Umar Wirahadikusumah

Wakil Presiden Indonesia ke-4 (1983–1988)

Umar Wirahadikusumah (10 Oktober 1924 – 21 Maret 2003) pria kelahiran Sumedang ini adalah Wakil Presiden Indonesia keempat yang menjabat antara 1983 dan 1988.

Umar Wirahadikusumah
Wakil Presiden Indonesia ke-4
Masa jabatan
11 Maret 1983 – 11 Maret 1988
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Adam Malik
Pengganti
Sudharmono
Sebelum
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ke-8
Masa jabatan
1973–1983
Sebelum
Pendahulu
D. Suprayogi
Pengganti
M. Jusuf
Sebelum
Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-9
Masa jabatan
25 November 1969 – 27 April 1973
Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-4
Masa jabatan
29 Mei 1967 – 4 Desember 1969
Panglima Kostrad ke-2
Masa jabatan
2 Desember 1965 – 27 Mei 1967
Sebelum
Pendahulu
Soeharto
Pengganti
Kemal Idris
Sebelum
Panglima Kodam V/Djayakarta ke-1
Masa jabatan
1960–1965
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada, jabatan baru
Pengganti
Amir Machmud
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1924-10-10)10 Oktober 1924
Situraja, Sumedang, Hindia Belanda
Meninggal21 Maret 2003(2003-03-21) (umur 78)
Jakarta, Indonesia
Partai politikGolkar
Suami/istriKarlinah Djaja Atmadja
Anak2
KerabatUkar Bratakusumah (sepupu)
Letjen TNI (Purn.) Agus Wirahadikusumah (keponakan laki-laki)
Reini Wirahadikusumah (keponakan perempuan)
ProfesiMiliter
Karier militer
Pihak
Dinas/cabang
Masa dinas1943—1973
Pangkat Jenderal TNI
NRP13761
SatuanInfanteri
Komando
Pertempuran/perang
Find a Grave: 7373047 Modifica els identificadors a Wikidata
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Kehidupan awal

sunting

Umar Wirahadikusumah lahir di Situraja, Sumedang, Keresidenan Priangan pada tanggal 10 Oktober 1924 dari pasangan Raden Rangga Wirahadikusumah dan Raden Ratnaringrum yang merupakan putra kelima. Umar dilahirkan sebagai keluarga bangsawan, ayahnya seorang Wedana Ciawi dan ibunya adalah putri dari Patih Demang Kartamenda di Bandung.[1]

Ibunya meninggal dunia ketika Umar masih kecil, oleh karenanya Umar dirawat oleh neneknya, Nyi Raja Juwita di Cicalengka. Umar sempat bersekolah di taman kanak-kanak hingga memasuki kelas satu di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) dan tidak sempat menyelesikan pendidikan di Cicalengka karena neneknya tidak lama meninggal dunia. Setelah kepergian neneknya, ayah Umar membawanya ke Ciawi antara tahun 1928-1929. Umar meneruskan pendidikan di ELS Tasikmalaya dan MULO Pasundan, ia menyelesaikan pendidikannya pada masa Pemerintah Kolonial Belanda.

Sebelum bergabung dengan kelompok pemuda, ia sempat bekerja sebagai pegawai perkebunan di Sumedang pada tahun 1940. Tiga tahun kemudian Umar diangkat sebagai Komandan Peleton Tasikmalaya pada tahun 1943, dengan Indonesia saat itu di bawah pendudukan Jepang.

Umar bersama dengan kelompok pemuda bergabung dengan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA).[1] Sebelum masuk PETA, ia mendapatkan pelatihan militer Dai Nippon, Seinendojo, di Tangerang, selama 4 bulan. Keputusan Umar yang bergabung menjadi prajurit tidak dikehendaki oleh keluarganya.[1] Kelompok-kelompok pemuda memberikan beberapa pelatihan fisik yang Umar melakukan. Hal ini diikuti pada Oktober 1944 oleh PETA, pasukan tambahan yang terdiri dari rekrutan Indonesia yang dimaksudkan untuk membantu Jepang dalam melawan Sekutu. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Umar, seperti banyak pemuda lain dari usia yang sama bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI.

