Baitulmal

(Dialihkan dari Baitul Mal)

Baitulmal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti "rumah", dan al-mal yang berarti "harta".[1] Baitulmal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.[1] Baitulmal adalah suatu lembaga atau pihak (al-jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.[2] Baitulmal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.[2]

Baitulmal di Damaskus

Sejarah

sunting

Masa Jahiliah

sunting

Harta paling jelas pada masa jahiliah adalah tanah. Raja memiliki dan mengatur tanah kerajaan. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tanah kerajaan diserahkan ke Baitulmal. Tanah tak bertuan dicatat sebagai inventaris Baitulmat dan raja diberi hak untuk mengelolanya. Raja juga memiliki hak untuk melindungi tanah tertentu, termasuk melindungi hewan dan tumbuhan di dalamnya.[3]

Masa Muhammad (1-11 H/622-632 M)

sunting

Baitul Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa Muhammad, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ganimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar.[2] Pada masa Muhammad, baitulmal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran.[2] Saat itu, baitulmal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak.[2] Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.[2] Rasulullah saw. senantiasa membagikan ganimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda‑nundanya lagi.[2] Dengan kata lain, dia segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.[2]

Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)

sunting

Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan baitulmal masih berlangsung seperti itu pada tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M).[2] Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[2] Khalifah Abu Bakar memilih Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk mewakilinya dalam pembagian harta.[2] Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin al-Jarrah saat Abu Bakar dibaiat sebagai khalifah.[2] Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.[2]

Masa Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)

sunting

Selama memerintah, Umar bin Khattab tetap memelihara baitulmal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya.[1] Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam baitulmal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa, seperti kebanyakan kaum muslimin.[1]

Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)

sunting

Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan.[1] Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan baitulmal.[1] Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya.[1] Ia memberikan khumus (seperlima ganimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir, serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah Swt.[1] Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari baitulmal sambil berkata, "Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari baitulmal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku".[1]

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)

sunting

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi baitulmal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya.[1] Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.[1] Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari baitulmal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya.[1] Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin.[1]

Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya

sunting

Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayah, kondisi baitulmal berubah.[1] Al-Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya baitulmal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah Swt. dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayah baitulmal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.[1]

Rujukan

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia) Dahlan, Abdul Aziz. et.al. 1999. Ensiklopedi Hukum Islam. Cetakan II. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m Zallum, Abdul Qadim. 1983. Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah. Cetakan I. Beirut: Darul ‘Ilmi Lil Malayin.
  3. ^ Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام [Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 165–166. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-09-27.