Perang Diponegoro

Perang antara Pangeran Diponegoro dan pemerintah Hindia-Belanda yang berlangsung pada 1825-1830
(Dialihkan dari Perang Jawa)

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris: Java War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[5]

Perang Diponegoro

Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Raden Saleh
Tanggal21 Juli 1825 - 9 Februari 1830
LokasiYogyakarta, Surakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
Hasil
  • Kemenangan Belanda
Pihak terlibat
  • Pasukan Jawa/Diponegoro
Tokoh dan pemimpin
Kekuatan
50.000 100.000
Korban
15.000 Serdadu Jawa:
20,000 tewas dalam perang[2]
Milisi dan sipil:
200.000 korban jiwa [3][4]

Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.[5]

Latar Belakang

sunting

Perubahan hubungan keraton Jawa dengan Eropa

sunting

Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.[5]

Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Peristiwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Pada peristiwa ini Inggris menghancurkan sebagian bangunan keraton, menjarah barang-barang berharga dan perhiasan milik kesultanan, dan mengasingkan Hamengkubuwana II ke Pulau Pinang. Akibatnya, keraton mengalami kerugian yang besar dan terjadi perubahan hubungan antara Inggris dan keraton.[6]

Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Konvensi London (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814). Adik Hamengkubuwana II, Pangeran Natakusuma yang berjasa kepada Inggris menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman dengan gelar Paku Alam I. Mengingat usia Hamengkubuwana IV yang masih muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja oleh Raffles untuk menghormati jasa-jasanya dan menepati janji yang telah diberikan kepadanya.[7]

Era Daendels dan Raffles menjadi awal dari kejatuhan keraton-keraton di Jawa tengah bagian selatan. Meski keraton-keraton ini masih berdiri sampai sekarang, tetapi kekuatan dan kekuasaan yang sesungguhnya telah dilucuti pada 1812 oleh bangsa-bangsa Eropa sehingga mereka bukan lagi ancaman bagi pemerintah kolonial. Bentuk pemerintahan kolonial yang sentralistik bertentangan dengan filsafat Jawa yang membagi Jawa menjadi beberapa bagian. Jika sebelumnya bangsa-bangsa Eropa hanya menguasai Batavia dan pantai utara Jawa, maka kini mereka bisa berekspansi ke daerah-daerah di pedalaman Jawa yang secara tradisional adalah wilayah kekuasaan keraton-keraton Jawa. Peristiwa penyerahan diri Sultan Hamengkubuwana II kepada Raffles setelah peristiwa Geger Sepehi menunjukkan pemerintah kolonial kini memperlakukan diri mereka setara atau lebih tinggi dibanding penguasa Jawa dan tak segan ikut campur dalam urusan internal keraton. Jatuhnya Keraton Yogyakarta pada 1812 memunculkan suatu kombinasi elemen-elemen baru di masyarakat, seperti kaum santri dan kaum petani, yang nantinya bersatu saat Perang Diponegoro.[8]

Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert

sunting

Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi.

Residen baru Yogyakarta pengganti Nahuys, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam penunjukkan Sultan pada bulan Juni 1823. Penunjukan itu untuk menggantikan Sultan Hamengku Buwono IV yang meninggal mendadak. Smissaert duduk di atas tahta seraya menerima sembah dan bakti para bupati mancanagara dalam lima upacara Garebeg selama 31 bulan masa jabatannya sebagai Residen. Di mata orang Jawa hal ini adalah penghinaan terhadap martabat mereka. (Peter Carey: 2014)

Pangeran Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai Wali Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan Ratu Kencono (Ibunda Sultan balita). Namun posisi Pangeran semakin tidak dianggap. Smissaert mengabaikan pendapat Pangeran Diponegoro dalam persoalan ganti rugi sewa tanah yang dapat membawa Kesultanan pada kebangkrutan.[5]

Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya yang berada di Tegalrejo untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.[5]

Penyebab perang

sunting

Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Pemasangan patok-patok menyebabkan ketidaknyamanan bagi Diponegoro dan mengganggu orang-orang yang bekerja di tanah miliknya.[9]

Patih Danurejo IV tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak pada bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.[5] Diponegoro lalu mengungsikan keluarga dan para pekerja yang lebih tua dan membekali mereka dengan uang dan barang barharga untuk membiayai perang. Diponegoro juga mulai membawa keris kesayangannya, Kiai Abijoyo.[10]

