Yerusalem dalam Kekristenan

Peran Yerusalem dalam agama Kristen pada abad pertama

Peran Yerusalem di dalam Kekristenan abad pertama, baik semasa Yesus berkiprah maupun pada zaman Apostolik, sebagaimana diriwayatkan di dalam Perjanjian Baru, membuatnya dianggap sangat penting.[2] Yerusalem sudah jamak dianggap sebagai tempat lahirnya agama Kristen.[3]

Gereja Makam Kudus di Yerusalem, kota yang jamak dianggap sebagai tempat lahirnya agama Kristen.[1]

Perjanjian Baru

sunting
 
Senakel di Gunung Sion, dipercaya sebagai lokasi peristiwa Perjamuan Terakhir dan Pentakosta. Menurut Bargil Pixner,[4] Gereja Para Rasul yang asli berada di bawah bangunan Senakel yang ada saat ini.

Menurut Perjanjian Baru, Yerusalem adalah kota tempat Yesus diantar kedua orang tuanya untuk dipersembahkan di Bait Allah (Lukas 2:22) dan untuk menghadiri perayaan Paskah (Lukas 2:41). Menurut injil-injil, Yesus Kristus berdakwah dan menyembuhkan orang di Yerusalem, khususnya di lingkungan pelataran Bait Allah. Peristiwa Pentakosta yang diriwayatkan di dalam Kisah Para Rasul juga berlangsung di lokasi yang sama. Ada pula riwayat tentang peristiwa Pembersihan Bait Allah, ketika Yesus Kristus menghalau para pedagang dan penukar uang dari lingkungan yang disucikan (Markus 11:15). Yerusalem adalah kota yang disebut pada bagian akhir tiap-tiap injil sebagai tempat berlangsungnya Perjamuan Terakhir di sebuah "ruang atas", penangkapan Yesus Kristus di Getsemani, sidang pengadilan atas dirinya, penyalibannya di Golgota, pemakamannya, kebangkitannya, dan kenaikannya, bahkan dinubuatkan sebagai kota tempat ia kelak datang kembali.

Menurut Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus, Yakobus Sadik, saudara Yesus, adalah salah seorang pemimpin jemaat perdana Yerusalem. Eusebius dan Epifanius dari Salamis, bapa-bapa Gereja abad ke-4, mengutip sebuah tradisi yang mengatakan bahwa sebelum Yerusalem dihancurkan pada tahun 70 Masehi, umat Kristen Yahudi Yerusalem sudah mendapat peringatan untuk mengungsi ke Pela di daerah Dekapolis, seberang Sungai Yordan.[5] Mereka kembali dari pengungsian sesudah Yerusalem dihancurkan. Yakobus dan para penggantinya adalah pemuka umat Kristen Yahudi sampai Yerusalem dihancurkan Kaisar Hadrianus pada tahun 135 Masehi.

Menurut tradisi Kristen, tempat penyelenggaraan Perjamuan Terakhir adalah Senakel, ruang lantai dua sebuah bangunan di Gunung Sion. Konon Kubur Daud berada di lantai pertama bangunan yang sama. Arkeolog Alkitab Bargil Pixner[4] mengaku sudah menemukan tiga tembok bangunan asli yang terlestarikan sampai sekarang. Getsemani, tempat Yesus berdoa dengan susah hati kemudian dikhianati, mungkin sekali tidak jauh letaknya dari Gereja Segala Bangsa di Bukit Zaitun. Yesus mungkin diadili Ponsius Pilatus di Benteng Antonia, sebelah utara dari lingkungan Bait Allah. Banyak orang percaya bahwa lapisan teratas perkerasan tanah tempat pengadilan itu digelar terdapat di bawah bangunan Susteran Kongregasi Bunda Sion. Ada pula orang-orang Kristen yang percaya bahwa Pilatus mengadili Yesus di Istana Herodes di Gunung Sion.

Via Dolorosa, atau jalan sengsara, adalah rute tradisional menuju Golgota, tempat Yesus disalibkan, dan merupakan salah satu tempat ziarah Kristen. Di ujung Via Dolorosa berdiri Gereja Makam Kudus. Dari generasi ke generasi, Makam Kudus dipercaya sebagai lokasi Golgota dan makam Yesus yang tidak jauh letaknya dari Golgota. Bangunan mula-mula Gereja makam Kudus didirikan pada tahun 336 oleh Kaisar Konstantinus Agung. Makam di Taman adalah tempat ziarah populer yang tidak jauh letaknya dari Gapura Damsyik. Charles George Gordon menggembar-gemborkan situs ini, alih-alih Makam Kudus, sebagai Golgota yang asli.

