Kerajaan Mysore

kerajaan di Asia Selatan
(Dialihkan dari Kesultanan Mysore)

Kerajaan Mysore adalah kerajaan yang terletak di India selatan. Secara tradisional, kerajaan ini diyakini didirikan pada tahun 1399 di kota Mysore. Kerajaan yang diperintah oleh penguasa dari keluarga Wodeyar ini pada awalnya adalah negara vassal Kemaharajaan Wijayanagara. Setelah Kemaharajaan Wijayanagara mengalami kemunduran (kurang lebih tahun 1565), kerajaan ini merdeka. Pada abad ke-17, wilayahnya meluas dan di bawah kekuasaan Narasaraja Wodeyar I dan Chikka Dewaraja Wodeyar kerajaan ini menguasai wilayah Karnataka selatan dan sebagian dari Tamil Nadu, sehingga menjadi negara yang kuat di Dekkan selatan.

Kerajaan Mysore
Negara Kepangeranan Mysore

1399–1950
Bendera Mysore
Bendera
Lagu kebangsaanKayou Sri Gowri
  Kerajaan Mysore, 1784 M (wilayah terluas)
StatusKerajaan (bawahan Kemaharajaan Wijayanagara hingga tahun 1565).
Wilayah kerajaan Kemaharajaan Britania setelah tahun 1799
Ibu kotaMysore, Srirangapatna
Bahasa yang umum digunakanKannada
Agama
Hinduisme, Islam
PemerintahanMonarki hingga tahun 1799, kepangeranan sesudahnya
Maharaja 
• 1399–1423 (pertama)
Yaduraya
• 1940–50 (terakhir)
Jaya Chamaraja Wodeyar
Sejarah 
• Didirikan
1399
• Catatan terawal
1551
• Dibubarkan
1950
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Wijayanagara
India
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada akhir abad ke-18 di bawah kepemimpinan Haidar Ali dan putranya, Tipu Sultan. Pada saat itu, negara ini berkonflik dengan Maratha, Hyderabad, Travancore, dan Imperium Britania, yang menyebabkan meletusnya peperangan Inggris-Mysore. Walaupun dalam dua perang pertama Mysore berhasil menang, Mysore dikalahkan pada perang ketiga dan keempat. Setelah kematian Tipu selama perang keempat pada tahun 1799, sebagian besar wilayah kerajaannya diambil oleh bangsa Britania, sehingga hegemoni Mysore di Dekkan selatan berakhir. Britania mengembalikan keluarga Wodeyar ke tahta, tetapi menurunkan statusnya menjadi wilayah kerajaan. Keluarga Wodeyar terus memerintah negara ini hingga kemerdekaan India pada tahun 1947, ketika Mysore setuju untuk bergabung dengan India.

Bahkan saat sudah menjadi wilayah kerajaan, Mysore masih diperhitungkan sebagai wilayah India yang lebih modern dan terurbanisasi. Pada periode tersebut, Mysore juga menjadi pusat seni dan budaya di India, dan warisan seni mereka masih berpengaruh hingga kini.

Sejarah

sunting

Sejarah awal

sunting

Sumber-sumber sejarah Mysore meliputi beberapa prasasti batu dan tembaga, catatan dari istana Mysore, dan sumber kontemporer dalam bahasa Kannada, Persia, dan bahasa lain.[1][2][3] Menurut catatan tradisional, kerajaan ini awalnya merupakan negara kecil di kota Mysore yang didirikan oleh dua bersaudara, Yaduraya (juga dikenal dengan nama Wijaya) dan Krishnaraya. Asal usul mereka dipenuhi legenda dan masih diperdebatkan; walaupun beberapa sejarawan mengatakan bahwa mereka berasal dari Dwaraka di utara,[4][5] sejarawan lain meyakini Karnataka sebagai tempat asal mereka.[6][7] Yaduraya dikatakan telah menikahi Chikkadevarasi, seorang putri lokal, dan memperoleh gelar feodal "Wodeyar", yang tetap digunakan oleh penerusnya.[8] Sumber pertama yang menyebut keluarga Wodeyar secara tidak ambigu adalah literatur Kannada pada abad ke-16 dari masa kekuasaan Maharaja Wijayanagara Achyuta Deva Raya (1529–1542); sementara itu, prasasti pertama yang dibuat atas perintah keluarga Wodeyar sendiri berasal dari masa Timmaraja II pada tahun 1551.[9]

Otonomi

sunting

Raja-raja selanjutnya berkuasa sebagai vassal (bawahan) Kemaharajaan Wijayanagara hingga Wijayanagara mengalami kemunduran pada tahun 1565. Pada masa itu, wilayah Mysore telah meluas hingga meliputi tiga puluh tiga desa yang dilindungi oleh 300 tentara.[10] Raja Timmaraja II menaklukan beberapa suku berpemimpin di sekitar,[11] dan Raja Bola Chamaraja IV menghentikan pembayaran upeti kepada Maharaja Wijayanagara Aliya Rama Raya.[12] Setelah kematian Aliya Rama Raya, Wodeyar mulai memperkuat kekuasaannya dan Raja Wodeyar I merebut Srirangapatna dari gubernur Wijayanagara (Mahamandaleshwara) Aravidu Tirumalla – yang memperoleh persetujuan ex post facto dari Wenkatapati Raya, Maharaja Wijayanagara (yang telah jatuh) yang berkuasa dari Chandragiri.[13] Raja Wodeyar I juga memperluas wilayahnya dengan merebut Channapatna di utara dari Jaggadewa Raya[13][14] – yang membuat Mysore menjadi faktor politik regional yang patut dipertimbangkan.[15][16]

Akibatnya, pada tahun 1612–13, Wodeyar memiliki otonomi yang besar; walaupun mereka sempat mengakui kemaharajaan Arawidu, pengiriman upeti ke Chandragiri dihentikan. Hal ini berlawanan dengan para Nayaka di wilayah Tamil yang terus memberi upeti kepada Chandragiri pada tahun 1630-an.[13] Chamaraja V dan Kanthirawa Narasaraja I berupaya memperluas wilayah ke utara, tetapi dihentikan oleh Kesultanan Bijapur dan bawahan Maratha-nya, meskipun upaya tentara Bijapur (yang dipimpin oleh Ranadullah Khan) untuk mengepung Srirangapatna pada tahun 1638 berhasil dihentikan.[16][17] Ambisi untuk memperluas wilayah kemudian dialihkan ke wilayah Tamil di selatan; Narasaraja Wodeyar berhasil merebut Satyamangalam (di distrik Coimbatore utara), sementara penerusnya Dodda Dewaraja Wodeyar memperluas wilayah Mysore ke Erode dan Dharmapuri, setelah berhasil mengalahkan kepala suku Madurai. Invasi yang dilancarkan oleh Nayaka Keladi dari Malnad juga dapat dihentikan. Periode ini kemudian diikuti oleh perubahan geo-politik yang kompleks, ketika Maratha dan Mughal memasuki Dekkan pada tahun 1670-an.[16][17]

Chikka Dewaraja (berkuasa 1672–1704), salah satu raja Mysore yang terkenal, tidak hanya berhasil bertahan dari berbagai masalah, tetapi juga mampu memperluas wilayah. Ia melakukannya dengan bersekutu dengan Maratha dan Mughal.[18][19] Wilayah kerajaan pun meluas hingga mencapai Salem dan Bangalore di timur, Hassan di barat, Chikkamagaluru dan Tumkur di utara, dan Coimbatore di selatan.[20] Walaupun wilayah kerajaan telah meluas dan terbentang dari Ghat Barat hingga pedalaman Coromandel, Mysore tetap tidak memiliki akses langsung ke laut. Upaya Chikka Dewaraja untuk memperoleh wilayah pesisir mengakibatkan meletusnya konflik dengan Nayaka Ikkeri (yang menguasai wilayah pesisir Kanara) dan raja-raja Kodagu (yang menguasai wilayah perbukitan di antara Mysore dan pesisir Kanara).[21] Mysore berhasil menguasai Periyapatna, tetapi mengalami kegagalan di Palupare.[22]

