Hukum Sali
Hukum Sali (bahasa Latin: Lex Salica) adalah kumpulan undang-undang hukum sipil orang Franka Sali yang disusun pada ca. 500 M oleh Klovis, raja orang Franka yang pertama. Meskipun ditulis dalam bahasa Latin atau menurut sejumlah ahli bahasa dalam bahasa semi-Prancis,[1] Hukum Sali juga memuat sejumlah kata yang disebut-sebut oleh para ahli bahasa Belanda sebagai salah satu peninggalan tertulis paling tua dalam bahasa Belanda Kuno, bahkan mungkin tertua kedua sesudah prasasti Bergakker.[2] Hukum Sali merupakan hukum asasi orang Franka pada Awal Abad Pertengahan, dan di kemudian hari mempengaruhi tatanan hukum Eropa. Asas yang paling terkenal dari hukum kuno ini adalah pengecualian kaum perempuan dalam aturan pewarisan jabatan, tanah, dan pusaka-pusaka warisan lainnya. Lembaga penegak Hukum Sali adalah sebuah panitia yang ditunjuk langsung dan diberi kuasa oleh raja orang Franka. Ada lusinan naskah Hukum Sali dari abad ke-6 sampai abad ke-8, dan tiga naskah Hukum Sali teremendasi selambat-lambatnya dari abad ke-9 yang sintas sampai sekarang.[3]
Hukum Sali merupakan kodifikasi hukum-hukum tertulis, baik hukum perdata semisal hukum waris, maupun hukum pidana misalnya hukuman atas tindak pidana pembunuhan. Hukum Sali mempengaruhi pembentukan tradisi hukum tertulis yang berlanjut sampai ke zaman modern di Eropa Barat dan Eropa Tengah, khususnya di negara-negara bagian Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, sebagian Italia, Austria-Hungaria, Rumania, dan negara-negara di semenanjung Balkan.
Sejarah
suntingKitab undang-undang Hukum Sali yang pertama disusun atas amanat raja segenap orang Franka yang pertama, Klovis I (ca. 466–511), dan terbit antara 507 dan 511.[4] Klovis menunjuk empat orang pejabat[5] dan menugasi mereka untuk mempelajari seluk-beluk hukum adat orang Franka, yang kala itu belum tertulis dan hanya dihafal oleh para tetua tertentu yang baru akan berkumpul dan bersidang bilamana ilmu dan kebijaksanaan mereka diperlukan. Hukum adat orang Franka diwariskan turun-temurun secara lisan sehingga kitab Hukum Sali yang pertama ini dapat dikatakan benar-benar mencerminkan adat istiadat kuno orang Franka.[6] Raja-raja memerlukan undang-undang tertulis agar dapat memerintah secara lebih efektif. Nama dari naskah kumpulan hukum ini mengacu pada status Klovis selaku seorang raja dari wangsa Meroving yang mula-mula hanya berkuasa atas orang Franka Sali sebelum berhasil mempersatukan seluruh suku Franka. Hukum Sali juga berlaku atas orang Franka Ripuari; akan tetapi, karena hanya terdiri atas 65 judul, kitab undang-undang ini mungkin tidak mencakup hukum-hukum khusus orang Franka Ripuari.
Selama 300 tahun berikutnya, naskah Hukum Sali diperbanyak dengan cara tulis tangan dan diamendemen seperlunya, baik untuk menampung pasal-pasal yang baru diundangkan, untuk merevisi pasal-pasal yang telah diamendemen, maupun untuk menghapus pasal-pasal yang sudah tidak berlaku. Tidak seperti karya cetak, pembuatan salinan dengan tulis tangan adalah tindakan perorangan, sehingga tiap-tiap salinan mencerminkan alam pikiran dan kemampuan sastra dari penyalinnya. Tiap-tiap naskah memuat sejumlah kesalahan tulis, perbaikan, isi, dan tata urutan tersendiri. Pasal-pasal dalam kitab undang-undang ini disebut "judul" karena masing-masing memiliki nama sendiri, yang umumnya diawali kata "de" (pasal, perihal). Masing-masing judul pun sering kali memiliki bagian-bagian tertentu yang juga diberi nama tersendiri yang sedikit banyak mengungkap asal-usul keberadaannya. Beberapa di antara nama semacam ini telah digunakan sebagai rujukan khusus, dan acap kali disebut dengan istilah yang sama bagi keseluruhan kitab, yakni "lex" (hukum).
