Sistem pernapasan

sistem pertukaran gas pada hewan dan tumbuhan
(Dialihkan dari Saluran pernapasan)

Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem biologis yang terdiri dari organ dan struktur-struktur lain yang digunakan untuk pertukaran gas pada hewan dan tumbuhan. Anatomi dan fisiologi makhluk hidup yang mewujudkan pertukaran gas ini sangat bervariasi, bergantung pada ukuran tubuhnya, lingkungan tempat hidupnya, dan riwayat evolusinya. Pada hewan darat, pernapasan berlangsung pada paru-paru.[1] Pertukaran gas di paru-paru terjadi pada jutaan kantung udara kecil. Pada mamalia dan reptil, kantung udara ini disebut alveolus (bentuk jamak: alveoli), tetapi pada burung dinamakan atria. Kantung udara mikroskopis tersebut sangat kaya akan suplai darah, sehingga udara di dalamnya pun terhubung dengan darah.[2] Kantung udara ini berhubungan dengan lingkungan luar melalui sistem saluran udara berupa tabung berongga. Saluran yang terbesar adalah trakea, yang bercabang di tengah dada menjadi dua bronkus utama. Bronkus memasuki paru-paru, tempat mereka bercabang menjadi bronkus sekunder dan tersier yang rongganya semakin sempit, lalu bercabang menjadi banyak tabung yang lebih kecil, yang dinamakan bronkiolus. Pada burung, bronkiolus disebut parabronki. Pada bronkiolus atau parabronki inilah umumnya terdapat alveoli pada mamalia dan atria pada burung. Udara harus dipompa dari lingkungan luar menuju ke dalam alveoli atau atria melalui proses bernapas yang melibatkan otot-otot pernapasan. Pada sebagian besar ikan dan sejumlah hewan akuatik lainnya, pernapasan berlangsung pada insang, yang merupakan organ eksternal (baik sebagian maupun sepenuhnya), yang terendam dalam lingkungan perairan. Air akan mengalir melewati insang dengan berbagai cara, baik aktif ataupun pasif. Pertukaran gas terjadi di insang yang terdiri dari filamen tipis atau sangat datar, serta lamela yang mempertemukan secara luas jaringan yang sangat tervaskularisasi dengan air. Hewan lain, seperti serangga, memiliki anatomi sistem pernapasan yang sangat sederhana. Pada amfibi, kulit pun berperan penting dalam pertukaran gas. Tumbuhan juga memiliki sistem pernapasan tetapi arah pertukaran gasnya bisa berlawanan jika dibandingkan dengan hewan. Sistem pernapasan pada tumbuhan meliputi stomata, yang ditemukan di berbagai bagian tumbuhan.[3]

Sistem pernapasan
Gambaran skematik lengkap sistem pernapasan manusia dengan bagian-bagian dan fungsinya.
Rincian
Pengidentifikasi
Bahasa Latinsystema respiratorium
MeSHD012137
TA98A06.0.00.000
TA23133
FMA7158
Daftar istilah anatomi

Mamalia

sunting

Anatomi

sunting
 
Gambar 1. Sistem pernapasan.
 
Gambar 2. Saluran pernapasan bawah atau "pohon pernapasan"
  1. Trakea
  2. Bronkus utama
  3. Bronkus sekunder (lobar)
  4. Bronkus tersier (segmental)
  5. Bronkiolus
  6. Saluran alveolar
  7. Alveolus

Pada manusia dan mamalia lainnya, anatomi sistem pernapasan umumnya berupa saluran pernapasan. Saluran tersebut dibagi menjadi saluran pernapasan atas dan bawah. Saluran atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, faring, dan bagian laring di atas pita suara. Saluran bawah (Gambar 2) meliputi bagian bawah laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus.

Percabangan saluran udara bagian bawah sering digambarkan sebagai pohon pernapasan atau pohon trakeobronkial (Gambar 2).[4] Interval antara titik-titik percabangan di sepanjang saluran yang menyerupai pohon tersebut sering disebut sebagai "generasi", yang pada manusia dewasa jumlahnya sekitar 23. Percabangan atau generasi awal (sekitar 0-16) terdiri dari trakea dan bronkus, serta bronkiolus besar yang hanya bertindak sebagai saluran yang membawa udara ke bronkiolus pernapasan, saluran alveolar, dan alveoli (sekitar generasi 17-23), tempat pertukaran gas terjadi.[5][6] Bronkiolus didefinisikan sebagai saluran udara kecil yang tidak didukung oleh tulang rawan.[4]

Bronkus pertama yang bercabang dari trakea merupakan bronkus utama, baik di kanan maupun kiri. Sebagai saluran dengan diameter terbesar kedua setelah trakea (1,8 cm), bronkus ini (berdiameter 1-1,4 cm)[5] memasuki paru-paru di setiap hilum, tempat mereka bercabang menjadi bronkus sekunder yang lebih sempit yang dikenal sebagai bronkus lobar, dan cabang ini menjadi bronkus tersier yang lebih sempit yang dikenal sebagai bronkus segmental. Pembagian bronkus segmental lebih lanjut (berdiameter 1 hingga 6 mm)[7] dikenal sebagai bronkus segmental urutan 4, 5, dan 6, atau dikelompokkan bersama sebagai bronkus subsegmental.[8][9]

Rata-rata manusia dewasa memiliki 23 cabang pohon pernapasan. Sementara itu, tikus hanya memiliki sekitar 13 cabang.

Alveoli merupakan ujung buntu "pohon pernapasan.” Artinya, udara yang memasukinya harus keluar melalui rute yang sama. Sistem seperti ini menciptakan ruang mati, dengan volume udara (sekitar 150 ml pada manusia dewasa) yang mengisi saluran udara setelah ekshalasi dan kembali ke alveoli sebelum sempat mencapai lingkungan luar.[10][11] Pada akhir inhalasi, saluran udara dipenuhi dengan udara dari lingkungan, yang dihembuskan keluar tanpa bersentuhan dengan penukar gas.[10]

Volume ventilatori

sunting

Paru-paru membesar dan berkontraksi selama siklus pernapasan, menarik udara masuk dan keluar dari paru-paru. Volume udara yang berpindah masuk atau keluar dari paru-paru dalam keadaan istirahat normal (yang disebut volume tidal, ketika istirahat sekitar 500 ml), serta volume yang berpindah akibat inhalasi paksa dan ekshalasi paksa secara maksimal, diukur dengan spirometri.[12] Spirogram manusia dewasa pada umumnya, serta istilah-istilah yang diberikan untuk berbagai aktivitas yang dapat dilakukan paru-paru, diilustrasikan di bawah ini (Gambar 3):

 
Gambar 3 Output dari 'spirometer'. Gerakan grafik ke atas (dibaca dari kiri), menunjukkan masuknya udara; pergerakan ke bawah menunjukkan keluarnya udara.

Tidak semua udara di paru-paru dapat dikeluarkan meskipun pernapasan sudah dipaksa secara maksimal. Volume udara yang masih tersisa ini disebut volume residual, yang besarnya sekitar 1,0-1,5 liter yang tidak dapat diukur dengan spirometri. Oleh karena itu, volume yang turut memperhitungkan volume residual (yaitu kapasitas residual fungsional sekitar 2,5-3,0 liter, dan kapasitas total paru sekitar 6 liter) juga tidak dapat diukur dengan spirometri. Pengukuran angka-angka ini membutuhkan teknik tersendiri.[12]

Penghitungan volume udara yang dihirup masuk atau keluar, baik melalui mulut atau hidung, atau masuk atau keluar dari alveoli dijelaskan dalam tabel di bawah, bersama dengan cara penghitungannya. Jumlah siklus napas per menit dikenal sebagai laju pernapasan.

