Hak suara perempuan

Perjuangan untuk hak suara perempuan adalah gerakan reformasi sosial, ekonomi dan politik untuk memberi wanita hak memilih. Pada 1866 Isle of Man menjadi parlemen nasional pertama yang memberi hak pilih kepada wanita, diikuti oleh Wyoming Territory pada 1869. Koloni Kepulauan Pitcairn memberi hak pilih kepada wanita pada 1838.

Hak suara perempuan

Negara-negara yang masih belum mengizinkan wanita untuk memilih adalah:

Dalam agama

sunting

Agama Kristen

sunting

Paus dipilih oleh para kardinal. Wanita tidak diangkat sebagai kardinal; dan karena itu, perempuan tidak dapat memilih Paus.[2]

Jabatan kepala biara wanita bersifat elektif, pilihan dibuat melalui pemungutan suara rahasia para biarawati yang tergabung dalam komunitas.[3] Pangkat tinggi yang dianggap berasal dari kepala biara dalam Gereja Katolik sebelumnya mengizinkan beberapa kepala biara hak untuk duduk dan memberikan suara di majelis nasional, seperti halnya dengan berbagai kepala biara berpangkat tinggi di Jerman pada abad pertengahan, yang termasuk di antara pangeran independen kekaisaran. Penerus Protestan mereka menikmati hak istimewa yang sama hampir sampai zaman modern.[4]

Pada 6 Februari 2021, Paus Fransiskus menunjuk Nathalie Becquart sebagai wakil sekretaris Sinode Para Uskup, menjadikannya wanita pertama yang memiliki hak suara dalam Sinode para Uskup.[5]

Agama Islam

Di beberapa negara, beberapa masjid memiliki undang-undang yang melarang perempuan memilih dalam pemilihan pengurus.[6]

Agama Yahudi

Dalam Yudaisme Konservatif, Yudaisme Reformasi, dan sebagian besar gerakan Yahudi Ortodoks, wanita memiliki hak untuk memilih. Sejak tahun 1970-an, semakin banyak sinagoge dan organisasi keagamaan Ortodoks Modern yang memberikan hak kepada perempuan untuk memilih dan dipilih dalam badan pemerintahan mereka. Di beberapa komunitas Yahudi Ultra-Ortodoks, perempuan ditolak hak pilihnya atau kemampuan untuk dipilih pada posisi otoritas.[7]

Hak suara perempuan di Indonesia

sunting

Negara Indonesia mengakui dan mendukung adanya hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dan perjanjian internasional seperti International Convention of Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 dan International Convention of Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). HAM di Indonesia juga mendukung suara perempuan yang meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik,pekerjaan yang setara dengan laki-laki dll.Tetapi dalam kenyataannya, seringkali suara perempuan diabaikan dan tidak setara seperti laki-laki karena adanya budaya patriarki dan bahkan praktik-praktik keagamaan yang mendiskriminasi suara perempuan. Contohnya jika terjadi kekerasan seksual seringkali pihak korban perempuan yang disalahkan karena memakai baju yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia (orang timur) sehingga mengundang nafsu dari laki-laki.

Tokoh perempuan yang memperjuangkan suara perempuan di Indonesia adalah R.A. Kartini melalui suratnya yang dikirim ke Belanda dan berisi harapannya akan emansipasi antara perempuan dan laki-laki meliputi kebebasan berpikir bagi kaum perempuan.[8]

Perjuangan Perempuan AS Memperoleh Hak Pilih

sunting

Dalam Declaration of Independence yang ditulis Thomas Jefferson yang merupakan deklarasi gagasan kemerdekaan Amerika Serikat (AS) pada 4 Juli 1776 terdapat satu hal yang menjadi pertanyaan, Hak pilih perempuan tidak tercantum dalam deklarasi tersebut. “All men are created equal”, klausa paling terkenal dalam deklarasi kemerdekaan, ternyata hanya merujuk kesetaraan pada laki-laki kulit putih, bukan semua bangsa, alih-alih semua gender. Meski kontribusi perempuan bertempur di medan perang, menjadi mata-mata, merawat prajurit yang terluka, dan membuka dapur umum diakui dalam Perang Revolusi Amerika (1775-1783), tetapi hak-hak perempuan untuk setara dengan laki-laki dikebiri justru setelah kemerdekaan diraih.[9]

Masih adanya pendapat bahwa perempuan tetap diharapkan berada di dalam rumah sehingga tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan identitasnya melekat pada ayah atau suami. Tentunya bagi pihak perempuan akan menuntut tentang ini sehingga memancing keributan. Pada tahun 1913, The New York Times menyimpulkan bahwa "keributan tentang hak pilih perempuan ditimbulkan oleh saudara-saudara perempuan kita yang sedang hilang arah".[9]