Tahap Meroving
suntingDalam resensi Hukum Sali karya Hendrik Kern, seluruh naskah yang sintas dikelompokkan menjadi lima rumpun menurut kemiripan isi dan perkiraan tarikh pembuatannya.[7] Rumpun I adalah kumpulan naskah-naskah yang paling tua, terdiri atas empat naskah yang diperkirakan baru dibuat pada abad ke-8 dan ke-9 tetapi memuat 65 judul hukum yang diyakini telah disalin dari kitab asli terbitan abad ke-6.[8] Selain itu, naskah-naskah Rumpun I juga memuat Malbergse Glossen (bahasa Latin: glossa marginalis, glosarium yang ditulis pada tepi halaman naskah) berisi padanan istilah pengadilan pribumi untuk beberapa kata Latin. Istilah Malbergse berasal dari kata malbergo, bahasa sidang.[9] Rumpun II, yang terdiri atas dua naskah, memiliki isi yang sama seperti naskah-naskah Rumpun I, akan tetapi memuat pula "interpolasi-interpolasi atau tambahan yang tampaknya berasal dari zaman yang lebih kemudian".[10]
Tahap Karoling
suntingRumpun III dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama yang terdiri atas tiga naskah dari abad ke-8 sampai ke–9, memuat pembabaran Hukum Sali yang sudah diperluas menjadi 99 atau 100 judul. Malbergse Glossen tetap dipertahankan. Bagian kedua yang terdiri atas empat naskah tidak saja menghilangkan Malbergse Glossen, tetapi juga "memperlihatkan bekas-bekas dari adanya usaha untuk membuat kalimat-kalimat dalam Hukum Sali menjadi lebih ringkas namun tetap berbobot".[11] Naskah-naskah ini juga memuat sebaris pernyataan yang menunjukkan waktu pembuatannya: "pada tahun ke-13 masa pemerintahan raja kita yang maha mulia atas orang Franka, Pipin".[11] Sebagian pasal dalam naskah-naskah ini diundangkan sesudah masa pemerintahan Raja Pipin Si Pendek berakhir, tetapi dianggap sebagai hasil dari emendasi Hukum Sali yang diprakarsai oleh Pipin, sehingga diberi nama Pipina Recensio (pembetulan Pipin).
Rumpun IV juga dipecah menjadi dua bagian: bagian pertama terdiri atas 33 naskah; bagian kedua terdiri atas satu naskah. Naskah-naskah dalam rumpun ini dicirikan oleh pemberian nama Latin kepada bagian-bagian tertentu yang berasal dari sumber yang berbeda-beda. Dua dari bagian-bagian semacam itu diperkirakan berasal dari 768 sampai 778, tetapi emendasi dalam naskah-naskah rumpun ini diyakini berasal dari 798, yakni menjelang akhir masa pemerintahan Kaisar Karel Agung. Hukum Sali edisi emendasi ini bertajuk Lex Salica Emendata (Hukum Sali Teremendasi), atau Lex Reformata (Hukum Tereformasi), atau Lex Emendata (Hukum Teremendasi), dan tampak jelas merupakan hasil dari usaha reformasi hukum yang dilakukan pada masa pemerintahan Kaisar Karel Agung.[11]
Kala itu wilayah Kekaisaran Romawi Suci meliputi sebagian besar kawasan barat Eropa. Kaisar Karel Agung menambahkan pasal-pasal tertentu yang dipilih dari kitab undang-undang suku-suku bangsa Jermani yang mula-mula bukan bagian dari Negeri Franka. Pasal-pasal pilihan ini ditambahkan ke dalam pasal-pasal yang sudah ada tetapi diberi judul tersendiri. Segenap orang Franka di dalam wilayah Negeri Franka wajib tunduk pada kitab undang-undang yang sama, yakni kitab undang-undang hasil emendasi Kaisar Karel Agung yang tetap disebut Lex Salica. Kitab undang-undang suku-suku Jermani lainnya yang menjadi sumber dari pasal-pasal tambahan ini adalah Lex Ribuariorum (Hukum orang Ripuari) atau Lex Ribuaria (Hukum Ripuari), Lex Alamannorum (Hukum orang Alemani), dan Lex Suauorum (Hukum orang Suebi). Lex Ribuaria adalah kitab undang-undang orang Franka Ripuari, salah satu suku bangsa yang merdeka sebelum Klovis berkuasa. Lex Alamannorum adalah kitab undang-undang orang Alemani, yang kala itu tunduk pada orang Franka. Di bawah kekuasan orang Franka, mereka wajib menaati undang-undang Franka, bukan undang-undang mereka sendiri. Dimasukkannya beberapa aturan hukum mereka ke dalam Hukum Sali tentu dimaksudkan sebagai suatu tindakan paliatif. Sementara Lex Suauorum adalah kitab undang-undang orang Suebi yang jauh lebih tua daripada Lex Alamannorum.
Catatan penjelasan dalam bahasa Belanda Kuno
suntingGlosarium dalam naskah Hukum Sali (Malbergse Glossen) memuat sepatah dua kata dan sejumlah kalimat lengkap tertua yang pernah ditulis orang dalam bahasa Belanda Kuno:[12]
Bahasa Belanda Kuno | maltho | thi | afrio | lito |
Bahasa Belanda (Modern) | ik meld, | jou* | bevrijd ik, | laat** |
Bahasa Indonesia | aku nyatakan, | kau | aku bebaskan, | kawula** |
* Bahasa Belanda Kuno menggunakan kata ganti orang kedua tunggal, thi.