Kehidupan masa kemerdekaan

sunting

Kemudian Umar mendapat amanat sebagai Komandan Peleton Pangandaran, tidak lama ia diangkat sebagai Komandan TKR Cicalengka dengan pangkat kapten pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1947, ia diangkat menjadi ajudan Panglima Divisi III Siliwangi di Tasikmalaya, Direktur Latihan Operasi di Garut, dan Komandan Brigade I/III/V Cirebon.

Umar menikah dengan Karlina dan memiliki dua anak perempuan. Ia juga adalah paman dari Agus Wirahadikusumah, seorang perwira militer yang menjadi Panglima Kostrad.

Karier militer

sunting

Divisi Siliwangi

sunting

Setelah Revolusi Nasional Indonesia, Umar bertugas di Angkatan Darat. Umar ditempatkan di provinsi asalnya Jawa Barat dan bertugas untuk waktu yang lama di Kodam III/Siliwangi. Kariernya melejit setelah membantu menumpas pemberontakan PKI pada tahun 1948 serta memerangi pemberontakan PRRI di Sumatra. Ia juga pernah menjadi ajudan Abdul Haris Nasution saat menjabat sebagai Komandan Divisi Siliwangi.

Kodam V/Djayakarta

sunting

Umar kemudian menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta.[2] Jabatan ini diperolehnya pada tahun 1959. Tanggung jawab militer yang diberikan kepadanya ialah keamanan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Peristiwa G30S

sunting

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, enam jenderal diculik dari rumah mereka. Sebagai Panglima Kodam V/Djayakarta, Umar berkeliling kota untuk memeriksa keamanannya. Setelah mendengar tentang penculikan dan melihat pasukan tak dikenal menduduki Lapangan Merdeka, Umar mengirim kabar kepada Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto.

Umar menerima keputusan Soeharto untuk mengambil komando Angkatan Darat dan mendukungnya dalam usahanya untuk menindak usaha kudeta. Menjelang tengah hari, Umar menerima perintah dari Presiden Soekarno yang dicurigai berada di Halim, tempat di mana enam jenderal diculik. Soeharto khawatir bahwa ini adalah upaya untuk membunuh Umar dengan memerintahkanya ke Halim. Umar mengikuti permintaan Soeharto dengan menolak perintah Presiden Soekarno.[1]

Setelah Soeharto merebut kembali kendali situasi di Jakarta, Umar kemudian mengkonsolidasikan situasi. Dia memberlakukan jam malam dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi dan memonitor semua surat kabar ibu kota.

Ketika peristiwa diduga didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Umar menyetujui pembentukan gabungan aksi untuk membasmi Gerakan 30 September (KAP-GESTAPU).[3]

Orde baru

sunting

Meskipun ia bukan bagian dari lingkaran dalam Soeharto, Umar memenangkan kepercayaan besar dari Soeharto atas bantuan dan dukungan yang diberikan dalam menyelesaikan G30S.[4] Saat Soeharto mulai menjabat sebagai Pejabat Presiden, karier Umar juga melejit. Pada tanggal 12 Maret 1967, Soeharto mempercayakan Umar untuk menggantikannya sebagai Panglima Kostrad setelah ia menjadi pejabat presiden.[1] Pada tahun 1967, Umar menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat sebelum akhirnya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat pada tahun 1969.[1]

Pada tahun 1973, karier aktif militernya berakhir dan ia menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 10 tahun. Sebagai Ketua BPK, Umar bertanggung jawab untuk memastikan bahwa departemen pemerintah, kementerian, dan badan pemerintahan menggunakan uang negara dengan baik. Selama masa jabatannya sebagai Ketua BPK, Umar membuat penilaian suram yang menilai bahwa tidak satu pun departemen pemerintah adalah bebas dari korupsi.[5]