Pengukuran Rumus Deskripsi
Volume menit pernapasan volume tidal * laju pernapasan jumlah volume udara yang memasuki atau meninggalkan hidung atau mulut per menit.
Ventilasi alveolar (volume tidal – ruang mati) * laju pernapasan volume udara yang memasuki atau meninggalkan alveoli per menit.
Ventilasi ruang mati ruang mati * laju pernapasan volume udara yang tidak mampu mencapai alveoli ketika inhalasi, tetapi tetap tinggal di saluran pernapasan, per menit.

Mekanika pernapasan

sunting
Gambar 6. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) waktu-nyata yang menunjukkan pergerakan dada selama bernapas.
"Gerakan gagang pompa" dan "gerakan gagang ember" oleh tulang rusuk
Gambar 4. Efek otot-otot inhalasi dalam memperluas sangkar rusuk. Gerakan khusus yang diilustrasikan di sini disebut gerakan gagang pompa oleh tulang rusuk.
Gambar 5. Dalam gambar sangkar rusuk ini, kemiringan tulang rusuk bagian bawah, mulai dari garis tengah ke arah luar dapat terlihat dengan jelas. Hal ini memungkinkan gerakan yang mirip dengan "efek gagang pompa", tapi pada kondisi ini disebut "gerakan gagang ember". Perbedaan warna mengacu pada klasifikasi tulang rusuk, dan tidak relevan di sini.
Pernapasan tenang dan pernapasan paksa
Gambar 7. Otot-otot pernapasan saat istirahat: inhalasi di sebelah kiri, ekshalasi di sebelah kanan. Otot-otot yang berkontraksi ditunjukkan dengan warna merah; otot-otot yang berelaksasi dengan warna biru. Kontraksi diafragma umumnya berkontribusi paling besar pada ekspansi rongga dada (biru muda). Namun, pada saat yang sama, otot-otot interkostal menarik tulang rusuk ke atas (efeknya ditunjukkan oleh panah) yang juga mengakibatkan sangkar rusuk mengembang selama inhalasi (lihat diagram di sisi lain halaman). Relaksasi semua otot-otot ini selama ekshalasi mengakibatkan sangkar rusuk dan perut (hijau muda) kembali secara elastis ke posisi istirahat mereka. Bandingkan dengan Gambar 6, video MRI yang menunjukkan gerakan dada selama siklus pernapasan.
Gambar 8. Otot-otot pada pernapasan paksa (inhalasi dan ekshalasi). Kode warnanya sama dengan di sebelah kiri. Selain kontraksi diafragma yang lebih kuat dan ekstensif, otot-otot interkostalis dibantu oleh otot-otot aksesori inhalasi untuk memperbesar pergerakan tulang rusuk ke atas, mengakibatkan ekspansi sangkar rusuk yang lebih besar. Selama ekshalasi, terlepas dari relaksasi otot-otot inhalasi, otot-otot perut secara aktif berkontraksi untuk menarik tepi bawah sangkar rusuk ke bawah sehingga mengurangi volume tulang rusuk, dan pada saat yang sama mendorong diafragma jauh ke atas, ke dalam toraks.

Pada mamalia, inhalasi saat istirahat (pernapasan tenang) terutama disebabkan oleh kontraksi diafragma, yaitu lembaran otot berkubah ke atas yang memisahkan rongga dada dari rongga perut. Ketika diagfragma berkontraksi menjadi rata (bergerak ke bawah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7), volume rongga dada akan meningkat. Diafragma yang berkontraksi mendorong organ perut ke bawah. Akan tetapi, karena dasar panggul mencegah organ perut paling bawah bergerak lebih jauh, isi perut yang lentur menyebabkan perut membuncit ke arah depan dan samping, karena otot perut yang rileks tidak menahan gerakan ini (Gambar 7). Penonjolan perut yang sepenuhnya bersifat pasif (dan menyusut saat ekshalasi) selama pernapasan normal kadang-kadang disebut sebagai "pernapasan perut", meskipun sebenarnya lebih tepat disebut "pernapasan diafragma", yang tidak terlihat dari luar tubuh. Mamalia hanya menggunakan otot perutnya pada ekshalasi paksa (lihat Gambar 8, dan penjelasan di bawah), dan tidak pernah selama inhalasi dalam bentuk apa apa pun.

Saat diafragma berkontraksi, secara bersamaan sangkar rusuk diperbesar karena tulang rusuk ditarik ke atas oleh otot-otot interkostal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Semua tulang rusuk miring ke bawah, dari belakang ke depan (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4); tetapi tulang-tulang rusuk terbawah juga miring ke bawah, dari garis tengah ke arah luar (Gambar 5). Dengan demikian, diameter transversal sangkar rusuk dapat ditingkatkan dengan cara yang sama seperti peningkatan diameter antero-posterior, yaitu dengan gerakan gagang pompa yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Pembesaran dimensi vertikal rongga dada akibat kontraksi diafragma, dan pembesaran kedua dimensi horizontalnya akibat mengangkatnya bagian depan dan sisi tulang rusuk, menyebabkan tekanan intratoraks menurun. Interior paru-paru terbuka ke udara luar, dan karena bersifat elastis, menjadi mengembang untuk mengisi peningkatan ruang. Udara masuk ke paru-paru melalui saluran pernapasan (Gambar 2). Pada kondisi sehat, saluran udara ini (mulai dari hidung atau mulut, dan berakhir di kantung buntu mikroskopis yang disebut alveoli) selalu terbuka, meskipun diameter berbagai bagian dapat diubah oleh sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Oleh karena itu, tekanan udara alveolar selalu mendekati tekanan udara atmosfer (sekitar 100 kPa di permukaan laut) saat istirahat, dengan gradien tekanan yang menyebabkan udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru selama bernapas jarang melebihi 2-3 kPa.[13][14]

Selama ekspirasi, otot diafragma dan otot interkostal berlaksasi. Hal ini mengembalikan dada dan perut ke posisi yang ditentukan oleh elastisitas anatomi mereka. Kondisi ini merupakan "posisi istirahat menengah" dari toraks dan perut (Gambar 7) ketika paru-paru menampung kapasitas residual fungsional udara (area biru muda di ilustrasi sebelah kanan Gambar 7), yang pada manusia dewasa volumenya sekitar 2,5-3,0 liter (Gambar 3).[6] Ekshalasi saat istirahat berlangsung sekitar dua kali lebih lama dari inhalasi karena diafragma secara pasif berelaksasi dengan lebih tenang dibandingkan kontraksi aktif selama inhalasi.

 
Gambar 9 Perubahan komposisi udara alveolar selama siklus pernapasan normal saat beristirahat. Skala di sebelah kiri dan garis biru menunjukkan tekanan parsial karbon dioksida dalam kPa, sedangkan skala di sisi kanan dan garis merah menunjukkan tekanan parsial oksigen, juga dalam kPa (untuk mengubah kPa menjadi mm Hg, kalikan dengan 7.5).