** Lito adalah semacam kawula dalam sistem feodal, petani separuh merdeka, menggarap lahan milik tuan tanah tetapi dirinya sendiri bukanlah milik tuan tanah. Sebaliknya seorang hamba tebusan sepenuhnya adalah milik tuannya.
Beberapa asas dari Hukum Sali
suntingHukum Sali beserta tafsir-tafsirnya memberi gambaran tentang kehidupan masyarakat Franka. Pasal-pasal hukum pidana mengatur pembayaran ganti rugi dan pengenaan denda sebagai kompensasi atas cedera pada manusia serta kerusakan pada harta benda (misalnya budak belian), tindak pidana pencurian, dan tindak pidana penghinaan tanpa sebab. Sepertiga dari denda yang dibayar adalah biaya perkara. Interpretasi yudisial dilakukan oleh dewan juri.
Hukum sipil menetapkan bahwa seorang individu secara sah berada di luar perlindungan hukum jika individu yang bersangkutan bukan anggota dari sebuah keluarga. Hak-hak para anggota keluarga juga diatur; misalnya, tanah harus dibagi rata kepada seluruh waris laki-laki yang masih hidup, berlawanan dengan asas primogenitur.
Suksesi agnatis
suntingSalah satu asas hukum sipil adalah suksesi agnatis (hak waris menurut garis nasab laki-laki) yang secara gamblang menafikan hak waris kaum perempuan atas jabatan penguasa atau tanah pertuanan feodal. Istilah "Hukum Sali" sering kali digunakan sebagai sebutan lain bagi suksesi agnatis. Akan tetapi Hukum Sali tidak semata-mata mengatur hal-ikhwal warisan saja, karena kitab undang-undang ini adalah leluhur langsung dari sistem-sistem hukum yang kini berlaku di daratan Eropa.
Hukum Sali mengatur suksesi berdasarkan jenis kelamin. Suksesi agnatis berarti jabatan penguasa atau tanah feodal dialihkan dari si pewaris kepada kerabat laki-laki dalam satu garis nasab patrilineal yang sama dengan si pewaris, misalnya saudara laki-laki, putra, atau kerabat laki-laki terdekat (misalnya kemenakan), termasuk pula kerabat laki-laki dari cabang-cabang nasab patrilineal yang bersumber dari leluhur laki-laki yang sama dengan si pewaris (misalnya sepupu jauh). Bentuk-bentuk utama dari suksesi agnatis adalah senioritas agnatis dan primogenitur agnatis. Yang paling lazim digunakan adalah primogenitur agnatis, yakni pengalihan warisan dari si pewaris kepada putra tertuanya yang masih hidup; jika si pewaris tidak berputra, maka warisan akan dialihkan kepada kerabat laki-laki terdekat dalam satu garis nasab patrilineal.
Hak waris kaum perempuan
suntingSehubungan dengan pewarisan tanah, Hukum Sali menetapkan bahwa:
Akan tetapi mengenai tanah Sali, tak sebidang tanah pun boleh diwariskan kepada perempuan: malah seluruh tanah harus diwariskan kepada kaum lelaki.[13]
atau menurut naskah lain:
sehubungan dengan terra Salica, tak sebidang tanah pun diwariskan kepada perempuan tetapi seluruh tanah menjadi milik kaum lelaki yang masih terhitung adik-beradik.
Menurut tafsir orang Franka Sali, aturan ini hanya melarang kaum perempuan untuk mewarisi pusaka "Tanah Sali" peninggalan leluhur, dan sama sekali tidak menghalangi kaum perempuan untuk mewarisi harta benda lain (misalnya harta benda pribadi si pewaris). Bahkan pada masa pemerintahan Raja Kilperik I (ca. 570), aturan ini diamendemen agar anak perempuan boleh mewarisi tanah, jika tidak ada lagi anak laki-laki yang masih hidup sepeninggal si pewaris (amendemen ini, tergantung pada penerapan dan tafsirnya, dijadikan sebagai dasar dari hukum waris Semi-Sali, atau hukum waris primogenitur, maupun kedua-duanya).
Pilihan kata yang digunakan dalam rumusan hukum ini, maupun adat yang lazim berlaku sampai berabad-abad kemudian, tampaknya meneguhkan tafsir yang mengatakan bahwa warisan dibagi-bagikan kepada saudara-saudara dari mendiang pewaris. Dan, jika hukum ini dimaksudkan untuk mengatur alih kepemimpinan, maka dapat ditafsirkan sebagai hukum yang mewajibkan penerapan asas senioritas agnatis (pewarisan dari si pewaris kepada kerabat laki-laki tertua dari si pewaris), bukan penerapan asas primogenitur langsung (pewarisan dari si pewaris kepada putra tertua dari si pewaris).
Dalam penerapannya oleh monarki-monarki turun-temurun di daratan Eropa semenjak abad ke-15, sebagai dasar bagi suksesi agnatis, Hukum Sali dianggap meniadakan seluruh kaum perempuan dari garis suksesi dan melarang pewarisan hak suksesi melalui perempuan mana pun. Sekurang-kurangnya ada dua tatanan suksesi turun-temurun yang merupakan penerapan langsung dan paripurna dari Hukum Sali, yakni tata suksesi senoritas agnatis dan tata suksesi primogenitur agnatis.