Lewat serangkaian artikel yang dimuat dalam Jerusalem Christian Review, Sejarawan Yerusalem Dan Mazar melaporkan temuan-temuan arkeologis yang didapati di lokasi tersebut oleh kakeknya, Profesor Benjamin Mazar, antara lain undak-undakan dari abad pertama, tempat Yesus dan murid-muridnya berdakwah, demikian pula kolam-kolam pembasuhan yang digunakan para peziarah Yahudi dan Kristen untuk bersuci. Sebagian besar area tersebut juga tersingkap berkat kegiatan-kegiatan ekskavasi yang dilakukan Profesor Benjamin Mazar.

Kristen purba

sunting
 
Basilika Derita di dekat Bukit Zaitun.
 
Pintu masuk utama Gereja Makam Kudus.

Karena orang-orang Yahudi tidak dibenarkan berdiam di dalam kota baru Elia Kapitolina, diangkatlah uskup dari bangsa-bangsa lain di bawah kewenangan Metropolit Kaisarea dan pada akhirnya di bawah kewenangan Batrik Antiokhia.

Arti penting Yerusalem bagi umat Kristen di luar Tanah Suci memudar pada masa-masa berlangsungnya aniaya terhadap umat Kristen di Kekaisaran Romawi, tetapi kembali menguat sekitar tahun 325, ketika Kaisar Konstantinus Agung dan Ibu Suri Helena membangun banyak gereja dan rumah ibadat di Yerusalem, sehingga menjadikan kota itu pusat ziarah Kristen yang utama. Ibu Suri Helena dihormati sebagai santa pelindung para arkeolog, dan (menurut sejarawan Gereja Sokrates dari Konstantinopel[6]) mengaku menemukan Salib Sejati (dengan bantuan Makarius, Uskup Yerusalem) sesudah membongkar kuil pemujaan Venus yang didirikan di lokasi penyaliban Yesus. Keistimewaan Yerusalem diakui di dalam Kanon VII Konsili Nikea I tahun 325, sekalipun bukan sebuah takhta keuskupan metropolis pada masa itu.[7]

Tarikh tradisional pembentukan Serikat Persaudaraan Makam Kudus (pengawal tempat-tempat suci Kristen di Tanah Suci) adalah tahun 313, bertepatan dengan tahun terbitnya Maklumat Milano yang melegalisasi Kekristenan di Kekaisaran Romawi.

Konsili Kalsedon tahun 451 menaikkan kedudukan Uskup Yerusalem ke peringkat batrik, sejajar dengan Uskup Roma, Uskup Konstantinopel, Uskup Aleksandria, dan Uskup Antiokhia. Meskipun demikian, manuver politik Romawi Timur membuat Yerusalem hanya sekadar berpindah dari yurisdiksi Suryani di Antiokhia ke yurisdiksi Yunani di Konstantinopel. Selama berabad-abad, rohaniwan Yunani mendominasi Gereja Yerusalem. Sementara itu, Gereja Roma tidak pernah menerima Pentarki, malah mendaku sebagai takhta keuskupan yang terutama. Di lain pihak, gagasan lama tentang keutamaan Gereja Yerusalem terlestarikan di dalam beberapa karya tulis, misalnya di dalam naskah abad pertengahan yang berjudul Pengetahuan dan Pemahaman tentang Takhta-Takhta Kebatrikan (bahasa Yunani: Γνώσις και επίγνωσις των πατριαρχών θρόνων, Gnosis kai epignosis ton patriarkhon tronon).

Tradisi Abad Pertengahan

sunting

Penaklukan muslim atas Syam

sunting

Pada tahun 638, Sofronius, Batrik Yerusalem, menyerahterimakan kunci-kunci kota itu kepada angkatan perang Muslim di bawah pimpinan Khalifah Umar bin Khatab. Para pejabat daulat Islam di Yerusalem tidak memperlakukan kawula Kristen mereka dengan baik. Umat Kristen dipaksa menjalani hidup penuh "diskriminasi, perbudakan, dan penistaan".[8]