Namun, pada tahun 1704, ketika tampuk kekuasaan diwariskan kepada Kanthirawa Narasaraja II, keberlangsungan dan perluasan wilayah kerajaan dicapai melalui aliansi, negosiasi, penundukan, dan pencaplokan wilayah. Menurut sejarawan Sanjay Subrahmanyam dan Sethu Madhawa Rao, Mysore saat itu secara resmi membayar upeti kepada Mughal. Catatan sejarah Mughal mengklaim bahwa upeti tetap (peshkash) dibayar oleh Mysore. Namun, sejarawan Suryanath Kamath merasa bahwa Mughal mungkin menganggap Mysore sebagai sekutu mereka, yang disebabkan oleh persaingan antara Mughal dan Maratha di India Selatan.[23] Pada tahun 1720-an, saat Mughal mengalami kemunduran, muncul kesulitan karena penduduk Mughal di Arcot dan Sira menuntut upeti.[18] Pada tahun-tahun berikutnya, Krishnaraja Wodeyar I mencoba menanggapi secara hati-hati, sementara menahan kepala-kepala suku Kodagu dan Maratha. Ia kemudian digantikan oleh Chamaraja Wodeyar VI; pasa masanya, kekuasaan jatuh ke tangan perdana menteri (Dalwai atau Dalavoy) Nanjarajiah (atau Nanjaraja) dan kepala menteri (Sarwadhikari) Dewarajiah (atau Dewaraja), dua bersaudara yang berpengaruh dari kota Kalale (dekat Nanjangud) yang akan berkuasa selama tiga dasawarsa dan membatasi peranan Chamaraja Wodeyar VI menjadi peranan yang berkenaan dengan gelar saja.[24][25] Kemudian, pada masa pemerintahan Krishnaraja II, Kesultanan-Kesultanan Dekkan telah dikalahkan oleh Mughal, dan selama kekacauan berlangsung, Haidar Ali (yang merupakan seorang kapten dalam angkatan bersenjata) mulai menonjol.[16] Kemenangannya dalam pertempuran melawan Maratha di Bangalore pada tahun 1758 menjadikannya tokoh yang ikonik. Untuk menghormati pencapaiannya, raja memberinya gelar "Nawab Haidar Ali Khan Bahadur".[25]

Haidar Ali dan Tipu Sultan

sunting
 
Wilayah Kerajaan Mysore di bawah kekuasaan Haidar Ali pada tahun 1780.
 
Bendera Kesultanan Mysore di pintu masuk benteng Bangalore.
 
Potret Tipu Sultan yang dibuat selama Perang Inggris-Mysore Ketiga.
 
Lukisan dinding Pertempuran Pollilur di istana musim panas Tipu Sultan di Seringapatam.
 
Lord Cornwallis menerima dua anak Tipu sebagai sandera.

Walaupun buta huruf, Haidar Ali berperan penting dalam sejarah Karnataka karena kemampuan bertempur dan kecerdasan administratifnya.[26][27] Haidar muncul tepat pada masa ketika anak benua India sedang mengalami perubahan politik. Sementara negara-negara Eropa sedang berupaya memperkuat posisi mereka, Nizam Hyderabad yang merupakan bawahan Mughal melancarkan ambisinya di Dekkan, dan Maratha (yang baru saja mengalami kekalahan di Panipat) mencari tempat yang aman di selatan. Pada periode ini juga berlangsung peperangan antara Prancis melawan Britania yang memperebutkan Karnataka. Perang ini dimenangkan oleh Britania setelah komandan Britania Sir Eyre Coote berhasil mengalahkan Prancis dalam Pertempuran Wandiwash pada tahun 1760. Peristiwa ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah India karena memastikan kekuasaan Britania di Asia Selatan.[28] Walaupun Dinasti Wodeyar tetap menjadi penguasa Mysore pada masa ini, kekuasaan sesungguhnya berada di tangan Haidar Ali dan putranya Tipu.[29]

Pada tahun 1761, ancaman Maratha telah sirna, dan pada tahun 1763 Haidar Ali merbut kerajaan Keladi, mengalahkan penguasa Bilgi, Bednur, dan Gutti, menyerang Malabar di selatan dan menaklukan ibu kota Zamorin di Kalikut pada tahun 1766, serta memperluas wilayah Mysore ke Dharwad dan Bellary di utara.[30][31] Akibatnya, Mysore menjadi kekuatan politik utama di anak benua India, dan kebangkitan Haidar menjadi salah satu tantangan terakhir bagi Britania untuk mengukuhkan hegemoninya – tantangan yang baru dapat diselesaikan setelah lebih dari tiga dasawarsa.[32]

Untuk menahan kebangkitan Haidar, Britania bersekutu dengan Maratha dan Nizam Hyderabad, sehingga memicu Perang Inggris-Mysore pertama pada tahun 1767. Walaupun unggul jumlah, Haidar Ali mengalami kekalahan di Chengham dan Tiruvannamalai. Britania menolak tawaran perdamaian hingga Haidar memindahkan angkatan bersenjatanya hingga lima mil dari Madras.[28][31][33] Pada tahun 1770, saat tentara Maratha di bawah pimpinan Madhavrao Peshwa menyerang Mysore, Haidar mengharapkan bantuan Britania sesuai dengan perjanjian pada tahun 1769, tetapi Britania tidak membantunya. Hal tersebut membuat Haidar sangat tidak memercayai Britania-sentimen yang juga dimiliki oleh putranya dan yang akan memicu perseteruan Inggris-Mysore tiga dasawarsa berikutnya.

Pada tahun 1779, Haidar Ali merebut sebagian Tamil Nadu dan Kerala di selatan, sehingga memperluas wilayah Mysore hingga mencapai 80.000 mi² (205.000 km²).[31] Pada tahun 1780, ia berteman dengan Prancis dan berdamai dengan Maratha dan Nizam.[34] Namun, Haidar Ali dikhianati oleh Maratha dan Nizam, yang juga membuat traktat dengan Britania. Pada Juli 1779, Haidar Ali memimpin angkatan bersenjata yang terdiri dari 80.000 tentara (sebagian besar kavaleri) untuk mengepung benteng-benteng Britania di Arkot utara, sehingga memicu Perang Inggris-Mysore Kedua. Haidar Ali awalnya berhasil, terutama di Pollilur (yang merupakan kekalahan terburuk Britania di India hingga meletusnya Pertempuran Chillianwala) dan Arkot; namun, kedatangan Sir Eyre Coote mengubah jalannya perang.[35] Pada tanggal 1 Juni 1781, Sir Eyre Coote berhasil mengalahkan Haidar Ali dalam Pertempuran Porto Novo. Setelah pertempuran ini, meletus pertempuran di Pollilur pada tanggal 27 Agustus, yang lagi-lagi dimenangkan oleh Britania, dan sebulan kemudian tentara Mysore dikalahkan di Sholinghur satu bulan kemudian. Haidar Ali meninggal pada tanggal 7 Desember 1782, tetapi pertempuran melawan Britania masih berlanjut. Ia digantikan oleh putranya, Tipu Sultan, yang meneruskan perlawanan dengan merebut kembali Baidanur dan Mangalore.[31][36]

Pada tahun 1783, baik Britania maupun Mysore tidak dapat menggapai kemenangan penuh. Prancis menarik dukungan mereka terhadap Mysore setelah ditandatanganinya perjanjian perdamaian Versailles di Eropa.[37] Tipu, yang umumnya dikenal dengan sebutan "Macam Mysore", tetap meneruskan perang melawan Britania, tetapi Britania berhasil merebut beberapa wilayah di pesisir. Wilayah Kittur, Nargund, dan Badami kemudian dikuasai oleh Maratha. Traktat Mangalore yang ditandatangani pada tahun 1784 mengakhiri peperangan untuk sementara waktu dan mengembalikan wilayah seperti saat sebelum perang (status quo ante bellum).[38][39] Traktat ini merupakan dokumen yang penting dalam sejarah India karena merupakan peristiwa terakhir ketika negara di anak benua India menentukan isi traktat dengan Britania. Meletusnya kembali pertempuran antara Britania dan Prancis di Eropa menjadi alasan yang cukup bagi Tipu untuk membatalkan traktat dan meneruskan ambisinya untuk menghantam Britania.[40] Tipu mengajak Nizam, Maratha, Prancis, dan Turki untuk membantunya, tetapi gagal.[40]

Kegagalan serangan ke Kerajaan Travancore (yang merupakan sekutu Britania) pada tahun 1789 merupakan kekalahan yang memalukan bagi Tipu. Akibat dari serangan ini, Perang Inggris-Mysore Ketiga meletus. Pada awalnya, Britania tampak unggul dan berhasil menguasai distrik Coimbatore; namun, serangan Tipu berhasil membatalkan perolehan Britania. Pada tahun 1792, dengan bantuan dari Maratha yang menyerang dari barat laut dan Nizam yang menyerang dari timur laut, tentara Britania di bawah pimpinan Lord Cornwallis berhasil mengepung Srirangapatna, sehingga mengalahkan Tipu dan memberlakukan Traktat Srirangapatna. Setengah wilayah Mysore dibagi-bagi oleh sekutu, dan dua anak laki-laki Tipu dijadikan sandera.[38] Walaupun telah dipermalukan, Tipu membangun kembali kekuatan ekonomi dan militernya. Diam-diam ia mencoba mendapat dukungan dari Prancis, Amir Afganistan, Kesultanan Utsmaniyah, dan Arabia. Namun, upaya untuk melibatkan Prancis segera diketahui oleh Britania, yang saat itu sedang melawan Napoleon di Mesir. Maka meletuslah Pertempuran Inggris-Mysore Keempat, dan pada tahun 1799 Tipu tewas ketika mempertahankan Srirangapatna, sehingga mengakhiri kemerdekaan Mysore.[41] Sejarawan India modern menganggap Tipu Sultan sebagai musuh tetap Britania, pengelola pemerintahan yang cakap, dan seorang inovator.[42]

Wilayah kerajaan

sunting
 
"Istana Maharaja Mysore, India," dari Illustrated London News, 1881.

