Menstruasi dalam Islam

Haid atau menstruasi adalah darah yang keluar dari rahim seorang perempuan secara alami dan normal tanpa ada peristiwa tertentu yang menyebabkannya. Setiap wanita mengalami haid dengan siklus bulanan. Haid tidak disebabkan karena adanya luka atau penyakit pada tubuh maupun akibat gugur kandungan.[1]

Dalam Islam, pada Surah Al-Baqarah ayat 222 di dalam Al-Qur'an, haid dijelaskan sebagai suatu jenis kotoran. Ayat ini juga menjelaskan perintah Allah kepada perempuan yang haid untuk menyucikan dirinya ketika haid dan melarang laki-laki untuk menjauhkan diri selama perempuan mengalami haid.[2]

Wanita muslimah yang sedang haid juga dilarang untuk shalat sebelum melakukan mandi wajib. Hal itu didasari dari hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa 'sallam: "Apabila datang masa haidmu, tinggalkanlah shalat; dan jika telah berlalu, mandilah kemudian shalatlah." (HR Bukhari)[3]

Dalam Islam, perempuan berumur 9 tahun yang mengeluarkan darah haid menandakan perempuan tersebut telah baligh. Jika umurnya kurang dari 9 tahun, dan mengeluarkan darah, maka darah tersebut bukanlah darah haid tetapi darah penyakit. Perempuan yang baligh kemudian disebut mukalaf (orang yang dibebani). Artinya, perempuan tersebut telah memiliki kewajiban untuk melaksanakan salat, puasa, zakat, dan Haji jika mampu. Ketika masa haid, perempuan muslim tidak diperbolehkan (haram) melakukan hal-hal berikut:

  1. Salat
  2. Tawaf
  3. Memegang dan menyentuh mushaf (Al-Qur'an dan Tafsir)
  4. Berdiam diri di masjid
  5. Membaca Al-Qur'an
  6. Puasa
  7. Talak (cerai)
  8. Berjalan di masjid, dikhawatirkan darah haid akan menetes ke lantai
  9. Bersenang-senang diantara pusar dan paha (bersetubuh)

Ketika masa haid telah selesai, dia wajib melakukan mandi besar, tidak perlu meng-qada salat yang ditinggalkan saat datangnya haid. Selain itu juga wajib mengganti puasa di bulan ramadan yang belum dilaksanakan saat datangnya haid. Sedangkan mengganti puasa tersebut di bulan lainnya yang bukan di bulan ramadan.

Ciri-ciri

sunting

Ciri pertama dari haid ialah darahnya berwarna merah kehitaman. Kemudian, ketika darah tersebut keluar, tubuh akan merasakan panas. Selain itu, bau dari darah haid berbeda dengan bau darah yang normal. Keluarnya haid memiliki manfaat bagi tubuh perempuan. Ciri yang paling membedakan antara haid dengan nifas dan istihadah ialah tempat keluarnya. Darah haid hanya keluar dari rahim perempuan yang dalam kondisi sehat. Sementara itu, darah nifas hanya keluar ketika perempuan sedang melahirkan dan darah istihadah hanya keluar akibat pembuluh darah terputus atau karena menderita penyakit tertentu.[4]

Periode

sunting

Masa berlangsung

sunting

Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa haid akan mulai dialami oleh perempuan pada usia sekitar 9–12 tahun. Sedangkan masa berhentinya ialah masa menopause. Masa ini ditandai dengan tidak lagi adanya darah haid yang keluar dari tubuh perempuan.[5] Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai masa siklus haid. Ada sekelompok ulama yang menyatakan bahwa haid terjadi selama satu hari satu malam tanpa terputus pengalirannya dari rahim. Sedangkan para ulama lainnya menyatakan bahwa haid terjadi selama 6–7 hari. Ada pula kelompok ulama yang menetapkan bahwa haid terjadi selama 15 hari dan 15 malam. Selebihnya, mereka sependapat bahwa darah yang keluar dari rahim lebih dari 15 hari bukanlah haid, tetapi istihadah. Periode haid yang lazim pada perempuan adalah satu atau dua kali dalam satu bulan. Kesepakatan para ulama ialah pada masa suci dari haid sedikitnya selama 15 hari.[5]

Masa berhenti (menopause)

sunting

Terdapat perbedaan pendapat dari para imam mazhab mengenai masa berakhirnya haid (menopause). Dalam periwayatan Hasan bin Ziyad, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa masa menopause adalah sampai usia 60 tahun. Lalu, dalam riwayat Muhammad al-Hasan, batasnya pada usia 50 tahun. Sementara Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i menyepakati bahwa masa berhenti haid tidak memiliki batasan. Mereka berpendapat bahwa haid dipengaruhi oleh kondisi panas dan dingin dari iklim suatu negeri. Karenanya, batas berhenti haid tergantung kepada keadaan iklim suatu negeri. Sedangkan Mazhab Hambali memiliki tiga pendapat. Pendapat pertama membatasi masa berhenti haid hingga 50 tahun untuk perempuan dari bangsa Arab dan bukan bangsa Arab. Pendapat kedua menetapkan usia 60 tahun secara mutlak. Sedangkan pendapat ketiga membatasi 60 tahun bagi perempuan dari bangsa Arab dan 50 tahun bagi perempuan yang bukan bangsa Arab.[6]