Riwayat jabatan

sunting
  1. Komandan Pleton TKR di Cicalengka (1945-1946).
  2. Wakil Kepala Staf Operasi Resimen XI Divisi Siliwangi, Tasikmalaya (1946-1947).
  3. Ajudan Panglima Divisi Siliwangi merangkap Direktur Latihan Perwira Divisi serta Komandan Batalyon 1 Resimen 5 Brigade III / Kian Santang (1947-1948).
  4. Komandan Batalyon IV Brigade XIII / Kian Santang Divisi Siliwangi (1948-1949).
  5. Komandan Co Troep Divisi Siliwangi (1949).
  6. Komandan KMK Cirebon Brigade "C" Divisi IV / Siliwangi (1949-1950).
  7. Kepala Staf Urusan Ex-KNIL Divisi IV / Siliwangi kemudian T&T III / Siliwangi (1950-1951).
  8. Kepala Staf Operasi T&T III / Siliwangi (1951-1952).
  9. Kepala Staf Brigade "C" T&T III / Siliwangi (1952).
  10. Komandan Resimen Infanteri 11 T&T III / Siliwangi (1952-1953).
  11. Inspektur Jenderal T&T III / Siliwangi (1953-1955).
  12. Asisten Operasi Kepala Staf T&T III / Siliwangi merangkap sebagai Komandan Resimen Infanteri 10. (1955-1958).
  13. Komandan RTP 1 / Siliwangi (1958-1959).
  14. Komandan KMKB Djakarta Raja (1959-1960).
  15. Panglima Komando Daerah Militer V / Jayakarta (1960-1966).
  16. Panglima Kostrad (1966-1968).
  17. Wakil Panglima Angkatan Darat (1968-1969).
  18. Kepala Staf Angkatan Darat (1969-1973).
  19. Pensiun (1973).[6]

Kepangkatan

sunting
  1. Letnan Dua (1945-1946).
  2. Letnan Satu (1946-1947).
  3. Kapten (1947-1948).
  4. Mayor (1948-1956).
  5. Letnan Kolonel (1956-1959).
  6. Kolonel (1959-1962).
  7. Brigadir Jenderal (1962-1966).
  8. Mayor Jenderal (1966-1968).
  9. Letnan Jenderal (1968-1969).
  10. Jenderal (1969-1973).

Menjadi wakil presiden

sunting
 
Umar Wirahadikusumah mengucapkan sumpah jabatan sebagai Wakil Presiden RI masa jabatan 1983-1988.

Pada bulan Maret tahun 1983, Umar mencapai puncak kariernya. Soeharto, yang telah dipilih untuk masa jabatan keempat sebagai Presiden berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memilih Umar untuk menjadi wakil presidennya. Pemilihan ini dianggap menjadi pilihan yang agak tak terduga mengingat karier Umar dalam politik di Indonesia tidak lebih memucat dibandingkan dengan dua pendahulunya, Hamengku Buwono IX dan Adam Malik. Meskipun kepribadian rendah hati, Umar memiliki reputasi yang baik dan dihormati secara luas.

Sebagai wakil presiden, Umar menjadi salah satu dari sangat sedikit dalam rezim Soeharto yang memilih untuk memberantas korupsi. Sebagai orang yang religius, Umar berharap bahwa agama dapat digunakan untuk mengubah koruptor untuk melakukan perbuatan yang benar. Umar juga melakukan inspeksi kejutan (kadang-kadang penyamaran) ke kota-kota dan desa-desa daerah untuk memantau bagaimana kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap rakyat. Selama menjadi Wakil Presiden Umar juga mengadakan pelayanan doa di Istana Wakil Presiden.

Karier Umar sebagai Wakil Presiden berakhir pada Maret 1988 ketika ia digantikan oleh Sudharmono. Banyak yang kecewa melihat dia tidak melanjutkan untuk masa jabatan kedua sebagai Wakil Presiden. Hal ini menjadi bukti reputasi yang baik bahwa Sudharmono ingin memastikan penerimaan Umar untuk tidak melanjutkan sebagai Wakil Presiden untuk periode selanjutnya.[7]

 
Makam Umar Wirahadikusumah di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata

Setelah masa jabatannya selesai sebagai Wakil Presiden tahun 1988, ia tidak lagi aktif di politik.[1] Umar Wirahadikusumah menghembuskan napas terakhir pada hari Jumat 21 Maret 2003 sekitar pukul 07.53 WIB di Rumah Sakit Pusat TNI-AD Gatot Soebroto. Umar meninggal karena masalah jantung dan paru-paru.[1] Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[8]

Penghargaan

sunting
     
       
       
       
       
       
       
       
Baris ke-1 Bintang Republik Indonesia Adipradana (12 Maret 1983)[11] Bintang Mahaputera Adipradana (19 Mei 1973)[12] Bintang Dharma
Baris ke-2 Bintang Gerilya Bintang Kartika Eka Paksi Utama Bintang Jalasena Utama Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama (29 Juli 1971)[13]
Baris ke-3 Bintang Bhayangkara Utama Bintang Kartika Eka Paksi Pratama Bintang Jalasena Pratama Bintang Bhayangkara Pratama
Baris ke-4 Bintang Kartika Eka Paksi Nararya Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia Satyalancana Kesetiaan 24 Tahun Satyalancana Perang Kemerdekaan I
Baris ke-5 Satyalancana Perang Kemerdekaan II Satyalancana G.O.M I Satyalancana G.O.M II Satyalancana G.O.M V
Baris ke-6 Satyalancana Sapta Marga Satyalancana Wira Dharma Satyalancana Penegak Satyalancana Dwidya Sistha
Baris ke-7 Order of National Security Merit - 1st Class (Tong-il Medal) - Korea Selatan Commander of the Legion of Merit - Amerika Serikat Second Rank of the Order of the People's Army with Golden Star - Yugoslavia Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau - Belanda
Baris ke-8 Grand Cross of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany - Jerman Panglima Setia Mahkota (P.S.M.) - Malaysia (1972)[14] Grand Cross of the National Order of Merit - Prancis Grand Cordon with Brilliants of the Supreme Order of the Renaissance - Yordania

Budaya Populer

sunting

Sosok Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam V/Jayakarta dengan pangkat Mayor Jenderal TNI di saat meletusnya G30S/PKI ditampilkan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI karya sutradara Arifin C. Noer, diperankan oleh aktor Doddy Sukma.

Bibliografi

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h Raditya, Iswara N. "Balas Budi Soeharto untuk Umar Wirahadikusumah". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-22. Diakses tanggal 2020-03-22. 
  2. ^ Wardaya, Baskara T. (2011). Suara di Balik Prahara: Berbagi Narasi tentang Tragedi '65 (PDF). Yogyakarta: Penerbit Galangpress. hlm. 362. ISBN 978-602-8174-63-3. 
  3. ^ Djarot, Eros. Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI (dalam bahasa Indonesian) (edisi ke-1st). Tangerang: PT Agromedia Pustaka. hlm. 19. 
  4. ^ Anwar, Rosihan (22 March 2003). "In Memoriam: Jenderal Umar Wirahadikusumah". Kompas.com. Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-17. Diakses tanggal 2006-10-28. 
  5. ^ Sinjal, Daud (2 May 2001). "Gincu Luntur Anti-Korupsi". Aksara. Diakses tanggal 2006-10-30. [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ Salam, Solichin (1994). Umar Wirahadikusumah : Pengabdian Seorang Prajurit. Jakarta: CV. Gema Salam. 
  7. ^ MIS (22 March 1997). "Sudharmono "Mengudara" Kembali". Tempo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2006-10-28. 
  8. ^ "Daftar Makam Tahun 2002-2004". Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-15. Diakses tanggal 7 Januari 2022. 
  9. ^ Dinas Sejarah TNI AD 1981, hlm. 383.
  10. ^ Gema Salam, Indonesia (1994). Umar Wirahadikusumah, pengabdian seorang prajurit. Indonesia: Solichin Salam. hlm. 213. 
  11. ^ Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia 1959 - sekarang (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 3 September 2021. 
  12. ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-08-05. Diakses tanggal 3 September 2021. 
  13. ^ Nasional, Perpustakaan (1971). "Penganugerahan SWA Buwana Paksa kelas I untuk KSAD Jend. Umar Q Wirahadikusumah dan KASAL, Laksamana Madya (L) R. Sudomo oleh Wapangab Jend. M. Panggabean di Aula Departemen Hankam Jakarta, 29 Juli 1971". Perpustakaan Nasional. Diakses tanggal 3 Juli 2023. 
  14. ^ "Senarai Penuh Penerima Darjah Kebesaran, Bintang dan Pingat Persekutuan Tahun 1972" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-12-23. Diakses tanggal 2022-02-06. 

Pranala luar

sunting
Jabatan politik
Didahului oleh:
Adam Malik
Wakil Presiden Indonesia
1983—1988
Diteruskan oleh:
Sudharmono
Jabatan militer
Didahului oleh:
Maraden Panggabean
Kepala Staf TNI Angkatan Darat
1969—1973
Diteruskan oleh:
Surono Reksodimejo