Setelah jatuhnya Tipu, wilayah kerajaan Mysore diambil dan dibagi-bagi oleh Britania dan Nizam. Wilayah yang tersisa dijadikan wilayah kerajaan; Krishnaraja III dari Dinasti Wodeyar dijadikan raja, dengan kepala menteri (Diwan) Purnaiah (yang awalnya menjadi bawahan Tipu) sebagai wali yang memegang kendali, sementara Lt. Col. Barry Close menjadi Residen Britania. Britania mengatur urusan luar negeri Mysore dan juga memperoleh upeti tahunan dan subsidi untuk membiayai angkatan bersenjata Britania di Mysore.[43][44][45] Purnaiah berhasil menjadi diwan yang menonjol karena pemerintahannya yang progresif dan inovatif, tetapi ia berhenti bertugas pada tahun 1811 (dan meninggal segera sesudahnya) setelah ulang tahun ke-16 Krishnaraja III.[46][47]

Pada tahun-tahun berikutnya, hubungan antara Mysore dengan Britania sempat membaik, tetapi kembali memburuk pada tahun 1820-an. Residen Britania di Mysore, A. H. Cole, dituduh melakukan penyelewengan keuangan. Setelah melakukan pemeriksaan pada tahun 1825, Gubernur Madras Thomas Munro memutuskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar; namun, pemberontakan Nagar yang meletus pada akhir dasawarsa mengubah hal tersebut. Pada tahun 1831, menjelang meletusnya pemberontakan, Britania mengambil alih kendali Mysore dengan menjadikan pemerintahan yang buruk sebagai alasan.[48][48][49] Selama lima puluh tahun berikutnya, Mysore berada di bawah pemerintahan Komisioner Britania; Sir Mark Cubbon, yang dikenal akan kenegarawanannya, menjabat dari tahun 1834 hingga 1861 dan berhasil membuat sistem pemerintahan yang efisien.[50]

Namun, pada tahun 1876–77, menjelang berakhirnya periode kekuasaan langsung Britania, terjadi bencana kelaparan di Mysore, dengan jumlah orang yang tewas antara 700.000 hingga 1.100.000, atau hampir seperlima jumlah penduduk.[51] Segera setelah itu, Maharaja Chamaraja IX (yang memperoleh pendidikan bersistem Britania) mengambil alih kekuasaan Mysore pada tahun 1881 setelah keberhasilan lobi dinasti Wodeyar. Kemudian, seorang residen Britania ditugaskan di istana Mysore, dan C. V. Rungacharlu diangkat menjadi diwan untuk mengurus pemerintahan Chamaraja.[52] Setelah berakhirnya kekuasaan langsung Britania dan hingga kemerdekaan India pada tahun 1947, Mysore tetap menjadi wilayah kerajaan Kemaharajaan Britania, dengan Dinasti Wodeyar sebagai penguasanya.[52]

Selepas kematian Maharaja Chamaraja IX, Krishnaraja IV (yang masih berusia sebelas tahun) naik tahta pada tahun 1895. Ibunya, Maharani Kemparajammanniyawaru, menjadi wali hingga Krishnaraja mengambil alih kekuasaan pada 8 Februari 1902.[53] Di bawah pemerintahannya, dengan Sir M. Vishweshwariah sebagai diwannya, Maharaja mulai mengubah Mysore menjadi negara yang progresif dan modern, terutama dalam bidang industri, pendidikan, agrikultur, dan seni. Sebagian besar infrastruktur pendidikan yang dibangun pada periode ini juga akan sangat membantu Karnataka pada masa-masa yang akan datang.[54] Berkat upaya Maharaja ini, Mahatma Gandhi menjulukinya "raja suci" (Rajarishi).[55] Paul Brunton (filsuf dan orientalsi Britania), John Gunther (penulis Amerika Serikat), dan Lord Samuel (negarawan Britania) juga memuji upaya Maharaja.

Krishnaraja IV sendiri merupakan seorang musisi, dan seperti pendahulunya, ia mendukung perkembangan seni rupa.[56] Ia digantikan oleh keponakannya, Jayachamaraja, yang menandatangani perjanjian penggabungan Mysore dengan India pada tanggal 9 Agustus 1947, sehingga mengakhiri keberlangsungan Kerajaan Mysore selama hampir 550 tahun.[57]

Administrasi

sunting

Tidak ada catatan sejarah mengenai administrasi wilayah Mysore selama masa kekuasaan Kemaharajaan Wijayanagara (1399–1565). Tanda-tanda munculnya administrasi yang independen dan terorganisasi dapat ditilik kembali ke masa kekuasaan Raja Wodeyar I, yang dikatakan peduli kepada petani (raiyat) yang dikecualikan dari penambahan pajak.[16] Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kerajaan ini telah mapan di wilayahnya adalah penerbitan koin emas (Kanthirayi phanam) pada masa kekuasaan Narasaraja Wodeyar; koin tersebut mirip dengan koin lain di Kemaharajaan Wijayanagara.[58]

Pada masa kekuasaan Chikka Dewaraja, terjadi beberapa reformasi. Administrasi internal disesuaikan dengan kebutuhan kerajaan dan dibuat menjadi lebih efisien. Sistem pos diadakan, sementara reformasi finansial juga digalakkan. Sejumlah pajak kecil-kecilan ditetapkan sebagai pengganti pajak langsung, sehingga petani harus membayar lebih banyak melalui pajak tanah.[59] Konon sang raja secara pribadi tertarik dengan pengumpulan pajak sehingga kas negara menumpuk hingga mencapai angka 90.000.000 Pagoda (satuan mata uang) – penghasilan yang membuatnya dijuluki "Sembilan crore Narayana" (Nawakoti Narayana). Pada tahun 1700, Chikka mengirim duta besar ke istana Aurangazeb di Kemaharajaan Mughal; Aurangazeb kemudian menganugerahi gelar Jug Deo Raja kepada Chikka dan memberinya izin untuk singgah di tahta gading. Setelah itu, berdasarkan apa yang dilihat utusannya di istana Mughal, Chikka mendirikan kantor distrik (Attara Kacheri), atau sekretariat pusat yang terdiri dari delapan belas departemen.[60]

Di bawah pemerintahan Haidar Ali, Kerajaan Mysore terbagi menjadi lima provinsi (Asofi), yang terdiri dari 171 taluk (Paragana).[61] Saat Tipu Sultan menjadi penguasa de facto, Mysore, yang luasnya mencapai 160.000 km2 (61.776 sq mi) (62.000 mi²), terbagi menjadi 37 provinsi dan 124 taluk (Amil). Setiap provinsi dipimpin oleh seorang gubernur (Asof) dan seorang wakil gubernur. Masing-masing taluk dikepalai oleh Amildar, sementara sekelompok desa berkuasa atas Patel.[44] Pemerintahan pusat terdiri dari enam departemen yang dikepalai oleh menteri, yang dibantu oleh dewan penasihat yang terdiri dari hingga empat anggota.[62]

Setelah menjadi wilayah kerajaan di bawah kekuasaan Britania pada tahun 1831, negara ini dipimpin oleh komisioner-komisioner seperti Lushington, Briggs, dan Morrison. Pada tahun 1834, komisioner yang bertugas adalah Mark Cubbon.[63] Ia menjadikan Bangalore sebagai ibu kota dan membagi negara ini menjadi empat divisi, masing-masing di bawah pimpinan seorang superintenden Britania. Negara ini juga dibagi menjadi 120 taluk, dengan 85 istana taluk dan administrasi-administrasi tingkat rendah dalam bahasa Kannada.[63] Kantor komisioner terdiri dari delapan departemen: pajak, pos, polisi, kavaleri, pekerjaan umum, medis, peternakan, kehakiman, dan pendidikan. Departemen kehakiman bersifat hierarkis, dengan komisioner di puncak hierarki, yang kemudian diikuti oleh Huzur Adalat, superintenden, dan delapan Sadar Munsiff di tingkat terendah.[64] Lewin Bowring menjadi kepala komisioner pada tahun 1862 dan memegang jabatan tersebut hingga tahun 1870. Selama masa pemerintahannya, "Undang-Undang Registrasi" Properti, "Undang-Undang Pidana India", dan "Undang-Undang Prosedur Pidana" diberlakukan, sementara departemen kehakiman dipisahkan dari cabang eksekutif pemerintahan.[64]

Sesudah dibebaskan dari tuduhan terkait dengan hilangnya perhiasan kerajaan, Rungacharlu (yang aslinya berasal dari Chennai) dijadikan Diwan. Di bawah pimpinannya, Dewan Representatif India Britania, dengan 144 anggota, dibentuk pada tahun 1881.[65] Ia digantikan oleh Sheshadri Iyer pada tahun 1883. Selama masa jabatan Sheshadri, penambangan emas di Ladang Emas Kolar dimulai, proyek hidroelektrik Shivanasamudra diprakarsai (pada tahun 1899), dan listrik dan air minum (nantinya melalui pipa) disalurkan ke Bangalore.[66] Sheshadri Iyer digantikan oleh P.N. Krishna Murthy, yang mendirikan Manual Sekretariat (untuk menyimpan catatan) dan Departemen Kooperatif pada tahun 1905,[66] Kemudian, V.P. Madhava Rao memusatkan perhatian pada konservasi perhutanan, sementara T. Ananda Rao menyelesaikan proyek Bendungan Kannambadi.[67]