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior Raden Tumenggung Sindunegoro II dan Mas Ario Manduro yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah, pasukan ini diperkuat dengan satu pasukan keraton gabungan Belanda dan Jawa berupa 50 pasukan berkuda (25 dragonder dari keraton dan 25 hussar) serta 50 serdadu infanteri yang dibentuk oleh Asisten Residen Chevallier. Tampaknya, Chevallier berharap dapat memenjarakan Diponegoro maupun Mangkubumi dan dengan demikian dapat mengakhiri pergolakan yang siap pecah dengan kata lain mengakhiri Perang Jawa yang bahkan belum dimulai.[11]

Tibanya pasukan itu memicu perkelahian sengit, permukiman Pangeran jatuh ke tangan pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Chevallier dan Letnan Kavaleri Jean Nicolaas de Thierry, lalu langsung dibakar. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Mereka beranggapan pangeran berhasil lolos bersama sebagian besar pendukung mereka dengan mengambil jalan setapak sawah-sawah yang senantiasa berisi air, mereka dengan cepat mendahului pasukan yang mengejar. Selain itu pengerahan pasukan oleh pasukan gabungan ternyata telah diketahui oleh sang Pangeran karena telah diperingatkan sebelumnya oleh para pandai besi di Yogyakarta yang telah membantu memasang ladam kuda-kuda kavaleri dan persiapan senjata.[12] Pelukis Belgia , Antoine Auguste Joseph Payen, menerima laporan lengkap tentang operasi mliter yang gagal itu dari kawan sekaligus teman sebangsanya dari Walloon (pasca-1830, Belgia) De Thierry:

Dengan kavaleri di satu sisi dan bergerak mengitari desa yang mencakup pemukiman Tegalrejo. Mereka dapat melihat para pemberontak mundur pelan-pelan melewati sawah-sawah. Pangeran Diponegoro berada tidak jauh menunggang seekor kuda hitam gagah (Kiai Gitayu) dengan perlengkapan sangat bagus. Dia berpakaian putih seluruhnya gaya Arab. Ujung serbannya melambai diterpa angin selagi dia membuat kudanya berjingkrak. Tali kekang diikatkan ke sabuknya, dia tampak bagai menari-nari tandak di tengah pasukan kawalnya yang menyandang tombak.

— Payen, [12]

Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Se(banyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.[5] Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwana VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Perang sabil

sunting

Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebaijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.[13] Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil.[5]

Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.[5]

Jalan peperangan

sunting
 
Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830
 
Diponegoro
 
Alibasah Sentot

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Selain sosok Pangeran Diponegoro, di awal perang terdapat seorang bangsawan pendukung Diponegoro, yakni Pangeran Serang II. Pada bulan Agustus hingga September 1825, ia menyerang posisi posisi pertahanan Belanda di sepanjang Pantai Utara Jawa, terutama di daerah Serang-Demak.[14] Adik ipar Diponegoro yang bernama Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo ikut memberontak di Bojonegoro (1827-1828)[15] menuju pesisir utara di mana ia berhasil merebut Rembang, Lasem, dan Tuban. Sayangnya pada Oktober 1828, Raden Sosrodilogo terpaksa menyerah kepada Belanda setelah ia kehabisan pasukan.

 
Pencarian Diponegoro di Magelang.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Setelah perang terus berkelanjutan, akhirnya Belanda menangkap Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1830, kemudian mengasingkan ke Batavia selama sebulan, sebelum dipindahkan ke Sulawesi hingga akhir hayatnya

 
Pertempuran di Pluntaran.

Peran kaum santri

sunting

Diponegoro menjalin hubungan erat dengan kaum santri melalui hubungan kekerabatan dan pernikahan. Nenek buyut Diponegoro, Ratu Ageng, yang mengasuhnya di Tegalrejo cenderung dekat dengan komunitas santri dan alim ulama di Yogyakarta dan sekitarnya. Didikan nenek buyutnya dan ulama yang mengajari agama Islam menjadikan Diponegoro muslim yang taat. Istri pertama Diponegoro yang dinikahi pada 1803 adalah Raden Ayu Madubrongto, putri Kyai Gede Dadapan, ulama terkemuka dari Desa Dadapan.[16]

