Gadog
Gintungan, Bischofia javanica
dari Kaligambir, Panggungrejo, Blitar
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
B. javanica
Nama binomial
Bischofia javanica

Pepolo, sikkam, gintung, gadog atau kerinjing adalah sejenis pohon dari suku Phyllanthaceae. Pohon ini menyebar luas mulai dari India di barat, Jepang selatan di utara, ke selatan hingga ke Kepulauan Nusantara dan ke timur hingga ke Australia dan Pasifik.[2] Nama-nama daerahnya antara lain sikam, singkam, cingkam (Bat.); tingkeuëm (Acèh); tingkeum (Gayo); kerinjing, geronjing (Mly.); bintungan (Mink.); gintungan, gintung, gĕntung, gelintungan (Jw.); gadog, ki maung (Sd.); marintĕk, kayawu (Minh.); simamo (Ternate).[3]

Dalam perdagangan kayunya dikenal sebagai Bishop wood atau Java cedar; pohon ini di negara-negara lain disebut sebagai jitang (Mal.), tuai (Sabah, Fil.), toem, pradu-som (Thai), ’khom ‘fat (Laos), dan nhoi (Vietnam).[2] Di Assam, India, pohon yang dalam bahasa lokal disebut uriam ini diketahui biasa digunakan oleh harimau untuk menandai teritorinya melalui cakaran pada batangnya.

Pengenalan

sunting
 
Perawakan
 
Malai bunga

Pohon yang menggugurkan daun; berukuran sedang hingga sangat besar, tinggi mencapai 35 (–50) m, dan gemang batangnya 80 (–140) cm. Berbatang lurus atau agak bengkak-bengkok, batang bebas cabangnya pendek, akan tetapi kadang-kadang ada yang mencapai 20 m; sesekali, ada pula yang memiliki banir sempit hingga setinggi 3 m. Pepagan memecah dan bersisik, cokelat kemerahan hingga keunguan di luarnya, di sebelah dalam merah jambu, menyerat dan serupa spons, mengeluarkan getah merah bening, encer atau agak seperti jeli. Tajuk membulat padat.[2][4]

Daun-daun tersusun dalam spiral, majemuk menyirip beranak daun tiga, gundul, bertangkai 8–20 cm. Daun penumpu lonjong menyegitiga, seperti kertas, 7-22 mm, lekas gugur. Anak daun bentuk jorong hingga bundar telur, 6–16 cm × 3–10 cm, ujungnya meruncing, tepinya beringgit hingga bergerigi halus, bertulang daun menyirip, sisi atas mengkilap; anak daun yang ujung bertangkai panjang.[2]

Bunga berkelamin satu, beraturan, berbilangan-5, kecil, kehijauan, tak bermahkota. Bunga jantan berkumpul dalam malai sepanjang 9–20 cm di ketiak. Malai bunga betina sekitar 15–27 cm panjangnya. Buah batu tidak memecah, bulat, bergaris tengah 1,2-1,5 cm, hitam kebiruan jika masak, dengan 1-2 biji di setiap ruangnya. Biji berwarna cokelat, lonjong, 5 mm.[2]

Ekologi dan penyebaran

sunting
 
Buah-buah muda

Gadog umumnya tumbuh di wilayah yang memiliki musim kemarau yang (kurang-lebih) jelas (tipe iklim B atau C), dari pantai hingga ketinggian 1.800 m dpl. Pohon ini cukup umum ditemukan namun terpencar, di hutan-hutan primer dan sekunder tua luruh daun dan juga di hutan-hutan yang selalu hijau, hutan jati, hutan rawa, serta kadang-kadang di sabana.[2] Pohon gadog acap dijumpai tidak jauh dari anak sungai, di lembah-lembah yang teduh, dan senang tumbuh di atas tanah yang gembur dan dalam, berliat, berpasir atau berbatu, dengan kandungan air yang cukup[2] atau yang sesekali tergenang.[5] Sesekali didapati pula di atas wilayah kapur.[2]