Sir M. Visveshwarayya, yang dijuluki "Pembuat Mysore Modern", memegang posisi penting dalam sejarah Karnataka.[68] Ia dididik sebagai seorang insinyur dan menjadi Diwan pada tahun 1909.[67][69] Selama masa jabatannya, keanggotaan Dewan Legislatif Mysore bertambah dari 18 menjadi 24, dan badan tersebut diberikan kekuasan untuk membicarakan anggaran negara.[67] Konferensi Ekonomi Mysore diperbesar menjadi tiga komite; industri dan perdagangan, pendidikan, dan agrikultur, dengan terbitan dalam bahasa Inggris dan Kannada.[70] Proyek-proyek penting yang dilancarkan pada masanya adalah pembangunan Bendungan Kannambadi, pendirian Bengkel Besi Mysore di Bhadravathi, pendirian Universitas Mysore pada tahun 1916 dan University Visvesvaraya College of Engineering di Bangalore, serta pendirian departemen kereta api Mysore dan berbagai industri. Pada tahun 1955, ia memperoleh penghargaan Bharat Ratna, yang merupakan penghargaan tertinggi untuk warga India.[70][71]

Sir Mirza Ismail mulai menjabat sebagai Diwan pada tahun 1926. Di antara kontribusinya adalah perluasan Bengkel Besi Bhadravathi, pendirian pabrik semen dan kertas di Bhadravathi, dan peluncuran Hindustan Aeronautics Limited. Sebagai orang yang menyukai kebun, ia mendirikan Kebun Brindavan (Krishnaraja Sagar) dan membangun kanal Sungai Kaveri untuk mengirigasi wilayah seluas 120.000 ekar (490 km2) di distrik Mandya.[72]

Ekonomi

sunting

Sebagian besar penduduk Mysore tinggal di desa-desa dan agrikultur merupakan mata pencaharian mereka. Maka tulang pungung ekonomi negara ini adalah agrikultur. Gandum, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan bunga ditanam. Tanaman komersial yang ditanam adalah tebu dan kapas. Populasi agrarian Mysore terdiri dari tuan tanah (gawunda, zamindar, heggadde) yang menggarap tanah dengan mempekerjakan sejumlah pekerja yang tak memiliki tanah, dan biasanya mereka diberi gandum sebagai gantinya. Penanam kecil juga bersedia menjadi pekerja bila dibutuhkan.[73] Berkat ketersediaan pekerja yang tak bertanah, raja-raja dan tuan-tuan tanah mampu melancarkan proyek-proyek besar seperti istana, kuil, masjid, dan bendungan.[74] Karena tanah Mysore luas tetapi penduduknya relatif jarang, tidak ada biaya yang dikenakan untuk kepemilikan tanah. Namun, pemilik tanah membayar pajak kultivasi, yang dapat mencapai setengah dari hasil panen.[74]

Tipu Sultan dihargai karena mendirikan depot-depot perdagangan negara di berbagai tempat di kerajaannya. Selain itu, ia mendirikan depot di luar negeri, seperti di Karachi, Jeddah, dan Muscat, tempat dijualnya produk-produk Mysore.[75] Pada masa kekuasaan Tipu Sultan, teknologi Prancis untuk pertama kalinya digunakan dalam bidang pertukangan kayu dan pandai besi. Sementara itu, teknologi Tiongkok dimanfaatkan untuk produksi gula, dan teknologi dari Benggala membantu meningkatkan industri serikultur (pengembangbiakan ulat sutra untuk menghasilkan kain sutra).[76] Pabrik-pabrik negara didirikan di Kanakapura untuk menghasilkan meriam dan di Taramandelpeth untuk menghasilkan mesiu. Negara memonopoli produksi barang-barang penting seperti gula, garam, besi, lada, kapulaga, pinang, tembakau dan cendana, dan juga ekstraksi minyak dupa dari cendana dan penambangan perak, emas, dan batu mulia. Cendana diekspor ke Tiongkok dan negara-negara Teluk Persia, sementara serikultur dikembangkan di dua puluh satu tempat di Mysore.[77]

Sistem ini diganti pada masa kekuasaan Britania Raya; pajak dibayarkan dengan menggunakan uang, yang kemudian digunakan untuk membiayai angkatan bersenjata, polisi, dan kepentingan public dan sipil lainnya. Sebagian dari pajak diserahkan kepada Britania sebagai "upeti India".[78] Karena tidak senang sistem keuntungan tradisional mereka dihapuskan, para petani memberontak di India Selatan.[79] Setelah tahun 1800, reformasi tanah Cornwallis diberlakukan. Reade, Munro, Graham, dan Thackeray adalah beberapa administrator yang berhasil memperbaiki keadaan ekonomi penduduk.[80] Namun, industri tekstil mengalami kerugian pada masa kekuasaan Britania Raya karena tekstil yang diproduksi di Manchester, Liverpool, dan Skotlandia lebih unggul daripada industri tradisional di Mysore.[81][82]

Revolusi ekonomi di Inggris dan kebijakan tarif Britania Raya juga memicu deindustrialisasi massal di sektor-sektor lain di India dan Mysore. Misalnya, bisnis penenunan karung goni sebelumnya dimonopoli oleh orang Goniga, dan kemudian monopoli hilang akibat kekuasaan Britania Raya. Pengimporan pengganti kimiawi untuk potasium nitrat memberikan dampak buruk kepada komunitas Uppar yang secara tradisional merupakan pembuat potasium nitrat untuk mesiu. Pengimporan kerosen memengaruhi komunitas Ganiga yang memasok minyak. Industri asing juga merusak bisnis tembikar dan selimut buatan lokal yang disebut kambli.[83] Kemunduran ekonomi ini memicu pembentukan organisasi kesejahteraan sosial berbasis komunitas untuk membantu mereka yang ada di dalam komunitas dalam menghadapi keadaan ekonomi yang baru, seperti dengan didirikannya hostel pemuda untuk pelajar yang mencari pendidikan dan tempat bernaung.[84] Namun, kebijakan ekonomi Britania menghasilkan struktur kelas yang terdiri dari kelas menengah yang baru didirikan yang terdiri dari orang-orang dengan pekerjaan kerah biru dan putih seperti agen, makelar, pengacara, guru, pegawai negeri, dan dokter. Berkat hierarki kasta yang lebih fleksibel, kelas menengah merupakan kumpulan orang-orang dari berbagai kasta yang heterogen.[85]

Budaya

sunting
 
Kolam kuil yang dibangun oleh Raja Chikka Dewaraja Wodeyar di Shrawanabelagola, yang merupakan kota kuil Jain yang penting.
 
Kuil Shweta Warahaswamy (1673-1704) di Istana Mysore.

Raja-raja pertama Dinasti Wodeyar memuja dewa Siwa dalam agama Hindu. Belakangan (dari abad ke-17) mereka menganut Waisnawa, atau menyembah dewa Wisnu.[86] Menurut musikolog Meera Rajaram Pranesh, Raja Wodeyar I adalah penyembah dewa Wisnu, Raja Dodda Dewaraja dihormati dengan gelar "Pelindung Brahmin" (Dewa Brahmana Paripalaka) karena dukungannya terhadap para Brahmin, dan Maharaja Krishnaraja III berbakti kepada dewi Chamundeshwari (salah satu wujud dewi Durga).[87] Wilks ("History of Mysore", 1800) menulis tentang pemberontakan Jangama (Wirasiwa-penyembah Siwa) karena pajak yang berlebihan, yang kemudian dipadamkan oleh Chikka Dewaraja. Sejarawan D.R. Nagaraj mengklaim bahwa empat ratus Jangamas tewas dalam peristiwa tersebut, tetapi mengklarifikasi bahwa literatur Wirasiwa tidak menyebut peristiwa ini sama sekali.[88] Sejarawan Suryanath Kamath mengklaim bahwa Raja Chikka Dewaraja adalah seorang Sriwaisnawa (pengikut Sri Waisnawa, salah satu sekte Waisnawa), tetapi tidak anti-Wirasiwa.[89] Sejarawan Aiyangar setuju dengan pernyataan bahwa beberapa raja (termasuk Narasaraja I dan Chikka Dewaraja) merupakan seorang Waisnawa, tetapi menyatakan bahwa tidak semua penguasa Wodeyar merupakan seorang Waisnawa.[90]

Setiap tahunnya, Mysore mengadakan perayaan keagamaan Dasara yang merupakan perayaan selama sepuluh hari. Hari terakhir perayaan ini (Wijayadasami) merupakan lambang kemenangan kebaikan atas kejahatan karena menurut legenda hari Wijayadasami merupakan hari ketika dewi Chamundeshwari membunuh setan Mahishasura. Perayaan ini merupakan tradisi keluarga kerajaan Wijayanegara dahulu kala, yang kemudian dilanjutkan oleh Raja Wodeyar I pada tahun 1610.[91][92]

