.[163] Kriteria untuk kepalsuan hanyalah penolakan tes poligraf dari penuduh.[162] Sebuah laporan tahun 1998 oleh National Institute of Justice menemukan bahwa bukti DNA mengecualikan tersangka utama dalam 26% kasus pemerkosaan dan menyimpulkan bahwa hal tersebut "sangat menunjukkan bahwa pembebasan dari tuduhan akibat dari bukti DNA pasca-penangkapan dan pascahukuman memiliki masalah sistemik yang mendasari yang menghasilkan tuduhan dan keyakinan yang salah."[164] Namun, penelitian ini juga mencatat bahwa sampel yang dianalisis melibatkan subset spesifik dari kasus pemerkosaan (misalnya kasus di mana "tidak ada pembelaan diri bedasarkan konsensual/persetujuan".)

Sebuah studi 2010 oleh David Lisak, Lori Gardinier dan peneliti lain yang diterbitkan dalam jurnal Violence against Women menemukan bahwa dari 136 kasus yang dilaporkan dalam periode sepuluh tahun, 5,9% ditemukan kemungkinan tuduhan palsu.[154] Sebuah studi tahun 2018 di Inggris oleh Lesley McMillan yang diterbitkan dalam Journal of Gender Studies menemukan bahwa meskipun polisi memperkirakan 5-95% klaim pemerkosaan kemungkinan besar palsu, analisis menunjukkan tidak lebih dari 3-4% yang mungkin dibuktikan sebagai "difabrikasi'.[165]

Sejarah

sunting

Definisi dan evolusi hukum

sunting

Hampir semua masyarakat memiliki konsep tentang kejahatan pemerkosaan. Meskipun apa yang membentuk kejahatan ini bervariasi menurut periode sejarah dan budaya, definisi cenderung berfokus pada tindakan hubungan seksual paksa yang dilakukan melalui kekerasan fisik atau ancaman kematian atau cedera tubuh yang parah, oleh seorang pria kepada seorang wanita, atau seorang gadis yang bukan istrinya. Actus reus dari kejahatan itu, di sebagian besar masyarakat adalah memasukkan penis ke dalam vagina.[166][167] Cara seksualitas dikonseptualisasikan di banyak masyarakat menolak anggapan bahwa seorang wanita dapat memaksa seorang pria untuk berhubungan seks - wanita sering dianggap pasif sementara pria dianggap asertif dan agresif. Penetrasi seksual seorang laki-laki oleh laki-laki lain termasuk dalam wilayah hukum sodomi.

Hukum pemerkosaan ada untuk melindungi anak perempuan perawan dari pemerkosaan. Dalam kasus-kasus tersebut, pemerkosaan yang dilakukan terhadap seorang wanita dipandang sebagai serangan terhadap harta milik ayahnya karena dia adalah miliknya dan keperawanan seorang wanita yang diambil sebelum menikah mengurangi nilainya; jika wanita itu menikah, perkosaan itu merupakan serangan terhadap suami karena melanggar hartanya.[168][169] Pemerkosa bisa dikenakan pembayaran ganjaran (wreath money) atau hukuman berat.[169][170][171] Sang ayah dapat memperkosa atau menyimpan istri pemerkosa atau memaksa pemerkosa menikahi putrinya.[168][171] Seorang pria tidak dapat didakwa memperkosa istrinya karena dia adalah miliknya. Oleh karena itu, pemerkosaan dalam pernikahan diperbolehkan.[169][172] Penulis Winnie Tomm menyatakan, "Sebaliknya, pemerkosaan terhadap seorang wanita lajang tanpa ikatan kuat dengan ayah atau suami tidak menimbulkan kekhawatiran besar."[170] Suatu peristiwa dapat dikecualikan dari definisi perkosaan karena hubungan antara para pihak, seperti perkawinan, atau karena latar belakang korban. Dalam banyak budaya, seks paksa pada pelacur, budak, musuh perang, anggota dari ras minoritas, dll., bukanlah pemerkosaan.[173]

Dari zaman Yunani klasik dan Roma hingga periode Kolonial, pemerkosaan bersama dengan pembakaran, pengkhianatan, dan pembunuhan berakibat hukuman mati. "Mereka yang melakukan pemerkosaan tunduk pada berbagai hukuman mati yang tampaknya brutal, sering berdarah, dan terkadang spektakuler." Pada abad ke-12, kerabat korban diberi pilihan untuk mengeksekusi hukuman itu sendiri. "Di Inggris pada awal abad keempat belas, korban pemerkosaan mungkin diharapkan untuk mencungkil mata dan/atau memotong testis pelaku sendiri."[174] Terlepas dari kerasnya undang-undang ini, hukuman yang sebenarnya biasanya jauh lebih ringan: di Eropa Abad Pertengahan akhir, kasus-kasus tentang pemerkosaan terhadap wanita yang sudah menikah, istri, janda, atau anggota kelas bawah meskipun jarang diajukan, biasanya berakhir hanya dengan sedikit denda uang yang ringan atau perkawinan antara korban dan pemerkosa.[175]

Di Yunani dan Roma kuno, terdapat konsep pemerkosaan antara laki-laki - perempuan dan antar lelaki. Hukum Romawi mengizinkan tiga tuduhan berbeda untuk kejahatan tersebut: stuprum, hubungan seksual tanpa izin (yang, pada awalnya, juga termasuk perzinahan); vis, serangan fisik untuk tujuan nafsu; dan iniuria, tuduhan umum yang menunjukkan segala jenis serangan terhadap seseorang. Lex Iulia di atas secara khusus mengkriminalisasi per vim stuprum, hubungan seksual tanpa izin dengan paksa. Dua yang pertama merupakan tuntutan pidana publik yang dapat diajukan setiap kali korbannya adalah seorang wanita atau anak-anak dari kedua jenis kelamin, tetapi hanya jika korbannya adalah warga negara Romawi yang lahir bebas (ingenuus) berpotensi dihukum mati atau diasingkan. Iniuria merupakan tuntutan perdata yang menuntut kompensasi yang berkaitan dengan keuangan, dan memiliki penerapan yang lebih luas (misalnya, itu bisa dibawa dalam kasus penyerangan seksual terhadap seorang budak oleh orang selain pemiliknya.) Augustus Caesar memberlakukan reformasi untuk kejahatan pemerkosaan di bawah undang-undang penyerangan Lex Iulia de vi publica, diambil dengan menyandang nama keluarganya, Iulia. Di bawah undang-undang tersebut bukan undang-undang perzinahan Lex Iulia de adulteriis, Roma diamankan dari kejahatan tersebut.[176] Pemerkosaan dibuat menjadi "kesalahan publik" (iniuria publica) oleh Kaisar Romawi Konstantinus.[177][178]

Berbeda dengan pemahaman modern tentang subjek, Roma menarik perbedaan yang jelas antara "aktif" (penetratif) dan "pasif" (reseptif) pasangan, dan semua tuduhan ini menyiratkan penetrasi oleh penyerang (tentu mengesampingkan kemungkinan pemerkosaan dari perempuan ke lelaki dan sesama perempuan.). Tidak jelas yang mana (jika ada) dari tuduhan-tuduhan ini yang diterapkan kepada penyerangan terhadap seorang pria dewasa, meskipun penyerangan seperti tersebut terhadap seorang warga negara jelas-jelas dilihat sebagai penghinaan berat (dalam budaya Romawi, warga negara pria dewasa tidak mungkin menyetujui persetujuan (konsen) peran reseptif dalam hubungan seksual tanpa kehilangan status yang berat.). Undang-undang yang dikenal sebagai Lex Scantinia mencakup setidaknya beberapa bentuk stuprum antar lelaki, dan Quintillian menyebutkan denda 10.000 sesterces – sekitar senilai 10 tahun gaji legiuner Romawi – sebagai hukuman normal untuk stuprum atas ingenuus. Namun, teksnya hilang dan ketentuan pastinya tidak lagi diketahui.[179]

Kaisar Justinianus melanjutkan penggunaan undang-undang tersebut untuk menuntut pemerkosaan selama abad keenam di Kekaisaran Romawi Timur.[180] Pada zaman kuno akhir, istilah umum raptus mengacu pada penculikan, kawin lari, perampokan, atau pemerkosaan dalam arti modernnya. Kebingungan atas istilah menyebabkan komentator hukum gerejawi membedakannya menjadi raptus seductionis (kawin lari tanpa persetujuan orang tua) dan raptus violentiae (pemerkosaan). Kedua bentuk raptus ini memiliki hukuman perdata dan kemungkinan pengucilan bagi keluarga dan desa yang menerima wanita yang diculik, meskipun raptus violentiae juga mendatangkan hukuman mutilasi atau kematian.[181]

Pemerkosaan, sebagai strategi perang, dilarang oleh hukum militer yang disusun oleh Richard II dan Henry V (masing-masing tahun 1385 dan 1419). Hukum-hukum ini merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi para pemerkosa pada masa Perang Seratus Tahun (1337-1453).