Tata suksesi yang disebut sebagai tata suksesi versi Semi-Sali menetapkan agar seluruh keturunan laki-laki dalam suatu keluarga diperhitungkan terlebih dahulu, termasuk keturunan laki-laki dari cabang-cabang garis nasab laki-laki keluarga itu yang tidak mewarisi harta atau gelar pusaka; namun jika semua garis nasab laki-laki tersebut sudah punah, maka kerabat perempuan terdekat (misalnya anak perempuan) dari ahli waris laki-laki terakhir adalah orang yang berhak menjadi ahli waris berikutnya. Ahli waris perempuan ini kelak akan digantikan oleh keturunan laki-lakinya mengikuti ketentuan tata urutan dalam Hukum Sali. Dengan kata lain, kerabat perempuan terdekat dari ahli waris laki-laki terakhir "dianggap sama seperti seorang laki-laki" demi kepentingan pewarisan harta atau gelar pusaka. Tatanan semacam ini menimbulkan praktik penelusuran kerabat terdekat dari cabang-cabang garis nasab yang belum punah dalam suatu keluarga (sekurang-kurangnya pada tahap pertama) dan tidak lagi memperhitungkan kerabat-kerabat jauh (misalnya Sanksi Pragmatis 1713 di Austria). Kerabat perempuan terdekat dapat saja adalah anak perempuan dari salah satu cabang nasab laki-laki yang relatif junior di antara cabang-cabang garis nasab laki-laki dalam sebuah keluarga, namun kerabat perempuan ini berhak menjadi ahli waris selaku anggota keluarga menurut garis nasab laki-laki, karena garis nasab laki-laki yang bersangkutan masih berkesinambungan; semua garis nasab perempuan yang masih ada dalam keluarga itu, meskipun jauh lebih senior, tidak lebih berhak menjadi ahli waris daripada si kerabat perempuan terdekat dari ahli waris laki-laki terakhir.
Semenjak Abad Pertengahan, muncul tatanan suksesi lain yang disebut tata suksesi kognatis promogenitur laki-laki, yang sesungguhnya memenuhi syarat-syarat Hukum Sali yang mula-mula, yakni hak suksesi juga diwariskan melalu garis nasab perempuan, tetapi para perempuan yang bersangkutan dikesampingkan demi mendahulukan putra-putra mereka. Sebagai contoh, warisan dari seorang pewaris yang hanya memiliki anak perempuan harus turun kepada salah seorang putra dari anak perempuannya, bilamana anak perempuan yang bersangkutan masih hidup. Contoh lainnya adalah, warisan dari seorang pewaris tanpa anak kandung harus turun kepada salah seorang putra dari saudara perempuan si pewaris, bilamana saudara perempuan yang bersangkutan masih hidup.
Jelas bahwa dengan demikian, tatanan semacam ini telah memenuhi syarat Hukum Sali bahwasanya "tak sebidang tanah pun diwariskan kepada seorang perempuan tetapi seluruh tanah menjadi milik kaum lelaki". Tatanan ini dapat disebut tata suksesi Kuasi-Sali dan sepatutnya digolongkan sebagai tata suksesi primogenitur, kognatis, dan mendahulukan laki-laki.
Penerapan hukum suksesi dan hukum waris
suntingDi Prancis
suntingRaja-raja wangsa Meroving membagi-bagi wilayah kekuasaannya secara merata kepada semua putra mereka yang masih hidup. Tindakan ini menjadi penyebab timbulnya berbagai sengketa dan bunuh-membunuh antarsaudara di kalangan kaum keturunan raja. Wangsa Karoling juga melakukan tindakan yang sama, namun wilayah kekuasaan mereka sudah bertaraf kekaisaran, sehingga tidak dapat dibagi-bagi dan hanya dapat diwariskan kepada satu orang saja pada setiap masa pemerintahan. Primogenitur, yakni asas pengistimewaan terhadap keturunan yang lahir lebih dulu sebagai ahli waris atas seluruh harta si pewaris, pada akhirnya muncul di Prancis pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Capet. Raja-raja wangsa Capet yang terdahulu hanya memiliki satu orang ahli waris, yaitu putra tertua, yang dinobatkan menjadi raja muda (bahasa Latin: rex iunior) selagi ayahnya masih hidup. Karena warisan tidak lagi dibagi-bagi secara merata, maka sebagai gantinya, putra-putra raja dari wangsa Capet selain putra tertua dianugerahi apanase, yakni daerah kekuasaan feodal di bawah suzeranitas raja. Hukum feodal memperbolehkan pewarisan pertuanan kepada anak perempuan jika tidak ada anak lelaki. Aturan ini juga diterapkan pada apanase-apanase terdahulu. Mengenai apakah hukum feodal ini juga diterapkan dalam pewarisan takhta Kerajaan Prancis, tak seorang pun yang tahu sampai dengan tahun 1316.