Berkat kedekatan Pangeran Diponegoro dengan kaum santri di Tegalrejo, perang juga dibantu oleh kaum santri dari berbagai penjuru Jawa. Berdasarkan sumber-sumber Jawa dan Belanda terdata sekitar 200 laki-laki dan perempuan yang ikut mendukung Diponegoro. Golongan santri ini terdiri atas keturunan Arab, Tionghoa, golongan santri istana, penduduk desa bebas pajak (perdikan), dan para pemimpin pondok pesantren dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun. Sementara 121 orang lainnya disebut sebagai kiai, suatu gelar kehormatan bagi sesepuh desa, guru agama, dan guru kebatinan.[17]

Penyebutan kiai ini tidak hanya untuk menghormati pemuka agama, tetapi juga "guru" yang pandai dalam berbagai ilmu yang berguna untuk perang, termasuk ilmu gaib, ilmu seni kawiryaan, ilmu seni menakuti musuh, ilmu kekebalan tubuh, dan menghindari peluru dan senjata tajam. Ajaran dan jimat dari para kiai ini dipercaya dapat mengalahkan Belanda melalui hal-hal yang di luar nalar. Pangeran Diponegoro sendiri dikatakan memiliki ilmu kebal dan mampu membaca karakter dari ekspresi wajah. Kaum santri ini terlibat dalam peperangan dengan mengenakan jubah putih dan sorban hijau mereka. Mereka dikenal terus-menerus berzikir dan membaca ayat suci Alquran di medan perang. Sumber-sumber Belanda juga menyebut bahwa para pengikut Diponegoro mencukur habis rambut mereka.[18]

Taktik Lumbung

sunting

Dalam sejumlah pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Papak dan Nyai Ageng Serang,mereka mampu mengalahkan Belanda dengan taktik mereka yaitu "Taktik Lumbung". [19]aktik Lumbung adalah taktik dimana setelah pemberontak melancarkan serangan mereka diperintahkan membuat talas dan meninggalkan nya,musuh akan berpikir jika itu adalah Sawah atau Ladang Kering, jika mereka mendekat di sawah tersebut maka dipastikan mereka dalam bahaya. Taktik ini efektif dalam meruntuhkan dominasi Belanda dalam Perang Ini dan juga menunjukan Peran Kaum perempuan dalam Perang ini.[20]

Peran kaum perempuan

sunting

Tak seperti gambaran fiksi Belanda yang menggambarkan wanita yang lemah lembut, kalangan perempuan yang membantu Perang Diponegoro adalah para perempuan tangguh yang tak segan turun ke medan perang. Dalam catatan Residen Valck, ada banyak istri-istri pejabat Jawa yang terlibat dalam perang dan tangguh melawan musuh-musuhnya. Setidaknya ada dua perempuan yang layak mendapat perhatian, yakni Nyi Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo menurut catatan Valck.[21]

Nyi Ageng Serang adalah istri dari Pangeran Serang I dan ibu dari Pangeran Serang II yang menyerang Belanda di Pantai Utara. Nyi Ageng Serang memimpin sekitar 500 pasukan di daerah Serang-Demak. Ia dikabarkan memiliki kesaktian melalui pertapaan di gua-gua Pantai Selatan.[22] Sebagai keturunan Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Serang memiliki pengaruh besar terhadap penduduk di daerah Serang-Demak, bahkan setelah perang secara formal berakhir pada Maret 1830. Maka dari itu, pemerintah Hindia-Belanda terus mengawasi gerak-geriknya, bahkan sampai akhir hayatnya pada Agustus 1855.[23]

Perempuan kedua yang diwaspadai Belanda adalah Raden Ayu Yudokusumo, putri Sultan Hamengkubuwana I dan istri bupati Grobogan-Wirasari, wilayah mancanegara Yogyakarta. Ia dideskripsikan sebagai "seorang perempuan dengan tingkat kecerdasan tinggi, dan kecerdikan siasat yang melebihi lelaki." Ia adalah dalang di balik penyerangan terhadap komunitas Tionghoa di Ngawi pada 17 September 1825. Selama perang, RA Yudokusumo diangkat menjadi komandan kavaleri senior di mancanegara timur dan bergabung dengan pemberontakan Raden Sosrodilogo pada 1827-1828. Ketika ia menyerah pada Belanda, ia mencukur habis rambutnya sebagai tanda dedikasinya atas perang sabil melawan Belanda dan orang Jawa murtad.[24][25]

