Pemberontakan Raden Ronggo

Pemberontakan Raden Ronggo adalah peristiwa pertempuran yang terjadi antara tanggal 20 November hingga 17 Desember 1810 antara pasukan yang dipimpin Raden Ronggo Prawirodirjo III melawan tentara Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels. Pemberontakan berlangsung singkat dan dapat segera dipadamkan oleh Daendels dengan bantuan pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan Hamengkubuwana II tidak dapat berbuat banyak selain berpura-pura mendukung Belanda akibat tuduhan yang diarahkan Sunan Pakubuwana IV kepadanya.

Pemberontakan Raden Ronggo
Tanggal20 November-17 Desember 1810
LokasiJawa
Hasil Raden Ronggo tewas dalam perang; pemberontakan berakhir.
Pihak terlibat
tentara Belanda Tentara Karesidenan Madiun
Tokoh dan pemimpin
Herman Willem Daendels Ronggo Prawirodirjo III 
Kekuatan
3000 infanteri
2 skuadron kavaleri
2 kompi artileri[1]
300 orang tentara
Korban
Tentara Belanda:
?
Tentara Madiun:
?

Latar belakang

sunting

Perubahan pendudukan VOC ke Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1800 membawa banyak perubahan terhadap hubungan politik dengan keraton-keraton di Jawa. Gubernur Jenderal Daendels menunjukkan kekuatan militer Belanda untuk menekan pihak keraton yang dibalas Sultan Hamengkubuwana II dengan mengadakan parade militer besar-besaran di Yogyakarta. Raden Ronggo selaku delegasi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak mengacuhkan manuver militer yang ditunjukkan oleh Daendels, sebaliknya delegasi dari Keraton Surakarta Hadiningrat memberikan sambutan yang hangat.[1]

Daendels memaksakan dilakukan perubahan tata upacara penerimaan Gubernur Jenderal Belanda di keraton yang dianggap merendahkan sultan Yogyakarta. Hal tersebut menyebabkan pihak keraton terbagi menjadi dua bagian, yaitu kelompok yang anti-Belanda (Tumenggung Sumodiningrat dan Radeng Ronggo) dan kelompok yang pro-Belanda (Patih Danurejo II dan putera mahkota). Belanda juga memaksa keraton untuk memberikan akses hutan jati di mancanegara (wilayah sebelah timur Yogyakarta) kepada mereka. Wilayah-wilayah yang dimaksud meliputi wilayah Padangan dan Panolan, termasuk wilayah Madiun yang dikuasai Raden Ronggo. Juga terdapat beberapa perjanjian yang dipaksakan untuk ditandangani oleh kedua keraton, antara lain kesepakatan hukum dan ketertiban serta pekerjaan serikat buruh panggul. Pada saat itu, Daendels tengah membangun jalan Anyer-Panarukan dan proyek pertahanan terhadap serangan Inggris yang membutuhkan dana materi serta manusia yang sangat banyak. Pada akhir tahun 1808, Raden Ronggo dengan sengaja memotong jalan kereta deputi Daendels, yaitu Van Braam, sehingga membuatnya dibenci oleh pihak Belanda dan dianggap sebagai musuh pemerintahan. Semenjak saat itu, nama Raden Ronggo sering disebut-sebut menjadi dalang berbagai tindakan perampokan dan pembunuhan.[1]

Setelah pulih dari duka akibat kematian istrinya pada bulan November 1809, Raden Ronggo kembali dituduh terlibat dalam suatu penyerangan pada tanggal 31 Januari 1810. Pakubuwana IV yang memiliki dendam pribadi kepada Raden Ronggo mengirim surat kepada Belanda agar Raden Ronggo menerima hukuman, tetapi Hamengkubuwana II berusaha melindungi menantunya itu. Raden Ronggo kemudian pulang ke Madiun pada bulan Oktober 1810 dan memperkuat tembok kediamannya di Maospati dengan bambu runcing dan meriam.[1]

Pada tanggal 10-13 November 1810, Daendels mengutus Van Braam untuk menyampaikan empat tuntutan kepada Sultan Hamengkubuwana II. Keempat tuntutan tersebut meliputi penegasan pelaksanaan tata upacara baru yang dipaksakan oleh Daendels untuk dilakukan di keraton, mengangkat kembali Patih Danurejo 2 yang pro-Belanda, memecat Raden Tumenggung Notodiningrat yang dianggap membahayakan Belanda, dan memanggil Raden Ronggo ke Bogor untuk memohon ampunan kepada Gubernur Jenderal. Dalam hal ini, Ratu Kencana Wulan, permaisuri Hamengkubuwana II, dituduh bersekongkol dengan Raden Ronggo karena ikut membiayai persiapan pasukan Raden Ronggo. Perintah pemanggilan selanjutnya dipindahkan ke Batavia karena Daendels memutuskan untuk menghukum mati Raden Ronggo.[1]

Jalan peperangan

sunting

Pada tanggal 20 November 1810, Raden Ronggo diikuti 300 orang tentara berangkat ke Madiun sebagai tanda dimulainya perlawanan terhadap Belanda, yaitu dengan menolak perintah menghadap Daendels di Batavia. Sebelumnya, ia telah menulis surat kepada Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat bahwa dirinya akan pergi berperang melawan Belanda serta untuk menyampaikan kepada sultan bahwa dirinya tidak bermaksud mungkar terhadap Keraton Dalem (sultan).