Tata suksesi pada 1316
suntingSelama jangka waktu yang benar-benar panjang, semenjak berkuasanya wangsa Capet pada 987 sampai dengan mangkatnya Raja Louis X pada 1316, putra tertua yang masih hidup dari Raja Prancis akan naik takhta menjadi raja baru bilamana ayahnya mangkat. Selama waktu itu pula tidak pernah muncul kesempatan untuk menunjukkan apakah kaum perempuan ikut diperhitungkan atau tidak diperhitungkan sebagai ahli waris takhta. Raja Louis X mangkat tanpa meninggalkan seorang putra, namun permaisurinya sedang mengandung. Adik mendiang raja, yakni Philippe, Bupati Poitiers, memerintah sebagai wali. Philippe mengikat perjanjian dengan Eudes IV, Adipati Bourgogne, paman dari Putri Jeanne (putri Raja Louis X dari permaisuri pertama), bahwa jika permaisuri kelak melahirkan seorang putra, maka sang putra akan segera dinobatkan menjadi Raja Prancis berikutnya, sementara jika ternyata seorang putri, maka Philippe akan terus memerintah selaku wali sampai putri-putri mendiang Louis X cukup umur untuk memerintah sendiri. Dengan demikian, terbukti bahwa anak perempuan berkesempatan untuk menjadi ahli waris takhta Kerajaan Prancis.
Kerajaan Prancis sempat merasa lega ketika permaisuri akhirnya melahirkan seorang putra, yakni Jean I. Akan tetapi Jean hanya bertahan hidup selama beberapa hari. Philippe, yang melihat ada peluang bagi dirinya untuk menjadi raja, mengingkari janjinya pada Adipati Bourgogne dan mengatur agar dirinya diurapi menjadi Raja Philippe V di Reims pada bulan Januari 1317. Putri Agnes, anak perempuan Santo Louis, ibu Adipati Bourgogne, dan nenek dari Putri Jeanne, memperkarakan tindakan ini sebagai penyerobotan takhta, dan menuntut agar wakil-wakil dari segenap lapisan kawula Prancis bersidang demi menuntaskan perkara ini. Gugatan Putri Agnes diterima oleh Raja Philippe.
Suatu majelis yang terdiri atas para rohaniwan tinggi, kaum bangsawan, kaum borjuis kota Paris, dan para doktor Universitas Paris, yakni majelis yang disebut États généraux tahun 1317, bersidang pada bulan Februari. Raja Philippe meminta sidang majelis untuk menyusun argumen yang mengesahkan hak warisnya atas takhta Kerajaan Prancis. Sidang majelis memutuskan bahwa "kaum perempuan tidak boleh mewarisi takhta Kerajaan Prancis", dan dengan demikian membenarkan tindakan Raja Philippe sekaligus memustahilkan kaum perempuan menduduki takhta Kerajaan Prancis. Keputusan ini terus berlaku sampai monarki Prancis ditumbangkan. Kala itu, Hukum Sali belum dijadikan dasar: argumen-argumen yang diajukan sebagai pembenaran terhadap tindakan Philippe ini hanya didasarkan atas kedekatan Philippe dengan Santo Louis. Raja Philippe didukung oleh kaum bangsawan dan memiliki sumber-sumber daya yang dapat dimanfaatkan demi mewujudkan ambisi-ambisinya.
Raja Philippe dapat menjinakkan Adipati Bourgogne dengan menikahkan Sang Adipati dengan putrinya yang juga bernama Jeanne, dengan embel-embel Kabupaten Artois dan Kabupaten Bourgogne (bukan Kadipaten Bourgogne) sebagai tanah warisan Sang Putri. Pada 27 Maret 1317, Adipati Bourgogne dan Raja Philip V menandatangani sebuah perjanjian di Laon yang memuat pernyataan pelepasan hak waris Putri Jeanne (anak perempuan Raja Louis X) atas takhta Kerajaan Prancis.
Tata suksesi pada 1328
suntingRaja Philippe pun mangkat tanpa meninggalkan putra, dan digantikan oleh saudaranya yang naik takhta menjadi Raja Charles IV tanpa tentangan. Raja Charles juga mangkat tanpa meninggalkan putra, namun juga meninggalkan permaisurinya dalam keadaan mengandung. Situasi ini menimbulkan krisis suksesi, sama seperti yang pernah terjadi pada 1316, sehingga kaum bangsawan mulai bersiap sedia, baik untuk memilih dan mengangkat seorang wali, maupun untuk memanfaatkan peluang menjadi penguasa berikutnya. Pada saat itu, sudah dimaklumi bahwasanya kaum perempuan tidak dapat mewarisi takhta kerajaan Prancis (meskipun belum ditetapkan secara tertulis).
Dengan penerapan asas agnatis, pihak-pihak berikut ini tidak diperhitungkan sebagai ahli waris takhta:
- Anak-anak perempuan dari Raja Louis X, Raja Philippe V, dan Raja Charles IV, termasuk anak yang sedang dikandung oleh Jeanne d'Évreux, permaisuri mendiang Raja Charles, jika kelak terlahir perempuan;
- Putri Isabelle, saudari Raja Louis X, Raja Philippe V, dan Raja Charles IV, yang diperistri oleh penguasa Inggris, Raja Edward II.
Permaisuri mendiang Raja Charles IV melahirkan seorang anak perempuan. Putri Isabelle, saudari Raja Charles IV, mengklaim hak waris bagi putranya, Raja Edward III. Prancis menolak klaim ini, dengan alasan bahwa "kaum perempuan tidak dapat mewariskan hak yang tidak dimilikinya", yakni penjabaran dari asas suksesi yang ditetapkan pada 1316. Wali raja, Philippe dari Valois, naik takhta menjadi Raja Philippe VI pada 1328. Philippe menjadi raja tanpa tentangan yang serius sampai ia berusaha merebut Gascogne pada 1337, sehingga memancing Raja Edward III untuk memaksa Prancis mengakui hak warisnya atas takhta Kerajaan Prancis.
Kemunculan Hukum Sali
suntingSejauh yang dapat dipastikan, Hukum Sali tidak secara eksplisit disebutkan pada 1316 maupun pada 1328. Hukum Sali telah terlupakan pada zaman feodal, dan penegasan bahwasanya takhta Kerajaan Prancis hanya boleh diwariskan kepada dan melalui garis nasab laki-laki menjadikannya unik dalam pandangan orang Prancis. Di kemudian hari, para hakim mengangkat kembali Hukum Sali yang sudah lama tak digunakan dan menafsir ulang isi hukum ini untuk membenarkan praktik suksesi yang terjadi pada 1316 dan 1328 dengan tidak saja melarang pewarisan kepada perempuan tetapi juga melarang pewarisan melalui garis nasab perempuan (In terram Salicam mulieres ne succedant).
Dengan demikian pada mulanya penerapan asas agnatis terbatas untuk suksesi jabatan penguasa Kerajaan Prancis. Sebelum wangsa Valois berkuasa, raja-raja wangsa Capet menganugerahkan apanase kepada semua putra selain putra tertua dan kepada semua adik laki-laki. Apanase-apanase milik para pangeran wangsa Capet ini kelak dapat diwariskan kepada anak cucu mereka, laki-laki maupun perempuan. Pada zaman wangsa Valois, apanase-apanase yang dianugerahkan kepada para pangeran ini, selaras dengan hukum suksesi monarki yang memberikan anugerah, hanya boleh diwariskan kepada keturunan laki-laki saja. Cabang nasab wangsa Capet lainnya, yakni garis nasab Montfort dari Bretagne, mengklaim sebagai ahli waris yang sah atas jabatan penguasa Kadipaten Bretagne menurut garis nasab laki-laki. Klaim mereka ini didukung oleh Raja Inggris, sementara seteru-seteru mereka yang mengklaim sebagai ahli waris yang sah menurut garis nasab perempuan di Bretagne didukung oleh Raja Prancis. Keluarga Montfort pada akhirnya berjaya menjadi penguasa Kadipaten Bretagne melalui perang, tetapi harus tunduk di bawah suzeranitas Raja Prancis.
Hukum Sali sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur segala macam tindakan pewarisan. Sebagai contoh, larangan pewarisan kepada anak perempuan tidak diterapkan dalam pewarisan harta bergerak – hanya tanah saja yang dianggap sebagai "harta pusaka orang Sali" — bahwa definisi legal dari "tanah Sali" pun masih diperdebatkan, sekalipun pada umumnya diartikan sebagai tanah-tanah fiscus kerajaan (tanah pertuanan pribadi raja). Beratus-ratus tahun kemudian, pada masa pemerintahan raja-raja dari wangsa Capet di Prancis dan rekan-rekan sejawat mereka di Inggris yang memiliki tanah di Prancis, barulah Hukum Sali dijadikan dasar untuk mengukuhkan atau menentang suksesi. Kala itu Hukum Sali sudah menjadi sesuatu yang dianggap anakronistik — sudah tidak ada lagi tanah-tanah pusaka Sali, karena monarki Sali berikut tanah-tanah kekuasaannya mula-mula muncul di daerah yang sekarang menjadi wilayah negara Belanda.
Shakespeare mengklaim bahwa Raja Charles VI menolak klaim Raja Henry V atas takhta Kerajaan Prancis berdasarkan aturan pewarisan Hukum Sali. Penolakan ini merupakan pemicu pertempuran Agincourt. Sesungguhnya konflik antara Hukum Sali dan hukum Inggrislah yang menjadi penyebab dari banyaknya klaim yang tumpang tindih antara pihak Prancis dan pihak Inggris atas takhta Kerajaan Prancis.
