Teologi Tubuh adalah topik dari rangkaian 129 ceramah yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada saat audiensi-audiensi hari Rabu yang diselenggarakan di Lapangan Santo Petrus dan Ruang Audiensi Paulus VI antara tanggal 5 September 1979 dan 28 November 1984. Topik ini merupakan suatu analisis tentang seksualitas manusia, dan dipandang sebagai pengajaran penting pertamanya selama masa kepausannya. Pengajaran selengkapnya kelak disusun dan diperluas di dalam banyak anjuran, surat, dan ensikliknya.

Dalam Teologi Tubuh, Paus Yohanes Paulus II bermaksud membangun suatu antropologi yang memadai untuk memperlihatkan bahwa tubuh manusia menyingkapkan Allah. Ia menelaah keadaan laki-laki dan perempuan sebelum peristiwa Kejatuhan manusia, setelah peristiwa tersebut, dan pada saat kebangkitan orang mati. Ia melakukan permenungan atas komplementaritas seksual laki-laki dan wanita. Ia juga mengupas hakikat perkawinan, selibat dan keperawanan, serta memperluas ajaran-ajaran dalam Humanae vitae mengenai kontrasepsi. Menurut penulis Christopher West, tesis sentral dari Teologi Tubuh Paus Yohanes Paulus II adalah bahwa "tubuh, dan [tubuh] itu semata, mampu membuat terlihat apa yang tak terlihat: yang rohani dan yang ilahi. [Tubuh] diciptakan untuk mentransfer ke dalam realitas yang terlihat dari dunia ini, misteri yang tersembunyi sejak dahulu kala di dalam Allah, dan dengan demikian menjadi suatu tanda atasnya."[1]

Saat ini Teologi Tubuh telah secara luas digunakan dan disertakan dalam kurikulum Kursus Persiapan Perkawinan di keuskupan-keuskupan Katolik di Amerika Serikat.[2][3]

Pengembangan sebelumnya dalam sejarah gagasannya

sunting

Rangkaian ceramah ini diberikan sebagai suatu refleksi atas penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan, sebagai makhluk seksual. Teologi Tubuh berupaya untuk menanggapi berbagai perilaku dan gagasan tertentu yang menyimpang, yang menjadi landasan bagi revolusi seksual.[4] Paus Yohanes Paulus II menyampaikan bagaimana pemahaman umum tentang tubuh manusia yang menganalisisnya sebagai suatu mekanisme yang mengarah pada objektivikasi (penurunan martabat seseorang menjadi objek semata), yakni hilangnya pemahaman akan makna personal dan hakikinya. Pemikiran Paus Yohanes Paulus II dipengaruhi oleh perhatian-perhatian filosofisnya terdahulu, terutama dalam pandangan-pandangan fenomenologis dari Edmund Husserl dan Max Scheler. Dalam konteks antropologi teologis — suatu analisis tentang kodrat manusia dalam hubungannya dengan Allah — Teologi Tubuh menyajikan suatu penafsiran mengenai makna mendasar tubuh, terutama pembedaan seksual dan komplementaritasnya, yang bertujuan untuk menantang pandangan-pandangan filosofis kontemporer yang umum dianut.[5] Bagaimanapun, fenomenologi personalistis sang paus "menggemakan apa yang ia pelajari dari St. Yohanes dari Salib"[6] dan "dalam keselarasan dengan St. Thomas Aquinas".[7]

Francis Bacon

sunting

Francis Bacon adalah seorang empirisis yang berfokus pada masalah-masalah pengetahuan. Dalam "Pembaruan Besar" (Great Instauration) yang dicetuskannya, ia berpendapat bahwa keadaan pengetahuan pada saat ini belum matang dan belum maju.[8] Sasarannya adalah agar budi manusia memiliki otoritas atas kodrat atau alam melalui pemahaman dan pengetahuan. Bacon menentang penyebab final dan formal yang dicetuskan Aristoteles, mengatakan bahwa "penyebab final cenderung merusak daripada memajukan sains".[8] Ia berpikir bahwa pemfokusan pada kausalitas formal merupakan suatu hambatan bagi pengetahuan, karena kuasa diperoleh dengan berfokus pada materi yang diamati dan dialami, bukan sekadar khayalan dari budi. Penekanannya pada kuasa atas kodrat berkontribusi pada timbulnya suatu pemahaman akan kodrat sebagai mekanisme dan adanya klaim bahwa pengetahuan sejati akan kodrat adalah yang diungkapkan oleh hukum-hukum mekanis. Paus Yohanes Paulus II melihat konsep pengetahuan yang dianut Bacon beserta objeknya yang semestinya sebagai awal mula pemisahan antara pribadi dan tubuh, dan sang paus bermaksud untuk mempertemukannya kembali.[5]

René Descartes

sunting

René Descartes mengembangkan suatu pendekatan matematis pada filsafat dan epistemologi melalui skeptisisme dan rasionalisme, menekankan nilai praktis kuasa atas kodrat atau alam. Dalam Diskursus tentang Metode karyanya, Descartes mengatakan bahwa "kita dapat menemukan suatu [filsafat] praktis, yang dengannya mengetahui alam dan perilaku api, air, udara, bintang-bintang, langit, serta segala bentuk lainnya yang mengelilingi kita ... kita dapat memanfaatkan entitas-entitas ini untuk semua tujuan yang sesuai dengannya masing-masing, sehingga menjadikan diri kita para tuan dan penguasa alam".[9] Selain memaknai pentingnya kuasa atas alam, Descartes (sebagaimana Bacon) bersikeras untuk mengabaikan penyebab final dengan mengatakan bahwa "keseluruhan golongan penyebab yang biasanya orang turunkan dari suatu 'akhir' dari objek, saya menilainya sama sekali tidak berguna."[10]

Filsafat praktis Descartes juga mengemukakan suatu dualisme antara budi dan tubuh jasmaniah, didasarkan pada keyakinan bahwa keduanya merupakan substansi berbeda. Tubuh merupakan materi yang diperluas secara spasial, sedangkan budi merupakan substansi yang berpikir dan mengandung jiwa rasional.[11] Paus Yohanes Paulus II menanggapi dualisme tersebut dalam Surat untuk Para Keluarga yang ditulisnya pada tahun 1994: "Adalah ciri khas rasionalisme membuat suatu kontras yang radikal antara roh dan tubuh, antara tubuh dan roh. Tetapi manusia adalah seorang pribadi dalam kesatuan antara tubuhnya dan rohnya. Tubuh tidak pernah dapat direduksi menjadi materi belaka." Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa penentangan Cartesian yang mencolok antara tubuh dan roh mengakibatkan seksualitas manusia menjadi suatu area terjadinya manipulasi dan eksploitasi, bukan keajaiban dan kesatuan sebagaimana ia bahas dalam pengajaran Teologi Tubuh.[5]

Immanuel Kant

sunting

Paus Yohanes Paulus II mengakui bahwa hasil karya Immanuel Kant merupakan landasan awal dari banyak refleksinya.[12] Kant, sebagaimana Bacon dan Descartes, meyakini bahwa ilmu alam hanya dapat berkembang melalui studi determinis materialis-matematis tentang alam.[5] Namun, Kant melihat adanya bahaya dalam hukum alam apabila Allah dikecualikan karena moralitas dan agama dipertanyakan.[13] Solusi Kant atas bahaya tersebut adalah berkukuh bahwa daya pikir atau akal teoretis (sering disebut akal murni atau spekulatif) memiliki keterbatasan dalam hal moralitas dan agama. Daya pikir dan indra tidak seharusnya digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang Allah.[5] Kant menyatakan, "Saya harus menjauh dari pengetahuan untuk memberikan ruang bagi iman."[13] Iman tersebut yang menyebabkan pengembangan personalisme Kant. Dalam Kritik atas Akal Murni karyanya, Kant mengatakan bahwa "keyakinan [iman] adalah bukan suatu logika tetapi suatu keyakinan moril; dan karena hal itu bersandar pada dasar-dasar subjektif (dari perilaku moral), saya bahkan tidak seharusnya mengatakan, Diyakini secara moril bahwa terdapat Allah, dsb., tetapi saya harus mengatakan, saya yakin secara moril, dsb."[13] Ideologi tersebut memungkinkan setiap pribadi memilih kondisi mereka masing-masing untuk realitas dan moralitas, karena kondisi itu tidak dapat diperdebatkan menggunakan akal teoretis.[14]

Personalisme yang dianut Kant mencakup iman dan berlaku untuk kebebasan, otonomi, dan martabat moral. Paus Yohanes Paulus II sepakat dengan beberapa aspek personalisme namun mengkritik Kant karena keyakinannya akan "personalisme anti-trinitarian", yang menghilangkan karakter relasional Trinitas untuk berfokus pada diri yang otonom.[5] Pandangan-pandangan Kant seputar diri yang otonom menempatkan tindakan hati nurani setiap manusia sebagai "pembuat hukum" personal bagi moralitas subjektif, tetapi Paus Yohanes Paulus II berargumen bahwa hati nurani manusia tidak dapat menciptakan norma-norma moral, melainkan harus menemukan norma-norma itu dalam kebenaran objektif.[15]

Perbedaan antara pandangan Kant dan pandangan Paus Yohanes Paulus II terkait personalisme diperjelas melalui Teologi Tubuh dalam argumen-argumen mengenai seks, perkawinan, dan poligami. Kant memiliki dua prinsip etika seksual: bahwa seseorang tidak seharusnya "menikmati" pribadi lainnya semata-mata demi kesenangan dan bahwa kesatuan seksual melibatkan pemberian diri seseorang kepada yang lainnya.[5] Paus Yohanes Paulus II setuju dengan kedua prinsip tersebut, namun tidak setuju dengan makna dan alasan di balik prinsip-prinsip tersebut. Kant percaya bahwa manusia kehilangan martabat dan otonominya di dalam tindakan-tindakan seksual, karena manusia direduksi menjadi objek yang digunakan demi kesenangan. Perkawinan memulihkan hal itu dengan memberikan para pasangan "penguasaan timbal-balik selama seumur hidup atas karakteristik-karakteristik seksual mereka".[16] Namun, penjelasan Kant mengenai perkawinan tetap tidak mentransformasi kodrat atau hakikat objektivikasi dari seks dan sekadar memperbolehkannya secara hukum. Di sisi lain, Paus Yohanes Paulus II memaparkan tindakan seksual dalam perkawinan sebagai pemenuhan hukum kodrat dari cinta suami-istri. Alih-alih objektivikasi dan pelepasan karakteristik manusiawi, tindakan tersebut memperkayakan bagi seorang pribadi karena merupakan suatu pemberian diri yang tulus dalam cinta.[4] Paus Yohanes Paulus II menyoroti cinta kasih suami-istri, sedangkan Kant tidak mengakuinya.

Yohanes dari Salib

sunting

Keyakinan dasar Paus Yohanes Paulus II dalam hal cinta, sementara ia membangun Teologi Tubuh-nya, berasal dari Santo Yohanes dari Salib (San Juan de la Cruz), seorang mistikus Spanyol dan Pujangga Gereja. Karol Wojtyla—sebelum ia menjadi Paus Yohanes Paulus II—mempertahankan disertasi doktoralnya, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam sebuah buku berjudul Faith According to Saint John of the Cross, pada bulan Juni 1948 di institut yang kelak menjadi Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas. Dalam karya tersebut, pengaruh Santo Yohanes dari Salib terlihat dalam keyakinannya bahwa hubungan dengan Allah merupakan suatu proses penyatuan di mana elemen-elemennya digerakkan secara dinamis. Pengaruh lainnya adalah bahwa ia menghargai cinta lebih tinggi dari iman, dan bahwa cinta "menarik sang pribadi ke dalam suatu persatuan yang sesungguhnya secara psikologis dan ontologis dengan Allah".[17]:97

"Segitiga [cinta] Sanjuanis" terdiri dari tiga poin: 1) Cinta adalah memberi diri; 2) Cinta sebagai seorang anak kepada Allah dan cinta suami-istri dalam perkawinan merupakan paradigma memberi diri; 3) Hubungan antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus di dalam Trinitas merupakan model cinta yang memberi diri.[18] Melalui cinta yang murni, seorang pribadi mengalami Allah dalam "pertukaran timbal balik donasi-diri".[6]:35

Thomas Petri O.P. menulis, "Kita juga dapat perhatikan observasi Wojtyla kalau bagi Yohanes dari Salib, Allah adalah objektif (nyata) tetapi tidak dapat dijadikan objek bagi intelek, yang secara alamiah sesuai dengan norma personalistis yang kelak pada akhirnya menduduki tempat pertama dalam pemikiran Wojtyla. Sama seperti pribadi Allah, tidak ada pribadi manusia yang pernah bisa dijadikan suatu objek semata dari tindakan-tindakan kita, tetapi [pribadi tersebut] perlu dipahami dalam relasi [yang dijalin]."[17]:97

Penyampaian

sunting

Teologi Tubuh merupakan topik dari rangkaian 129 ceramah yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II selama audiensi-audiensi hari Rabu yang diadakan di Lapangan Santo Petrus dan Ruang Audiensi Paulus VI antara tanggal 5 September 1979 dan 28 November 1984. Teologi Tubuh merupakan suatu analisis mengenai seksualitas manusia,[19] dan dipandang sebagai pengajaran pentingnya yang pertama sepanjang masa pontifikatnya. Denis Read, O.C.D. mengatakan bahwa, melalui Teologi Tubuh, "Yohanes Paulus II memberi permulaan dari suatu filosofi mistis kehidupan kepada Gereja.[19] Pengajaran selengkapnya kemudian disusun dan dikembangkan lagi di dalam banyak anjuran, surat, dan ensiklik yang dirilisnya.

Penyampaian serial Teologi Tubuh sempat mengalami beberapa penundaan. Sebagai contoh, audiensi-audiensi hari Rabu selama Tahun Suci Penebusan pada tahun 1983 dikhususkan bagi penyampaian topik-topik lain .[20]

Topik-topik

sunting


Karya ini mencakup berbagai topik seperti kualitas-kualitas jasmani dan rohani yang terpadu dalam pribadi manusia; asal-usul, sejarah, dan destinasi umat manusia; hasrat atau keinginan terdalam pada hati manusia beserta cara untuk mengalami kebebasan dan kebahagiaan sejati; kebenaran mengenai kebutuhan manusia dan hasrat akan persekutuan penuh cinta yang berasal dari penyingkapan pemahaman akan kemanusiaan dalam citra Allah Tritunggal sebagai Sang Pencipta; kebenaran mengenai rancangan asali Allah atas seksualitas manusia, dan dengan demikian martabat pribadi manusia, bagaimana martabat tersebut terdistorsi melalui dosa, serta bagaimana martabat tersebut dipulihkan dan diperbarui melalui penebusan yang dilakukan Yesus Kristus; dan ajaran-ajaran Katolik mengenai sakramentalitas pernikahan.

Tesis sentral Teologi Tubuh Paus Yohanes Paulus II, menurut penulis Christopher West, adalah bahwa "tubuh, dan [tubuh] itu semata, mampu membuat terlihat apa yang tak terlihat: yang spiritual dan yang ilahi. [Tubuh] diciptakan untuk mentransfer ke dalam realitas yang terlihat dari dunia ini, misteri yang tersembunyi sejak dahulu kala di dalam Allah, dan dengan demikian menjadi suatu tanda atasnya."[1]

Karya ini terdiri dari dua bagian dan lima subbagian. Bagian pertama, berjudul "Perkataan Kristus", memuat tiga subbagian yang di dalamnya Paus Yohanes Paulus II membangun suatu "antropologi yang memadai". Subbagian 1 melihat pada pribadi manusia sebagaimana saat manusia diciptakan "pada mulanya" (manusia asali). Subbagian 2 membahas kehidupan manusia sesudah dosa asal, belum ditebus, dan ditebus (manusia historis). Subbagian 3 membicarakan realitas kehidupan manusia pada akhir zaman ketika Kristus datang kembali dan sejarah mencapai kegenapannya (manusia eskatologis). Paus Yohanes Paulus II juga menempatkan refleksi-refleksinya mengenai "keperawanan oleh karena Kerajaan Surga" di dalam konteks Subbagian 3. Dalam bagian kedua, berjudul "Sakramen" (yang mengacu pada sakramen perkawinan), Paus Yohanes Paulus II membahas aspek sakramental dari perkawinan di dalam Subbagian 4 dan transmisi kehidupan manusia yang bertanggung jawab di dalam Subbagian 5.

Beberapa kalangan memandang Deus caritas est ("Allah adalah Kasih"), ensiklik pertama Paus Benediktus XVI, dengan penjelasannya mengenai hubungan antara agape dan eros, merupakan kulminasi dari Teologi Tubuh Paus Yohanes Paulus II.

Laki-laki dan perempuan "pada mulanya"

sunting

Dalam subbagian pertama, yang dimulai pada tanggal 5 September 1979, Paus Yohanes Paulus II membahas jawaban Yesus Kristus kepada kaum Farisi ketika mereka bertanya kepada-Nya mengenai apakah orang dapat menceraikan istrinya.[20] Yesus menanggapi mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian" (Matius 19:8).

Paus Yohanes Paulus II menaruh perhatian pada bagaimana Kristus menanggapi orang-orang Farisi agar mereka menyimak kembali apa yang terjadi pada awal mula, pada dunia yang tercipta sebelum peristiwa kejatuhan manusia dan terjadinya dosa asal. Sang paus menyelami pengalaman manusia asali melalui Kitab Kejadian, dan mengidentifikasi adanya dua pengalaman unik: "kesendirian asali" dan "kesatuan asali". Kesendirian asali merupakan pengalaman Adam, sebelum keberadaan Hawa, ketika ia menyadari bahwa melalui pemberian nama semua binatang terdapat sesuatu yang secara intrinsik berbeda dengan dirinya. Ia tidak dapat menemukan satupun "penolong yang sepadan dengan dia". Kesadaran diri bahwa martabatnya di hadapan Allah lebih tinggi dari ciptaan lainnya itu merupakan kesendirian asali.

Kesatuan asali tergambar dari perjumpaan pertama laki-laki dengan perempuan, saat ia berkata: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki" (Kejadian 2:23). Sebelum peristiwa Kejatuhan, sang paus menjelaskan bahwa keinginan laki-laki dan perempuan atas satu sama lain tertuju secara sempurna dalam suatu cara Sakramental yang menunjuk ke arah rencana utama Allah bagi umat manusia: perkawinan Kristus sebagai mempelai laki-laki dengan pengantin perempuan-Nya yang adalah Gereja. Dalam Kitab Suci, referensi paling umum yang digunakan Kristus ketika berbicara tentang surga adalah pesta atau perjamuan kawin. Dengan demikian, pernikahan dimaksudkan untuk menjadi suatu persatuan yang membawa manusia masuk lebih jauh ke dalam misteri penciptaan manusia dan memberikan suatu prarasa pernikahan surgawi antara Kristus dengan Gereja-Nya, di mana laki-laki dan perempuan tidak lagi "kawin dan dikawinkan". Dalam surga, yakni perjamuan kawin abadi, laki-laki dan perempuan sampai pada tujuan akhir mereka serta tidak lagi membutuhkan Sakramen (atau tanda) perkawinan.

Laki-laki dan perempuan setelah peristiwa Kejatuhan

sunting

Subbagian kedua berfokus pada pernyataan Kristus mengenai perzinaan dalam Khotbah di Bukit (Matius 5:27-28):[20]

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.

Paus Yohanes Paulus II menjelaskan hal ini sebagai melihat pribadi lain, sekalipun pasangannya sendiri, untuk menginginkannya dengan suatu cara yang reduktif, yaitu memandang pribadi tersebut sebagai objek dari keinginan semata. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa hal ini tampaknya merupakan suatu bagian utama dalam teologi tubuh.[21]

Laki-laki dan perempuan setelah Kebangkitan orang mati

sunting

Subbagian ketiga menganalisis jawaban Kristus kepada kaum Saduki ketika mereka datang dan bertanya kepada-Nya mengenai keadaan seorang perempuan yang pernah kawin dengan tujuh orang bersaudara.[20]

Selibat dan keperawanan

sunting

Subbagian keempat merupakan suatu permenungan tentang selibat dan keperawanan.[20]

Sakramen Perkawinan

sunting

Subbagian kelima membahas Sakramen Perkawinan.[20]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b (Inggris) West, Christopher (2004). Theology of the Body for Beginners. Ascension Press. hlm. 5. ISBN 1-932645-34-9. 
  2. ^ (Inggris) Susan Klemond (June 30, 2011). "Marriage Preparation 2.0". National Catholic Register. 
  3. ^ (Inggris) "Dating & Engaged - Marriage Prep Resources". For Your Marriage, USCCB. Diakses tanggal January 1, 2018. 
  4. ^ a b (Inggris) John Paul II (2006) [1986]. Man and Woman He Created Them: A Theology of the Body. Boston, MA: Pauline Books & Media. hlm. xxiii–xxx. ISBN 0-8198-7421-3. 
  5. ^ a b c d e f g (Inggris) Waldstein, Michael (2006). A Theology of the Body: Translation, Introduction, and Index. Boston, MA: Pauline Books & Media. hlm. 17, 34–55, 94–99. ISBN 0-8198-7421-3. 
  6. ^ a b (Inggris) West, Christopher (2003). Theology of the Body Explained: A Commentary on John Paul II's "Gospel of the Body". Gracewing Publishing. ISBN 0852446004. :43
  7. ^ (Inggris) "Waldstein Links Pope John Paul II to St. John of the Cross". Christendom College. September 28, 2004. 
  8. ^ a b (Inggris) Bacon, Francis (1960). The New Organon and Related Writings. Indianapolis: Bobbs-Merrill. hlm. 3–4. 
  9. ^ (Inggris) Descartes, Rene (1993). Discourse on Methods and Meditations: 3rd ed. Indianapolis: Hackett. 
  10. ^ (Inggris) Descartes, Rene. Meditations, in Discourse in Methods and Meditations. Adam and Tannery. 
  11. ^ (Inggris) Robinson, Howard. "Dualism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Winter 2012 Edition. Edward N. Zalta. 
  12. ^ (Inggris) Wojtyla, Karol (1979). The Acting Person. Sprinter. 
  13. ^ a b c (Inggris) Kant, Immanuel (1902). Critique of Pure Reason. Berlin: Königlich- Preubische Akademie der Wissenschaften. 
  14. ^ (Inggris) Schmitz, Kenneth (1993). At the Center of the Human Drama: The Philosophical Anthropology of Karol Wojtya/Pope John Paul II. Catholic University of America Press. hlm. 136. ISBN 978-0813207803. 
  15. ^ (Inggris) Santos, Gustavo (2011). "Karol Wojtyla's personalism and Kantian idealism: parallel avenues of reason within the tension towards the ground of existence" (PDF). American Political Science Association. 
  16. ^ (Inggris) Kant, Immanuel (1785). The Groundwork of the Metaphysics of Morals. 
  17. ^ a b (Inggris) Petri, O.P., Thomas (2016). Aquinas and the Theology of the Body: The Thomistic Foundations of John Paul II's Anthropology. The Catholic University of America Press. ISBN 9780813228471. 
  18. ^ (Inggris) John Paul II (2006) [1986]. Man and Woman He Created Them: A Theology of the Body. Boston, MA: Pauline Books & Media. hlm. 23-34, 78-79. ISBN 0-8198-7421-3. 
  19. ^ a b (Inggris) Read, O.C.D., Denis (2007). "The Influence of the Carmelite Mystical School". Dalam Culligan, O.C.D., Kevin. A Better Wine: Essays Celebrating Kieran Kavanaugh, O.C.D. ICS Publications. hlm. 308. ISBN 9780935216417. 
  20. ^ a b c d e f (Inggris) Hogan, Richard M. (February 25, 2003). "An Introduction to John Paul II's Theology of the Body". Natural Family Planning Outreach. Diakses tanggal 2006-07-14. 
  21. ^ (Inggris) John Paul II, Man and Woman He Created Them: A Theology of the Body (in reference list).

Bacaan tambahan

sunting

Pranala luar

sunting

Templat:Paus Yohanes Paulus II