Ia memperoleh dukungan dan simpati dari berbagai penguasa di Jawa Tengah bagian selatan, termasuk Pangeran Notokusuma dan Notodiningrat, Raden Sumonegoro (Bupati Padangan) dan Raden Notowijoyo (Bupati Panolan), yang merupakan ayah mertua Pangeran Diponegoro.[1] Bahkan, Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro melakukan perlawanan secara langsung.

Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro melakukan perlawanan secara langsung. Sementara Raden Notowijoyo membantu suplai pasukan dan perbekalan. Perlawanan ini dilakukan karena tak ingin melihat rakyat mancanegara wetan (Madiun dan Jipang) sengsara akibat monopoli kayu yang dilakukan Daendels. Karena itu, mereka bertekad berjuang untuk melawan.

Selain History of Java (Raffles), Power of Propechy (Carrey), State Forest Management in Colonial Java (Peluse), kesengsaraan rakyat akibat monopoli kayu yang dilakukan Daendels di mancanegara wetan (Madiun dan Jipang) ini juga banyak dicatat para penulis Belanda. Dan ini alasan utama Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro melakukan perlawanan.

Raffles dan Peluse mencatat kesengsaraan masyarakat akibat monopoli kayu jati yang dilakukan Daendels. Dan ini jadi alasan utama tiga Bupati Mancanegara Wetan tak mau tunduk. Bahkan berfatwa untuk melawan. Ketiganya adalah Raden Ronggo Madiun, Raden Sumonegoro Padangan, dan Raden Notowijoyo Panolan.

Daendels beserta kubu Belanda kemudian memaksa Sultan Hamengkubuwana II menyerahkan Pangeran Notokusuma dan Notodiningrat ke Semarang sebagai jaminan untuk menangkap Raden Ronggo. Selain itu, Belanda juga meminta semua bupati mancanegara yang pro dengan Belanda untuk membantu meredam perlawanan Raden Ronggo.

Sultan Hamengkubuwana II sendiri mengerahkan pasukan sebanyak 1000 orang infanteri dan 12 kavaleri di bawah pimpinan Tumenggung Purwodipuro untuk memburu Raden Ronggo, meskipun pada kenyataannya Purwodipuro hampir tidak melakukan usaha apa-apa dalam tugasnya itu. Sultan juga memerintahkan Raden Ronggo untuk dibunuh di tempat jika berhasil ditangkap. Perintah tersebut disebabkan sultan mengingat janji Sultan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), ayah Sultan Hamengkubuwana II.

Sultan Hamengkubuwana I berjanji tidak akan menghukum mati keturunan dari panglima dan pasukannya, yang ikut berjuang dalam Perjanjian Giyanti (1755 M). Dan harus diketahui, Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro adalah keturunan dari panglima Sultan Hamengkubuwana I saat perjuangan Perjanjian Giyanti (1755 M).

Raden Ronggo Madiun adalah cucu dari Kiai Wirosentiko Madiun (Raden Ronggo I), yang tak lain adalah Panglima Perang Sultan Hamengkubuwana I. Sementara Raden Sumonegoro Padangan adalah cucu dari Kiai Tjarangsoko Padangan (Raden Malangnegoro I), yang tak lain adalah penasehat kepercayaan Sultan Hamengkubuwana I dalam perjuangan Perjanjian Giyanti (1755 M).

Sultan Hamengkubuwana II tentu merasa dilema sekaligus tak berani melaewan titah ayahnya. Karena itu, Sultan tidak ingin Raden Ronggo Madiun dan Raden Sumonegoro Padangan akan ditangkap hidup-hidup dan dibawa ke Yogyakarta. Dibalik semua itu, Sultan Hamengkubuwana II juga mendapat penekanan dari Pakubuwana IV, yang memang sangat dekat dengan Daendels.[1][2]

Selama perjalanan dari Yogyakarta (20 November) hingga tiba di Maospati (28 November), pasukan Belanda terus mengejar Raden Ronggo. Sehari sebelumnya, pasukan Raden Ronggo bertempur habis-habisan di Magetan. Ia berusaha mencari dukungan dari para bupati mancanegara, tetapi hanya Raden Sumonegoro (Bupati Padangan) yang merespon.