Volume udara yang bergerak masuk atau keluar (di hidung atau mulut) selama satu siklus pernapasan disebut volume tidal. Pada manusia dewasa yang beristirahat, volume ini sekitar 500 ml per napas. Pada akhir ekshalasi, saluran udara mengandung sekitar 150 ml udara alveolar yang merupakan udara pertama yang dikembalikan ke dalam alveoli selama inhalasi.[10][15] Volume udara ini, yang dihembuskan keluar dari alveoli dan kembali lagi, dikenal sebagai ventilasi ruang mati, yang memiliki konsekuensi bahwa dari 500 ml udara yang dihirup ke dalam alveoli setiap kali bernapas, hanya 350 ml (500 ml - 150 ml = 350 ml) yang merupakan udara segar yang hangat dan lembab.[6] Karena 350 ml udara segar ini dicampur secara menyeluruh dan diencerkan oleh udara yang tersisa di alveoli setelah ekshalasi normal (yaitu kapasitas residual fungsional sekitar 2,5-3,0 liter), komposisi udara alveolar hanya sangat sedikit berubah selama siklus pernapasan (lihat Gambar 9). Ketegangan (atau tekanan parsial) oksigen tetap mendekati 13-14 kPa (sekitar 100 mm Hg), sedangkan karbon dioksida sangat mendekati 5,3 kPa (atau 40 mm Hg). Hal ini kontras dengan komposisi udara luar yang kering di permukaan laut, dengan tekanan parsial oksigen adalah 21 kPa (atau 160 mm Hg) dan karbon dioksida 0,04 kPa (atau 0,3 mmHg).[6]

Saat bernapas dengan berat (hiperpnea), misalnya selama berolahraga, inhalasi terjadi akibat kontraksi diafragma yang bergerak lebih kuat dan lebih besar dibandingkan saat istirahat (Gambar 8). Selain itu, "otot aksesori inhalasi" turut melebih-lebihkan aksi otot interkostal (Gambar 8). Otot aksesori inhalasi ini adalah otot yang membentang dari tulang leher dan pangkal tengkorak hingga tulang rusuk atas dan sternum, kadang-kadang melalui perlekatan perantara pada tulang selangka (klavikula).[6] Ketika mereka berkontraksi, volume internal sangkar rusuk meningkat jauh lebih besar dibandingkan yang dapat dicapai dengan kontraksi otot-otot interkostal saja. Dilihat dari luar tubuh, terangkatnya tulang selangka selama inhalasi berat kadangkala disebut pernapasan klavikular atau pernapasan dangkal, yang terlihat terutama selama serangan asma dan pada orang dengan penyakit paru obstruktif kronis.

Selama pernapasan berat, ekshalasi disebabkan oleh relaksasi semua otot inhalasi. Tetapi sekarang, otot-otot perut, bukannya tetap rileks (seperti saat istirahat), malah berkontraksi dengan paksa, menarik tepi bawah tulang rusuk ke arah bawah (depan dan samping) (Gambar 8). Hal ini tidak hanya mengurangi ukuran tulang rusuk secara drastis, tetapi juga mendorong organ-organ perut ke atas melawan diafragma, sehingga menggelembung jauh ke dalam toraks (Gambar 8). Volume paru akhir pernapasan sekarang jauh di bawah posisi tengah istirahat dan memuat jauh lebih sedikit udara dibandingkan "kapasitas residual fungsional" saat istirahat. Namun, pada mamalia normal, paru-paru tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Pada manusia dewasa selalu ada setidaknya 1 liter udara yang tersisa di paru-paru setelah pernapasan maksimum.[6]

Irama pernapasan masuk dan keluar yang berlangsung otomatis, dapat terganggu oleh batuk dan bersin (bentuk pernapasan yang sangat kuat), oleh ekspresi berbagai emosi (tertawa, menghela nafas, menangis kesakitan) dan oleh tindakan seperti berbicara, menyanyi, bersiul, dan memainkan alat musik tiup. Semua tindakan ini bergantung pada otot-otot yang dijelaskan di atas, dan berpengaruh terhadap pergerakan masuk dan keluarnya udara dari paru-paru.

Meskipun bukan bentuk pernapasan, manuver Valsava melibatkan otot-otot pernapasan. Faktanya, tindakan ini adalah upaya pernapasan yang sangat kuat terhadap glotis yang tertutup rapat, sehingga tidak ada udara yang bisa keluar dari paru-paru.[16] Sebaliknya, isi perut digerakkan ke arah yang berlawanan, melalui lubang di dasar panggul. Otot-otot perut berkontraksi dengan sangat kuat, menyebabkan tekanan di dalam perut dan dada meningkat sangat tinggi. Manuver Valsava dapat dilakukan secara sukarela, tetapi umumnya terjadi secara refleks ketika mencoba mengosongkan perut selama, misalnya, buang air besar yang sulit, atau saat melahirkan. Pernapasan berhenti selama manuver ini.

Pertukaran gas

sunting
Mekanisme pertukaran gas
Gambar 11. Diagram proses pertukaran gas pada paru-paru mamalia yang menekankan perbedaan antara komposisi gas dari udara di sekelilingnya, udara alveolar (biru muda) yang menyeimbangkan darah kapiler paru, antara tekanan gas darah pada arteri paru (warna biru yang memasuki paru-paru di sebelah kiri) dan darah vena (warna merah yang meninggalkan paru-paru di sebelah kanan). Semua tekanan gas menggunakan satuan kPa. Untuk mengonversi ke mm Hg, kalikan dengan 7,5.
Gambar 12. Diagram yang menggambarkan penampang histologis jaringan paru-paru yang menunjukkan alveolus yang meningkat secara normal (pada akhir ekshalasi normal), dan dindingnya yang berisi kapiler paru (ditunjukkan pada penampang potong lintang). Ilustrasi ini menggambarkan bagaimana darah kapiler paru benar-benar dikelilingi oleh udara alveolar. Dalam paru-paru manusia normal, secara keseluruhan semua alveoli mengandung sekitar 3 liter udara alveolar. Semua kapiler paru mengandung sekitar 100 ml darah.
 
Gambar 10. Penampang histologis melalui dinding alveolar yang menunjukkan lapisan tempat gas harus berpindah di antara plasma darah dan udara alveolar. Objek biru tua adalah inti sel endotelium kapiler dan sel epitelium alveolar tipe I (atau pneumosit tipe 1). Dua benda merah berlabel "RBC" adalah sel darah merah dalam darah kapiler paru.

Tujuan utama sistem pernapasan adalah mencapai keseimbangan tekanan parsial antara gas pernapasan di alveolar dengan di darah kapiler paru (Gambar 11). Proses ini terjadi melalui difusi sederhana,[17] melintasi membran yang sangat tipis (dikenal sebagai penghalang darah–udara), yang membentuk dinding alveoli paru (Gambar 10). Dinding ini terdiri dari sel-sel epitel alveolar, membran basal, dan sel-sel endotelium kapiler alveolar (Gambar 10).[18] Penghalang gas darah ini sangat tipis (pada manusia, rata-rata tebalnya 2,2 μm), yang dilipat menjadi sekitar 300 juta kantung udara kecil yang disebut alveoli[18] (masing-masing berdiameter antara 75 dan 300 μm) yang bercabang dari bronkiolus pernapasan di paru-paru, sehingga membentuk area permukaan yang sangat besar (sekitar 145 m2) untuk pertukaran gas.[18]

Udara yang terkandung dalam alveoli memiliki volume semipermanen sekitar 2,5–3,0 liter yang sepenuhnya mengelilingi darah kapiler alveolar (Gambar 12). Hal ini memastikan bahwa keseimbangan tekanan parsial gas di dua kompartemen sangat efisien dan terjadi dengan sangat cepat. Darah yang meninggalkan kapiler alveolar dan akhirnya didistribusikan ke seluruh tubuh memiliki tekanan parsial oksigen 13–14 kPa (100 mmHg), dan tekanan parsial karbon dioksida 5,3 kPa (40 mmHg) (yaitu sama dengan ketegangan oksigen dan gas karbon dioksida seperti pada alveoli).[6] Seperti disebutkan dalam bagian mekanika pernapasan di atas, tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida di udara lingkungan (kering) pada permukaan laut masing-masing adalah 21 kPa (160 mmHg) dan 0,04 kPa (0,3 mmHg).[6]