Walaupun mengalami kemunduran pada abad pertengahan akhir, Jainisme juga didukung oleh beberapa raja Mysore, yang memberikan sumbangan kepada ordo rahib Jain di kota Shrawanabelagola.[93][94] Catatan sejarah menunjukkan bahwa beberapa raja Wodeyar tidak hanya mengawasi perayaan Mahamastakabhisheka, yang merupakan perayaan Jain yang penting di Shravanabelagola, tetap juga secara pribadi memanjatkan doa (puja) pada tahun 1659, 1677, 1800, 1825, 1910, 1925, 1940, dan 1953.[95]

Hubungan antara India Selatan dengan Islam sudah berlangsung dari abad ke-7, ketika perdagangan antara kerajaan-kerajaan Hindu dan kekhalifahan-kekhalifahan Islam berkembang. Pedagang-pedagang Muslim menetap di Pesisir Malabar dan menikahi perempuan Hindu lokal, dan keturunan mereka disebut Mappillas.[96] Pada abad ke-14, Muslim merupakan kaum minoritas yang penting di selatan, walaupun kemunculan misionaris Portugal menghambat perkembangan mereka.[96] Walaupun merupakan seorang Muslim yang taat, Haidar Ali tidak membiarkan imannya mengganggu urusan pemerintahan kerajaan yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu. Namun, sejarawan masih berdebat mengenai anak Haidar Ali, Tipu Sultan. Terdapat klaim bahwa Tipu memberikan jabatan penting kepada orang-orang Hindu, menyumbang kepada kuil dan brahmin Hindu, secara umum menghormati kepercayaan lain, dan pemaksaan untuk mengganti agama oleh Tipu merupakan hukuman bagi mereka yang memberontak terhadap kekuasaannya.[97] Namun, sejarawan lain menentang klaim ini. Walaupun mereka meyakini bahwa Tipu Sultan memperlakukan non-Muslim di Mysore jauh lebih baik daripada di wilayah Malabar, Raichur, dan Kodagu, menurut mereka Tipu membuat banyak orang Kristen dan Hindu berpindah agama ke Islam baik melalui paksaan maupun dengan memberi mereka insentif pajak dan keuntungan pendapatan.[98][99]

Masyarakat

sunting
 
Balai Crawford di kampus Universitas Mysore.

Sebelum abad ke-18, masyarakat kerajaan ini mengikuti norma interaksi sosial yang lama dan mapan. Catatan sejarah oleh pengelana-pengelana pada masa tersebut menunjukkan maraknya sistem kasta Hindu dan pengorbanan hewan selama perayaan sembilan hari (disebut Mahanavami).[100] Nantinya, terjadi perubahan-perubahan besar karena peperangan antara negara ini dengan kekuatan asing. Walaupun perang antara kerajaan-kerajaan Hindu dengan kesultanan-kesultanan berlanjut, pertempuran antara penguasa asli (termasuk Muslim) dengan Imperium Britania berdampak besar.[61] Menyebarnya sistem pendidikan Inggris, pengenalan percetakan, dan kritik terhadap sistem sosial yang ada oleh para misionaris Kristen membuat masyarakat menjadi lebih terbuka dan fleksibel. Kebangkitan nasionalisme modern di India juga berdampak pada Mysore.[101]

Dengan menguatnya Britania, sistem pendidikan Inggris menjadi penting selain pendidikan tradisional dalam bahasa lokal. Perubahan-perubahan tersebut diatur oleh Lord Elphinstone, gubernur Presidensi Madras. Rencananya menjadi konstitusi institusi perguruan tinggi pusat atau University Board pada tahun 1841.[102] Oleh sebab itu, departemen sekolah tinggi dalam universitas didirikan. Untuk menyebarkan pendidikan ke wilayah pedalaman, sekolah-sekolah didirikan di kota-kota utama yang kemudian dinaikkan statusnya menjadi kolese, dan setiap kolese menjadi pusat bagi banyak sekolah lokal (zilla).[103] Sekolah berbahasa Inggris pertama didirikan pada tahun 1833 di Mysore dan kemudian menyebar ke seluruh negeri. Pada tahun 1858, departemen pendidikan didirikan di Mysore dan pada tahun 1881 terdapat sekitar 2.087 sekolah berbahasa Inggris di negara Mysore. Pendidikan tinggi menjadi tersedia dengan dibentuknya Kolese Pusat Bangalore di Bangalore (1870), Kolese Maharaja (1879), Kolese Maharani (1901), dan Universitas Mysore (1916) di Mysore, serta Kolese Santa Agnes di Mangalore (1921).[104]

Reformasi sosial yang dimaksudkan untuk menghapuskan praktik seperti sati dan diskriminasi sosial berdasarkan status dalit ("diharamkan untuk disentuh"), serta permintaan emansipasi dari kelas bawah, menyebar di seluruh India dan juga memengaruhi wilayah Mysore.[105] Pada tahun 1894, kerajaan ini menyetujui undang-undang yang menghapuskan pernikahan dengan perempuan berusia di bawah delapan tahun. Menikahi wanita janda dan miskin digalakkan, dan pada tahun 1923 beberapa perempuan mendapat izin untuk menggunakan hak pilih mereka.[106] Namun, meletus beberapa pemberontakan melawan kekuasaan Britania di Mysore, seperti pemberontakan Kodagu pada tahun 1835 (setelah Britania menjatuhkan penguasa lokal Chikkawiraraja) dan pemberontakan Kanara pada tahun 1837.[107] Era percetakan yang dibawa oleh misionaris Kristen (terutama Hermann Mögling) memicu pendirian percetakan di seluruh kerajaan. Penerbitan buku-buku berbahasa Kannada kuno dan kontemporer (seperti Pampa Bharata dan Jaimini Bharata), alkitab berbahasa Kannada, kamus bilingual, dan koran berbahasa Kannada yang disebut Kannada Samachara dimulai pada awal abad ke-19.[108] Aluru Venkata Rao menerbitkan buku sejarah berbahasa Kannada (dengan judul Karnataka Gatha Vaibhava) yang mengagungkan pencapaian Kannadiga.[109]

Drama Inggris Klasik, drama Sansekerta,[110] dan teater musikal Yakshagana memengaruhi pementasan di Mysore dan menghasilkan penulis sandiwara ternama seperti Gubbi Veeranna.[111] Publik juga mulai menikmati musik Karnatik yang disiarkan melalui sistem penyiaran publik di istana.[112] Sementara itu, lukisan Mysore, yang terinspirasi dari Renaisans Benggala, dibuat oleh artis seperti Sundarayya, Ala Singarayya, dan B. Venkatappa.[113]

Sastra

sunting
 
Halaman pembuka risalah musik Sritattvanidhi yang menyatakan Krishnaraja Wodeyar III sebagai penulisnya.

Masa Kerajaan Mysore dianggap sebagai masa yang penting dalam perkembangan sastra Kannada. Istana Mysore tidak hanya diisi oleh penulis dan penggubah Brahmin dan Wirasiwa yang terkenal,[94][114] tetapi juga oleh raja-raja yang memiliki pencapaian dalam seni rupa.[115][116] Sementara literatur konvensional dalam bidang filsafat dan agama tetap populer, tulisan bergenre baru seperti kronik, biografi, sejarah, ensiklopedia, novel, drama, dan risalah musikal juga menjadi populer,[117] dan begitu pula literatur rakyat dengan representasi drama yang disebut Yakshagana.[118][119] Perkembangan penting yang muncul belakangan adalah pengaruh sastra Inggris dan sastra Sansekerta klasik.[120]

Gowinda Waidya, yang berasal dari Srirangapatna, menulis Kanthirava Narasaraja Wijaya, yang merupakan eulogi pendukungnya Raja Narasaraja I. Buku ini ditulis dengan gaya sangatya metre (komposisi yang dimaksudkan untuk disertai dengan instrumen musik) dan mendeskripsikan istana raja, musik populer, dan jenis komposisi musik pada masa tersebut dalam dua puluh enam bab.[121][122] Sementara itu, Raja Chikka Dewaraja adalah raja pertama yang menjadi penggubah.[25][123] Ia membuat risalah musik terkenal yang disebut Geetha Gopala. Walaupun terinspirasi oleh Geetha Gowinda karya Jayadewa yang berbahasa Sansekerta, karya ini memiliki ciri khususnya tersendiri dan ditulis dengan gaya saptapadi metre (bait tujuh baris).[124] Di sisi lain, penyair-penyair Mysore yang meninggalkan warisan bagi seluruh wilayah yang berbahasa Kannada meliputi penyair brahmin Lakshmisa dan penyair Wirasiwa Sarvajna. Penyair perempuan juga turut serta dalam perkembangan kesusasteraan, seperti Cheluwambe (istri Krishnaraja Wodeyar I), Helawanakatte Giriyamma, Sri Rangamma (1685), dan Sanchi Honnamma (Hadibadeya Dharma, akhir abad ke-17).[125][126]