Daendels mengirim pasukan ke Semarang pada tanggal 2 Desember 1810 untuk segera meredam pemberontakan Raden Ronggo. Setelah tiga ekspedisi penangkapan gagal, Patih Danurejo II menyusun siasat untuk menjatuhkan Raden Ronggo sehingga akhirnya pada tanggal 7 Desember, Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) diutus menjadi panglima perang. Pada hari itu, istana Maospati berhasil direbut tanpa perlawanan, tetapi Raden Ronggo telah memindahkan pusat pertahanannya ke Wonosari.[1][3]

Raden Ronggo memindahkan pasukannya yang tersisa sekitar 100 orang ke Kertosono pada tanggal 10 Desember. Hari berikutnya, istana Wonosari berhasil diduduki dan sebagian keluarga Raden Ronggo (ibu, adik, dan anak) tertangkap dan diserahkan ke Yogyakarta. Pada tanggal 13 Desember, Pangeran Dipokusumo memerintahkan pengejaran ke Kertosono.

Pada tanggal 15 Desember 1810, Raden Ronggo menemui Kapiten Tionghoa di Lasem dan Rembang untuk membantunya dalam pemberontakan, tetapi dukungan yang diharapkan tidak pernah diperoleh. Masyarakat Tionghoa yang sama nantinya akan membantu pangeran Diponegoro dalam perang Diponegoro.

Akhirnya pada tanggal 17 Desember terjadi pertempuran akhir di Kertosono, di tepi Bengawan Solo. Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro dikepung gabungan Belanda dan pasukan bupati mancanegara yang pro Belanda. Di antara bupati mancanegara yang membantu Daendels adalah; Raden Pringgakusuma (Bupati Tulung Agung), Raden Yudakusuma (Bupati Wirasari), Raden Mangundirana (Bupati Kalangbret), dan Raden Sasrakusuma (Grobogan). Ini belum termasuk Kasunanan Surakarta yang sejak awal sudah mendukung Daendels. (surat dari A.H Smisseart pada Pieter Engelhard 3-12-1810).

Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro menghadapi pertempuran yang tak seimbang. Dua pejuang sejati itu harus menghadapi Belanda dan bupati-bupati yang pro pada Belanda. Pada saat ia ditanya apa yang menjadi tujuannya, Raden Ronggo dengan tegas menjawab, bahwa ia tak bermaksud menyusahkan orang Jawa, "tapi akan menghabisi siapapun yang menjadi beban bagi orang Jawa dan Tionghoa di mancanegara". Dalam pertempuran yang sangat tidak imbang itu, Raden Ronggo dan Raden Sumonegoro wafat.[1][3]

Hasil akhir

sunting

Jenasah Raden Ronggo tiba di Yogyakarta pada tanggal 21 Desember 1810. Sultan memerintahkan agar jenasahkanya digantung di alun-alun utara tempat biasanya jasad pelaku kejahatan dipertontonkan kepada publik. Keesokan harinya, jenasah Raden Ronggo dimakamkan di pemakaman pemberontak Banyu Sumurup. Pada tahun 1957, Sultan Hamengkubuwana IX menitahkan untuk memakamkan kembali Raden Ronggo di pemakaman Giripurno, di samping makam permaisurinya, yaitu Gusti Bendoro Raden Ayu Madoeretno. Sultan juga menetapkan Raden Ronggo sebagai pejuang perintis melawan Belanda.[1][2][4]

Setelah peristiwa pemberontakan berakhir, Daendels datang ke Yogyakarta pada tanggal 31 Desember 1810 untuk menurunkan Hamengkubuwana II dan mengangkat putera mahkota menjadi Hamengkubuwana III. Sultan Hamengkubuwana II yang selanjutnya disebut Sultan Sepuh tidak lagi memiliki kekuasaan sampai Belanda menyerah kepada Inggris (18 September 1811) sehingga ia dapat kembali menjadi sultan (23 September 1811). Setelah kembali berkuasa, Sultan Sepuh melakukan pembersihan terhadap pejabat-pejabat istana yang pro-Belanda, termasuk membunuh Patih Danurejo II yang merupakan menantunya sendiri. Kedua menantunya yang lain adalah Raden Ronggo dan Tumenggung Sumodiningrat. Pangeran Notokusuma dan Notodiningrat dikembalikan ke Yogyakarta pada tanggal 16 Desember 1811.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j Carey, Peter (2014). Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8. 
  2. ^ a b Peter Carey (17–23 Agustus 2015). "Raja yang peduli leluhur dan sejarah Yogyakarta-Madiun". Jakarta: Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan - Hamengku Buwono IX, Pengorbanan Sang Pembela Republik. hlm. 118–119. 
  3. ^ a b anonim (16 Januari 2012). "Mengenal Sejarah Tanah Perdikan Madiun". Madiun Info. Diakses tanggal 19 September 2015. 
  4. ^ anonim. "Pemakaman Maduretno". Eastjava.com. Diakses tanggal 19 September 2015.