Di Amerika Serikat, seorang suami tidak dapat didakwa memperkosa istrinya sampai tahun 1979.[182] Pada 1950-an, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seorang wanita kulit putih yang berhubungan seks suka sama suka dengan pria kulit hitam dianggap pemerkosaan.[183] Sebelum tahun 1930-an, pemerkosaan dianggap sebagai kejahatan seks yang selalu dilakukan oleh laki-laki dan selalu dilakukan terhadap perempuan. Dari tahun 1935 hingga 1965, pergeseran dari pelabelan pemerkosa sebagai kriminal karena mereka percaya bahwa pemerkosa sebagai "psikopat seksual" yang sakit mental mulai menjadi opini populer. Pria yang tertangkap karena melakukan pemerkosaan tidak lagi dijatuhi hukuman penjara tetapi dirawat di rumah sakit jiwa di mana mereka akan diberikan obat untuk penyakit mereka.[184] Karena hanya laki-laki yang dianggap gila yang dianggap melakukan pemerkosaan, tidak ada yang menganggap orang biasa mampu melakukan kekerasan seperti itu.[184]

Transisi peran perempuan dalam masyarakat juga bergeser, menimbulkan kekhawatiran dan menyalahkan korban perkosaan. Karena perempuan menjadi lebih terlibat dalam masyarakat (yaitu sebagai pencari pekerjaan daripada menjadi ibu rumah tangga), beberapa orang mengklaim bahwa perempuan tersebut "salah" dan mencari masalah. Melepaskan peran gender sebagai aibu dan istri dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional sementara membenamkan diri dalam masyarakat menciptakan alasan bahwa perempuan "tidak akan [menjadi] berhak atas perlindungan di bawah pedoman tradisional untuk hubungan antar laki-laki-perempuan".[184]

Sampai abad ke-19, banyak yurisdiksi mengharuskan ejakulasi agar tindakan tersebut merupakan pelanggaran perkosaan.[166][167] Tindakan selain hubungan seksual tidak termasuk pemerkosaan di negara-negara hukum pada umumnya dan di banyak masyarakat lainnya. Di banyak budaya, tindakan seperti itu ilegal, bahkan jika itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan dilakukan di antara pasangan yang sudah menikah (lihat undang-undang sodomi). Di Inggris, misalnya, Buggery Act 1533, yang tetap berlaku sampai tahun 1828, menetapkan hukuman mati untuk "buggery". Banyak negara mengkriminalisasi bentuk-bentuk aktivitas seksual "non-tradisional" hingga era modern: khususnya, di negara bagian Idaho, Amerika Serikat, sodomi antara pasangan suka sama suka dapat dihukum dengan hukuman lima tahun hingga penjara seumur hidup hingga akhir 2003, dan ini hukum hanya diputuskan untuk tidak berlaku untuk pasangan yang sudah menikah pada tahun 1995.[185] Saat ini, di banyak negara, definisi actus reus telah diperluas ke semua bentuk penetrasi vagina dan anus (misalnya penetrasi dengan benda, jari atau bagian tubuh lainnya) serta penyisipan penis ke dalam mulut.

Di Amerika Serikat, sebelum dan selama Perang Saudara Amerika ketika budak perbudakan tersebar luas, undang-undang tersebut berfokus terutama pada pemerkosaan karena berkaitan dengan pria kulit hitam yang memperkosa wanita kulit putih. Hukuman untuk kejahatan tersebut di banyak yurisdiksi adalah kematian atau pengebirian.[184] Pemerkosaan seorang wanita kulit hitam oleh pria mana pun, dianggap sah. Pada awal abad ke-19, wanita Amerika dikritik jika mereka "menyimpang [keluar] dari posisi [bergantung]...melawan [penyerang]...[atau] berperilaku terlalu mengandalkan diri sendiri... " dalam hal ini "istilah pemerkosaan tidak lagi diterapkan".[186]

Pada tahun 1998, Hakim Navanethem Pillay dari Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda mengatakan: "Sejak dahulu kala, pemerkosaan telah dianggap sebagai rampasan perang. Sekarang ini akan dianggap sebagai kejahatan perang. Kami ingin mengirimkan pesan kuat bahwa pemerkosaan bukan lagi piala perang."[187]

Dalam Aydin v Turki, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) memutuskan untuk pertama kalinya bahwa pemerkosaan sama dengan penyiksaan, sehingga melanggar pasal 3 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Disebutkan, "Pemerkosaan terhadap seorang tahanan oleh pejabat Negara harus dianggap sebagai bentuk perlakuan buruk yang sangat berat dan menjijikkan, mengingat kemudahan yang digunakan pelaku untuk mengeksploitasi kerentanan dan melemahkan perlawanan korbannya."[188]

Di M.C. v Bulgaria, Pengadilan menemukan bahwa penggunaan kekerasan di pihak pelaku bukanlah syarat yang diperlukan dalam tindakan seksual untuk dikualifikasikan sebagai pemerkosaan. Dinyatakan, "Memang, pemerkosa sering menggunakan paksaan atau intimidasi halus ketika hal tersebut cukup untuk mengatasi korban mereka. Dalam kebanyakan kasus pemerkosaan terhadap anak-anak, kekerasan tidak diperlukan untuk mendapatkan penyerahan. Pengadilan juga mengakui bahwa beberapa wanita menjadi beku karena takut pada serangan seksual dan dengan demikian tidak dapat menolak diri."[189]

Pemerkosaan perang

sunting
 
The Bulgarian martyresses, lukisan yang menggambarkan pemerkosaan wanita Bulgaria oleh pasukan Ottoman selama Pemberontakan April 1876.

Pemerkosaan, dalam perjalanan perang, berasal dari zaman kuno, cukup kuno karena pernah disebutkan dalam Alkitab.[190] Tentara Israel, Persia, Yunani dan Romawi dilaporkan terlibat dalam pemerkosaan perang.[191] Ketika suku Yanomami Amazon bertempur dan menyerbu suku-suku terdekat, perempuan sering diperkosa dan dibawa kembali ke shabono untuk diadopsi ke dalam komunitas penculik.[192]

Bangsa Mongol, yang mendirikan Kekaisaran Mongol di sebagian besar Eurasia, menyebabkan banyak kehancuran selama invasi mereka.[193] Sejarawan Jack Weatherford mengatakan bahwa insiden pemerkosaan massal paling awal yang dikaitkan dengan orang Mongol terjadi setelah Ogodei Khan mengirim pasukan sebanyak 25.000 tentara ke Cina Utara, di mana mereka mengalahkan 100.000 tentara. Bangsa Mongol dikatakan telah memperkosa tentara yang masih hidup atas perintah pemimpin mereka. Ogodei Khan juga dikatakan telah memerintahkan pemerkosaan massal terhadap Oirat.[194] Menurut Rogerius dari Apulia, seorang biarawan yang selamat dari invasi Mongol ke Hungaria, para pejuang Mongol "menemukan kesenangan" dalam mempermalukan wanita setempat.[195]

Pemerkosaan sistematis sebanyak 80.000 wanita oleh tentara Jepang selama enam minggu Pembantaian Nanking adalah contoh dari kekejaman tersebut.[196] Selama Perang Dunia II, diperkirakan 200.000 wanita Korea dan Cina dipaksa menjadi pelacur di rumah bordil militer Jepang, yang disebut sebagai "wanita penghibur".[197] Pasukan Maroko Prancis yang dikenal sebagai Goumiers melakukan pemerkosaan dan kejahatan perang lainnya setelah Pertempuran Monte Cassino. (Lihat Marocchinate.).[198] Wanita Prancis di Normandia mengadu tentang pemerkosaan selama pembebasan Normandia.[199]

Pemerkosaan dilakukan oleh pasukan Wehrmacht terhadap wanita dan gadis Yahudi selama Invasi Polandia pada bulan September 1939;[200] mereka juga melakukannya terhadap wanita Polandia, Ukraina, Belarusia dan Rusia, dan gadis-gadis selama eksekusi massal yang terutama dilakukan oleh unit Selbstschutz, dengan bantuan tentara Wehrmacht yang ditempatkan di wilayah yang berada di bawah administrasi militer Jerman; pemerkosaan dilakukan terhadap tawanan perempuan sebelum mereka ditembak.[201] Hanya satu kasus pemerkosaan yang diadili oleh pengadilan Jerman selama kampanye militer di Polandia, dan bahkan kemudian hakim Jerman memutuskan pelaku bersalah atas Rassenschande (melakukan tindakan memalukan terhadap rasnya seperti yang didefinisikan oleh kebijakan rasial Nazi Jerman), bukan kejahatan daripada pemerkosaan.[202] Wanita Yahudi sangat rentan terhadap pemerkosaan selama Holocaust.[203]

Pemerkosaan juga dilakukan oleh pasukan Jerman yang ditempatkan di Front Timur, di mana mereka sebagian besar tidak dihukum (berlawanan dengan pemerkosaan yang dilakukan di Eropa Barat).[204][205] Wehrmacht juga mendirikan sistem rumah bordil militer, di mana wanita dan gadis muda dari wilayah pendudukan dipaksa menjadi pelacur dalam kondisi yang kejam.[202] Di Uni Soviet, wanita juga diculik oleh pasukan Jerman untuk prostitusi; satu laporan oleh International Millitary Tribunal menulis "di kota Smolensk Komando Jerman membuka rumah bordil untuk perwira di salah satu hotel di mana ratusan wanita dan gadis didorong; mereka tanpa ampun diseret sampai ke bawah jalan dengan tangan dan rambut mereka.[206]

Pemerkosaan terjadi di wilayah yang diduduki Tentara Merah. Seorang koresponden wanita perang Soviet menggambarkan apa yang dia saksikan: "Tentara Rusia memperkosa setiap wanita Jerman dari usia delapan hingga delapan puluh tahun. Itu adalah tentara pemerkosa."[207] Menurut sejarawan Jerman Miriam Gebhardt, sebanyak 190.000 wanita diperkosa oleh tentara Amerika Serikat di Jerman.[208]

Menurut peneliti dan penulis Krisztián Ungváry, sekitar 38.000 warga sipil tewas selama Pengepungan Budapest: sekitar 13.000 karena aksi militer dan 25.000 karena kelaparan, penyakit, dan penyebab lainnya. Termasuk dalam angka terakhir sekitar 15.000 orang Yahudi, sebagian besar korban eksekusi oleh milisi Partai Salib Panah Hungaria. Ketika Soviet akhirnya mengklaim kemenangan, mereka memprakarsai pesta kekerasan, termasuk pencurian besar-besaran apa pun yang bisa mereka tangani, eksekusi acak, dan pemerkosaan massal. Diperkirakan 50.000 wanita dan anak perempuan diperkosa,[209]:348–350[210]"Penderitaan terburuk penduduk Hungaria adalah karena pemerkosaan terhadap wanita. Pemerkosaan—mempengaruhi semua kelompok umur dari sepuluh hingga tujuh puluh merupakan hal sangat umum sehingga sangat sedikit wanita di Hungaria yang selamat." Laporan kedutaan Swiss dikutip dalam Ungváry 2005, hal.350. (Krisztian Ungvary Pengepungan Budapest 2005)</ref> meskipun perkiraan bervariasi dari 5.000 hingga 200.000.[211]:129 Gadis-gadis Hungaria diculik dan dibawa ke markas Tentara Merah, di mana mereka dipenjarakan, diperkosa berulang kali dan terkadang dibunuh.[212]:70–71

Hukum mengenai pemerkosaan

sunting

Dalam sistem hukum di Britania Raya dan di Amerika Serikat, yang dimaksudkan dengan "pemerkosaan" biasanya adalah apabila seorang laki-laki memaksa seorang perempuan melakukan hubungan seksual dengannya. Hingga akhir abad ke-20, hubungan seksual yang dipaksakan oleh seorang suami terhadap istrinya tidak dianggap sebagai "pemerkosaan", karena seorang perempuan (dengan maksud tertentu) tidak dianggap mempunyai hak untuk menolaknya. Kadang-kadang juga ada anggapan bahwa hubungan pernikahan merupakan pernyataan tersirat di muka untuk suatu hubungan seksual seumur hidup. Namun, hukum pidana modern di kebanyakan negara barat kini telah mengesahkan hukum yang menolak pandangan demikian. Kini pemerkosaan juga diartikan sebagai hubungan paksa oleh pasangan, seperti hubungan seksual vaginal, dan tindak kekerasan seperti hubungan seksual anal yang biasanya dilarang dengan undang-undang sodomi. Hingga kini di Skotlandia hanya perempuan saja yang dapat dikategorikan mengalami pemerkosaan.

Istilah "pemerkosaan" kadang-kadang diartikan dengan sangat luas, hingga mencakup pula segala bentuk serangan seksual.

Hukum di Inggris

sunting

Di bawah Undang-undang Pelanggaran Seksual 2003, yang mulai diberlakukan sejak April 2004, pemerkosaan di Inggris dan Wales telah diperluas artinya dari hubungan vaginal atau anal tanpa persetujuan pihak yang lain kini menjadi penetrasi penis ke dalam vagina, anus ataupun mulut orang lain tanpa persetujuan orang tersebut. Perubahan ini juga mencakup masa hukumannya, sehingga kini ancaman hukuman untuk kasus pemerkosaan maksimum adalah hukuman seumur hidup.

Di dalam hukum Inggris, walaupun seorang perempuan yang memaksa seorang laki-laki untuk melakukan hubungan seksual tidak dapat dituntut telah melakukan pemerkosaan, bila ternyata ia membantu seorang laki-laki dalam melakukan pemerkosaan, ia pun dapat dituntut atas kejahatan itu. Seorang perempuan juga dapat dituntut apabila terbukti ia telah menyebabkan seorang laki-laki melakukan hubungan seksual tanpa kehendak laki-laki itu sendiri; ini adalah sebuah kejahatan yang juga diancam dengan hukuman seumur hidup bila hal ini melibatkan penetrasi terhadap mulut, anus, atau vagina. Peraturan ini juga mencakup sebuah kejahatan seksual baru yang disebut "serangan melalui penetrasi", yang juga diancam hukuman yang sama seperti pemerkosaan, dan dilakukan apabila seseorang melakukan penetrasi terhadap anus atau vagina secara seksual dengan bagian dari tubuhnya, atau dengan sebuah benda tertentu, tanpa persetujuan orang itu sendiri.

Hukum di Indonesia

sunting

Di Indonesia, hukuman untuk pelaku pemerkosaan berupa hukuman kebiri kimia yang sudah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2016.

Hukum di Amerika Serikat

sunting

Laporan kejahatan di Amerika Serikat menggunakan "pemerkosaan dengan paksa", hanya untuk menggambarkan kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Namun, masing-masing negara bagian Amerika Serikat memperluas definisi ini secara independen. Pemerkosaan oleh laki-laki terhadap sejenisnya biasanya diakui sama seperti pemerkosaan terhadap perempuan.

Jenis-jenis pemerkosaan

sunting

Pemerkosaan perpacaran

sunting

Pemerkosaan perpacaran adalah hubungan seksual secara paksa tanpa persetujuan antara orang-orang yang sudah kenal satu sama lain, misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar. Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban.

Pemerkosaan dengan obat

sunting

Yaitu pemerkosaan yang dilakukan dengan obat-obatan untuk membuat korbannya tidak sadar atau mabuk berat.

Pemerkosaan wanita

sunting

Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak diketahui, diperkirakan 1 dari 6 wanita di AS adalah korban serangan seksual. Banyak wanita yang takut dipermalukan atau disalahkan, sehingga tidak melaporkan pemerkosaan.

Pemerkosaan terhadap laki-laki

sunting

Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan seksual. Di banyak negara, hal ini tidak diakui sebagai suatu tindak kejahatan. Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat dituduh memperkosa.

Pemerkosaan massal

sunting

Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang satu korban. Antara 10% sampai 20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1 penyerang. Di beberapa negara, pemerkosaan massal diganjar lebih berat daripada pemerkosaan oleh satu orang.

Pemerkosaan anak-anak

sunting

Pemerkosaan anak-anak salah satu bentuk dari pelecehan seksual terhadap anak. Ketika dilakukan oleh orang tua atau kerabat seperti kakek, paman, bibi, ayah, atau ibu ia dapat menyebabkan trauma psikologis yang parah dan berjangka panjang. Bila seorang anak diperkosa oleh seorang dewasa yang bukan anggota keluarga, tetapi merupakan pengasuh atau dalam posisi berkuasa atas anak seperti guru sekolah, pemuka agama atau terapis, trauma yang diderita bisa mirip dengan trauma hubungan sumbang.

Pemerkosaan dalam perang

sunting

Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk mempermalukan musuh dan menurunkan semangat juang mereka. Pemerkosaan dalam perang biasanya dilakukan secara sistematis, dan pemimpin militer biasanya menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang sipil.

Pada tahun 1998, Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat keputusan besar yang menyatakan bahwa di bawah hukum internasional pemerkosaan termasuk dalam kejahatan genosida. Dalam keputusannya Navanethem Pillay berkata: "Sejak zaman dahulu, pemerkosaan dianggap sebagai rampasan perang. Sekarang ia akan menjadi kejahatan perang. Kami ingin mengirimkan pesan yang kuat bahwa pemerkosaan tidak lagi merupakan tropi perang."

Pemerkosaan oleh suami/istri

sunting

Pemerkosaan ini dilakukan dalam pasangan yang sudah menikah. Di banyak negara hal ini dianggap tidak mungkin terjadi karena dua orang yang menikah dapat berhubungan seks kapan saja. Namun, dalam kenyataannya banyak suami yang memaksa istrinya untuk berhubungan seks.

Statutory rape

sunting

Di banyak negara, hubungan seks dengan orang di bawah usia tertentu disebut statutory rape.

Orang terkenal yang pernah terlibat pemerkosaan

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/jenis-dan-dampak-pemerkosaan/
  2. ^ "Sexual violence chapter 6" (PDF). World Health Organization. 2002. Diakses tanggal 5 December 2015. 
  3. ^ Schulhofer, Stephen J. (2017). "Reforming the Law of Rape". Minnesota Journal of Law & Inequality. 35: 335. 
  4. ^ Petrak, Jenny; Hedge, Barbara, ed. (2003). The Trauma of Sexual Assault Treatment, Prevention and Practice. Chichester: John Wiley & Sons. hlm. 2. ISBN 978-0-470-85138-8. 
  5. ^ "Rape at the National Level, number of police recorded offenses". United Nations.
  6. ^ "Violence against women". World Health Organization. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  7. ^ Human Rights Watch No Escape: Male Rape In U.S. Prisons. Part VII. Anomaly or Epidemic: The Incidence of Prisoner-on-Prisoner Rape. Diarsipkan 2014-09-03 di Wayback Machine.; estimates that 100,000–140,000 violent male-male rapes occur in U.S. prisons annually; compare with FBI statistics that estimate 90,000 violent male-female rapes occur annually.
  8. ^ Robert W. Dumond, "Ignominious Victims: Effective Treatment of Male Sexual Assault in Prison," August 15, 1995, p. 2; states that "evidence suggests that [male-male sexual assault in prison] may be a staggering problem". Quoted in Mariner, Joanne; (Organization), Human Rights Watch (2001-04-17). No escape: male rape in U.S. prisons. Human Rights Watch. hlm. 370. ISBN 978-1-56432-258-6. Diakses tanggal 7 June 2010. 
  9. ^ Struckman-Johnson, Cindy; David Struckman-Johnson (2006). "A Comparison of Sexual Coercion Experiences Reported by Men and Women in Prison". Journal of Interpersonal Violence. 21 (12): 1591–1615. doi:10.1177/0886260506294240. ISSN 0886-2605. PMID 17065656.  ; reports that "Greater percentages of men (70%) than women (29%) reported that their incident resulted in oral, vaginal, or anal sex. More men (54%) than women (28%) reported an incident that was classified as rape."
  10. ^ "Post Traumatic Stress Disorder in Rape Survivors". The American Academy of Experts in Traumatic Stress. 1995. Diakses tanggal 2013-04-30. 
  11. ^ a b "Rape victim threatened to withdraw case in UP". Zeenews.india.com. 2011-03-19. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  12. ^ a b "Stigmatization of Rape & Honor Killings". WISE Muslim Women. 2002-01-31. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-08. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  13. ^ a b Harter, Pascale (2011-06-14). "BBC News – Libya rape victims 'face honour killings'". BBC News. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  14. ^ a b Corinne J. Saunders, Rape and Ravishment in the Literature of Medieval England, Boydell & Brewer, 2001, p. 20.
  15. ^ a b Keith Burgess-Jackson, A Most Detestable Crime: New Philosophical Essays on Rape, Oxford University Press, New York, 1999, p.16.
  16. ^ Burgess-Jackson, Keith (1999). A most detestable crime : new philosophical essays on rape. New York: Oxford University Press. hlm. 16. ISBN 9780195120752. 
  17. ^ a b c Smith, Merril D., ed. (2004). Encyclopedia of rape  (edisi ke-1st). Westport, Conn. [u.a.]: Greenwood Press. hlm. 169–170. ISBN 978-0-313-32687-5. 
  18. ^ a b c Maier, S. L. (2008). ""I Have Heard Horrible Stories...": Rape Victim Advocates' Perceptions of the Revictimization of Rape Victims by the Police and Medical System". Violence Against Women. 14 (7): 786–808. doi:10.1177/1077801208320245. ISSN 1077-8012. PMID 18559867. 
  19. ^ Justinian, Institutiones [1]
  20. ^ Adolf Berger, Encyclopedic Dictionary on Roman Law, pp. 667 (raptus) and 768 (vis)
  21. ^ "An Updated Definition of Rape (U.S. Dept of Justice, January 6, 2012)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 March 2012. Diakses tanggal 30 October 2014. 
  22. ^ Savage, Charlie (14 April 2018). "Federal Crime Statistics to Expand Rape Definition". The New York Times – via NYTimes.com. 
  23. ^ Krug, Etienne G.; et al., ed. (2002). "WORLD REPORT ON VIOLENCE AND HEALTH" (PDF). World Health Organization. hlm. 149. Diakses tanggal 5 December 2015. 
  24. ^ a b Basile, KC; Smith, SG; Breiding, MJ; Black, MC; Mahendra, RR (2014). "Sexual Violence Surveillance: Uniform Definitions and Recommended Data Elements, Version 2.0" (PDF). National Center for Injury Prevention and Control, Centers for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal 6 June 2017. 
  25. ^ a b c d e Markovchick, Vincent (2016). "Sexual Assault". Emergency medicine secrets. Philadelphia, PA: Elsevier. hlm. 516–520. ISBN 9780323355162. 
  26. ^ Kalbfleisch, Pamela J.; Cody, Michael J. (2012). Gender Power and Communication in Human Relationships. Routledge. ISBN 978-1-136-48050-8. Diakses tanggal April 30, 2013. 
  27. ^ Ken Plummer (2002). Modern Homosexualities: Fragments of Lesbian and Gay Experiences. Routledge. hlm. 187–191. ISBN 978-1-134-92242-0. Diakses tanggal August 24, 2013. 
  28. ^ "Sexual Offences (Scotland) Act 2009". legislation.gov.uk/UK Statute Law Database. 2009. Diakses tanggal December 12, 2013. 
  29. ^ Tom de Castella, Jon Kelly (August 22, 2012). "Assange case: How is rape defined?". BBC News. Diakses tanggal December 12, 2013. 
  30. ^ "Criminal code". Diakses tanggal 2010-12-31. 
  31. ^ "Zambia: End Sexual Violence in Schools". Equality Now. 
  32. ^ "UCSB's SexInfo". Soc.ucsb.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-07. Diakses tanggal 2010-12-31. 
  33. ^ Rosdahl, Caroline (2012). Textbook of basic nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-1-60547-772-5. 
  34. ^ a b Kelly, Gary (2011). Sexuality today. New York, NY: McGraw-Hill. ISBN 978-0-07-353199-1. 
  35. ^ Tchen, C.M. (1983). "Rape Reform and a Statutory Consent Defense". Journal of Law and Criminology. 74 (4): 1518–1555. doi:10.2307/1143064. JSTOR 1143064. 
  36. ^ Gruber, Aya (December 2016). "Consent Confusion". Cardozo Law Review. 38 (2): 415–458. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-21. Diakses tanggal March 20, 2017. 
  37. ^ a b Rape and sexual violence: Human rights law and standards in the International Criminal Court. Amnesty International 2011
  38. ^ Koon-Magnin, Sarah; Ruback, R. Barry (September 2013). "The perceived legitimacy of statutory rape laws: the effects of victim age, perpetrator age, and age span: The perceived legitimacy of statutory rape laws". Journal of Applied Social Psychology. 43 (9): 1918–1930. doi:10.1111/jasp.12131. 
  39. ^ Correspondent, Legal (2019-04-13). "Sex on false promise of marriage is rape: Supreme Court". The Hindu. ISSN 0971-751X. Diakses tanggal 2019-04-14. 
  40. ^ REPUBLIC ACT NO. 8353. Philippine Law. Approved: September 30, 1997
  41. ^ Fourth Annual Report of ICTR to the General Assembly (1999) Diarsipkan 2014-01-03 di Wayback Machine. March 23, 2007
  42. ^ "VAW/for printer/1/14/0" (PDF). Diakses tanggal 2014-02-12. 
  43. ^ "Asia-Pacific | Thailand passes marital rape bill". BBC News. 2007-06-21. Diakses tanggal 2014-02-12. 
  44. ^ "The Daily Gazette — Google News Archive Search". Diakses tanggal 30 October 2014. 
  45. ^ "Rape & Sexual Assault | AWARE Singapore". Aware.org.sg. 2011-03-14. Diakses tanggal 2014-02-12. 
  46. ^ a b Kulick, Don (2003). "No". Language & Communication. 23 (2): 139–151. doi:10.1016/S0271-5309(02)00043-5. ISSN 0271-5309. 
  47. ^ "Feminist Perspectives on Rape". Mens rea. Metaphysics Research Lab, Stanford University. 2017. 
  48. ^ WHO (23 November 2012). "Violence against women". who.int. World Health Organization. Diakses tanggal 3 February 2013. 
  49. ^ Oliva, Janet R. Sexually Motivated Crimes: Understanding the Profile of the Sex Offender and Applying Theory to Practice. Boca Raton, FL: CRC Press, 2013.Pg 72
  50. ^ Oliva, Janet R. Sexually Motivated Crimes: Understanding the Profile of the Sex Offender and Applying Theory to Practice. Boca Raton, FL: CRC Press, 2013.Pg 72
  51. ^ Thornhill, Randy; Palmer, Craig T. (2000). A natural history of rape biological bases of sexual coercion. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. ISBN 978-1-282-09687-5. 
  52. ^ Pinker, Steven (2003), "Chapter 19: children", dalam Pinker, Steven, The blank slate: the modern denial of human nature, London: Penguin Group, hlm. 372–399, ISBN 978-1-101-20032-2. 
  53. ^ Lisak, David; Miller, Paul M. (February 2002). "Repeat rape and multiple offending among undetected rapists". Violence & Victims. 17 (1): 73–84. doi:10.1891/vivi.17.1.73.33638. PMID 11991158.  Pdf. Diarsipkan 2014-10-19 di Wayback Machine.
  54. ^ Lisak, David (March–April 2011). "Understanding the predatory nature of sexual violence". Sexual Assault Report. 14 (4): 49–64. Diakses tanggal 10 June 2014.  Pdf. Diarsipkan 2018-09-18 di Wayback Machine.
  55. ^ Petty GM, Dawson B (1989). "Sexual aggression in normal men: incidence, beliefs and personality characteristics". Personality and Individual Differences. 10 (3): 355–362. doi:10.1016/0191-8869(89)90109-8. 
  56. ^ Ouimette PC, Riggs D (1998). "Testing a mediational model of sexually aggressive behavior in nonincarcerated perpetrators". Violence and Victims. 13 (2): 117–130. doi:10.1891/0886-6708.13.2.117. PMID 9809392. 
  57. ^ Borowsky IW, Hogan M, Ireland M (1997). "Adolescent sexual aggression: risk and protective factors". Pediatrics. 100 (6): E7. doi:10.1542/peds.100.6.e7 . PMID 9382908. 
  58. ^ Jenkins C. Sexual behavior in Papua New Guinea. In: Report of the Third Annual Meeting of the International Network on Violence Against Women, January 1998. Washington, DC, International Network on Violence Against Women, 1998.
  59. ^ "Nobel committee shines a spotlight on rape in conflict". The Economist Magazine. Diakses tanggal 27 May 2019. 
  60. ^ "Crying Meri". Vlad Sokhin. Diakses tanggal 12 February 2014. 
  61. ^ "Cheap tech and widespread internet access fuel rise in cybersex trafficking". NBC News. June 30, 2018. 
  62. ^ Carback, Joshua T. (2018). "Cybersex Trafficking: Toward a More Effective Prosecutorial Response". Criminal Law Bulletin. 54 (1): 64–183.  p. 64.
  63. ^ Smith, Nicola; Farmer, Ben (May 20, 2019). "Oppressed, enslaved and brutalised: The women trafficked from North Korea into China's sex trade". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli  tanggal 2022-01-10. 
  64. ^ "First paedophile in NSW charged with cybersex trafficking". the Daily Telegraph. March 27, 2017. 
  65. ^ "Philippines Makes More Child Cybersex Crime Arrests, Rescues". VOA. May 12, 2017. 
  66. ^ "Website selling 'real' rape and child pornography videos shut down after arrest in Netherlands, Justice Department says". The Washington Post. March 12, 2020. 
  67. ^ Mohan, Megha (May 8, 2020). "Call for credit card freeze on porn sites". BBC News. 
  68. ^ "'I was raped at 14, and the video ended up on a porn site'". BBC News. 10 February 2020. 
  69. ^ a b Krug (2002). Rapport mondial sur la violence et la santé . Genève: Organisation mondiale de la santé. ISBN 978-92-4-154561-7. 
  70. ^ a b Long, Jennifer (2016). "Introducing expert testimony to explain victim behavior in sexual and domestic violence prosecutions" (PDF). NDAA.org. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-08-29. 
  71. ^ a b c "Victim Responses to Sexual Assault: Counterintuitive or Simply Adaptive". www.ncjrs.gov. Diakses tanggal 2017-09-09. 
  72. ^ Matley, Eliza. Presenting the Key to Learning: Comfort Corners. "Trauma Responses: Fight, Flight, Freeze or Fawn?" https://www.csustan.edu/sites/default/files/groups/University%20Honors%20Program/Journals/eliza_matley.pdf
  73. ^ a b c d e f g h i j k l Mason, F; Lodrick, Z (February 2013). "Psychological consequences of sexual assault". Best Practice & Research. Clinical Obstetrics & Gynaecology. 27 (1): 27–37. doi:10.1016/j.bpobgyn.2012.08.015. PMID 23182852. 
  74. ^ Note: One of the authors of the "Psychological consequences of sexual assault" article describes what she means by "friend" and "flop" in an article: Lodrick, Zoe (2007). "Psychological trauma – what every trauma worker should know". The British Journal of Psychotherapy Integration. 4 (2).  Friend: "Friend is the earliest defensive strategy available to us..... Throughout life when fearful most humans will activate their social engagement system (Porges, 1995). ... The social engagement system, or friend response to threat, is evident in the child who smiles or even laughs when being chastised." Flop: "Flop occurs if, and when, the freeze mechanism fails.... The survival purpose of the flop state is evident: if ‘impact’ is going to occur the likelihood of surviving it will be increased if the body yields, and psychologically, in the short-term at least, the situation will be more bearable if the higher brain functions are ‘offline’."
  75. ^ Bracha, H. Stefan (September 2004). "Freeze, Flight, Fight, Fright, Faint: Adaptationist Perspectives on the Acute Stress Response Spectrum" (PDF). CNS Spectrums. 9 (9): 679–685. doi:10.1017/S1092852900001954. ISSN 2165-6509. PMID 15337864. 
  76. ^ a b c McLean, IA (February 2013). "The male victim of sexual assault". Best Practice & Research. Clinical Obstetrics & Gynaecology. 27 (1): 39–46. doi:10.1016/j.bpobgyn.2012.08.006. PMID 22951768. 
  77. ^ Chivers, ML; Seto, MC; Lalumière, ML; Laan, E; Grimbos, T (February 2010). "Agreement of self-reported and genital measures of sexual arousal in men and women: a meta-analysis". Archives of Sexual Behavior. 39 (1): 5–56. doi:10.1007/s10508-009-9556-9. PMC 2811244 . PMID 20049519. 
  78. ^ Levin, RJ; van Berlo, W (April 2004). "Sexual arousal and orgasm in subjects who experience forced or non-consensual sexual stimulation – a review". Journal of Clinical Forensic Medicine. 11 (2): 82–8. doi:10.1016/j.jcfm.2003.10.008. PMID 15261004. 
  79. ^ Hoffman, Barbara; et al. (2016). Williams Gynecology (edisi ke-3rd). McGraw Hill Professional. ISBN 9780071849098. 
  80. ^ Jina, R; Thomas, LS (February 2013). "Health consequences of sexual violence against women". Best Practice & Research. Clinical Obstetrics & Gynaecology. 27 (1): 15–26. doi:10.1016/j.bpobgyn.2012.08.012. PMID 22975432. 
  81. ^ "Guidelines for the prevention and management of vicarious trauma among researchers of sexual and intimate partner violence" (PDF). Sexual Violence Research Initiative. 2015. 
  82. ^ Walker, G (August 2015). "The (in)significance of genital injury in rape and sexual assault". Journal of Forensic and Legal Medicine. 34: 173–8. doi:10.1016/j.jflm.2015.06.007. PMID 26165680. 
  83. ^ Kennedy, K. M. (2012). "The Relationship of Victim Injury to the Progression of Sexual Crimes through the Criminal Justice System". Journal of Forensic and Legal Medicine. 19 (6): 309–311. doi:10.1016/j.jflm.2012.04.033. hdl:10147/266322 . PMID 22847045. 
  84. ^ Wolff, Craig (August 22, 1994). "Rapists and Condoms; Is Use a Cavalier Act or a Way to Avoid Disease and Arrest?". New York Times. 
  85. ^ a b Kimura, Seiji (2013). Physical and emotional abuse triggers, short and long-term consequences and prevention methods. Hauppauge, New York: Nova Science Publishers, Inc. ISBN 9781624174469. 
  86. ^ "Sexual Violence and HIV". Sexual Violence Research Initiative. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-18. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  87. ^ a b "South African men rape babies as 'cure' for Aids". The Daily Telegraph. November 11, 2001
  88. ^ Jenny, Carole (2010). Child Abuse and Neglect: Diagnosis, Treatment and Evidence — Expert Consult. Elsevier Health Sciences. hlm. 187. ISBN 978-1-4377-3621-2. 
  89. ^ Klot, Jennifer; Monica Kathina Juma (2011). HIV/AIDS, Gender, Human Security and Violence in Southern Africa. Pretoria: Africa Institute of South Africa. hlm. 47. ISBN 978-0-7983-0253-1. 
  90. ^ "HIV/AIDS, the stats, the Virgin Cure and infant rape". Science in Africa. 2002-01-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-15. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  91. ^ Epstein H, Jewkes R (2009-10-24). "The myth of the virgin rape myth". The Lancet. 374 (9699): 1419; author reply 1419–20. doi:10.1016/S0140-6736(09)61858-4. PMID 19854367.  "In the current South African case, this claim is predicated on racist assumptions about the amorality of African men..."
  92. ^ Pauwels, B. (2002). "Blaming the victim of rape: The culpable control model perspective." Dissertation Abstracts International: Section B: The Sciences and Engineering, 63(5-B).
  93. ^ a b Grubb, Amy; Turner, Emily (2012-09-01). "Attribution of blame in rape cases: A review of the impact of rape myth acceptance, gender role conformity and substance use on victim blaming". Aggression and Violent Behavior. 17 (5): 443–452. doi:10.1016/j.avb.2012.06.002. 
  94. ^ Abrahms D.; Viky G.; Masser B.; Gerd B. (2003). "Perceptions of stranger and acquaintance rape: The role of benevolent and hostile sexism in victim blame and rape proclivity". Journal of Personality and Social Psychology. 84 (1): 111–125. doi:10.1037/0022-3514.84.1.111. PMID 12518974. 
  95. ^ "Attitudes to sexual violence". 2005-02-05. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-02-05. Diakses tanggal 2010-12-31. 
  96. ^ a b Amy M. Buddie; Arthur G. Miller (2001). "Beyond Rape Myths: A more complex view of perceptions of rape victims". Sex Roles. 45 (3/4): 139–160. doi:10.1023/A:1013575209803. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-09.  PDF copy Diarsipkan 2012-01-18 di Wayback Machine.
  97. ^ Neumann, S., Gang Rape: Examining Peer Support and Alcohol in Fraternities. Sex Crimes and Paraphilias
  98. ^ Joan Z. Spade; Catherine G. Valentine (10 December 2007). The kaleidoscope of gender: prisms, patterns, and possibilities. Pine Forge Press. ISBN 978-1-4129-5146-3. Diakses tanggal 1 October 2011. 
  99. ^ "Blame the rapist, not the victim". the Guardian (dalam bahasa Inggris). 2010-02-19. Diakses tanggal 2022-04-19. 
  100. ^ Xue J, Fang G, Huang H, Cui N, Rhodes KV, Gelles R. Rape myths and the cross-cultural adaptation of the Illinois Rape Myth Acceptance Scale in China. Journal of Interpersonal Violence. 2016 5. [Epub ahead of print]. DOI: 10.1177/0886260516651315
  101. ^ "BBC News — Morocco protest after raped Amina Filali kills herself". BBC News. 2012-03-15. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  102. ^ "VictimLaw – Victims Right". www.victimlaw.org. Diakses tanggal 2017-09-09. 
  103. ^ "What is a Victim Advocate-". victimsofcrime.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-24. Diakses tanggal 2017-09-09. 
  104. ^ a b c d e f g h i j McInerny, Thomas K. (2017). Textbook of Pediatric Care – 2nd Edition. American Academy of Pediatrics. ISBN 978-1-58110-966-5.  STAT!Ref Online Electronic Medical Library[pranala nonaktif permanen][subscription required]
  105. ^ a b c Cybulska, Beata (2013). "Immediate medical care after sexual assault". Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology. 27 (1): 141–149. doi:10.1016/j.bpobgyn.2012.08.013. ISSN 1521-6934. PMID 23200638. [subscription required]
  106. ^ Kennedy, K. M. (2013). "Heterogeneity of Existing Research Relating to Sexual Violence, Sexual Assault and Rape Precludes Meta-analysis of Injury Data". Journal of Forensic and Legal Medicine. 20 (5): 447–459. doi:10.1016/j.jflm.2013.02.002. hdl:10147/296808 . PMID 23756514. 
  107. ^ a b c d e Hockett, Jericho M.; Saucier, Donald A. (2015). "A systematic literature review of "rape victims" versus "rape survivors": Implications for theory, research, and practice". Aggression and Violent Behavior. 25: 1–14. doi:10.1016/j.avb.2015.07.003. ISSN 1359-1789. 
  108. ^ a b "HIV Clinical Resource: HIV Prophylaxis for Victims of Sexual Assault". Office of the Medical Director, New York State Department of Health AIDS Institute in Collaboration with Johns Hopkins University Division of Infectious Disease. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016. Diakses tanggal 2015-12-10. 
  109. ^ a b c d e f g Varcarolis, Elizabeth (2013). Essentials of psychiatric mental health nursing. St. Louis: Elsevier. hlm. 439–442. 
  110. ^ a b c d e f g h i Hoffman, Barbara (2012). Williams gynecology. New York: McGraw-Hill Medical. ISBN 978-0-07-171672-7. 
  111. ^ "Semen fluoresces best at wavelengths of 420 and 450 nm, when viewed through orange goggles. A Wood lamp emits light at only a 360-nm wavelength. Therefore specialized alternate light sources that emit wavelengths at 420 and 450 nm, such as a Bluemaxx, should be used. Although this type of lamp will improve the detection of dried semen, many other substances will fluoresce as well; thus, confirmation of semen cannot be made with this method.", McInerny (2017)
  112. ^ This practice discourages the growth of microorganisms which could alter the analysis. Cybulska
  113. ^ a b c d e Violence Against Women (PDF). U.S. Department of Justice – Office of Violence Against Women. April 2013. Diakses tanggal 10 January 2016. 
  114. ^ "WHO Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence". Diakses tanggal 2019-08-08. 
  115. ^ Responding to Children and Adolescents Who Have Been Sexually Abused: WHO Clinical Guidelines. WHO Guidelines Approved by the Guidelines Review Committee. Geneva: World Health Organization. 2017. ISBN 9789241550147. PMID 29630189. 
  116. ^ Amin, Avni; MacMillan, Harriet; Garcia-Moreno, Claudia (2018-04-03). "Responding to children and adolescents who have been sexually abused: WHO recommendations". Paediatrics and International Child Health. 38 (2): 85–86. doi:10.1080/20469047.2018.1427179. ISSN 2046-9047. PMID 29493421. 
  117. ^ Tran, Khai; Grobelna, Aleksandra (2019). Ulipristal versus Levonorgestrel for Emergency Contraception: A Review of Comparative Cost-Effectiveness. CADTH Rapid Response Reports. Ottawa (ON): Canadian Agency for Drugs and Technologies in Health. PMID 31219689. 
  118. ^ Chen, Melissa J.; Creinin, Mitchell D. (July 2015). "Mifepristone With Buccal Misoprostol for Medical Abortion: A Systematic Review". Obstetrics and Gynecology. 126 (1): 12–21. doi:10.1097/AOG.0000000000000897. ISSN 1873-233X. PMID 26241251. 
  119. ^ Donita, D'Amico (2015-02-10). Health & physical assessment in nursing. Barbarito, Colleen (edisi ke-3rd). Boston. hlm. 664. ISBN 9780133876406. OCLC 894626609. 
  120. ^ Dalton, Maureen (2014-10-09). Forensic Gynaecology. Cambridge University Press. ISBN 9781107064294. 
  121. ^ Baker RB, Fargo JD, Shambley-Ebron D, Sommers MS. A source of healthcare disparity: Race, skin color, and injuries after rape among adolescents and young adults. Journal of Forensic Nursing, 2010; 6: 144–150
  122. ^ a b Marcdante, Karen (2015). Nelson essentials of pediatrics. Philadelphia: Elsevier/Saunders. ISBN 978-1-4557-5980-4. [subscription required]
  123. ^ "Antiretroviral Postexposure Prophylaxis After Sexual, Injection-Drug Use, or Other Nonoccupational Exposure to HIV in the United States". Centers for Disease Control and Prevention. 21 January 2005. Diakses tanggal 2015-12-10. 
  124. ^ Baarda, Benjamin I.; Sikora, Aleksandra E. (2015). "Proteomics of Neisseria gonorrhoeae: the treasure hunt for countermeasures against an old disease". Frontiers in Microbiology. 6: 1190. doi:10.3389/fmicb.2015.01190 . ISSN 1664-302X. PMC 4620152 . PMID 26579097. 
  125. ^ "Recovering from Sexual Assault". Rainn.org. Diakses tanggal 2010-12-31. 
  126. ^ a b Budrionis, Rita (2015). The sexual abuse victim and sexual offender treatment planner, with DSM-5 updates. Hoboken, New Jersey: Wiley. ISBN 978-1-119-07481-6. 
  127. ^ "Sexual Violence" (PDF). World Health Organization. World Health Organization. Diakses tanggal 11 April 2021. 
  128. ^ Smothers M.K.; Smothers, D. Brian (2011). "A Sexual Assault Primary Prevention Model with Diverse Urban Youth". Journal of Child Sexual Abuse. 20 (6): 708–27. doi:10.1080/10538712.2011.622355. PMID 22126112. 
  129. ^ a b Foubert J.D. (2000). "The Longitudinal Effects of a Rape-prevention Program on Fraternity Men's Attitudes, Behavioral Intent, and Behavior" (PDF). Journal of American College Health. 48 (4): 158–63. doi:10.1080/07448480009595691. PMID 10650733. 
  130. ^ Vladutiu C.J.; et al. (2011). "College- or university-based sexual assault prevention programs: a review of program outcomes, characteristics, and recommendations". Trauma, Violence, and Abuse. 12 (2): 67–86. doi:10.1177/1524838010390708. PMID 21196436. 
  131. ^ Yeater EA, O'Donohue W (November 1999). "Sexual assault prevention programs: current issues, future directions, and the potential efficacy of interventions with women". Clin Psychol Rev. 19 (7): 739–71. CiteSeerX 10.1.1.404.3130 . doi:10.1016/S0272-7358(98)00075-0. PMID 10520434. 
  132. ^ Garrity S.E. (2011). "Sexual assault prevention programs for college-aged men: A critical evaluation". Journal of Forensic Nursing. 7 (1): 40–8. doi:10.1111/j.1939-3938.2010.01094.x. PMID 21348933. 
  133. ^ Sorenson SB, Joshi M, Sivitz E. Knowing a sexual assault victim or perpetrator: A stratified random sample of undergraduates at one university. Journal of Interpersonal Violence, 2014; 29: 394–416
  134. ^ a b Harrendorf, Haskenan, Malby, Stefan, Marku, Steven. "International Statistics on Crime and Justice" (PDF). www.unodc.org. United Nations Office on Drugs and Crimes. 
  135. ^ Finley, Laura (2018). "Acquaintance rape". Dalam Smith, Merril D. Encyclopedia of Rape and Sexual Violence, Volume 1. ABC-CLIO. hlm. 1. ISBN 978-1-44-084489-8. 
  136. ^ Smith, Merril D., ed. (2018). "Stranger rape". Encyclopedia of Rape and Sexual Violence, Volume 2. ABC-CLIO. hlm. 430. ISBN 978-1-44-084489-8. 
  137. ^ "SOUTH AFRICA: One in four men rape". IRIN Africa. 18 June 2009. Diakses tanggal 11 December 2011. 
  138. ^ "South Africa, once called 'the world's rape capital,' is running out of rape kits". The Washington Post. March 5, 2013.
  139. ^ Sharma, Indira; Srivastava, Shruti; Bhatia, MS; Chaudhuri, Uday; Parial, Sonia; Sharma, Avdesh; Kataria, Dinesh; Bohra, Neena (2015). "Violence against women". Indian Journal of Psychiatry. 57 (6): S333–8. doi:10.4103/0019-5545.161500. ISSN 0019-5545. PMC 4539878 . PMID 26330651. 
  140. ^ Gwartney-Gibbs PA, Stockard J, Bohmer S (1983). "Learning courtship aggression: the influence of parents, peers and personal experiences-". Family Relations. 35 (3): 276–282. doi:10.2307/583540. JSTOR 583540. 
  141. ^ Zitelli, Basil (2012). Zitelli and Davis' atlas of pediatric physical diagnosis. Philadelphia, PA: Saunders/Elsevier. ISBN 978-0-323-07932-7. 
  142. ^ a b Timothy Williams (2012-05-22). "For Native American Women, Scourge of Rape, Rare Justice". New York Times. 
  143. ^ a b Kelly, Liz (2005). A gap or a chasm? : Attrition in reported rape cases. London: Home Office Research, Development and Statistics Directorate. ISBN 978-1-84473-555-6. 
  144. ^ "Domestic violence, sexual assault and stalking: Findings from the British Crime Survey" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal August 12, 2011. Diakses tanggal 2010-12-31. 
  145. ^ Smith (2018), hlm. 438–440.
  146. ^ Miller, T. Christian; Armstrong, Ken (16 December 2015). "An Unbelievable Story of Rape". ProPublica. The Marshall Project. 
  147. ^ "Reporting Rape, Western Cape Government, New Zealand". 2015. Diakses tanggal 2015-12-08. 
  148. ^ "The Secretary Generals database on violence against women". UN Secretary General's Database on Violence Against Women. 2009-07-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-01. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  149. ^ Miranda Sawyer. "50,000 rapes each year but only 600 rapists sent to jail". The Guardian. 
  150. ^ "A damning indictment of Ireland's attitude to women | Amnesty International". Amnesty INternational. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-08. Diakses tanggal 2013-02-03. 
  151. ^ Mallios C, Meisner T. Educating juries in sexual assault cases: Using voir dire to eliminate jury bias. Strategies: The Prosecutors’ Newsletter on Violence Against Women, 2010; 2. http://www.aequitasresource.org/EducatingJuriesInSexualAssaultCasesPart1.pdf Diarsipkan 2016-04-21 di Wayback Machine.
  152. ^ DiCanio, M. (1993). The encyclopedia of violence: origins, attitudes, consequences. New York: Facts on File. ISBN 978-0-8160-2332-5.
  153. ^ "Statistics about sexual violence" (PDF). National Sexual Violence Resource Center. 2015. Diakses tanggal January 8, 2018. 
  154. ^ a b Lisak, David; Gardinier, Lori; Nicksa, Sarah C.; Cote, Ashley M. (2010-12-01). "False Allegations of Sexual Assault: An Analysis of Ten Years of Reported Cases". Violence Against Women. 16 (12): 1318–1334. doi:10.1177/1077801210387747. ISSN 1077-8012. PMID 21164210. 
  155. ^ Weiser, Dana M (February 2017). "Confronting Myths About Sexual Assault: A Feminist Analysis of the False Report Literature False Reports". Family Relations. 66 (1): 46–60. doi:10.1111/fare.12235. 
  156. ^ Home Office Research (February 2005). A gap or a chasm? Attrition in reported rape cases (PDF) (Laporan). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal March 8, 2008. 
  157. ^ "Abstracts Database — National Criminal Justice Reference Service". Ncjrs.gov. Diakses tanggal 2010-12-31. 
  158. ^ UK, The Huffington Post (2013-03-13). "'Damaging Myths' About False Rape Accusations Harming Real Victims". HuffPost UK. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  159. ^ "Charging perverting the course of justice and wasting police time in cases involving allegedly false rape and domestic violence allegations" Archived from: http://www.cps.gov.uk/publications/research/perverting_course_of_justice_march_2013.pdf
  160. ^ Crime Index Offenses Reported. FBI.gov. 1996
  161. ^ False Allegations, Recantations, and Unfounding in the Context of Sexual Assault Diarsipkan 2011-07-27 di Wayback Machine.. Attorney General's Sexual Assault Task Force Oregon, US January 10, 2008.
  162. ^ a b Kanin, E.J. (1994). "An alarming national trend: False rape allegations". Archives of Sexual Behavior. 23 (1). 
  163. ^ Lisak, David; Gardinier, Lori; Nicksa, Sarah C.; Cote, Ashley M. (2010). "False Allegations of Sexual Assault: An Analysis of Ten Years of Reported Cases". Violence Against Women. 16 (12): 1318–1334. doi:10.1177/1077801210387747. PMID 21164210. 
  164. ^ Connors, Edward; Lundregan, Thomas; Miller, Neal; McEwen, Tom (June 1996). "Convicted by Juries, Exonerated by Science: Case Studies in the Use of DNA Evidence to Establish Innocence After Trial" (PDF). National Institute of Justice. hlm. xxviii–xxix. 
  165. ^ McMillan, Lesley (2018-01-02). "Police officers' perceptions of false allegations of rape". Journal of Gender Studies (dalam bahasa Inggris). 27 (1): 9–21. doi:10.1080/09589236.2016.1194260. ISSN 0958-9236. 
  166. ^ a b Development of Global Prohibition Regimes: Pillage and Rape in War – Tuba Inal. Diakses tanggal 2013-06-15. 
  167. ^ a b The Routledge History of Sex and the Body: 1500 to the Present. 2013-03-14. Diakses tanggal 2013-06-15. 
  168. ^ a b Teela Sanders (2012). Sex Offenses and Sex Offenders. Oxford University Press. hlm. 82. ISBN 978-0190213633. Diakses tanggal 28 January 2017. 
  169. ^ a b c Kersti Yllö, M. Gabriela Torres (2016). Marital Rape: Consent, Marriage, and Social Change in Global Context. Oxford University Press. hlm. 20. ISBN 978-0190238377. Diakses tanggal 28 January 2017. 
  170. ^ a b Winnie Tomm (2010). Bodied Mindfulness: Women's Spirits, Bodies and Places. Wilfrid Laurier University Press. hlm. 140. ISBN 978-1554588022. Diakses tanggal 28 January 2017. 
  171. ^ a b Elisabeth Meier Tetlow (2010). Women, Crime and Punishment in Ancient Law and Society: Volume 1: The Ancient Near East. A&C Black. hlm. 131. ISBN 978-0826416285. Diakses tanggal 30 January 2017. 
  172. ^ Anna Carline, Patricia Easteal (2014). Shades of Grey – Domestic and Sexual Violence Against Women: Law Reform and Society. Routledge. hlm. 209. ISBN 978-1317815242. Diakses tanggal 30 January 2017. 
  173. ^ "Case Closed: Rape and Human Rights in Nordic countries" (PDF). Amnesty International. 8 March 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-10-20. 
  174. ^ "The Medieval Blood Sanction and the Divine Beneficene of Pain: 1100–1450", Trisha Olson, Journal of Law and Religion, 22 JLREL 63 (2006)
  175. ^ Eckman, Zoe (2009). "An Oppressive Silence: The Evolution of the Raped Woman in Medieval France and England" (PDF). Historian: Journal of the Undergraduate History Department at New York University. 50: 68–77. 
  176. ^ James Fitzjames Stephen, A History of the Criminal Law of England, p. 17
  177. ^ George Mousourakis, The Historical and Institutional Context of Roman Law p. 30
  178. ^ Brundage, James A., "Rape and Seduction in Medieval Canon Law", in Sexual Practices and the Medieval Church, edited by Vern L. Bullough and James Brundage, Buffalo, 1982, p.141
  179. ^ Nghiem L. Nguyen (2006). "Roman Rape: An Overview of Roman Rape Laws from the Republican Period to Justinian's Reign". 
  180. ^ Justinian Institutiones
  181. ^ Basil of Caesarea, Letters circa 374 AD
  182. ^ Rothman, Lily. "When Spousal Rape First Became a Crime in the U.S." Time. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  183. ^ Urbina, Ian (11 October 2014). "The Challenge of Defining Rape". The New York Times. Diakses tanggal 5 December 2015. 
  184. ^ a b c d Maschke, Karen J. The Legal Response to Violence against Women. New York: Garland Pub., 1997. ISBN 9780815325192
  185. ^ Painter, George. "The History of Sodomy Laws in the United States – Idaho". Gay & Lesbian Archives of the Pacific Northwest. Diakses tanggal 2015-12-11. 
  186. ^ Hamilton Arnold, Marybeth. "Chapter 3 Life of a Citizen in the Hands of a Woman." Passion and Power: Sexuality in History. Ed. Kathy Lee. Peiss, Christina Simmons, and Robert A. Padgug. Philadelphia: Temple UP, 1989. ISBN 978-0877225966
  187. ^ Navanethem Pillay is quoted by Professor Paul Walters in his presentation of her honorary doctorate of law, Rhodes University, April 2005 Judge Navanethem Pillay. Introduction by Professor Paul Walters, Public Orator (doc file)
  188. ^ ECHR 25 September 1997, no. 57/1996/676/866, paragraph 83, Aydin v Turkey.
  189. ^ ECHR 4 december 2003, no. 39272/98, paragraph 146, M.C. v Bulgaria.
  190. ^ Nowell, Irene (1997). Women in the Old Testament. Liturgical Press. hlm. 69. ISBN 978-0-8146-2411-1. 
  191. ^ Vikman, Elisabeth (April 2005). "Ancient origins: Sexual violence in warfare, Part I". Anthropology & Medicine. 12 (1): 21–31. doi:10.1080/13648470500049826. PMID 28135871. 
  192. ^ R. Brian Ferguson (1995). Yanomami Warfare: A Political History. Santa Fe: School for American Research Press.
  193. ^ "Rise of Mongol Power Diarsipkan 2009-12-11 di Wayback Machine."
  194. ^ Weatherford, Jack (March 1, 2011). The Secret History of the Mongol Queens. Broadway Books. hlm. 90. ISBN 978-0307407160. 
  195. ^ Richard Bessel; Dirk Schumann (2003). Life after death: approaches to a cultural and social history of Europe during the 1940s and 1950s. Cambridge University Press. hlm. 143–. ISBN 978-0-521-00922-5. Diakses tanggal 1 October 2011. 
  196. ^ Chinese city remembers Japanese 'Rape of Nanjing'. CNN. December 13, 1997
  197. ^ Comfort Women Were 'Raped': U.S. Ambassador to Japan. chosun.com. March 19, 2007
  198. ^ "Italian women win cash for wartime rapes". Listserv.acsu.buffalo.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-15. Diakses tanggal 2010-12-31. 
  199. ^ Mathieu von Rohr (May 29, 2013). "'Bandits in Uniform': The Dark Side of GIs in Liberated France". Spiegel. Diakses tanggal 2013-05-31. 
  200. ^ 55 Dni Wehrmachtu w Polsce" Szymon Datner Warsaw 1967 page 67 "Zanotowano szereg faktów gwałcenia kobiet i dziewcząt żydowskich" (Numerous rapes were committed against Jewish women and girls). 
  201. ^ "war crimes". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-29. 
  202. ^ a b Numer: 17/18/2007 Wprost "Seksualne Niewolnice III Rzeszy". 
  203. ^ "holocaust studies". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-02. 
  204. ^ Grossmann, Atina (2007-12-31). Jews, Germans, and Allies. Princeton: Princeton University Press. hlm. 290. doi:10.1515/9781400832743. ISBN 9781400832743. 
  205. ^ "Zur Debatte um die Ausstellung Vernichtungskrieg. Verbrechen der Wehrmacht 1941-1944 im Kieler Landeshaus 1999" (PDF). 
  206. ^ Guz, Tadeusz (2016). The Nazi Law of the Third German Law. Towarzystwo Naukowe Katolickiego Uniwersytetu Lubelskiego Jana Pawła II. hlm. 72. doi:10.18290/2016entguz. ISBN 9788373067523. 
  207. ^ Beevor, Antony (2002-05-01). "They raped every German female from eight to 80". The Guardian. London. Diakses tanggal 2008-01-01. 
  208. ^ "Were Americans As Bad as the Soviets?". Der Spiegel. 2 March 2015. 
  209. ^ Ungvary, Krisztian; Ladislaus Lob; John Lukacs (April 11, 2005). The siege of Budapest: One Hundred Days in World War II. Yale University Press. hlm. 512. ISBN 978-0-300-10468-4. 
  210. ^ James, Mark (2005-10-20). "Remembering Rape: Divided Social Memory and the Red Army in Hungary 1944–1945". Past & Present. 188 (August 2005): 133–161. doi:10.1093/pastj/gti020. ISSN 1477-464X. 
  211. ^ Bessel, Richard; Dirk Schumann (May 5, 2003). Life after Death: Approaches to a Cultural and Social History of Europe. Cambridge University Press. hlm. 376. ISBN 978-0-521-00922-5. 
  212. ^ Naimark, Norman M. (1995). The Russians in Germany: A History of the Soviet Zone of Occupation, 1945–1949. Cambridge: Belknap. ISBN 978-0-674-78405-5. 
  213. ^ Muscatine, Alison., Tyson Found Guilty of Rape, Two Other Charges Diarsipkan 2010-05-05 di Wayback Machine., The Washington Post via MIT-The Tech, 1992-02-11, Retrieved on 2007-03-11.

Bacaan lebih lanjut

sunting
  • Rape Narratives in Motion. Germany, Springer International Publishing, 2019. Editors: Gabriella Nilsson, Lena Karlsson, Monika Edgren, Ulrika Andersson

Pranala luar

sunting
Klasifikasi
Sumber luar