Perbedaan yang mencolok antara komposisi udara alveolar dan udara lingkungan dapat dipertahankan karena kapasitas residual fungsional tertahan dalam kantung buntu yang terhubung ke udara luar oleh tabung yang cukup sempit dan relatif panjang (yaitu saluran udara yang meliputi hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan cabang-cabangnya hingga turun ke bronkiolus), yang harus dilalui oleh udara yang dihirup masuk maupun dihembuskan keluar (tidak ada aliran searah seperti pada paru-paru burung). Anatomi mamalia yang khas ini, yang dikombinasikan dengan fakta bahwa paru-paru tidak dikosongkan dan segera dikembangkan kembali setiap kali bernapas (menyisakan volume udara yang substansial, sekitar 2,5–3,0 liter, dalam alveoli setelah ekshalasi), memastikan bahwa komposisi alveolar udara hanya sedikit terganggu ketika 350 ml udara segar dicampurkan ke dalamnya pada setiap inhalasi. Dengan demikian, hewan tersebut memiliki "atmosfer portabel" yang sangat istimewa, yang komposisinya berbeda secara signifikan dibandingkan udara lingkungan saat ini..[19] Darah dan jaringan tubuh terpapar pada atmosfer portabel ini (kapasitas residual fungsional), bukan ke udara luar.

Hasil tekanan parsial arteri oksigen dan karbon dioksida dikendalian melalui homeostasis. Peningkatan tekanan parsial arteri CO2 dan, pada tingkat lebih rendah, penurunan tekanan parsial arteri O2, secara refleks akan menyebabkan pernapasan lebih dalam dan lebih cepat hingga tekanan gas darah di paru-paru serta darah arteri kembali normal. Sebaliknya, ketika tekanan karbon dioksida turun, atau, lagi-lagi pada tingkat yang lebih rendah, tekanan oksigen meningkat: laju dan kedalaman pernafasan berkurang sampai normalitas gas darah dipulihkan.

Karena darah yang tiba di kapiler alveolar memiliki tekanan parsial O2 rata-rata sebesar 6 kPa (45 mmHg), sedangkan tekanan udara alveolar adalah 13-14 kPa (100 mmHg), akan ada difusi oksigen ke dalam darah kapiler, yang sedikit mengubah komposisi 3 liter udara alveolar. Demikian pula dengan CO2, karena darah yang tiba di kapiler alveolar memiliki tekanan parsial CO2 yang juga sekitar 6 kPa (45 mmHg), sedangkan udara alveolar adalah 5,3 kPa (40 mmHg), ada pergerakan karbon dioksida dari kapiler ke dalam alveoli. Perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh aliran masing-masing gas ini ke dalam dan ke luar dari udara alveolar mengharuskan penggantian sekitar 15% dari udara alveolar dengan udara sekitar setiap 5 detik atau lebih. Hal ini dikontrol sangat ketat oleh mekanisme pemantauan gas darah arteri (yang secara akurat mencerminkan komposisi udara alveolar) oleh tubuh aorta dan karotis, serta oleh sensor gas darah dan sensor pH pada permukaan anterior medula oblongata di otak. Ada juga sensor oksigen dan karbon dioksida di paru-paru, tetapi mereka utamanya menentukan diameter bronkiolus dan kapiler paru, dan karena itu bertanggung jawab untuk mengarahkan aliran udara dan darah ke berbagai bagian paru-paru.

Dengan mempertahankan komposisi 3 liter udara alveolar secara akurat pada setiap kali bernapas, sejumlah karbon dioksida dilepaskan ke atmosfer dan sejumlah oksigen diambil dari udara luar. Jika lebih banyak karbon dioksida yang hilang akibat hiperventilasi dalam waktu singkat, respirasi akan diperlambat atau dihentikan sampai tekanan parsial alveolar karbon dioksida kembali ke 5,3 kPa (40 mmHg). Oleh karena itu, tidak benar bahwa fungsi utama dari sistem pernapasan adalah untuk membersihkan tubuh dari "limbah" karbon dioksida. Karbon dioksida yang dihembuskan dalam setiap napas mungkin bisa lebih tepat dilihat sebagai produk sampingan dari cairan ekstraseluler tubuh dan homeostasis pH yang menghasilkan CO2.

Jika homeostasis ini terganggu, asidosis respiratorik atau alkalosis respiratorik akan terjadi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat dikompensasi dengan penyesuaian ginjal terhadap konsentrasi H+ dan HCO3 dalam plasma; tetapi karena ini membutuhkan waktu, sindrom hiperventilasi dapat terjadi, misalnya, ketika agitasi atau kecemasan menyebabkan seseorang bernapas cepat dan dalam sehingga menyebabkan alkalosis respiratorik akibat menghembuskan terlalu banyak CO2 dari darah ke udara luar.[20]

Oksigen memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air sehingga dibawa secara longgar dalam darah dan dikombinasikan dengan hemoglobin. Oksigen diikat pada hemoglobin oleh empat kelompok heme yang mengandung besi per molekul hemoglobin. Ketika semua kelompok heme membawa satu molekul O2 masing-masing darah dikatakan "jenuh" dengan oksigen, dan tidak ada lagi peningkatan tekanan parsial oksigen yang secara bermakna akan meningkatkan konsentrasi oksigen dalam darah. Sebagian besar karbon dioksida dalam darah dibawa sebagai ion bikarbonat (HCO3) dalam plasma. Namun, konversi CO2 terlarut menjadi HCO3 (melalui penambahan air) terlalu lambat untuk laju sirkulasi darah yang melalui jaringan di satu sisi, dan melalui kapiler alveolar di sisi lain. Karenanya, reaksi ini dikatalisis oleh karbonat anhidrase, enzim di dalam sel darah merah.[21] Reaksi dapat berjalan ke dua arah tergantung pada tekanan parsial CO2 yang berlaku.[6] Sejumlah kecil karbon dioksida dibawa pada bagian protein dari molekul hemoglobin sebagai gugus karbamino. Total konsentrasi karbon dioksida (dalam bentuk ion bikarbonat, CO2 terlarut, dan gugus karbamino) dalam darah arteri (yaitu setelah diseimbangkan dengan udara alveolar) adalah sekitar 26 mM (atau 58 ml/100 ml),[22] dibandingkan dengan konsentrasi oksigen dalam darah arteri jenuh sekitar 9 mM (atau 20 ml/100 ml darah).[6]

Pengendalian ventilasi

sunting

Ventilasi paru-paru pada mamalia terjadi melalui pusat pernapasan di medula oblongata dan pons batang otak.[6] Daerah-daerah ini membentuk serangkaian jalur saraf yang menerima informasi tentang tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida dalam darah arterial. Informasi ini menentukan tingkat rata-rata ventilasi alveoli paru-paru untuk menjaga tekanan ini konstan. Pusat pernapasan melakukannya melalui saraf motorik yang mengaktifkan diafragma dan otot pernapasan lainnya.