Selain kalangan bangsawan Jawa, kaum perempuan dari masyarakat biasa juga turut andil dalam perang. Misalnya, salah seorang perempuan peranakan Tionghoa membentuk pasukan keamanan setelah mengetahui tindakan RA Yudokusumo. Tak hanya itu, di pedesaan sekitar Yogya perempuan dilibatkan untuk menyiapkan bubuk mesiu. Perempuan bahkan mengenakan baju prajurit (prajuritan) selama penjarahan Yogya pada Agustus 1825. Istri-istri pangeran dan pejabat juga mendapat tugas untuk membawa barang berharga seperti perhiasan dan menukarkannya untuk membiayai perang. Hal ini juga mencerminkan peran mereka dalam masyarakat Jawa sebelum Perang Diponegoro maupun pada saat perjuangan kemerdekaan Indonesia.[26][21]

Taktik Belanda

sunting

Belanda awalnya kesulitan dalam mengatasi pasukan Diponegoro yang menggunakan taktik dan strategi bervariasi serta mendapat dukungan luas dari masyarakat. Belanda setidaknya membutuhkan waktu dua tahun untuk menemukan strategi yang tepat, yakni kombinasi sistem benteng darurat (bentengstelsel) dengan pasukan gerak cepat dalam jumlah besar. Sistem benteng ini diperkenalkan oleh Cochius sejak awal perang. Pada dasarnya, pasukan Belanda akan membangun bangunan sementara di atas bukit atau tempat terlindung lainnya, membentenginya dengan batang kelapa dan dudukan senjata yang ditinggikan. Dengan sistem ini, pihak Belanda dapat meninggalkannya dengan mudah dan membangun bangunan baru di tempat yang lebih membutuhkan. Hingga akhir perang setidaknya ada 258 benteng yang didirikan, 90 di antaranya dibangun pada 1828. Sistem benteng dan dukungan pasukan gerak cepat menjadi kunci sukses Belanda mengalahkan pasukan Diponegoro.[27]

Penangkapan dan pengasingan Diponegoro

sunting

Pada September 1829 terlihat jelas bahwa pasukan Diponegoro akan menderita kekalahan. Diponegoro pun bercerita ke Mangkubumi bahwa tak ada pilihan lain selain menjadi martir. Sebagian komandannya sudah menyerah atau ditangkap oleh pihak Belanda, sehingga hanya tersisa sedikit pengikutnya yang setia.

Namun, sang pangeran dan pengikutnya tidak menyerah begitu saja. Pangeran terus bergerilya selama 3 bulan sejak November 1829, keluar masuk hutan, menghindari kejaran Belanda. Belanda bahkan rela membayar 20 ribu gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Meski demikian, Diponegoro dan pengikutnya selalu berhasil lolos. Belanda tak kehabisan akal, salah satu perwira Belanda, Kolonel Cleerens mendekati orang-orang kepercayaan Diponegoro untuk berunding. Di bulan Februari hingga Maret 1830 Diponegoro mulai terbuka terhadap negosiasi dengan pihak Belanda. pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock mengundang Diponegoro untuk melakukan perundingan di Wisma Karesidenan Magelang. Namun Diponegoro justru ditangkap, dan De Kock menghianati kode etik perundingan. Diponegoro awalnya dikirim ke Semarang dan tinggal di kediaman Residen Semarang. Ia kemudian dikirim ke Batavia dan diasingkan di Stadhuis (kini Museum Sejarah Jakarta) mulai 8 April hingga 3 Mei 1830. Ia lalu diasingkan ke Manado selama 3 tahun, kemudian dipindahkan ke Makassar pada 1833 hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.[28]

Mengenai penangkapannya ini, Diponegoro merasa dikhianati oleh pihak Belanda, terutama Kolonel Cleerens dan Letnan Jenderal De Kock. Diponegoro sebenarnya sudah menduga penangkapannya akan terjadi. Namun, ia merasa kecewa dengan sikap pihak Belanda yang awalnya bersedia memenuhi tuntutan-tuntutannya, tetapi malah berbalik arah menangkapnya. Ia datang ke Magelang dengan maksud untuk berunding dan ia seharusnya diberi kebebasan penuh untuk pergi jika tidak mencapai kesepakatan. Nyatanya, Belanda sebenarnya tidak pernah bermaksud membiarkan Pangeran Diponegoro lolos karena ia telah menjadi sumber ancaman besar bagi Belanda selama 5 tahun perang.[29]