Pada 9 Juli 1848, Jane Hunt, nyonya rumah, mengundang Elizabeth Cady Stanton dan Empat perempuan progresif penganut Quaker yang anti perbudakan serta mendirikan gereja sendiri sehingga laki-laki dan perempuan dapat beribadah bersama. Setelah pertemuan itu, mereka memasang iklan di surat kabar lokal untuk mengundang siapa pun hadir dalam “sebuah pertemuan guna membahas kondisi sosial, sipil, dan keagamaan, serta hak-hak perempuan” di Seneca Falls. Pada 19-20 Juli 1848, sekitar 300 orang berkumpul di Seneca Falls, New York, untuk membahas agenda yang diiklankan yang dicatat sebagai gerakan perjuangan hak-hak perempuan pertama di Amerika Serikat. Elizabeth Cady Stanton menyusun Declaration of Sentiments yang menuntut 11 resolusi hak perempuan, termasuk hak memperoleh pendidikan dan beraktivitas setara dengan laki-laki di gereja. Dari 11 resolusi tersebut, hak memilih bagi perempuan ditolak.[9]

Kelak pada 1890, Stanton menjadi presiden pertama NAWSA. Alice Paul dan Lucy Burns keluar dari NAWSA karena lambannya perjuangan menggunakan strategi “dari negara bagian ke negara bagian”. Mereka mendirikan The Congressional Union for Woman Suffrage pada 1916 menjadi National Woman’s Party untuk berjuang di tingkat federal. Alice Paul memimpin demonstrasi yang diikuti 5.000-10.000 perempuan di Washington DC di hari pelantikan Presiden Woodrow Wilson pada 1913. NAWSA mendukung penuh keterlibatan AS dalam perang demi mendapatkan dukungan balik dari Presiden Wilson. Sementara National Woman’s Party tidak memberikan dukungan, tetapi juga tidak menentang keterlibatan AS dalam Perang Dunia I. [9] NWP tetap fokus pada perjuangan melalui unjuk rasa damai di luar pagar Gedung Putih dengan melakukan protes damai di luar pagar Gedung Putih. Mereka dikenal sebagai The Silent Sentinels. Sebanyak 2.000 perempuan terlibat, dengan ratusan orang ditahan dan dipenjara.

Periode kedua pemerintahan Presiden Wilson mengubah sikap politiknya (1918) dengan menyatakan dukungan kepada perjuangan hak pilih perempuan di tingkat federal sehingga pada 21 Mei 1919, DPR meloloskan amendemen tersebut, demikian juga Senat pada 4 Juni 191. Langkah selanjutnya adalah ratifikasi di masing-masing negara bagian yang memerlukan dua pertiga atau 36 dari 48 negara bagian sehingga amendemen ini berlaku sebagai hukum federal. Alice Paul dengan NWP-nya dan Carrie Catt, Presiden NAWSA penerus Cady Stanton, segera bergerilya dari negara bagian ke negara bagian, meyakinkan mereka untuk meratifikasi amendemen. Pada tahun 19920, 35 negara bagian menyetujui ratifikasi, 8 menolak, dan 3 tidak mempertimbangkan Amendemen tersebut. Tanggal 18 Agustus 1920, sehari setelah North Carolina menolak ratifikasi, Tennessee menggenapkan 36 suara yang diperlukan. The Perfect 36 adalah sebutan bagi Tennessee. Pada 26 Agustus 1920, ratifikasi atas Amendemen ke-19 Konstitusi AS disahkan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah AS, perempuan sah menggunakan hak pilihnya.[9]

Di bulan November tahun itu, perempuan Amerika memberikan suaranya dalam pemilihan presiden, termasuk perempuan kulit hitam meskipun di banyak tempat mendapatkan diskriminasi. Sejak hari itu, perempuan Amerika tidak lagi didiskriminasi menggunakan hak pilihnya berdasarkan jenis kelamin, sebagaimana bunyi Amendemen ke-19: "Hak warga negara Amerika Serikat untuk memilih tidak boleh ditolak atau dihilangkan oleh Amerika Serikat maupun negara bagian mana pun berdasarkan jenis kelamin."[9]

Referensi

sunting
  1. ^ (Prancis)Vote des femmes. Pour les Saoudiennes, un vote symbolique Diarsipkan 2015-09-24 di Wayback Machine.
  2. ^ "Women and the Priesthood". web.archive.org. 2011-09-04. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-04. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  3. ^ "CATHOLIC ENCYCLOPEDIA: Abbess". www.newadvent.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-15. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  4. ^ "Abbess - Original Catholic Encyclopedia". web.archive.org. 2012-01-14. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-14. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  5. ^ "Nathalie Becquart, première femme à avoir le droit de vote au synode des évêques". Le Monde.fr (dalam bahasa Prancis). 2021-02-06. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-07. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  6. ^ Goodstein, Laurie (2004-07-22). "Muslim Women Seeking a Place in the Mosque". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-01. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  7. ^ vinnews (2010-09-12). "Manhattan, NY - Rabbi Keeps Off Women from Board of LES Orthodox Synagogue". VINnews (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-18. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  8. ^ Bangun, Budi Hermawan (2020-06-15). "Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Filsafat Hukum". Pandecta Research Law Journal. 15 (1): 74–82. doi:10.15294/pandecta.v15i1.23895. ISSN 2337-5418. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2023-03-18. 
  9. ^ a b c d e f Chabibah, Uswatul. "Tujuh Dekade Perjuangan Perempuan AS Memperoleh Hak Pilih". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2023-03-25.