Laju pernapasan meningkat ketika tekanan parsial karbon dioksida dalam darah meningkat. Peningkatan ini dideteksi oleh kemoreseptor gas darah pusat pada permukaan anterior medula oblongata.[6] Tubuh aorta dan tubuh karotis adalah kemoreseptor gas darah perifer yang sangat sensitif terhadap tekanan parsial arteri oksigen, meskipun mereka juga merespons, tetapi kurang kuat, terhadap tekanan parsial karbon dioksida.[6] Pada permukaan laut, dalam keadaan normal, kecepatan dan kedalaman pernapasan, lebih ditentukan oleh tekanan parsial arteri karbon dioksida daripada tekanan parsial arteri oksigen, yang dibiarkan bervariasi dalam kisaran yang cukup luas sebelum pusat pernapasan di medula oblongata dan pons menanggapinya untuk mengubah laju dan kedalaman pernapasan.[6]

Latihan fisik meningkatkan laju pernapasan karena tambahan karbon dioksida dihasilkan oleh peningkatan metabolisme otot-otot yang berolahraga.[23] Selain itu, gerakan pasif anggota badan juga secara refleks menghasilkan peningkatan kecepatan pernapasan.[6][23] Informasi yang diterima dari reseptor peregangan di paru-paru membatasi volume tidal (kedalaman inhalasi dan ekshalasi).

Respons terhadap tekanan atmosfer rendah

sunting

Alveoli selalu terhubung ke atmosfer melalui saluran udara sehingga tekanan udara alveolar sama persis dengan tekanan udara di sekitar organisme tersebut, baik pada permukaan laut, pada altitudo (ketinggian) tertentu, atau dalam atmosfer buatan apa pun (misalnya ruang selam, atau ruang dekompresi). Ketika paru-paru membesar (akibat penurunan diafragma dan pembesaran sangkar rusuk), udara alveolar pun menempati volume yang lebih besar dan tekanannya turun secara proporsional. Konsekuensinya, udara di luar tubuh mengalir melalui saluran udara hingga tekanan udara di dalam alveoli kembali menjadi sama dengan tekanan udara di luar tubuh. Hal sebaliknya terjadi pada ekshalasi. Proses ini (inhalasi dan ekshalasi) berlangsung sama persis pada berbagai kondisi pada permukaan laut.

 
Gambar 13. Grafik yang menunjukkan hubungan antara jumlah tekanan atmosferik dan ketinggian di atas permukaan laut.

Akan tetapi, ketika seseorang berpindah naik untuk menjauh dari permukaan laut, kerapatan udara akan menurun secara eksponensial (lihat Gambar 13), yaitu turun menjadi separuhnya setiap kali ketinggian naik sebesar 5.500 m.[24] Karena komposisi udara atmosfer di bawah ketinggian 80 km hampir selalu konstan, konsentrasi oksigen di udara (mmol oksigen per liter udara sekitar) berkurang dengan tingkat yang sama dengan turunnya tekanan udara seiring dengan ketinggian.[25] Oleh karena itu, untuk menghirup oksigen dalam jumlah yang sama per menit, orang tersebut harus menghirup udara dengan volume yang lebih besar secara proporsional per menit pada daratan yang tinggi dibandingkan pada permukaan laut. Hal ini dicapai dengan bernapas lebih dalam dan lebih cepat (misalnya hiperpnea).

 
Gambar 14. Foto udara Gunung Everest dari selatan, di belakang Nuptse dan Lhotse.

Walaupun demikian, ada komplikasi peningkatan volume udara yang perlu dihirup per menit (volume menit pernapasan) untuk memberi paru-paru sejumlah oksigen yang sama pada altitudo tinggi seperti pada permukaan laut. Selama inhalasi, udara dihangatkan dan dijenuhkan dengan uap air selama berjalan melalui rongga hidung dan faring. Tekanan uap air jenuh hanya tergantung pada suhu. Tekanan pada suhu inti tubuh 37 °C yaitu 6,3 kPa (47,0 mmHg), terlepas dari pengaruh lainnya, termasuk ketinggian.[26] Jadi pada permukaan laut, dengan tekanan atmosfer sekitar 100 kPa, udara lembab yang mengalir dari trakea ke paru-paru terdiri dari uap air (6,3 kPa), nitrogen (74,0 kPa), oksigen (19,7 kPa), serta sejumlah kecil karbon dioksida dan gas-gas lain (sehingga totalnya 100 kPa). Pada udara kering, tekanan parsial oksigen di permukaan laut adalah 21,0 kPa (yaitu 21% dari 100 kPa), dibandingkan dengan 19,7 kPa oksigen yang memasuki udara alveolar (tekanan parsial oksigen trakea adalah 21% dari [100 kPa – 6,3 kPa] = 19,7 kPa). Di puncak Gunung Everest (pada ketinggian 8.848 m atau 29.029 kaki) tekanan atmosfer total adalah 33,7 kPa, dengan 7,1 kPa (atau 21%) adalah oksigen.[24] Udara yang memasuki paru-paru juga memiliki tekanan total 33,7 kPa, dengan 6,3 kPa adalah uap air (seperti di permukaan laut). Hal ini mengurangi tekanan parsial oksigen yang memasuki alveoli menjadi 5,8 kPa (atau 21% dari [33,7 kPa – 6,3 kPa] = 5,8 kPa). Oleh karena itu, pengurangan tekanan parsial oksigen untuk udara yang dihirup, secara substansial lebih besar dibandingkan pengurangan tekanan atmosfer total pada ketinggian tertentu (pada Gunung Everest: 5,8 kPa vs 7,1 kPa).

Komplikasi minor lebih lanjut terjadi pada altitudo tinggi. Jika volume paru-paru secara instan menjadi dua kali lipat pada awal inhalasi, tekanan udara di dalam paru-paru akan berkurang setengahnya. Kondisi ini tidak dipengaruhi ketinggian. Dengan membagi dua tekanan udara pada permukaan laut (100 kPa), tekanan udara intrapulmoner akan menjadi 50 kPa. Dengan melakukan hal yang sama pada 5.500 m, yang tekanan atmosfernya hanya 50 kPa, tekanan udara intrapulmoner akan turun menjadi 25 kPa. Oleh karena itu, peningkatan volume paru-paru dua kali lipat pada permukaan laut akan menghasilkan perbedaan 50 kPa antara tekanan udara lingkungan dan udara intrapulmoner, sementara perbedaannya hanya 25 kPa pada ketinggian 5.500 m. Pada ketinggian ini, tekanan yang memaksa udara masuk ke paru-paru saat inhalasi hanya setengahnya. Oleh karena itu, laju aliran udara ke paru-paru saat inhalasi di permukaan laut besarnya dua kali lipat dibandingkan pada 5.500 m. Namun, pada kenyataannya, inhalasi dan ekshalasi berlangsung jauh lebih lembut dan tidak mendadak dibandingkan dengan contoh ini. Perbedaan antara tekanan atmosfer dan intrapulmoner, yang menggerakkan udara masuk dan keluar dari paru-paru selama siklus pernapasan, hanya berada dalam kisaran 2–3 kPa.[13][14] Perbedaan ini bisa menjadi dua kali lipat atau lebih ketika terjadi perubahan yang sangat besar dalam upaya pernapasan pada altitudo yang tinggi.