Wilayah sebaran alami gadog meliputi India, Himalaya, ke timur hingga Tiongkok, Taiwan, Jepang selatan, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya (agak jarang), Nusantara, Australia timur laut, dan kepulauan di Pasifik hingga Samoa dan Tonga.[2] Di Indonesia tercatat dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.[5] Agak jarang,[2] tetapi tercatat pula dari Kalimantan.[6]

Pohon ini diintroduksi ke Afrika Timur dan Afrika Selatan sebagai pohon hias yang lekas tumbuh.[2] Juga dimasukkan ke Amerika Utara di mana pohon ini kemudian meliar menjadi gulma.[7]

Manfaat

sunting

Gadog menghasilkan kayu yang berkualitas baik dan indah.[3] Namun sejauh ini tidak ada catatan statistik perdagangan kayu ini di tingkat internasional, walaupun gadog digolongkan sebagai kayu komersial di Papua Nugini.[2] Kayu gadog cukup awet jika terlindung dari pengaruh cuaca, dan dapat digunakan sebagai ramuan rumah, mebel, dan jembatan, asalkan diberi atap.[5] Di samping itu, kayu gadog juga digunakan untuk tiang, geladak, papan lantai, interior bangunan, alat pertanian, ukiran, pensil, pembuatan venir dan kayu lapis, serta pulp dan kertas.[2]

Kayu gadog tergolong kayu sedang hingga keras, dengan berat yang menengah hingga berat (densitas 520–1.010 kg/m³ pada kadar air 15%).[2] Terasnya berwarna cokelat-merah sampai cokelat-ungu, terbedakan jelas dari gubalnya yang berwarna cokelat-kelabu atau cokelat pucat. Tekstur kayunya agak kasar dan merata; dengan arah serat yang umumnya berpadu dan kadang-kadang bergelombang. Permukaan kayu agak kusam sampai agak mengkilap, agak kesat sampai agak licin. Pada bidang radial tampak samar-samar jalur gelap dan terang berselang-seling, yang ditimbulkan oleh arah serat yang berpadu.[5]

Kayu gadog sangat sukar dikeringkan, karena mudah retak, pecah, dan berubah bentuk; tidak disarankan untuk diolah menjadi papan tipis. Penyusutan kayu gadog hingga kering udara sekitar 1,8% di arah radial dan 4,1% di arah tangensial; sedangkan hingga kering tanur penyusutannya mencapai 3,9% di arah radial dan 7,5% di arah tangensial. Pengeringan tanpa tanur papan gadog setebal 2 cm dari keadaan segar hingga kadar air 30% memerlukan waktu 64 hari.[5]

Kayu gadog termasuk kelas kuat I – III (rata-rata II); dan kelas awet II – III. Daya tahannya terhadap rayap kayu kering tergolong kelas IV, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu kelas II – IV. Kayu terasnya sukar diawetkan, tetapi gubalnya mudah.[5]

Kayu gadog baik untuk dijadikan arang.[2]

Kegunaan lain

sunting

Pepagan gadog menghasilkan tanin dan zat pewarna. Dulu, di Jawa Tengah, cairan yang diperoleh dari parutan pepagan gadog digunakan untuk mengubar jala dan tali agar awet. Seduhan pepagan gadog menghasilkan pewarna merah yang tahan cahaya, digunakan untuk mewarnai keranjang-keranjang rotan di Sumatera Selatan. Dicampur dengan jelaga, seduhan pepagan itu dipakai untuk menghitamkan anyaman bambu di Balapulang.[3]

Daunnya digunakan untuk menghalau hama padi dan jagung. Daun ini juga dapat dipakai untuk memberi warna merah pada anyaman.[3]

Di India, gadog dianggap sebagai pohon peneduh yang baik di perkebunan kopi dan kardamunggu. Pohon ini juga diintroduksi ke Afrika dan Amerika sebagai pohon hias.[2]