Raja Narasaraja II yang merupakan seorang polyglot menulis empat belas Yakshagana dalam berbagai bahasa, walaupun semuanya ditulis dalam aksara Kannada.[127] Maharaja Krishnaraja III merupakan penulis Kannada yang produktif sehingga ia memperoleh gelar Abhinawa Bhoja (perbandingan dengan raja Bhoja pada abad pertengahan).[128] Lebih dari empat puluh tulisan dibuat olehnya; beberapa di antaranya yang paling dikenal adalah risalah musikal Sri Tatwanidhi dan roman puitis Saugandika Parinaya yang ditulis dalam dua versi, sebuah sangatya, dan sebuah drama.[129] Di bawah dukungan Maharaja, sastra Kannada mulai mengalami perubahan menuju kemodernan. Mudramanjusha karya Kempu Narayana (1823) merupakan karya pertama yang memiliki sentuhan prosa modern.[130] Namun, saat yang menentukan adalah ketika Adbhuta Ramayana (1895) dan Ramaswamedham (1898) ditulis oleh Muddanna, yang dianggap oleh ahli Kannada Narasimha Murthy sebagai Yanus dalam sastra Kannada modern, karena Muddanna mampu menggunakan sudut pandang modern untuk epos kuno.[131]

Basawappa Shastry yang berasal dari Mysore dan merupakan orang termasyhur di istana Maharaja Krishnaraja III dan Maharaja Chamaraja IX sendiri dikenal sebagai "Bapak Teater Kannada" (Kannada Nataka Pitamaha).[132] Ia menulis drama dalam bahasa Kannada dan menerjemahkan "Othello" karya William Shakespeare menjadi Shurasena Charite. Sementara itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Sansekerta ke Kannada, dengan yang paling dikenal di antaranya adalah Kalidasa dan Abhignyana Shakuntala.[133]

Di bawah Maharaja Krishnaraja III dan penerus-penerusnya – Chamaraja IX, Krishnaraja IV, dan penguasa terakhir Jayachamaraja, istana Mysore menjadi pendukung musik yang terbesar dan paling dikenal.[134] Walaupun istana Tanjore dan Travancore juga memberi banyak dukungan dan menekankan pelestarian seni, kombinasi dukungan kerajaan terhadap musisi individual dan pendirian sekolah musik dengan penumbuhan ketertarikan publik dan dukungan terhadap penerbit dan produser musik Eropa membedakan Mysore dari yang lain.[135] Maharaja Krishnaraja III, yang sendirinya merupakan seorang musisi dan musikolog, menggubah sejumlah jawali (lirik ringan) dan lagu-lagu devosional dalam bahasa Kannada dengan judul Anubhawa pancharatna. Komposisi-komposisinya memiliki nom de plume (mudra) "Chamundi'" atau '"Chamundeshwari'" untuk menghormati dewa keluarga Wodeyar.[136] Penerusnya Chamaraja IX mendirikan Perpustakaan Oriental pada tahun 1891 untuk menyimpan buku-buku musik; ia juga memberi kuasa atas pengumpulan rekaman fonograf beberapa musisi untuk perpustakaan istana.

Kemudian, di bawah pemerintahan Krishnaraja IV, seni terus didukung oleh negara. Sekolah musik yang mementingkan raga dan bhawa berkembang.[111][113][137] Sekolah Musik Kerajaan yang didirikan di istana membantu menginstitusionalisasi pengajaran seni. Komposisi-komposisi Karnatik dicetak dan notasi paranada Eropa mulai digunakan oleh musisi-musisi kerajaan. Musik Barat juga digiatkan – konser piano Margaret Cousins dengan Orkestra Istana menandai perayaan seratus tahun Beethoven di Bangalore.[134] Maharaja Jayachamaraja, yang juga merupakan penggubah kriti (sebuah komposisi musik), mensponsori rekaman penggubah Rusia Nikolas Medtner dan penggubah lainnya.[134] Istana Mysore juga berupaya memastikan agar musik Karnatik tetap mengikuti zaman. Rekaman gramofon kelompok musik istana dibuat dan dijual secara komersial.[138] "Teknologi konser" menjadi perhatian, sementara banyak dana yang dihabiskan untuk memperoleh berbagai alat musik yang tidak biasa seperti violinophone, theremin, dan calliaphone.[139]

Istana Mysore juga menjadi tempat bagi beberapa ahli (widwan) yang terkenal pada masa itu. Veena Sheshanna, seorang musisi istana pada masa kekuasaan Maharaja Chamaraja IX,[140] dianggap sebagai salah satu pemain veena terbaik.[141] Pencapaiannya dalam bidang musik klasik membuat Mysore memperoleh tempat utama dalam bidang musik Karnatik instrumental, sehingga ia diberi gelar kehormatan Wainika Shikhamani oleh Maharaja Krishnaraja Wodeyar IV.[142][143] Sementara itu, Mysore Wasudewacharya merupakan musisi dan penggubah terkenal dalam bahasa Sansekerta dan Telugu.[144] Ia didukung oleh empat generasi raja Mysore dan pernah menjadi musisi istana untuk tiga di antaranya.[145][146] H.L. Muthiah Bhagawatar adalah musisi dan penggubah lain yang melengkapi istana Mysore.[147] Ia dianggap sebagai salah satu penggubah paling penting pada masa setelah Tyagaraja[148] dan telah menulis 400 komposisi dalam bahasa Sansekerta, Kannada, Telugu, dan Tamil dengan nama pena "Harikesha". Di sisi lain, di antara para pemain biola, T. Chowdiah menjadi salah satu yang paling dikenal pada masa itu. Selain menguasai biola berdawai tujuh,[111][149] Chowdiah ditunjuk sebagai musisi istana oleh Maharaja Krishnaraja Wodeyar IV pada tahun 1939 dan menerima gelar seperti "Sangeeta Ratna" dan "Sangeeta Kalanidhi". Ia telah menulis komposisi-komposisi dalam bahasa Kannada, Telugu, dan Sansekerta dengan nama pena "Trimakuta".[150]

Arsitektur

sunting
 
Istana Mysore
 
Gopura (menara) Kuil Chamundeshwari di Perbukitan Chamundi. Kuil ini dipersembahkan untuk dewa pelindung Mysore.
 
Lalitha Mahal di Mysore – kini merupakan hotel bintang lima yang menerima tamu-tamu kehormatan dan terkemuka.
 
Makam Tipu Sultan di Srirangapatna.
 
Istana Jaganmohan di Mysore – kini merupakan galeri seni yang menyimpan beberapa karya terbaik Raja Rawi Warma.

Gaya arsitektur struktur istana di Mysore mengalami perubahan besar selama masa kekuasaan Britania; terjadi percampuran antara tradisi Eropa dengan tradisi asli negeri ini. Kuil-kuil Hindu di kerajaan dibangun dengan gaya Dravidia India Selatan yang umum.[151] Saat berkuasa, Tipu Sultan membangun sebuah istana dan masjid di Srirangapatna, ibu kotanya. Namun, kota Mysore-lah yang paling dikenal akan istana-istana kerajaannya, sehingga kota tersebut dijuluki "Kota Istana-Istana". Istana utama di kota tersebut, yaitu Istana Mysore, juga disebut Istana Amba Vilas. Kompleks aslinya hancur terbakar dan pembangunan istana baru dilancarkan oleh perwakilan ratu Britania Raya pada tahun 1897.[152] Istana yang dirancang oleh arsitek Inggris Henry Irwin ini merupakan gabungan gaya Hindu, Islam, Indo-Sarasenik, dan arsitektur Moor, dan untuk pertama kalinya di India menggunakan tiang besi cor dan kerangka atap. Ketampakan di bagian luar yang mencolok adalah kolom granit yang menopang lengkungan berlekuk di portico, menara tinggi dengan kubah emas berpayung (chattri) di atasnya, dan sekelompok kubah lain di sekelilingnya.[153] Bagian dalam istana dipenuhi dekorasi dengan tembok-tembok marmer dan langit-langit dari kayu jati dengan skulptur dewa-dewa Hindu. Balai Durbar mengarahkan pengunjung ke balai privat di dalam melalui pintu perak. Ruangan yang mewah ini memiliki lantai yang bertahtakan batu semi-mulia, dan atap kaca berwarna yang ditopang oleh tiang dan lengkungan. Balai pernikahan (Kalyana mantapa) di kompleks istana dikenal akan kubah oktagonal kaca berwarnanya dengan motif burung merak.[154]

Istana Lalitha Mahal dibangun pada tahun 1921 oleh E.W. Fritchley atas kuasa Maharaja Krishnaraja IV. Gaya arsitekturnya disebut "Renaissance" dan menggabungkan konsep rumah bangsawan di Inggris dan palazzo di Italia.[155] Kubah istana ini diyakini didasarkan pada Katedral Santo Paulus di London. Ketampakan-ketampakan lain yang penting adalah anak tangga marmer Italia, lantai kayu yang dipoles di balai pesta dan dansa, serta lampu kaca Belgia.[155] Sementara itu, Istana Jaganmohan mulai dibangun pada tahun 1861 dan diselesaikan pada tahun 1910. Bangunan tiga lantai dengan kubah, finial, dan cupola ini menjadi tempat diadakannya berbagai perayaan kerajaan. Bangunan ini kini disebut Galeri Seni Chamarajendra dan menyimpan berbagai macam koleksi seni.[156]