Semua pengaruh tekanan atmosfer rendah terhadap pernapasan di atas diakomodasi terutama dengan bernapas lebih dalam dan lebih cepat (hiperpnea). Tingkat hiperpnea ditentukan oleh homeostat gas darah, yang mengatur tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida pada darah arterial. Pada permukaan laut, homeostat ini memprioritaskan pengaturan tekanan parsial arterial karbon dioksida di atas oksigen.[6] Dengan kata lain, pada permukaan laut, tekanan parsial arterial CO2 dijaga agar selalu mendekati 5,3 kPa (atau 40 mmHg) dalam berbagai keadaan, dengan mengorbankan tekanan parsial arteri O2, yang dibiarkan bervariasi dalam kisaran nilai yang sangat luas, sebelum respons ventilasi korektif dimunculkan. Namun, ketika tekanan atmosfer (dan karenanya tekanan parsial O2 di udara lingkungan) turun hingga di bawah 50-75% dari nilainya pada permukaan laut, homeostasis oksigen diprioritaskan di atas homeostasis karbon dioksida.[6] Peralihan ini terjadi pada ketinggian sekitar 2.500 m (atau sekitar 8.000 kaki). Jika peralihan ini terjadi secara tiba-tiba, hiperpnea pada altitudo tinggi akan menyebabkan penurunan tekanan parsial arterial CO2 yang parah, dengan konsekuensi peningkatan pH plasma arterial. Ini adalah salah satu penyumbang penyakit altitudo tinggi. Di sisi lain, jika peralihan ke homeostasis oksigen tidak lengkap, hipoksia dapat memperumit gambaran klinis dengan hasil yang berpotensi fatal.

Bronkus kecil dan bronkiolus memiliki sensor oksigen. Sebagai respons terhadap tekanan parsial oksigen yang rendah pada udara yang dihirup, sensor-sensor ini secara refleks menyebabkan arteriolar paru menyempit.[27] Ini adalah kebalikan dari refleks serupa pada jaringan, ketika tekanan parsial arteri oksigen yang rendah menyebabkan pelebaran (vasodilasi) arteriolar. Pada altitudo tinggi, hal ini menyebabkan tekanan arterial paru meningkat sehingga distribusi aliran darah ke paru-paru jadi lebih merata dibandingkan pada permukaan laut. Pada permukaan laut, tekanan arterial paru sangat rendah sehingga bagian atas paru-paru menerima darah jauh lebih sedikit dibandingkan bagian dasarnya, yang relatif terlalu banyak mengalami perfusi dengan darah. Hanya di bagian tengah paru-paru yang memiliki aliran darah dan aliran udara ke alveoli berada dalam kondisi ideal. Pada altitudo tinggi, variasi rasio ventilasi/perfusi alveoli dari bagian atas paru-paru ke bagian bawahnya dihilangkan. Semua alveoli mengalami perfusi dan ventilasi kurang lebih pada kondisi yang ideal secara fisiologis. Ini adalah kontributor penting selanjutnya untuk aklimatisasi ke altitudo tinggi dan tekanan oksigen rendah.

Ginjal mengukur kandungan oksigen (mmol O2 per liter darah, dan bukan tekanan parsial O2) pada darah arterial. Ketika kandungan oksigen dalam darah rendah secara kronis, seperti pada alitudo tinggi, sel-sel ginjal yang peka terhadap oksigen mengeluarkan eritropoietin (disingkat sebagai EPO)[28] ke dalam darah.[29] Hormon ini menstimulasi sumsum tulang merah untuk meningkatkan laju produksi sel darah merahnya, yang akan meningkatkan hematokrit darah dan meningkatkan kemampuannya dalam membawa oksigen (karena kandungan hemoglobin darah yang meninggi). Dengan kata lain, pada tekanan parsial arterial O2 yang sama, seseorang dengan hematokrit tinggi membawa lebih banyak oksigen per liter darah dibandingkan orang dengan hematokrit yang lebih rendah. Oleh karena itu, penghuni dataran tinggi memiliki hematokrit yang lebih tinggi dibandingkan penduduk pada permukaan laut.[29][30]

Fungsi lain paru-paru

sunting

Pertahanan lokal

sunting

Iritasi ujung saraf di dalam rongga hidung atau saluran udara dapat menyebabkan refleks batuk dan bersin. Kedua respons ini masing-masing menyebabkan udara dikeluarkan secara paksa dari trakea atau hidung. Dengan cara ini, benda pengiritasi yang terperangkap dalam lendir yang melapisi saluran pernapasan akan dikeluarkan atau dipindahkan ke mulut sehingga bisa ditelan. [6] Selama batuk, kontraksi otot polos pada dinding saluran napas mempersempit trakea dengan menarik ujung-ujung lempeng tulang rawan secara bersamaan dan dengan mendorong jaringan lunak ke dalam lumen. Hal ni meningkatkan laju aliran udara ekspirasi untuk mengeluarkan dan menghilangkan partikel atau lendir yang mengiritasi.

Epitelium pernapasan dapat mengeluarkan berbagai molekul yang membantu pertahanan paru-paru, di antaranya imunoglobulin (IgA), kolektin, defensin serta peptida dan protease lainnya, spesies oksigen reaktif, dan spesies nitrogen reaktif. Sekresi ini dapat bertindak langsung sebagai antimikroba untuk membantu menjaga jalan napas tetap bebas dari infeksi. Berbagai kemokin dan sitokin juga disekresikan yang merekrut sel-sel kekebalan dan lainnya ke tempat infeksi.

Fungsi kekebalan surfaktan terutama dikaitkan dengan dua protein: SP-A dan SP-D. Protein-protein ini dapat berikatan dengan gula di permukaan patogen dan dengan demikian mengopsonasinya untuk diambil oleh sel fagosit. Protein tersebut juga mengatur respons peradangan dan berinteraksi dengan respons imun adaptif. Degradasi atau inaktivasi surfaktan dapat meningkatkan kerentanan terhadap peradangan dan infeksi paru-paru.[31]

Sebagian besar sistem pernapasan dilapisi oleh selaput lendir yang mengandung jaringan limfoid terasosiasi mukosa, yang menghasilkan sel darah putih seperti limfosit.

Pencegahan alveolar kolaps

sunting

Paru-paru membuat surfaktan, kompleks lipoprotein permukaan aktif (fosfolipoprotein) yang dibentuk oleh sel alveolar tipe II. Surfaktan ini mengapung pada permukaan lapisan berair tipis yang melapisi bagian dalam alveoli, mengurangi tegangan permukaan air.

Ketegangan permukaan permukaan berair (antarmuka air-udara) cenderung membuat permukaan tersebut menyusut.[6] Ketika permukaan air melengkung seperti pada alveoli paru-paru, penyusutan permukaan mengurangi diameter alveoli. Semakin akut kelengkungan antarmuka air-udara, semakin besar pula kecenderungan alveolus untuk kolaps.[6] Hal ini menimbulkan tiga efek. Pertama, tegangan permukaan di dalam alveoli menolak ekspansi alveoli selama inhalasi (misalnya dengan membuat paru-paru kaku atau tidak patuh). Surfaktan mengurangi tegangan permukaan dan karenanya membuat paru-paru lebih patuh atau kurang kaku dibandingkan jika surfaktan tidak ada. Kedua, diameter alveoli meningkat dan menurun selama siklus pernapasan. Ini berarti bahwa alveoli memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk kolaps (menyebabkan atelektasis). Karena surfaktan mengapung pada permukaan berair, molekul-molekulnya lebih menyatu rapat ketika alveoli menyusut selama pernapasan.[6] Hal ini menyebabkan mereka memiliki efek penurunan tegangan permukaan yang lebih tinggi ketika alveoli mengecil dibandingkan ketika mereka membesar (seperti pada akhir inhalasi, ketika molekul surfaktan merenggang lebih luas). Oleh karena itu, kecenderungan alveoli untuk kolaps hampir sama pada akhir ekshalasi seperti pada akhir inhalasi. Ketiga, tegangan permukaan dari lapisan berair melengkung yang melapisi alveoli cenderung menarik air dari jaringan paru-paru ke dalam alveoli. Surfaktan mengurangi bahaya ini ke tingkat yang dapat diabaikan dan membuat alveoli tetap kering.[6][32]

