Kaum wanita dalam Gereja Katolik

Dalam sejarah Gereja Katolik, kaum wanita awam dan kaum wanita dalam tarekat religius telah memainkan berbagai peran dan Gereja telah mempengaruhi sikap masyarakat di seluruh dunia terhadap kaum wanita dengan cara-cara yang signifikan. Kaum wanita merupakan mayoritas anggota tarekat hidup bakti di dalam Gereja Katolik: pada tahun 2010, terdapat sekitar 721.935 religius wanita yang telah berkaul.

Gereja Katolik dan Kaum Wanita
Kaum wanita telah memainkan peranan penting dalam kehidupan Gereja Katolik dan Gereja telah mempengaruhi sikap masyarakat kepada kaum wanita.

Perspektif Alkitab

sunting

Para wanita terkemuka dalam kehidupan gereja termasuk tokoh-tokoh Perjanjian Lama, serta Perawan Maria dan para murid perempuan Yesus dalam Injil. Individu-individu yang berpengaruh berkisar dari teolog, abdis, pemimpin monarki, misionaris, mistikus, martir, ilmuwan, perawat, pengurum rumah sakit, pendidik, dan biarawati; banyak di antara mereka yang telah dikanonisasi sebagai santa Katolik. Seorang ibu diberikan status luhur di dalam keimanan Katolik, dengan keberadaan Maria yang secara resmi dikenal sebagai Ratu Surga. Devosi serta peran khusus yang diberikan kepada Maria dan devosi Maria telah menjadi suatu tema sentral keseniaan Katolik. Sebaliknya, peran Hawa di Taman Eden dan kisah-kisah biblis lainnya mempengaruhi perkembangan gagasan Barat tentang wanita sebagai "penggoda".

Injil menunjukkan bahwa Yesus mematahkan kebiasaan dengan memberikan pelajaran keagamaan secara langsung kepada kaum wanita. Kendati Kedua Belas Rasul adalah pria semuanya, dan terdapat sejumlah perdebatan mengenai keyakinan para pemimpin gereja awal seperti St. Paulus, kaum wanita dikenal sangat aktif dalam penyebaran awal Kekristenan. Terdapat banyak orang kudus (santa) perempuan dan banyak devosi yang diawali oleh kaum wanita. Para abdis abad pertengahan memiliki pengaruh dan kuasa yang besar, dan religius wanita telah memainkan suatu peranan penting dalam Gereja Katolik melalui biara-biara, terutama dalam pendirian sekolah, rumah sakit, panti jompo, dan pemukiman monastik, serta melalui tarekat-tarekat religius biarawati atau suster seperti Benediktin, Dominikan, Suster-Suster St. Fransiskus dari Assisi, Suster-Suster Loreto, Suster-Suster Kerahiman, Suster-Suster Kecil dari Kaum Miskin, Yosefit, dan Misionaris Cinta Kasih. Pada awal abad ke-21, yang terbesar di antara semua tarekat religius wanita adalah Suster-Suster Salesian Don Bosco (F.M.A.), yang memiliki sekitar 14.000 anggota. Panggilan religius kaum wanita mengalami penurunan di Eropa, Oseania, dan Amerika, namun mengalami peningkatan di Asia dan Afrika.

Perspektif pendidikan

sunting

Melalui dukungannya pada pembelajaran yang terlembagakan, Gereja Katolik menghasilkan banyak cendekiawan dan ilmuwan wanita terkemuka pertama di dunia misalnya para dokter seperti Trota dari Salerno (abad ke-11) dan Dorotea Bucca (wafat tahun 1436), filsuf Elena Cornaro Piscopia (wafat tahun 1684), serta ahli matematika Maria Gaetana Agnesi (wafat tahun 1799). Empat orang wanita dihormati sebagai Pujangga Gereja: mistikus Jerman Hildegardis dari Bingen, mistikus Spanyol Teresa dari Ávila, mistikus Italia Katarina dari Siena, dan rubiah Prancis Thérèse de Lisieux. Para wanita Katolik lainnya menjadi dikenal secara internasional melalui karya-karya misi karitas dan kampanye-kampanye keadilan sosial misalnya perintis rumah sakit St. Marianne Cope, Bunda Teresa yang melayani kaum miskin di India, dan aktivis kampanye anti-hukuman mati Suster Helen Prejean.

Pengaruh Gereja

sunting

Gereja Katolik telah mempengaruhi status kaum wanita dengan berbagai cara: mengutuk infantisida, perceraian, inses, poligami, dan memperhitungkan ketidaksetiaan kaum pria dalam perkawinan setara dosanya dengan yang dilakukan kaum wanita.[1][2][3] Gereja memandang aborsi dan kontrasepsi sebagai dosa, sehingga ada yang menganggap bahwa Gereja menempatkan batasan-batasan atas hak prerogatif reproduksi wanita. Dikatakan bahwa peran kaum wanita dalam gereja telah menjadi suatu topik kontroversial dalam pemikiran sosial Katolik.[4] Dampak keseluruhan Kekristenan pada kaum wanita merupakan suatu persoalan perdebatan historis, yang berasal dari masyarakat-masyarakat patriarkal namun memperkecil kesenjangan antara kaum pria dan kaum wanita. Kelembagaan biara telah memberikan ruang bagi pengaruh, kuasa, dan pemerintahan otonom perempuan selama berabad-abad. Menurut beberapa kritikus modern, hierarki Gereja Katolik yang utamanya diisi kaum pria dan penolakannya untuk menahbiskan kaum perempuan menyiratkan inferioritas kaum wanita. Feminisme baru dan teologi feminis membahas secara ekstensif sikap Katolik kepada kaum wanita.

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Bokenkotter, Thomas (2004). A Concise History of the Catholic Church. Doubleday. hlm. 56. ISBN 0-385-50584-1. 
  2. ^ Noble, p. 230.
  3. ^ Stark, p. 104.
  4. ^ (Inggris) Labrie, Ross (1997). The Catholic imagination in American literature. University of Missouri Press. hlm. 12. 

Sumber

sunting
  • (Inggris) Bitel, Lisa (2002), Women in early medieval Europe, 400-1100, Cambridge University Press, ISBN 0-521-59207-0 
  • (Inggris) Bokenkotter, Thomas (2004), A Concise History of the Catholic Church, Doubleday, ISBN 0-385-50584-1 
  • (Inggris) Chadwick, Henry (1990), "The Early Christian Community", dalam John McManners, The Oxford Illustrated History of Christianity, Oxford University Press, ISBN 0-19-822928-3 
  • (Inggris) Power, Eileen (1995), Postand, Michael Moissey, ed., Cambridge University Press, ISBN 0-521-59556-8  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  • (Inggris) Shahar, Shulamith (2003), The Fourth Estate: A History of Women in the Middle Ages, New York: Routledge 
  • (Inggris) Witte, John (1997), From Sacrament to Contract: Marriage, Religion, and Law in the Western Tradition, Louisvill, KY: Westminster John Knox Press, ISBN 978-0-664-25543-5