Di kampus Universitas Mysore (yang juga disebut "Manasa Gangotri") terdapat beberapa bangunan dengan arsitektur yang menarik. Beberapa di antaranya bergaya Eropa dan diselesaikan pada abad ke-19. Bangunan-bangunan tersebut adalah Jayalakshmi Vilas, Balai Crawford, Institut Penelitian Oriental (dibangun antara tahun 1887 hingga 1891) dengan tiang Ionik dan Korinthiannya, dan kantor-kantor distrik (Athara Kutchery, 1887). Athara Kutchery, yang awalnya merupakan kantor komisioner Britania, memiliki kubah oktagonal dan finial yang menambah kecantikannya.[157] Istana musim panas maharaja yang dibangun pada tahun 1880 disebut Lokaranjan Mahal dan awalnya merupakan sekolah untuk anggota keluarga raja. Istana Rajendra Vilas yang dibangun dengan gaya India-Britania di atas Bukit Chamundi dimulai pada tahun 1922 dan diselesaikan pada tahun 1938 oleh Maharaja Krishnaraja IV.[155] Rumah kerajaan lainnya yang dibangun oleh penguasa Mysore adalah Chittaranjan Mahal di Mysore dan Istana Bangalore di Bangalore, sebuah struktur yang dibangun sejalan dengan Kastel Windsor di Inggris.[158] Institut Penelitian Teknik Makanan Pusat (Cheluwamba Mansion) dibangun dengan gaya baroque dan pernah menjadi kediaman putri Cheluwambaamani Awaru, saudara perempuan Maharaja Krishnaraja IV. Keunikan bangunan ini adalah pilaster dan lantai mosaiknya.[159]

Salah satu kuil Dinasti Wodeyar yang paling terkenal adalah Kuil Chamundeshwari di atas Bukit Chamundi. Struktur paling awal di sini ditahbiskan pada abad ke-12 dan nantinya didukung oleh penguasa-penguasa Mysore. Maharaja Krishnaraja III menambah gopuram bergaya Dravidia pada tahun 1827. Kuil ini memiliki pintu berlapis perak dengan gambar dewa-dewa. Gambar lain meliputi gambar dewa Ganesha dan Maharaja Krishnaraja III dengan tiga ratunya.[160] Di sekeliling istana utama di Mysore dan di dalam benteng terdapat lima kuil yang berasal dari berbagai periode, yaitu Kuil Prasanna Krishnaswamy (1829), Kuil Lakshmiramana Swamy (dengan struktur terawal dari tahun 1499), Kuil Trineswara Swamy (akhir abad ke-16), Kuil Shweta Waraha Swamy yang dibangun oleh Purnaiah dengan sentuhan arsitektur Hoysala, dan Kuil Prasanna Venkataramana Swami (1836) yang dikenal akan 12 lukisan dinding penguasa Wodeyar.[161] Kuil terkenal di luar kota Mysore adalah Kuil Venkataramana yang berpilar yali ("binatang mitos") dan dibangun pada abad ke-17 di dalam benteng Bangalore, serta Kuil Ranganatha di Srirangapatna.[162]

Tipu Sultan membangun istana dengan barisan tiang kayu yang disebut Istana Dariya Daulat (secara harfiah berarti "kebun kekayaan laut") di Srirangapatna pada tahun 1784. Banguanan bergaya Indo-Sarasenik ini dikenal akan karya kayunya yang rumit dan terdiri dari lengkungan ornamental, tiang berbelang, desain bunga, dan lukisan. Tembok barat istana ini dilapisi oleh lukisan dinding yang menggambarkan kemenangan Tipu Sultan atas tentara Kolonel Baillie di Pollilur (dekat Kanchipuram) pada tahun 1780. Salah satu lukisan dinding menunjukkan Tipu yang sedang menikmati bau karangan bunga sementara pertempuran berlangsung. Dalam lukisan tersebut, kumis membedakan tentara Prancis dari tentara Britania.[163][164] Di Srirangapatna juga terdapat mausoleum Gumbaz yang didirikan oleh Tipu Sultan pada tahun 1784. Mausoleum Gumbaz merupakan makam Tipu dan Haidar Ali. Mausoleum yang terbuat dari granit ini ditutupi oleh kubah yang terbuat dari batu bata dan pilaster.[165]

Teknologi militer

sunting
 
Meriam yang digunakan oleh tentara Tipu Sultan dalam pertempuran di Seringapatam tahun 1799.

Artileri roket besi dan logam dikembangkan oleh Tipu Sultan dan ayahnya Haidar Ali pada tahun 1780-an. Ia berhasil menggunakan roket tersebut untuk melawan tentara British East India Company selama Peperangan Inggris-Mysore. Roket-roket Mysore lebih maju dari yang pernah dilihat bangsa Britania karena menggunakan tabung besi untuk menahan bahan pembakar, sehingga memungkinkan dorongan yang lebih besar dan jangkauan misil yang lebih tingi (hingga mencapai 2 km (1 mi)). Setelah kekalahan Tipu Sultan dalam Perang Inggris-Mysore Keempat, roket besi Mysore direbut dan memengaruhi perkembangan roket Britania, sehingga mengilhami pembuatan roket Congreve yang akan segera digunakan dalam Peperangan Napoleon.[166]

Menurut Stephen Oliver Fought dan John F. Guilmartin, Jr. di Encyclopædia Britannica (2008):