Lebih dari seabad kemudian, Raja Spanyol, Felipe II, mencoba mengklaim takhta Kerajaan Prancis bagi putrinya, Isabella Clara Eugenia, yang dilahirkan oleh permaisuri Felipe II, seorang bangsawati dari wangsa Valois. Para kaki tangan Raja Felipe diperintahkan untuk "pandai-pandai menciptakan kesan" bahwa Hukum Sali hanyalah "karangan belaka". Akan tetapi andaikata "Hukum Sali" memang tidak diterapkan dalam tata suksesi Kerajaan Prancis, asas suksesi agnatis telah menjadi batu sendi dari tata suksesi Kerajaan Prancis; asas ini telah dipertahankan oleh Kerajaan Prancis dalam Perang Seratus Tahun melawan Inggris, dan telah diterapkan untuk menentukan orang-orang yang layak menjadi Raja Prancis selama lebih dua abad. Pengakuan kesahihan status raja dari Henry IV, Raja Prancis yang pertama dari wangsa Bourbons, semakin memperkukuh penerapan asas agnatis di Prancis.
Penerapan Hukum Sali di negara-negara Eropa lainnya
suntingDalam sejarah Eropa, pernah timbul sejumlah konflik bersenjata akibat penerapan maupun pelanggaran Hukum Sali. Perang Karlis berkobar di Spanyol sebagai akibat dari silang sengketa seputar kelayakan seorang ahli waris perempuan untuk menduduki takhta kerajaan. Perang Suksesi Austria dipicu oleh Sanksi Pragmatik 1713 yang diundangkan oleh Adipati Utama Austria, Karl VI. Adipati Utama Karl VI mewarisi jabatan penguasa Austria sebagai akibat dari penerapan Hukum Sali yang menafikan hak waris dari putri-putri abangnya, namun ia justru berusaha untuk mewariskan jabatannya itu kepada putri kandungnya, Maria Theresia. Pewarisan jabatan Adipati Utama Austria dari ayah kepada anak perempuan ini merupakan salah satu contoh penerapan hukum semi-Sali.
Tata suksesi di Kerajaan Italia modern di bawah kekuasaan wangsa Savoia diatur menurut Hukum Sali.
Jabatan penguasa Kerajaan Britania Raya dan jabatan penguasa Kerajaan Hannover terpisah sepeninggal Raja Britania Raya dan Hannover, William IV, pada 1837. Kerajaan Hannover memberlakukan hukum semi-Sali, tetapi tidak demikian halnya dengan Kerajaan Britania Raya. Kemenakan perempuan Raja William, Victoria, naik takhta menjadi ratu atas Britania Raya dan Irlandia, namun jabatan penguasa Kerajaan Hanover diwariskan kepada adik Raja William IV, Ernest, Adipati Cumberland.
Hukum Sali juga merupakan isu penting dalam Permasalahan Schleswig-Holstein dan memainkan suatu peran prosaik dari hari ke hari dalam pembuatan keputusan sehubungan dengan pewarisan dan pernikahan kalangan ningrat di negara-negara bagian Jerman, misalnya di Kadipaten Sachsen-Weimar. Agaknya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kaum bangsawan Eropa senantiasa berhadapan dengan aturan Hukum Sali dalam segala urusan diplomasi, teristimewa bilamana merundingkan pernikahan, karena seluruh garis nasab laki-laki harus sudah punah terlebih dahulu sebelum sebuah gelar kepemilihan tanah dapat diwariskan (melalui pernikahan) kepada suami dari seorang perempuan— para penguasa perempuan merupakan anatema (dianggap haram) di negara-negara bagian Jerman sampai ke Zaman Modern.
Demikian pula jabatan penguasa Kerajaan Belanda dan Kadipaten Agung Luksemburg terpisah pada 1890, manakala Putri Wilhelmina naik takhta menjadi ratu pertama atas Negeri Belanda. Sisa-sisa pengamalan Hukum Sali tampak pada penyebutan resmi kepala monarki Negeri Belanda sebagai 'Raja' (bahasa Belanda: Koning), sekalipun yang sedang memerintah bergelar 'Ratu' (bahasa Belanda: Koningin). Jabatan penguasa Kadipaten Agung Luksemburg beralih ke wangsa lain yang masih terhitung kerabat jauh agnatis dari wangsa Oranje-Nassau, yakni wangsa Nassau-Weilburg. Akan tetapi garis nasab laki-laki dari wangsa Nassau-Weilburg pun mengalami kepunahan setelah kurang dari dua dasawarsa berkuasa. Karena seluruh cabang garis nasab laki-laki dari wangsa Nassau telah punah, Adipati Agung Willem IV mengadopsi hukum suksesi semi-Sali agar jabatannya dapat diwarisi oleh putri-putrinya.
Rujukan dalam karya sastra
sunting- Shakespeare menjadikan Hukum Sali sebagai salah satu sarana alur cerita (plot device) dalam drama Henry V. Dalam drama ini dikisahkan bahwa Prancis menjadikan Hukum Sali sebagai dasar untuk menafikan hak waris Henry V atas takhta Kerajaan Prancis. Drama Henry V bermula dengan adegan Uskup Agung Canterbury dimintai pendapat mengenai apakah penuntutan hak waris itu dapat dibenarkan kendati bertentangan dengan Hukum Sali. Sang Uskup Agung menjawab, "Tanah Salique" itu letaknya di Negeri Jerman, di antara batang air Sala dan batang air Elba". Jawaban ini menyiratkan bahwa Hukum Sali adalah hukum Jerman, dan bukan hukum Prancis. Pembenaran dari Sang Uskup Agung, yang sengaja dibuat sedemikian rupa oleh Shakespeare agar terkesan bebal dan bertele-tele (untuk keperluan komedi dan rekayasa politik) itu pun sebenarnya keliru, karena orang Franka Sali menetap di daerah hilir Sungai Rhein dan Sungai Skaldis, yang sekarang ini termasuk dalam wilayah Flandria di negeri Prancis.