Bayi prematur yang tidak dapat memproduksi surfaktan memiliki paru-paru yang cenderung kolaps setiap kali mereka menghembuskan napas. Kecuali diobati, kondisi ini (yang disebut sindrom gangguan pernapasan bayi) berakibat fatal. Eksperimen ilmiah dasar menggunakan sel-sel paru-paru ayam mendukung potensi penggunaan steroid sebagai sarana untuk meningkatkan pengembangan sel-sel alveolar tipe II.[33] Faktanya, begitu ada ancaman kelahiran prematur, segala upaya dilakukan untuk menunda kelahiran, dan serangkaian suntikan steroid sering diberikan kepada ibu selama periode penghambatan ini untuk mempercepat pematangan paru-paru.[34]

Kontribusi bagi seluruh tubuh

sunting

Pembuluh paru-paru mengandung sistem fibrinolitik yang melarutkan gumpalan darah yang mungkin telah tiba di sirkulasi paru melalui embolisme, sering kali berasal dari vena-dalam di kaki. Sistem ini juga melepaskan berbagai zat yang memasuki darah arteri sistemik, dan mereka menyingkirkan zat-zat lain dari darah vena sistemik yang menjangkau vena melalui arteri pulmonalis. Beberapa prostaglandin disingkirkan dari sirkulasi, sementara yang lain disintesis di paru-paru dan dilepaskan ke dalam darah ketika jaringan paru diregangkan.

Paru-paru mengaktifkan satu hormon. Angiotensin I, dekapeptida yang secara fisiologis tidak aktif dikonversi menjadi oktapeptida pelepas-aldosteron, yaitu angiotensin II, pada sirkulasi paru-paru. Reaksi tersebut juga terjadi di jaringan lain tetapi terutama terjadi di paru-paru. Angiotensin II juga memiliki efek langsung pada dinding arteriolar, yaitu menyebabkan vasokonstriksi arteriolar sehingga meningkatkan tekanan darah arteri.[35] Sejumlah besar enzim pengonversi angiotensin yang bertanggung jawab atas aktivasi ini terletak pada permukaan sel endotelium dari kapiler alveolar. Enzim konversi tersebut juga menonaktifkan bradikinin. Waktu sirkulasi melalui kapiler alveolar kurang dari satu detik, tetapi 70% dari angiotensin I yang mencapai paru-paru dikonversi menjadi angiotensin II dalam sekali perjalanan melalui kapiler. Empat peptidase lain telah diidentifikasi pada permukaan sel endotel paru.

Vokalisasi

sunting

Pergerakan gas melalui laring, faring, dan mulut memungkinkan manusia untuk berbicara atau berartikulasi. Vokalisasi atau nyanyian pada burung terjadi melalui sirinks, organ yang terletak di pangkal trakea. Getaran udara yang mengalir melintasi laring (pita suara), pada manusia, dan syrinx, pada burung, menghasilkan suara. Karena itu, gerakan gas sangat penting untuk tujuan komunikasi.

Pengendalian temperatur

sunting

Terengah-engah pada anjing, kucing, burung, dan beberapa hewan lain merupakan cara untuk mengurangi suhu tubuh, dengan menguapkan air liur di mulut (alih-alih menguap keringat pada kulit).

Perbedaan klinis

sunting

Gangguan dan penyakit pernapasan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok umum:

Gangguan pada sistem pernapasan biasanya dirawat oleh ahli pulmonologi dan terapis pernapasan. Ketika ada ketidakmampuan atau kesulitan bernapas, ventilator medis dapat digunakan.

Pengecualian pada mamalia

sunting

Kuda berbeda dari banyak mamalia lain karena mereka tidak memiliki pilihan untuk bernapas melalui mulut dan harus mengambil udara melalui hidung mereka.

Gajah merupakan satu-satunya mamalia yang diketahui tidak memiliki ruang pleura. Akan tetapi, pleura parietal dan pleura viseral mereka terdiri dari jaringan ikat padat dan bergabung satu sama lain melalui jaringan ikat longgar.[36] Tidak adanya ruang pleura, serta diafragma tebal yang luar biasa, dianggap sebagai adaptasi evolusi yang memungkinkan gajah untuk tetap berada di bawah air untuk waktu yang lama sambil bernapas melalui belalainya sebagai perilaku snorkeling.[37] Pada gajah, paru-paru melekat pada diafragma dan pernapasan lebih banyak bergantung pada diafragma dibandingkan ekspansi sangkar rusuk.[38]

Burung

sunting
 
Gambar 15. Susunan kantung udara dan paru-paru pada burung.
 
Gambar 16 Anatomi sistem pernapasan burung, yang menunjukkan hubungan antara trakea, bronkus primer dan bronkus intrapulmoner, bronkus dorsal dan ventral, dengan parabronki memanjang di antara keduanya. Kantung udara posterior dan anterior juga ditunjukkan, tetapi tidak dijadikan sebagai skala perbandingan ukuran.
 
Gambar 17 Kerangka merpati, yang menunjukkan pergerakan dada selama inhalasi. Panah 1 menunjukkan pergerakan tulang rusuk vertebral. Panah 2 menunjukkan pergerakan tulang dada (dan lunasnya). Kedua gerakan ini meningkatkan diameter vertikal dan transversal bagian dada burung.
Ket.:
1. tengkorak; 2. tulang leher; 3. furkula; 4. korakoid; 5. tulang rusuk; 6. tulang dada dan lunasnya; 7. tulang lutut; 8. tarsometatarsus; 9. jari; 10. tulang kering (tibiotarsus); 11. fibula (tibiotarsus); 12. tulang paha; 13. tulang iskium (polos); 14. tulang pubis (polos); 15. tulang ilium (polos); 16. vertebra kaudal; 17. pygostyle; 18. synsacrum; 19. tulang belikat; 20. vertebra dorsal; 21. humerus; 22. ulna; 23. radius; 24. karpus (karpometakarpus); 25. metakarpus (karpometakarpus); 26. jari; 27. alula
 
Gambar 18 Siklus inhalasi-ekshalasi pada burung.

Sistem pernapasan burung sangat berbeda dibandingkan mamalia. Burung memiliki paru-paru kaku yang tidak mengembang dan berkontraksi selama siklus pernapasan. Alih-alih, sistem kantung udara yang ekstensif (Gambar 15) tersebar di seluruh tubuh mereka. Kantung-kantung udara ini bertindak sebagai ubub (penghembus) yang menarik udara dari lingkungan luar ke dalam kantung tersebut, dan mengeluarkan udara terpakai yang telah melewati paru-paru (Gambar 18).[39] Burung juga tidak memiliki diafragma atau rongga pleura.