Perang Salib I

sunting

Perlakuan buruk terhadap umat Kristen kian parah ketika laskar-laskar Perang Salib I bergerak mendekati Yerusalem. Lantaran curiga umat Kristen Timur sudah bersekongkol dengan laskar salib, pemerintah daulat Islam di Yerusalem membantai sebagian besar warga Kristen, dan warga Kristen yang luput dari maut lekas-lekas hengkang meninggalkan kota itu.[9] Meskipun laskar-laskar salib memang berniat melindungi para peziarah Kristen yang sering diserang dan dibunuh orang-orang Turki, melindungi tempat-tempat suci Kristen yang dihancurkan Khalifah Alhakim Biamrillah, dan sesungguhnya jauh-jauh datang demi menanggapi permintaan bantuan dari Kaisar Aleksius Komnenos, tidak ada bukti persekongkolan semacam itu.

Pada tanggal 15 Juli 1099, angkatan bersenjata Perang Salib I berhasil merebut Yerusalem. Kecuali umat Kristen Timur, sebagian besar populasi kota itu dibunuh. Meskipun demikian, umat Kristen Timur selanjutnya diusir keluar dari Yerusalem, lantaran dicurigai bersekongkol dengan umat Islam oleh pemerintah daulat Latin di kota itu.[10] Yerusalem menjadi ibu kota sebuah 'kerajaan Kristen Latin', lengkap dengan jemaat Latin dan seorang batrik Latin, yang semuanya tunduk kepada Sri Paus. Godefridus dari Bouillon, pemimpin Latin pertama kota itu, terpilih pada tahun 1099.[11] Karena berwatak rendah hati lagi sangat mengagungkan Yesus, sampai-sampai beranggapan bahwa Yesus sajalah yang pantas menyandang gelar raja di Yerusalem, Godefridus menolak digelari raja dan hanya mendaku diri sebagai pelindung kota itu. Selaku pelindung Yerusalem, Godefridus berdaya upaya mendongkrak populasi kota itu sampai akhir hayatnya pada tahun 1100. Pada tahun 1100, Balduinus I, adik Godefridus, naik takhta menggantikan mendiang abangnya. Berbeda dari abangnya, Balduinus tidak sungkan menyandang gelar Raja Yerusalem. Seawal-awalnya sejak tahun 1115, lantaran prihatin melihat populasi Yerusalem yang terus menyusut, Balduinus I menawarkan salah satu lingkungan di Yerusalem kepada umat Kristen Seberang Yordan untuk dijadikan tempat bermukim. Umat Kristen di daerah Seberang Yordan langsung menyambut tawaran Balduinus, lantaran kerap menjadi bulan-bulanan agresi Muslim.[12] Sesudah Salahuddin merebut Yerusalem pada tahun 1187, pengurusan Gereja Makam Kudus dan banyak gereja lain kembali dipercayakan kepada umat Kristen Timur.

Zaman modern

sunting

Dari abad ke-17 sampai abad ke-19, berbagai negara Katolik Eropa mendesak Kekaisaran Usmani untuk mengizinkan umat Katolik menguasai 'tempat-tempat suci'. Tarekat Fransiskan merupakan juru kunci tradisional tempat-tempat suci dari pihak Katolik. Selama jangka waktu tersebut, kewenangan atas tempat-tempat suci Kristen ulang-alik berpindah tangan di antara Gereja Barat dan Gereja Timur. Mungkin lantaran sudah muak, Sultan Abdul Mejid I (1839–1861) akhirnya mengeluarkan firman yang memerinci hak dan tanggung jawab masing-masing komunitas Kristen atas Makam Kudus. Firman inilah yang kemudian hari disebut Status Quo, dan masih menjadi dasar protokol menjelimet dari tempat suci itu. Status Quo dijunjung dan dilanggengkan pemerintah Mandat Inggris maupun negara Yordania.

Seusai Perang Arab-Israel tahun 1967 dan pendaulatan Kota Tua oleh Israel, Keneset meloloskan undang-undang perlindungan atas tempat-tempat suci. Dewasa ini ada lima komunitas Kristen yang mengampu hak atas Makam Kudus, yaitu Kebatrikan Yunani, golongan Latin (umat Katolik Ritus Latin), golongan Armenia, golongan Kubti, dan golongan Ortodoks Suryani.

Yerusalem sebagai kiasan Gereja

sunting

Di dalam Kekristenan, kadang-kadang Yerusalem dimaknai sebagai suatu kiasan atau tipe jemaat Kristus.[13][14] Kekristenan memiliki khazanah tradisi apokaliptis yang khusus menyoroti Yerusalem surgawi alih-alih menyoroti kota Yerusalem yang harfiah dan bersejarah. Cara pandang semacam ini sangat menonjol di dalam Kota Allah karangan Agustinus dari Hipo, susastra filsafat abad ke-5 yang ditulis pada masa-masa sandyakala Kekaisaran Romawi.

Baca juga

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ Beckles Willson, Rachel (2013). Orientalism and Musical Mission: Palestine and the West. Cambridge University Press. hlm. 146. ISBN 9781107036567. 
  2. ^ Catholic Encyclopedia: Jerusalem (Before A.D. 71): III. HISTORY Diarsipkan 2018-12-15 di Wayback Machine. D. Di bawah penjajahan Romawi; sampai tahun 70 Masehi: "Di bawah pemerintahan Ponsius Pilatus, Yesus Kristus ditangkap dan dihukum mati. Sengsara, Kebangkitan, dan Kenaikan Sang Juru Selamat Ilahi telah menjadikan Yerusalem -- yang sebelumnya memang sudah gilang-gemilang -- kota paling masyhur di seantero jagat. Semangat yang mendorong ratusan orang Yahudi untuk mengaku sebagai murid Yesus sesudah hari Pentakosta, memicu aniaya terhadap umat Kristen yang berakibat gugurnya Diakon Stefanus sebagai martir perdana (Kisah Para Rasul 6:8–15)."
  3. ^ Beckles Willson, Rachel (2013). Orientalism and Musical Mission: Palestine and the West. Cambridge University Press. hlm. 146. ISBN 9781107036567. 
  4. ^ a b Bargil Pixner, The Church of the Apostles found on Mount Zion, Biblical Archaeology Review 16.3 Mei/Juni 1990 [1] Diarsipkan 2018-03-09 di Wayback Machine.
  5. ^ Mengenai pengungsian ke Pela, lih.: Bourgel, Jonathan, "The Jewish Christians’ Move from Jerusalem as a pragmatic choice", dalam: Dan JAFFÉ (penyunting), Studies in Rabbinic Judaism and Early Christianity, (Leyden: Brill, 2010), hlm. 107-138.
  6. ^ Sejarah Gereja karangan Sokrates di CCEL.org: Buku I, Bab XVII: Setibanya di Yerusalem, Ibu Suri Helena mencari dan berhasil menemukan Salib Kristus, lalu membangun sebuah gereja.
  7. ^ Seven Ecumenical Councils karangan Schaff: Nikea I: Kanon VII: "Lantaran adat-istiadat dan tradisi purba mengharuskan agar Uskup Elia (Yerusalem) harus dimuliakan, alangkah baiknya jika beliau, tanpa menafikan kelaikan kota itu untuk ditarafkan menjadi Metropolis, diberi tempat kehormatan yang berikutnya."; "Alangkah sukarnya menentukan "keutamaan" macam apa yang harus dianugerahkan kepada Uskup Elia, dan tidak jelas pula metropolis mana yang dirujuk pada klausa terakhir. Menurut kebanyakan penulis, termasuk Hefele, Balsamon, Aristenus, dan Beveridge, kota yang dimaksud adalah Kaisarea Tepi Laut; sementara Zonaras berpandangan bahwa Yerusalemlah kota yang dimaksud, yakni pandangan yang belakangan ini diadopsi dan dipertahankan oleh Fuchs; yang lain menduga kalau kota yang dimaksud adalah Antiokhia."
  8. ^ Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 491.
  9. ^ Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 492.
  10. ^ Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 493.
  11. ^ Riley-Smith, Jonathan. "The Motives of the Earliest Crusaders and the Settlement of Latin Palestine." The English Historical Review 98.398 (1983): 724.
  12. ^ Prawer, Joshua. "The Settlement of the Latins in Jerusalem," Speculum 27.4 (1952): 496.
  13. ^ The imagery of the heavenly Jerusalem (Revelation 21:9-22:5) dalam Neotestamentica, Jld. 22, No. 1 (1988), hlmn. 65-86
  14. ^ Lawrence Hull Stookey, The Gothic Cathedral as the Heavenly Jerusalem: Liturgical and Theological Sources, Gesta, Jld. 8, hlm. 35

Pranala luar

sunting

Wikisource (bahasa Yunani): Γνώσις και επίγνωσις των πατριαρχών θρόνων