- Dalam novel Royal Flash, karya George MacDonald Fraser, sang jagoan, Harry Flashman, saat menikahi Adipati Putri Irma, dihadiahi harta pusaka yang menjadi hak pendamping kepala negara, dan "Sang Adipati Putri malah jauh lebih beruntung lagi"; sang jagoan yang merasa dicurangi pun berpikir, "Dulu pernah aku sadari, dan kini pun kembali aku sadari, bahwa Hukum Sali adalah suatu gagasan hebat yang terkutuk".[14]
- Dalam novelnya, Waverley, Sir Walter Scott mengutip "Hukum Salique" dalam penjabaran cerita sehubungan dengan permintaan si tokoh utama untuk diberi seekor kuda dan seorang pemandu jalan yang dapat mengantarnya ke Edinburgh.
Si nyonya rumah, seorang pekerja ulet yang sopan dan pendiam, datang untuk menanyakan apa yang ia inginkan untuk disajikan sebagai santapan malamnya, tetapi menolak untuk memberi jawaban perihal kuda dan pemandu; karena Hukum Salique, tampaknya, berlaku pula atas kandang-kandang kuda di penginapan Kaki Dian Emas.
— Bab XX1X
Lihat pula
suntingRujukan
suntingKutipan
- ^ Hessels, Jan Hendrik (1880). Lex Salica: The Ten Texts with the Glosses, and the Lex Emendata. London: John Murray. hlm. 438. ISBN 978-1402146336.
- ^ "Lees: Hoe het Nederlands is ontstaan".
- ^ Drew 1991, hlm. 53.
- ^ Hinckeldey & Fosberry 1993, hlm. 7.
- ^ Janson, Tore (2011). History of languages: an introduction [Sejarah bahasa-bahasa: suatu pengantar]. Oxford textbooks in linguistics. Oxford: Oxford University Press. hlm. 141.
- ^ Drew 1991, hlm. 20.
- ^ Kern 1880, Prologue.
- ^ Kern 1880, hlm. xiv.
- ^ Young & Gloning 2004, hlm. 56.
- ^ Kern 1880, hlm. xv.
- ^ a b c Kern 1880, hlm. xvii.
- ^ Willemyns, Roland (2013). Dutch: Biography of a Language. Oxford University Press. hlm. 41. ISBN 978-0-19-932366-1.
- ^ Cave, Roy and Coulson, Herbert. A Source Book for Medieval Economic History, Biblo and Tannen, New York (1965) hlm. 336
- ^ G. M. Fraser (2006) Royal Flash, hlm. 172, Grafton paperback.
Kepustakaan
- Cave, Roy; Coulson, Herbert (1965). A Source Book for Medieval Economic History. New York: Biblo and Tannen.
- Drew, Katherine Fischer (1991). The laws of the Salian Franks (Pactus legis Salicae). Philadelphia: University of Pennsylvania Press. ISBN 0-8122-8256-6/ISBN 0-8122-1322-X.
- Hinckeldey, Christoph; Fosberry, John (Translator) (1993) [1981]. Criminal justice through the ages: from divine judgement to modern German legislation. Schriftenreihe des Mittelterlichen Kriminalmuseums Rothenburg ob der Tauber, v. 4. Rothenburg ob der Tauber (Germany): Mittelalterliches Kriminalmuseum.
- Kern, Hendrik (Contributor) (1880). Hessels, J.H, ed. Lex Salica: the Ten Texts with the Glosses and the Lex Emendata. London: John Murray.
- Taylor, Craig, ed. (2006). Debating the Hundred Years War. "Pour ce que plusieurs" (La Loy Salique) and "A declaration of the trew and dewe title of Henrie VIII". Camden 5th series. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-87390-8.
- Taylor, Craig (2001). "The Salic Law and the Valois succession to the French crown". French History. 15: 358–377. doi:10.1093/fh/15.4.358.
- Taylor, Craig (2006). "The Salic Law, French Queenship and the Defence of Women in the Late Middle Ages". French Historical Studies. 29: 54–564.
- Young, Christopher; Gloning, Thomas (2004). A History of the German Language through Texts. London and New York: Routledge.
Pranala luar
sunting- Informasi mengenai Hukum Sali dan tradisi pembuatan naskahnya di situs jejaring Bibliotheca legum regni Francorum manuscripta, sebuah basis data naskah-naskah hukum sekular Karoling (Karl Ubl, Universitas Köln, Jerman).