Dampak perang dan Kesimpulan

sunting

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu Belanda dan 7.000 pribumi.[30] Sekitar 2 juta orang atau sepertiga dari seluruh penduduk Jawa terkena dampak perang yang melanda hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur; 200.000 orang Jawa meninggal dunia; dan seperempat lahan pertanian rusak. Belanda juga harus menanggung biaya perang sebanyak 25 juta gulden atau setara dengan 2,2 miliar dollar AS saat ini.[31][32] Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.[butuh rujukan]

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh Warok[33].Dalam catatan Belanda, para Warok yang memiliki kemampuan berperang sangat tangguh bagi pasukan Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak Belanda, terjadi sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di Ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.[34]

Karena bagi sebagian orang Keraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan masuk ke keraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dimiliki Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.[butuh rujukan]

Tanam paksa

sunting

Salah satu dampak langsung perang adalah kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) (1830-1870) yang diinisiasi oleh Gubernur Jenderal van den Bosch untuk menutup biaya perang. Sistem tanam paksa ini menghasilkan keuntungan berkali-kali lipat dari kerugian akibat perang, yakni sebesar 832 juta gulden atau setara dengan 11 triliun dollar AS selama 1831 hingga 1877.[35] Hal ini meneguhkan kekuasaan Belanda di Jawa hingga puluhan tahun kemudian.

Perubahan hubungan Jawa-Eropa

sunting

Meski hubungan keraton-keraton Jawa dengan bangsa Eropa telah berubah sejak setidaknya era Daendels dan Raffles, tetapi perang ini semakin memperkuat posisi pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Jawa. Jika di era VOC (1602-1799), status keraton diakui sebagai negara yang berdaulat yang memiliki posisi setara dengan negeri Belanda, maka di era baru ini posisi keraton menjadi subordinat atau bawahan pemerintah kolonial. Keraton tak lagi memiliki kedaulatan dan kewenangan penuh dalam urusan internal dan eksternalnya karena harus melalui persetujuan atau konsultasi dengan para pejabat Belanda.[35]

Perang Padri II

sunting

Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Padri adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk- mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II antara 1831-1838.

Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Padri, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.

Sinofobia (Xenophobia)

sunting

Masyarakat Tionghoa yang dipandang sebagai sekutu oleh Raden Ronggo dalam pemberontakannya berubah menjadi musuh dalam peperangan Diponegoro. Hal tersebut disebabkan mencuatnya sikap anti-tionghoa oleh masyarakat Jawa yang disebabkan oleh beberapa hal berikut:

  1. Kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat oleh Keraton Yogyakarta akibat intervensi pemerintah Belanda dijalankan melalui perantaraan etnis Tionghoa[36]
  2. Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh Daendels (1809) menyebabkan bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.[5]
  3. Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan tentara Inggris, sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).[5]
  4. Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat sasaran karena para petani Jawa pada saat itu terbiasa dengan barter. Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus pajak.[5]
  5. Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.[5]
  6. Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi.[5]
  7. Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro sekaligus saudara ipar pangeran, pada bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro disebabkan Sosrodilogo telah menjamahi seorang peranakan Tionghoa di Lasem.[5]

Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di Bagelen saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.[5]


Perang Diponegoro merupakan salah satu konflik paling signifikan dalam sejarah Indonesia yang terjadi antara tahun 1825 dan 1830. Konflik ini dipicu oleh ketidakpuasan Diponegoro terhadap kebijakan kolonial Belanda yang melanggar hak-hak dan kepentingan rakyat Jawa, termasuk penindasan, eksploitasi ekonomi, dan campur tangan dalam urusan pemerintahan tradisional. Diponegoro, seorang pemimpin Jawa yang karismatik dan berpengaruh, memimpin pemberontakan melawan Belanda dengan dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat Jawa.

Perang Diponegoro tidak hanya sekadar konflik militer, tetapi juga merupakan pertempuran ideologi, identitas, dan kebangsaan. Diponegoro mewakili semangat perlawanan terhadap penjajahan dan keinginan untuk mempertahankan kedaulatan dan kebudayaan Jawa. Sementara itu, Belanda mewakili kekuatan kolonial yang mencari untuk memperluas dominasinya dan mengamankan sumber daya ekonomi di wilayah jajahannya.