Haidar Ali, pangeran Mysore, mengembangkan roket perang dengan perubahan yang penting: penggunaan silinder logam untuk menampung bubuk pembakaran. Walaupun besi lembut yang telah dipalu yang ia gunakan masih mentah, kekuatan ledakan penampung bubuk hitam jauh lebih besar dari konstruksi awal. Maka tekanan internal yang lebih besar menjadi mungkin, yang menghasilkan dorongan yang lebih besar. Badan roket diikat dengan tali kulit ke tongkat bambu yang panjang. Jangkauan roket kurang lebih mencapai tiga per empat mil (lebih dari satu kilometer). Walaupun sasaran masing-masing roket tidak akurat, kesalahan menjadi kurang penting ketika roket dalam jumlah besar ditembakkan secara cepat dalam serangan massal. Roket-roket tersebut terutama efektif untuk melawan kavaleri dan terempas ke udara setelah dinyalakan, atau meluncur di sepanjang tanah kering yang keras. Tipu Sultan meneruskan pengembangan dan penyebaran penggunaan senjata roket, dan dilaporkan meningkatkan jumlah tentara roket dari 1.200 menjadi korps yang terdiri dari 5.000 tentara. Dalam pertempuran di Seringapatam pada tahun 1792 dan 1799, roket-roket tersebut digunakan dalam pertempuran melawan Britania dengan dampak yang besar."[167]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Kamath (2001), hal. 11–12, hal. 226–227; Pranesh (2003), hal. 11
  2. ^ Narasimhacharya (1988), hal. 23
  3. ^ Subrahmanyam (2003), hal. 64; Rice E.P. (1921), hal. 89
  4. ^ Kamath (2001), hal. 226
  5. ^ Rice B.L. (1897), hal. 361
  6. ^ Pranesh (2003), hal. 2–3
  7. ^ Wilks, Aiyangar di Aiyangar dan Smith (1911), hal. 275–276
  8. ^ Aiyangar (1911), hal. 275; Pranesh (2003), hal. 2
  9. ^ Stein (1989), hal. 82
  10. ^ Stein 1987, hlm. 82
  11. ^ Kamath (2001), hal. 227
  12. ^ Subrahmanyam (2001), hal. 67
  13. ^ a b c Subrahmanyam (2001), hal. 68
  14. ^ Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 200
  15. ^ Shama Rao in Kamath (2001), hal. 227
  16. ^ a b c d e Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal.201
  17. ^ a b Subrahmanyam (2001), hal. 68; Kamath (2001), hal. 228
  18. ^ a b Subrahmanyam (2001), hal. 71
  19. ^ Kamath (2001), hal. 228–229
  20. ^ Subrahmanyam (2001), hal. 69; Kamath (2001), hal. 228–229
  21. ^ Subrahmanyam (2001), hal. 69
  22. ^ Subrahmanyam (2001), hal. 70
  23. ^ Subrahmanyam (2001), hal. 70–71; Kamath (2001), hal. 229
  24. ^ Pranesh (2003), hal. 44–45
  25. ^ a b c Kamath (2001), hal. 230
  26. ^ Shama Rao in Kamath (2001), hal. 233
  27. ^ Kutipan: "A military genius and a man of vigour, valour and resourcefulness" (Chopra et al. 2003, hal. 76)
  28. ^ a b Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 207
  29. ^ Chopra et al. (2003), hal. 71, 76
  30. ^ Chopra et al. (2003), hal. 55
  31. ^ a b c d Kamath (2001), hal. 232
  32. ^ Chopra et al. (2003), hal. 71
  33. ^ Chopra et al. (2003), hal. 73
  34. ^ Chopra et al. (2003), hal. 74
  35. ^ Chopra et al. (2003), hal. 75
  36. ^ Chopra et al. 2003, hal. 75
  37. ^ Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 211
  38. ^ a b Chopra et al. (2003), hal. 78–79; Kamath (2001), hal. 233
  39. ^ Chopra et al. (2003), hal. 75–76
  40. ^ a b Chopra et al. (2003), hal. 77
  41. ^ Chopra et al. (2003), hal. 79–80; Kamath (2001), hal. 233–234
  42. ^ Chopra et al. (2003), hal. 81–82
  43. ^ Kamath (2001), hal. 249
  44. ^ a b Kamath (2001), hal. 234
  45. ^ Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 225
  46. ^ Kutipan:"The Diwan seems to pursue the wisest and the most benevolent course for the promotion of industry and opulence" (Gen. Wellesley in Kamath 2001, hal. 249)
  47. ^ Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 226-229
  48. ^ a b Kamath (2001), hal. 250
  49. ^ Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 229-231
  50. ^ Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 231-232
  51. ^ Lewis Rice, B., Report on the Mysore census (Bangalore: Mysore Government Press, 1881), hal. 3
  52. ^ a b Kamath (2001), hal. 250–254
  53. ^ Rama Jois, M. 1984. Legal and constitutional history of India ancient legal, judicial and constitutional system. Delhi: Universal Law Pub. Co. hal. 597
  54. ^ "The Mysore duo Krishnaraja Wodeya IV & M. Visvesvaraya". India Today. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-24. Diakses tanggal 2007-10-23. 
  55. ^ Puttaswamaiah, K. 1980. Economic development of Karnataka a treatise in continuity and change. New Delhi: Oxford & IBH. hal. 3
  56. ^ Pranesh (2003), hal. 162
  57. ^ Kamath (2001), hal. 261
  58. ^ Kamath (2001), hal. 228; Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 201
  59. ^ Venkata Ramanappa, M. N. (1975), p.203
  60. ^ Kamath (2001), hal. 228–229; Venkata Ramanappa, M. N. (1975), hal. 203
  61. ^ a b Kamath (2001), hal. 233
  62. ^ Kamath (2001), hal. 235
  63. ^ a b Kamath (2001), hal. 251
  64. ^ a b Kamath (2001), hal. 252
  65. ^ Kamath (2001), hal. 254
  66. ^ a b Kamath (2001), hal. 254–255
  67. ^ a b c Kamath (2001), hal. 257
  68. ^ Kamath (2001), hal. 259
  69. ^ Indian Science Congress (2003), hal. 139
  70. ^ a b Kamath (2001), hal. 258
  71. ^ Indian Science Congress (2003), hal. 139–140
  72. ^ Kamath (2001), hal. 260
  73. ^ Sastri (1955), hal. 297–298
  74. ^ a b Chopra et al. (2003), hal. 123
  75. ^ M.H.Gopal in Kamath 2001, hal. 235
  76. ^ Kamath (2001), hal. 235–236
  77. ^ Kamath (2001), hal. 236–237
  78. ^ Chopra et al. (2003), hal. 124
  79. ^ Chopra et al. (2003), hal. 129
  80. ^ Chopra et al. (2003), hal. 130
  81. ^ Kamath (2001), hal. 286
  82. ^ Chopra et al. (2003), hal. 132
  83. ^ Kamath (2001), hal. 287
  84. ^ Kamath (2001), hal. 288–289
  85. ^ Chopra et al. (2003), hal. 134
  86. ^ Rice E.P. (1921), hal. 89
  87. ^ Pranesh (2003), hal. 5, hal. 16, hal. 54
  88. ^ Nagaraj in Pollock (2003), hal. 379
  89. ^ Kamath (2001), hal. 229
  90. ^ Aiyangar and Smith (1911), hal. 304
  91. ^ Aiyangar and Smith (1911), hal. 290
  92. ^ Pranesh (2003), hal. 4
  93. ^ Pranesh (2003), hal. 44
  94. ^ a b Kamath (2001), hal. 229–230
  95. ^ Singh (2001), hal. 5782–5787
  96. ^ a b Sastri (1955), hal. 396
  97. ^ Mohibul Hassan di Chopra et al., 2003, hal. 82, bagian III
  98. ^ Chopra et al. (2003), hal. 82
  99. ^ Kamath (2001), hal. 237
  100. ^ Sastri (1955), hal. 394
  101. ^ Kamath (2001), hal. 278
  102. ^ Chopra et al. (2003), hal. 185
  103. ^ Chopra et al. (2003), hal. 186
  104. ^ Kamath (2001), hal. 278–279
  105. ^ Chopra et al. (2003), hal. 196–197, hal. 202
  106. ^ Kamath (2001), hal. 284
  107. ^ Kamath (2001), hal. 275
  108. ^ Kamath (2001), hal. 279–280; Murthy (1992), hal. 168
  109. ^ Kamath (2001), hal. 281; Murthy (1992), hal. 172
  110. ^ Murthy (1992), hal. 169
  111. ^ a b c Kamath (2001), hal. 282
  112. ^ Pranesh (2003), hal. 163
  113. ^ a b Kamath (2001), hal. 283
  114. ^ Narasimhacharya (1988), hal. 23–27
  115. ^ Mukherjee (1999), hal. 78; Narasimhacharya (1988), hal. 23, hal. 26
  116. ^ Kamath (2001), hal. 229–230; Pranesh (2003), bab pembuka p(i)
  117. ^ Narasimhacharya (1988), hal. 23–26
  118. ^ Narasimhacharya (1988), hal. 25
  119. ^ Kamath (2001), hal. 281
  120. ^ Murthy (1992), hal. 168–171; Kamath (2001), hal. 280
  121. ^ Rice E.P. (1921), hal. 90; Mukherjee (1999), hal. 119
  122. ^ Kamath (2001), hal. 227; Pranesh (2003), hal. 11
  123. ^ Pranesh (2003), hal. 20
  124. ^ Mukherjee (1999), hal. 78; Pranesh (2003), hal. 21
  125. ^ Mukherjee (1999), hal. 143, hal. 354, hal. 133, hal. 135; Narasimhacharya (1988), hal. 24–25
  126. ^ Pranesh (2003), hal. 33–34; Rice E.P. (1921), hal. 72–73, hal. 83–88, hal. 91
  127. ^ Pranesh (2003), hal. 37–38
  128. ^ Pranesh (2003), hal. 53
  129. ^ Narasimhacharya (1988), hal. 26; Murthy (1992), hal. 167; Pranesh (2003), hal. 55
  130. ^ Murthy (1992), hal. 167
  131. ^ Murthy (1992), hal. 170
  132. ^ Pranesh (2003), hal. 81
  133. ^ Sahitya Akademi (1988), hal. 1077; Pranesh (2003), hal. 82
  134. ^ a b c Weidman (2006), hal. 66
  135. ^ Weidman (2006), hal. 65
  136. ^ Pranesh (2003), hal. 54
  137. ^ Pranesh (2003), hal. xiii dalam catatan penulis
  138. ^ Weidman (2006), hal. 67
  139. ^ Weidman (2006), hal. 68
  140. ^ Pranesh (2003), hal. 110
  141. ^ Bakshi (1996), hal. 12; Kamath (2001), hal. 282
  142. ^ Pranesh (2003), hal. 110–111
  143. ^ Satish Kamat (11 July 2002). "The final adjustment". Metro Plus Bangalore. Chennai, India: The Hindu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2003-07-04. Diakses tanggal 2007-10-10. 
  144. ^ Subramaniyan (2006), hal. 199; Kamath (2001), hal. 282
  145. ^ Pranesh (2003), hal. 135
  146. ^ Pranesh (2003), hal. 140
  147. ^ Subramaniyan (2006), hal. 202; Kamath (2001), hal. 282
  148. ^ Pranesh (2003), hal. 170
  149. ^ Pranesh (2003), hal. 214, 216
  150. ^ Pranesh (2003), hal. 216
  151. ^ Michell, hal. 69
  152. ^ Manchanda (2006), hal. 158
  153. ^ Manchanda (2006), hal. 160–161
  154. ^ Manchanda (2006), hal. 161
  155. ^ a b c Raman (1994), hal. 87–88
  156. ^ Raman (1994), hal. 83–84, hal. 91–92
  157. ^ Raman (1994), hal. 84
  158. ^ Bradnock (2000), hal. 294
  159. ^ Raman (1994), hal. 81–82
  160. ^ Raman (1994), hal. 85
  161. ^ Raman (1996), hal. 83
  162. ^ Michell hal. 71
  163. ^ Raman (1994), hal. 106
  164. ^ Abram et al. (2003), hal. 225
  165. ^ Abram et al. (2003), hal. 225–226
  166. ^ Roddam Narasimha (1985). Rockets in Mysore and Britain, 1750-1850 A.D. Diarsipkan 2007-09-27 di Wayback Machine. National Aeronautical Laboratory and Indian Institute of Science.
  167. ^ Encyclopædia Britannica (2008), "rocket and missile"

Lihat pula

sunting

Daftar pustaka

sunting

Bacaan lanjut

sunting