De-Soekarnoisasi

kebijakan transisi ke Orde Baru

De-Soekarnoisasi, juga dieja de-Sukarnoisasi,[1] adalah sebuah kebijakan yang ada di Indonesia sejak transisi ke Orde Baru pada tahun 1966 hingga awal era Reformasi pada tahun 1998, di mana beberapa warisan dan peran Soekarno dalam sejarah Indonesia diremehkan.

Soekarno
Jalan Jenderal Sudirman di Padang, jalan utama di kota itu, sebelumnya bernama Jalan Soekarno.

Sejarah

sunting

Latar belakang

sunting

Menyusul peristiwa Gerakan 30 September, demonstrasi mahasiswa sering terjadi yang menuntut pembubaran PKI[2] dan juga tuduhan bahwa Soekarno juga terlibat (dan melindungi PKI).[3] Beberapa petinggi negara dan politisi pada saat itu juga ingin melihat Soekarno diadili karena tuduhan-tuduhan tersebut.[4] Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) menolak pertanggungjawaban presiden Soekarno (yang diberikannya pada Juni 1966 dan Januari 1967) mengenai perannya dalam peristiwa 1 Oktober.[5]

Pada Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) mencabut kekuasaan kepresidenan Soekarno.[6] Selain itu, Soekarno dilarang ikut serta dalam pemilihan umum mendatang, atau terlibat dalam kegiatan politik apa pun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS).[7] Walaupun kekuasaannya dicabut, tuntutan-tuntutan untuk mengadili Soekarno tetap berlanjut dan demonstrasi-demonstrasi tetap marak.

De-Soekarnoisasi

sunting

Pemerintah mengganti nama-nama tempat (seperti nama jalan, bangunan, atau nama lokasi) yang menggunakan nama Sukarno. Misalnya, Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan, Jembatan Bung Karno diubah menjadi Jembatan Ampera, kota Soekarnopura (sebelumnya bernama Hollandia) diubah namanya menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diubah namanya menjadi Puncak Jaya.[8] Selain itu, pada saat Soekarno meninggal di tahun 1970, keinginannya untuk dikebumikan di Istana Batu Tulis, Bogor tidak dipenuhi oleh pemerintah. Sebaliknya, Soekarno dikebumikan di Blitar, Jawa Timur dekat makam ibundanya.[9][10]

Upaya-upaya lain yang dilakukan adalah dengan memperkecil peranan Soekarno dalam mencetuskan Pancasila serta tanggal kelahiran pemikiran yang kemudian dijadikan ideologi nasional pada 1 Juni 1945. Nugroho Notosusanto, yang merupakan sejarawan Orde Baru, mengajukan pendapat bahwa tokoh utama yang mencetuskan Pancasila bukanlah Bung Karno, melainkan Mr. Mohammad Yamin, pada tanggal 29 Mei 1945. Pendapat resmi inilah yang selalu dipegang selama masa Orde Baru, dan dicoba ditanamkan lewat program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[11]

Rehabilitasi

sunting

Di tahun 1980, didirikan patung Soekarno dan Mohammad Hatta di lokasi tempat proklamasi kemerdekaan Indonesia.[12]

Di tahun 1985, Presiden Soeharto menetapkan nama untuk bandar udara internasional baru di Cengkareng sebagai Bandar Udara Soekarno-Hatta, untuk "menghormati kedua proklamator kemerdekaan kita".[12]

Di tahun 1986, Pemerintah menetapkan Soekarno (bersama Hatta) sebagai Pahlawan Proklamator.[12]

Referensi

sunting
  1. ^ Kusuma, A.B.; Elson, R.E. (2011). "A note on the sources for the 1945 constitutional debates in Indonesia" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 167 (2–3): 196–209. doi:10.1163/22134379-90003589. 
  2. ^ Dake (2006), hlm. 155.
  3. ^ Dake (2006), hlm. 160.
  4. ^ Dake (2006), hlm. 172.
  5. ^ Dake (2006), hlm. 169-170.
  6. ^ Dake (2006), hlm. 173.
  7. ^ Dake (2006), hlm. 171.
  8. ^ Winarno, Hery H (21 Juni 2013). Fadillah, Ramadhian, ed. "De-Soekarnoisasi, Soeharto 'bunuh' Bung Karno di hati rakyat". Merdeka.com. 
  9. ^ Feith, Herbert (October 1968). "Suharto's Search for a Political Format" (PDF). Indonesia. 6 (6): 88–105. doi:10.2307/3350713. hdl:1813/53447. JSTOR 3350713. 
  10. ^ Dwipayana & Karta Hadimadja (1989), hlm. 209.
  11. ^ Kusuma, A.B.; Elson, R.E. (2011). "A note on the sources for the 1945 constitutional debates in Indonesia". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 167 (2–3): 196–209. doi:10.1163/22134379-90003589. 
  12. ^ a b c Dwipayana & Karta Hadimadja (1989), hlm. 247.

Sumber

sunting