Di Simalungun, salah satu suku di tepian Danau Toba, air perasan kulit pohon ini menjadi salah satu bahan utama pembuatan masakan khas Dayok Binatur Diarsipkan 2023-01-07 di Wayback Machine.. Masakan ini adalah masakan yang wajib ada dalam setiap acara adat. Bersama sedikit perasan air jeruk purut, air perasan kulit pohon ini dipakai untuk mematangkan sekaligus mewarnai darah ayam yang disembelih. Hasilnya berupa cairan kental seperti vla dengan rasa sepat yang khas, dipakai untuk membaluri seluruh permukaan daging ayam yang telah dipanggang. Hasilnya adalah masakan berwarna merah marun. Setelah masuknya agama Islam di wilayah suku Simalungun, pemeluk agama Islam mengganti bahan vla tersebut dengan perasan santan dan air perasan kulit pohon murak atau dikenal juga sebagai daun salam.

Selain untuk membaluri dayok binatur, hasil olahan air perasan kulit sikkam dan darah hewan yang disembelih ini juga menghasilkan masakan khas Simalungun lainnya, disebut na hinasumba Diarsipkan 2023-01-07 di Wayback Machine.. Dalam na hinasumba, hasil olahan tersebut dipakai untuk melumuri daging yang direbus setengah matang dengan cara meremas-remasnya. Hasilnya adalah masakan berwarna merah ungu dengan rasa yang khas.

Catatan taksonomis

sunting

Marga Bischofia termasuk membingungkan. Penulis-penulis yang berlainan menempatkannya berbeda-beda: dalam suku Euphorbiaceae, Staphyleaceae, Phyllanthaceae, atau juga Bischofiaceae; masing-masing dengan argumennya. Marga ini hanya berisi dua anggota, yakni B. javanica (gadog) yang tersebar luas, dan kerabatnya B. polycarpa yang menyebar terbatas di Tiongkok.

Marga Bischofia bersinonim dengan Microelus Wight & Arn. dan Stylodiscus Benn.

Etimologi

sunting

Nama marga pohon ini, Bischofia, diambil dari nama G.W. Bischof (1797-1854), profesor di Universitas Heidelberg, Jerman,[4] sedangkan epitet spesifiknya, javanica, merujuk pada Pulau Jawasebagai pulau asal herbarium untuk deskripsi pertama dan kemelimpahan pada masa lalu.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Blume, C.L. 1826. Bijdr. 17: 1168 Diarsipkan 2023-06-06 di Wayback Machine.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Sunarno, B., A. Martawijaya, E. Wheeler 1995. Bischofia Blume. in R.H.M.J. Lemmens, I. Soerianegara and W.C. Wong (Eds.). Timber Trees: Minor commercial timbers. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5 (2): 246-249. Prosea, Bogor. ISBN 979-8316-18-5
  3. ^ a b c d Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 2: 1154-1155. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
  4. ^ a b Whitmore, T.C. 1972. Staphyleaceae. in T.C. Whitmore (Ed.) Tree Flora of Malaya 1: 446-448. Malay. For. Records no 26. Longman Malaysia Sdn. Bhd. ISBN 0-582-72412-0
  5. ^ a b c d e f Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir 1989. Atlas Kayu Indonesia 2: 42-46. Badan Litbang Kehutanan, Bogor.
  6. ^ Argent, G., A. Saridan, E.J.F. Campbell, P. Wilkie t.t. Manual of the Larger and More Important Non Dipterocarp Trees of Central Kalimantan, Indonesia 1: 210-211. For. Research Institute Samarinda, Samarinda.
  7. ^ Hao Zheng, Yun Wu, Jianqing Ding, Denise Binion, Weidong Fu and Richard Reardon (September 2004). "Bischofia javanica (Bishop wood)". Invasive Plants of Asian Origin Established in the US and Their Natural Enemies (PDF). USDA Forest Service. hlm. 34–35. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2006-09-28. Diakses tanggal 2006-11-17. 

Pranala luar

sunting