Penyerbuan Jawa (1811)

artikel daftar Wikimedia

Penyerbuan Jawa pada 1811 adalah operasi amfibi yang dilancarkan Inggris terhadap Pulau Jawa di bawah Prancis. Prancis pada masa peperangan era Napoleon memiliki Jawa melalui berdirinya Republik Batavia pada 1795 dan Kerajaan Hollandia pada 1806 sebelum akhirnya menganeksasi Belanda pada 1810, meskipun Hindia Belanda tetap diperintah oleh orang Belanda.

Penyerbuan Jawa 1811
Bagian dari Peperangan era Napoleon

Ilustrasi pendaratan Inggris di Cilincing pada 4 Agustus 1811
Tanggal3 Agustus–18 September 1811
LokasiJawa, Hindia Belanda
Hasil Kemenangan Inggris
Perubahan
wilayah
Jawa direbut oleh Britania
Pihak terlibat
Britania Raya Britania Raya

Prancis Prancis

Tokoh dan pemimpin
Jan Willem Janssens
Kekuatan
12.000 17.000
Korban
1.000 2.000

Masa peralihan

sunting

Letnan-gubernur Jawa yang baru dilantik, Thomas Stamford Raffles (1781–1826) mengakhiri metode pemerintahan Belanda, membebaskan sistem kepemilikan tanah, dan memperluas perdagangan. Pada Kongres Wina 1815, diputuskan bahwa Britania harus mengembalikan Jawa dan kekuasaan Hindia Belanda lainnya kepada Belanda sebagai bagian dari persetujuan yang mengakhiri Perang Napoleon.

Melaka misalnya, dikembalikan kepada Belanda pada 1818, tetapi terpaksa oleh Belanda harus diserahkan kembali kepada Britania pada 1824 pada Perjanjian London (Traktat London). Kala itu diputuskan bahwa Belanda harus menyerahkan semua wilayahnya di Semenanjung Melayu pada Britania dan Britania menyerahkan semua wilayahnya di Sumatra pada Belanda.

Perjanjian 1 Agustus 1812

sunting

Perjanjian 1 Agustus 1812 mengesahkan revolusi politik yang dilakukan oleh Inggris. Pasal dua perjanjian ini yang berisi kewajiban bagi penguasa lokal untuk membubarkan pasukan militer mereka. Pasal ini ditujukan terutama kepada Yogyakarta di mana Hamengkubuwana II berhasil membangun kekuatan militer dengan jumlah yang cukup besar (sekitar 9.000 prajurit), yang kemudian dibubarkan dan oleh Raffles sebagian prajurit ini dikirim ke Kalimantan Timur untuk bekerja di perkebunan milik temannya, Alexander Hare.[1]

Selain itu, ada salah satu pasal dalam perjanjian ini yang lebih memberatkan bagi masyarakat setempat, yaitu pasal delapan. Pasal ini mengharuskan semua orang asing dan orang Jawa yang lahir di luar daerah kerajaan harus tunduk pada peraturan pemerintah. Dibuat untuk melindungi orang Tionghoa, pasal ini menimbulkan banyak masalah. Setelah bulan Februari 1814, ketika Raffles meresmikan pengadilan residen, semua perkara yang melibatkan orang keturunan Tionghoa, asing, dan warga negara yang lahir di luar daerah kekuasaan keraton-keraton di Jawa Tengah bagian selatan, dikenai "hukum pemerintah", sebuah campuran hukum Romawi dan hukum sipil Belanda bersama dengan undang-undang yang diresmikan oleh Dewan Negara di Belanda yang berhubungan dengan koloni. Sejak saat itu, orang Jawa yang terlibat dalam perkara pengadilan dengan orang non-Jawa atau orang Jawa yang terlahir di daerah kekuasaan pemerintah harus membawa kasus mereka ke pengadilan-pengadilan ini, yang mengakibatkan rasa tidak puas yang meluas di masyarakat.[1]

Skema pajak baru

sunting

Pemberlakuan skema pajak tanah yang baru, sesuai dengan perjanjian 1 Agustus 1812, terhadap daerah-daerah yang sebelumnya milik kerajaan dan baru saja dicaplok mengakibatkan penderitaan di masyarakat. Permintaan pemungut pajak Inggris yang terlalu memberatkan dan pembayaran pajak secara tunai, dalam bentuk uang perak, bukan dengan hasil tanam membuat para pemilik tanah jatuh ke tangan lintah darat keturunan Tionghoa yang memberikan bunga sangat tinggi. Hal ini menimbulkan ketegangan antar etnis karena rasa tidak puas yang meluas dan memicu pemberontakan petani secara besar-besaran dan menggerakkan pembataian etnis Tionghoa secara terogansir pada Juli-September 1825, yang mendampingi pecahnya Perang Jawa.[1]

Penyerbuan Meester Cornelis

sunting
 
Diagram Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta).

Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar antara 550–730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Pembelanya adalah campuran dari Belanda, Prancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Sebagian besar pasukan Hindia Timur tersebut diragukan loyalitas dan efektivitasnya, meskipun ada beberapa pasukan artileri yang tangguh dari Sulawesi. Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar) terbukti sebagai markas ideal yang digunakan Inggris untuk bisa menyerbu Meester Cornelis. Pada tanggal 14 Agustus Inggris melewati jalur yang melalui hutan dan perkebunan lada untuk memungkinkan mereka membawa senjata dan amunisi berat, dan memulai serbuan meriam di sisi utara benteng. Selama beberapa hari, terjadi baku tembak antara Meester Cornelis dan meriam Inggris, diawaki terutama oleh Marinir Kerajaan dan pelaut dari HMS Nisus.[2]

Sebuah serangan cepat dari Meester Cornelis pada pagi buta tanggal 22 Agustus secara singkat merebut tiga meriam Inggris, sampai mereka didorong kembali oleh beberapa para prajurit Bengali dan Resimen Serdadu ke-69.[3] Kedua belah pihak kemudian saling beradu tembak, yang mulai mereda pada 23 Agustus, tetapi berlanjut lagi pada tanggal 24 Agustus.[4][5] Posisi pasukan Prancis-Belanda memburuk ketika seorang desertir membantu Jenderal Rollo Gillespie untuk menangkap dua benteng pertahanan yang terkejut. Gillespie, yang sedang menderita demam, roboh, tetapi pulih untuk menyerbu sebuah benteng pertahanan ketiga. Jenderal Prancis Jauffret tertangkap dan dipenjarakan. Dua perwira Belanda, Mayor Holsman dan Mayor Muller, mengorbankan diri mereka dengan meledakkan amunisi benteng pertahanan itu.[6]

Tiga benteng pertahanan tersebut adalah kunci pertahanan Meester Cornelis, dan hilangnya mereka menurunkan moral sebagian besar pasukan Hindia Timur Janssens. Banyak tentara Belanda yang juga membelot, menyangkal kesetiaan mereka terhadap Prancis. Tentara Inggris menyerbu Meester Cornelis di tengah malam pada 25 Agustus, merebutnya setelah pertempuran yang sengit.[4][5] Penyerbuan tersebut memakan korban jiwa 630 korban di pihak tentara Inggris. Korban di pihak Prancis-Belanda lebih berat, namun hanya korban yang merupakan perwira militer yang tercatat. Empat puluh dari mereka tewas, enam puluh tiga terluka, dan 230 ditangkap, termasuk dua jenderal Prancis.[6] Hampir 5.000 orang ditangkap, termasuk tiga perwira jenderal, 34 petugas lapangan, 70 kapten dan 150 perwira bawahan.[5] 1.000 pria ditemukan tewas di benteng tersebut, dengan lebih banyak yang terbunuh dalam pengejaran berikutnya.[5] Janssens melarikan diri ke Buitenzorg dengan beberapa yang selamat dari pasukannya, tetapi dipaksa untuk meninggalkan kota tersebut ketika Inggris juga mendekat.[5]

Jumlah kerugian total Inggris dalam operasi militer setelah jatuhnya Meester Cornelis adalah sebesar 141 tewas, 733 terluka dan 13 hilang dari Angkatan Darat, dan 15 tewas, 45 terluka dan tiga hilang dari Angkatan Laut; total 156 tewas, 788 terluka dan 16 hilang saat 27 Agustus.[5]

Rujukan

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Carey, P. B. R.; A. Noor, Farish (2022). Ras, kuasa, dan kekerasan kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-481-656-8. OCLC 1348391104. 
  2. ^ Fregosi. Dreams of Empire. hlm. 322. 
  3. ^ nationalarchives site
  4. ^ a b Woodman. The Victory of Seapower. hlm. 108. 
  5. ^ a b c d e f James. The Naval History of Great Britain. 6. hlm. 34. 
  6. ^ a b Fregosi. Dreams of Empire. hlm. 323.