Perang Diponegoro adalah kekalahan pasukan Diponegoro oleh Belanda. Meskipun Diponegoro dan pasukannya berhasil mempertahankan beberapa wilayah untuk waktu yang cukup lama, keunggulan teknologi dan sumber daya militer Belanda pada akhirnya mengatasi perlawanan mereka. Pasukan Diponegoro mengalami kekurangan persediaan, dukungan politik, dan koordinasi strategis yang memadai, sementara Belanda memanfaatkan keunggulan mereka dalam hal persenjataan modern, logistik, dan pasukan kolonial yang terlatih.

Setelah kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 dan penangkapannya oleh Belanda, perang tersebut berakhir. Konsekuensinya adalah penaklukan Jawa oleh Belanda, yang memperkuat kedudukan mereka sebagai penguasa kolonial di wilayah tersebut. Perang Diponegoro tidak hanya meninggalkan bekas luka fisik dan emosional bagi masyarakat Jawa, tetapi juga berdampak besar terhadap politik, sosial, dan budaya di Indonesia. Konflik ini memperkuat identitas nasionalisme Indonesia dan menjadi titik awal bagi perlawanan lebih lanjut terhadap penjajahan kolonial Belanda.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Toby Alice Volkman: Sulawesi: island crossroads of Indonesia, Passport Books, 1990, ISBN 0844299065, page 73.
  2. ^ Clodfelter, Michael, Warfare and Armed Conflict: A Statistical Reference to Casualty and Other Figures, 1618-1991
  3. ^ Renate Loose, Stefan Loose, Werner Mlyneck: Travel Handbuch Bali& Lombok, CQ Press, 2010, ISBN 0872894347, page 61.
  4. ^ Dan La Botz: Made in Indonesia: Indonesian Workers Since Suharto, South End Press, 2001, ISBN 0896086429, page 69.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
  6. ^ Carey 2017, hlm. 170.
  7. ^ Carey 2017, hlm. 203-204.
  8. ^ Carey 2017, hlm. 170-171.
  9. ^ Carey 2017, hlm. 292.
  10. ^ Carey 2017, hlm. 293.
  11. ^ Carey 2017, hlm. 294.
  12. ^ a b Carey, Peter (2022). Percakapan Dengan Diponegoro. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). hlm. 61. 
  13. ^ J. Kathirithamby-Wells (1998). "The Old and the New". Dalam Mackerras, Colin. Culture and Society in the Asia-Pacific. Routledge. hlm. 23. 
  14. ^ Carey 2014, hlm. 308.
  15. ^ Carey 2014, hlm. 192.
  16. ^ Carey 2017, hlm. 26.
  17. ^ Carey 2017, hlm. 316-317.
  18. ^ Carey 2017, hlm. 317-318.
  19. ^ Sudarmanto, YB (1992). Jejak-Jejak Pahlawan Indonesia. Jakarta: Gramedia. ISBN 9789797597164 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  20. ^ Hieronymu, Purwanta (19-06-2023). "The Struggle of Nyai Ageng Serang in the Diponegoro War 1825-1830". International of Journal of Advanced Multidisciplinary. 2: 4–5. 
  21. ^ a b Carey 2017, hlm. 308-310.
  22. ^ Carey 2017, hlm. 308.
  23. ^ Carey 2008, hlm. 614.
  24. ^ Carey 2017, hlm. 308-309.
  25. ^ Carey 2008, hlm. 614-615.
  26. ^ Carey 2008, hlm. 616.
  27. ^ Carey 2017, hlm. 326-331.
  28. ^ Carey 2017, hlm. 344.
  29. ^ Carey 2017, hlm. 362-368.
  30. ^ M.C. Ricklefs: A History of modern Indonesia since 1300, p. 117.
  31. ^ Carey 2017, hlm. xxxix.
  32. ^ Carey 2008, hlm. xi.
  33. ^ "Warok Ponorogo, dari rebutan gemblak lalu merebut kemerdekaan". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2014-05-11. Diakses tanggal 2022-08-31. 
  34. ^ "Ponorogo Tempatnya Sepeda Onthel Kuno". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2022-08-31. 
  35. ^ a b Carey 2017, hlm. xl.
  36. ^ Budi Susanto (editor). 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 979-21-0851-3.

Daftar Pustaka

sunting

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting