Penobatan Raja Prancis

Kenaikan takhta Raja Prancis disahkan oleh upacara pemahkotaan dilakukan dengan Pemahkotaan Charlemagne di Notre-Dame de Reims. Namun seseorang tidak perlu dinobatkan agar dapat diakui sebagai raja Prancis; raja yang baru naik takhta ketika peti mati raja sebelumnya dikebumikan di Basilika Santo Denis, dan Adipati Uzes mengumumkan "Le Roi est mort, vive le Roi"![N 1][1]

Pemahkotaan Louis VIII dari Prancis dan Blanca dari Kastilia di Reims pada tahun 1223; sebuah miniature dari Tarikh Agung dari Prancis, skt. 1450.

Diduga mengikuti formula Romawi Timur atau visigothik, upacara pemahkotaan Prancis disebut Sacre terutama termasuk urapan atau pemberian minyak suci raja dan untuk yang pertama kalinya dilaksanakan di Soissons pada tahun 752 untuk raja Karolingia Pippin yang Pendek untuk mensahkan deposisinya atas kerajaan Merovingia, karena mereka hanya dipilih oleh majelis kebangsawanan di dalam keluarga kerajaan dan menurut aturan turun temurun. Pemahkotaan kedua Pippin oleh Paus Stefanus II dilaksanakan di Basilika Santo Denis pada tahun 754 yang pertama dicatat oleh seorang Paus. Pengurapan dilakukan sebagai pengingat dari raja yang dipermandikan Clovis I di Rheims oleh uskup agung Santo Remi pada tahun 496/499, di mana upacara itu akhirnya dipindahkan pada tahun 816 dan diselesaikan dengan penggunaan Ampul Suci yang ditemukan pada tahun 869 dimakam seorang santo. Karena botol kaca romawi ini berisi balsem karena dicampur dengan minyak suci, yang diduga dibawa oleh seekor merpati Roh Kudus, monarki Prancis mengaku menerima kuasa mereka atas karunia-Nya. Pemahkotaan regalia seperti takhta dan tongkat kerajaan of Dagobert I atau mahkota dan pedang Charlemagne disimpan di Basilika Santo Denis di Paris dan instrumen liturgi di Rheims seperti Ampul Suci dan Cawan (Alkitab), di mana sebagian dari mereka masih disimpan di Museum Louvre dan di beberapa museum lainnya di Paris. Ampul Suci itu disimpan di dalam sebuah wadah berplakat emas berbentuk bulat tebal yang dihiasi denga pertama ditengahnya dan berenamel putih sebagai lambang merpati dari Roh Kudus, tegak dengan sayap terbuka dan menunjuk ke bawah di mana Ampul Suci itu sendiri membentuk sebuah tubuh. Relik itu memiliki sebuah rantai yang berat yang dapat dikenakan pada leher pemimpin Biara Santo Remi (di mana benda itu biasanya disimpan) ketika ia membawanya, berjalan tanpa alas kaki pada puncak prosesi biarawan di bawah kanopi yang ditarik oleh empat orang bangsawan berkuda, tawanan Ampul Suci itu, dari Biara ke atas altar Katedral, di mana ia menyerahkan relik tersebut kepada uskup agung di Rheims untuk digunakan pada upacara pemahkotaan. Seluruh Raja Prancis yang naik takhta diurapi dengan minyak yang sama dicampur dengan minyak suci sebelum penobatan mereka.[2]

Ratu Prancis dimahkotai baik bersama dengan suami mereka di Rheims atau sendirian di Sainte-Chapelle atau Biara Santo Denis.[3][4]

Pemahkotaan Pewaris

sunting
 
Pemahkotaan Philippe II, putra Raja Louis VII dari Prancis, sebagai raja kecil

Di masa Abad Pertengahan, Raja Prancis Kapetia menunjuk ahli waris dinobatkan selama mereka masih hidup untuk meghindari pertikaian atas takhta.[5][6] Praktik ini kemudian diambil oleh Raja Inggris Angevin dan Raja Hungaria. Dari saat penobatan mereka, pewaris ini dianggap sebagai raja kecil (rex iunior), namun mereka memiliki sedikit kekuasaan dan tidak dimasukkan kedalam penomoran raja. Kaum bangsawan tidak menyukai kebiasaan tersebut, karena mengurangi peluang mereka untuk mendapatkan keuntungan atas peluang sengketa suksesi .[7]

Pewaris takhta terakhir Prancis yang dinobatkan ketika ayahandanya masih hidup adalah Philippe II. Praktik ini akhirnya ditinggalkan oleh semua kerajaan yang telah mengambil tradisi itu, sebagai aturan hak anak sulung menjadi lebih kuat.

Upacara Kerajaan

sunting
 
Penobatan Kaisar Napoleon Bonaparte di Katedral Notre Dame de Paris. Napoleon memahkotai dirinya sendiri sebagai "Kaisar Prancis" di dalam upacara tersebut, dan kemudian memahkotai istrinya Joséphine sebagai Permaisuri.

Di dalam Kekaisaran Prancis Pertama, Kaisar Napoleon Bonaparte dan Permaisuri Joséphine dinobatkan pada bulan Desember 1804 di dalam sebuah ritual yang sangat rumit yang dipimpin oleh Paus Pius VII dan dilaksanakan di Katedral Notre Dame de Paris di Paris. Di dalam prosesi sang Paus dan para uskup memasuki Notre Dame yang diikuti oleh Napoleon dan Joséphine dengan Regalia Kerajaan. Regalia tersebut ditempatkan di atas altar dan diberkati oleh paus, yang kemudian duduk di atas takhta disebelah kiri altar. Diikuti dengan Napoleon yang diurapi oleh Paus sebanyak tiga kali dikepala dan tangannya, dinyatakan kaisar yang baru menguap beberapa kali selama upacara itu berlangsung dan sisanya.[8] Titik penting dari upacara tiba ketika Napoleon maju kedepan altar, mengambil mahkota dan meletakkannya di atas kepalanya sendiri. Menggantikan karangan bunga laurel emas yang dibuat di dalam gaya Romawi kuno, ia kemudian memahkotai istrinya yang berlutut di depannya.[9] Enam bulan kemudian, Napoleon dinobatkan sebagai Raja Italia di Milan dengan Corona Ferrea dari Lombardia.

Kaisar Napoleon III dari Prancis memilih tidak mengadakan upacara pemahkotaan. Akan tetapi, sebuah mahkota kecil dibuat untuk istrinya, Permaisuri Eugenia, yang tetap tinggal di dalam kepemilikan pemerintah Prancis.

Kepunahan upacara

sunting
 
Pada tahun 1825, Charles X dimahkotai sebagai Raja Prancis.

Upacara pemahkotaan kerajaan yang terakhir dilangsungkan untuk Charles X, pada tahun 1825. Keputusan Charles untuk dimahkotai, kebalikan dengan pendahulunya, Louis XVIII dari Prancis yang terbukti tidak populer dengan masyarakat Prancis, dan Charles akhirnya digulingkan di dalam sebuah revolusi pada tahun 1830. Ahli warisnya, Louis Philippe, memutuskan untuk tidak dimahkotai. Pemerintah Prancis memunahkan dan menjual sebagian besar Perhiasan Mahkota Prancis setelah tahun 1875, dengan harapan dapat menghindari agitasi royalis lebih lanjut terhadap republik baru yang dipulihkan.

Lihat Pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ bahasa Inggris: The [old] king is dead; long live the [new] King!

Referensi

sunting
  1. ^ Giesey, Ralph E. (1990). "Inaugural Aspects of French Royal Ceremonials". Dalam Bak, János M. Coronations: Medieval and Early Modern Monarchic Ritual. Berkeley: University of California Press. Diakses tanggal 2008-09-25. 
  2. ^ Knecht, Robert Jean (1996). Renaissance Warrior and Patron: The Reign of Francis I. Cambridge University Press. ISBN 0-521-57885-X. Diakses tanggal 2009-07-25. 
  3. ^ "Coronation — LoveToKnow 1911". 1911encyclopedia.org. Diakses tanggal 2008-10-12. 
  4. ^ Laynesmith, J. L. (2004). The last medieval queens: English queenship 1445-1503. Oxford University Press. ISBN 0-19-924737-4. Diakses tanggal 2009-07-25. 
  5. ^ Bartlett, Robert (2003). England Under the Norman and Angevin Kings, 1075-1225. USA: Oxford University Press. ISBN 0-19-925101-0. Diakses tanggal 2009-06-23. 
  6. ^ Staunton, Michael (2001). The Lives of Thomas Becket. Manchester University Press. ISBN 0-7190-5455-9. Diakses tanggal 2009-06-23. 
  7. ^ Sedlar, Jean W. (1994). East Central Europe in the Middle Ages, 1000-1500. USA: University of Washington Press. ISBN 0-295-97290-4. Diakses tanggal 2009-06-26. 
  8. ^ from Le Figaro, translated by Bill Peterson. "Coronation". Wargame.ch. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-05. Diakses tanggal 2008-10-12. 
  9. ^ "Napoleon's Coronation as Emperor of the French". Georgianindex.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-03. Diakses tanggal 2009-06-20. 

Daftar pustaka

sunting
  • Menin, Nicolas. A Description of the Coronation of the Kings and Queens of France, Printed for S. Hooper, 1775