Hikmah

sunting

Haid yang dialami oleh perempuan tidak menjadi bentuk diskriminasi oleh Allah terhadap penciptaan laki-laki dan perempuan. Struktur tubuh perempuan diciptakan berbeda dengan struktur tubuh laki-laki, karena perempuan memiliki peran untuk mengandung dan melahirkan anak manusia. Haid yang merupakan kotoran keluar untuk menghindarkan kelahiran anak manusia dengan kondisi mengalami kecatatan. Pada kondisi lain, haid memperkuat tubuh perempuan sehingga tidak mudah terkena penyakit. Keluarnya haid berperan membersihkan tubuh perempuan dari kotoran yang mengalir melalui darah dan jantung.[4]

Ibadah

sunting

Perempuan yang haid digugurkan kewajibannya dalam melaksanakan salat selama periode haidnya berlangsung. Mereka juga tidak diwajibkan untuk mengqada salatnya. Perempuan yang haid juga dilarang memasuki Ka'bah dan berdiam diri di dalam masjid. Jika perempuan teresebut telah bersuami, maka suaminya dilrangan bersetubuh dengannya hingga periode haid berakhir. Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali, Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i menyepakati bahwa umur minimal dari perempuan yang haid adalah 9 tahun.[7]

Membaca Al-Qur'an

sunting

Para imam mazhab menyepakati bahwa kondisi perempuan yang sedang haid sama dengan orang yang junub. Mazhab Syafi'i. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali menyepakati bahwa hukum perempuan yang haid sama dengan hukum orang yang junub dalam kaitannya dengan membaca Al-Qur'an. Sedangkan Mazhab Hambali memiliki dua pendapat. Pendapat pertama adalah perempuan yang haid boleh membaca Al-Qur'an selama bacaannya hanya sedikit. Pendapat kedua menyatakan bahwa perempuan yang haid dapat membaca Al-Qur'an tanpa adanya batasan tentang jumlah bacaan. Pendapat kedua berasal dari para sahabat dari Imam Malik, termasuk Abu Dawud.[8]

Hubungan suami-istri

sunting

Batasan sanggama

sunting

Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i memperbolehkan hubungan suami terhadap istrinya yang sedang haid dengan bagian tertentu saja. Bagian ini dibatasi hanya pada bagain tubuh istri dari pusar hingga ke atas. Sementara bagian pusar ke bawah tidak diperbolehkan untuk disentuh. Mazhab Hambali, beberapa ulama dari Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa suami dapat melakukan hubungan suami-istri tetapi tidak pada bagian kemaluan istrinya.[9]

Para imam mazhab menyepakati bahwa bersanggama dengan istri yang sedang haid pada bagian kemaluan hukumnya haram jika disengaja. Jika persanggamaan sampai terjadi, maka suami harus memohon ampun dan pertobatan kepada Allah tanpa diminta untuk membayar denda. Pendapat ini disepakati oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Hambali dan Qaul Jadid Mazhab Syafi'i.[9]

Dalam Qaul Jadid Mazhab Syafi'i dianjurkan untuk bersedekah jika suami bersanggama dengan istri yang sedang haid pada bagian kemaluan. Jika dilakukan pada permulaan haid, maka cukup bersedekah sebanyak satu dinar. Jika dilakukan pada masa akhir dari hadi, maka cukup bersedekah setengah dinar. Lalu, pada Qaul Qadim Mazhab Syafi'i, kejadian ini mewajibkan pembayaran denda. Terdapat dua pendapat di dalam Mazhab Syafi'i mengenai tingkat pembayaran dendanya. Pendapat pertama menetapkan kewajiban membayar satu dinar pada saat melakukan sanggama di permulaan haid dan setengah dinar jika di akhir masa haid. Sedangkan pendapat kedua mewajibkan untuk memederkakan seorang budak dalam kondisi apapun sanggama dilakukan ketika istri sedang haid. Dalam kondisi yang sama, Mazhab Hambali menganjurkan untuk suami yang bersanggama ketika istrinya masih haid untuk bersedekah sebanyak saty atau setengah dinar. Sedekah ini dianjurkan pada masa haid permulaan maupun pengakhiran.[9]

Ibu hamil

sunting

Mengenai haid pada ibu hamil, para imam mazhab memiliki perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali menetapkan bahwa ibu hamil tidak mengalami haid. Mazhab Maliki menetapkan bahwa ibu hamil mengalami haid. Sementara pengikut Mazhab Syafi'i sebagian besar menyatakan bahwa ibu hamil mengalami haid, sedangkan sebagian kecil pengikut menyatakan bahwa ibu hami tidak mengalami haid.[9]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Hambali 2017, hlm. 61.
  2. ^ Hambali 2017, hlm. 61-62.
  3. ^ Doa, Tata Cara & Niat Mandi Wajib Setelah Haid
  4. ^ a b Hambali 2017, hlm. 62.
  5. ^ a b Hambali 2017, hlm. 63.
  6. ^ ad-Dimasyqi 2017, hlm. 38.
  7. ^ Ad-Dimasyqi 2017, hlm. 38.
  8. ^ ad-Dimasyqi 2017, hlm. 40.
  9. ^ a b c d ad-Dimasyqi 2017, hlm. 39.

Daftar pustaka

sunting