Paru-paru burung lebih kecil dibandingkan paru-paru pada mamalia yang ukurannya sebanding, tetapi kantung udara menyumbang 15% dari total volume tubuh, dibandingkan dengan 7% untuk alveoli yang bertindak sebagai ubub pada mamalia.[40]

Menghirup (inhalasi) dan mengembuskan (ekshalasi) napas dilakukan dengan cara menambah dan mengurangi volume seluruh rongga dada-perut (atau selom) secara bergantian menggunakan otot perut dan otot rusuk.[41][42][43] Selama inhalasi, otot-otot yang melekat pada tulang rusuk vertebral (Gambar 17) berkontraksi, mengarahkan tulang rusuk ke depan dan ke luar. Hal ini mendorong tulang rusuk sternal ke bawah dan ke depan, serta mengarahkan tulang dada (beserta lunasnya yang menonjol) ke arah yang sama (Gambar 17). Akibatnya, diameter vertikal dan transversal trunkus bagian dada meningkat. Gerakan ke depan dan ke bawah dari ujung posterior tulang dada menarik dinding perut ke bawah, yang juga meningkatkan volume daerah tersebut.[41] Peningkatan volume seluruh rongga trunkus mengurangi tekanan udara di semua kantung udara thorakoabdominal, sehingga kantung-kantung tersebut terisi udara seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Selama pernapasan, otot oblik eksternal yang melekat pada tulang dada dan tulang rusuk vertebral di bagian anterior, dan pada panggul (tulang pubis dan ilium pada Gambar 17) di bagian posterior (membentuk bagian dari dinding perut) membalikkan gerakan inhalasi, serta mengompresi isi perut sehingga tekanan di semua kantung udara meningkat. Udara lalu dikeluarkan dari sistem pernapasan dalam rangka ekshalasi.[41]

 
Gambar 19. Penukar gas pernapasan lintas arus di paru-paru burung. Udara dikeluarkan dari kantung-kantung udara tanpa arah (dari kanan ke kiri dalam diagram) melalui parabronki. Kapiler paru mengelilingi parabronki dengan cara yang ditunjukkan (darah mengalir dari bawah parabronkus ke atasnya dalam diagram).[41][44] Darah atau udara dengan kandungan oksigen tinggi ditunjukkan dengan warna merah; udara atau darah yang miskin oksigen ditampilkan dalam berbagai warna ungu-biru.

Selama inhalasi, udara memasuki trakea melalui lubang hidung dan mulut lalu terus berlanjut hingga melampaui sirinks, tempat trakea bercabang menjadi dua bronkus primer, menuju ke dua paru-paru (Gambar 16). Bronkus primer memasuki paru-paru untuk menjadi bronkus intrapulmoner, yang memiliki serangkaian cabang paralel yang disebut ventrobronki dan, di posisi yang sedikit lebih jauh, seperangkat dorsobronki yang setara (Gambar 16).[41] Ujung-ujung bronkus intrapulmoner mengeluarkan udara ke kantung udara posterior pada ujung belakang burung. Setiap pasangan dorso-ventrobronki dihubungkan oleh sejumlah besar kapiler udara mikroskopis paralel (atau parabronki), tempat pertukaran gas terjadi (Gambar 16).[41] Ketika inhalasi, udara di trakea mengalir melalui bronkus intrapulmoner ke kantung udara posterior serta ke dorsobronki, tetapi tidak ke ventrobronki (Gambar 18). Hal ini disebabkan oleh desain bronkial yang mengarahkan udara yang dihirup menjauhi lubang ventrobronki, tapi ke arah kelanjutan dari bronkus intrapulmoner menuju dorsobronki dan kantung udara posterior.[45][46][47] Dari dorsobronki, udara yang dihirup lalu mengalir melalui parabronki (terjadi pertukaran gas) ke ventrobronki. Udara kemudian hanya bisa mengalir ke kantung udara anterior yang mengembang. Jadi, selama inhalasi, baik kantung udara posterior maupun anterior berkembang,[41] kantung udara posterior terisi dengan udara segar yang dihirup, sedangkan kantung udara anterior diisi dengan udara "yang digunakan" (miskin oksigen) yang baru saja melewati paru-paru .

Selama ekshalasi, tekanan di kantung udara posterior (yang diisi dengan udara segar selama inhalasi) meningkat karena kontraksi otot oblik yang dijelaskan di atas. Aerodinamika lubang saluran yang saling berhubungan dari kantung udara posterior ke dorsobronki dan bronkus intrapulmoner memastikan bahwa udara meninggalkan kantung-kantung ini ke arah paru-paru (melalui dorsobronki), alih-alih kembali ke bronkus intrapulmoner (Gambar 18).[45][47] Dari dorsobronki, udara segar dari kantung udara posterior mengalir melalui parabronki (dengan arah yang sama seperti yang terjadi selama inhalasi) ke ventrobronki. Jalur udara yang menghubungkan ventrobronki dan kantung udara anterior ke bronkus intrapulmoner mengarahkan "udara yang digunakan" dan miskin oksigen dari kedua organ ini ke trakea, lalu keluar dari tubuh.[41] Oleh karena itu, udara yang mengandung oksigen terus-menerus mengalir (selama seluruh siklus pernapasan) dalam satu arah melalui parabronki.[48]

Aliran darah melalui paru-paru burung berada pada sudut yang tepat terhadap aliran udara melalui parabronki, membentuk sistem pertukaran aliran lintas arus (Gambar 19).[39][41][44] Tekanan parsial oksigen dalam parabronki menurun perlahan seiring dengan oksigen yang berdifusi ke dalam darah. Kapiler darah yang meninggalkan lokasi pertukaran di dekat pintu masuk parabronki mengambil lebih banyak oksigen dibandingkan kapiler yang keluar di dekat ujung keluar parabronki. Ketika isi semua kapiler bercampur, tekanan parsial akhir oksigen dari darah vena paru campuran lebih tinggi dibandingkan udara yang dihembuskan,[41][44] tetapi kurang dari setengah dari udara yang dihirup,[41] sehingga mencapai tekanan parsial oksigen darah arteri sistemik yang kira-kira sama dengan mamalia dengan tipe paru-paru ubub mereka.[41]

Trakea merupakan area ruang mati: udara miskin oksigen yang dikandungnya pada akhir ekshalasi merupakan udara pertama yang kembali memasuki kantung udara posterior dan paru-paru. Dibandingkan dengan saluran pernapasan mamalia, volume ruang mati pada burung rata-rata 4,5 kali lebih besar dibandingkan mamalia dengan ukuran yang sama.[40][41] Burung-burung dengan leher panjang memiliki trakea yang panjang, dan karena itu harus menarik napas lebih dalam dibandingkan mamalia untuk melonggarkan volume ruang mati mereka yang lebih besar. Pada beberapa burung (misalnya Cygnus cygnus, Platalea leucorodia, Grus americana, dan Pauxi pauxi) trakeanya, yang pada beberapa burung jenjang bisa sepanjang 1,5 m,[41] berbentuk melingkar bolak-balik di dalam tubuh, yang secara drastis meningkatkan ventilasi ruang mati.[41] Tujuan dari struktur yang tidak umum ini tidak diketahui.

Reptil

sunting
Gambar 20. Video sinar X dari Aligator Amerika betina saat bernapas.

Struktur anatomi paru-paru reptil tidak terlalu kompleks, mereka tidak memiliki struktur pohon pernapasan yang sangat eksptensif seperti yang ditemukan pada paru-paru mamalia. Namun, pertukaran gas pada reptil masih terjadi di alveoli.[39] Reptil tidak memiliki diafragma. Dengan demikian, pernapasan terjadi melalui perubahan volume rongga tubuh yang dikendalikan oleh kontraksi otot interkostal pada semua reptil kecuali kura-kura. Pada kura-kura, kontraksi pasangan otot-otot sisi tertentu mengatur inhalasi dan ekshalasi.[49]

Amfibi

sunting

Baik paru-paru maupun kulit berfungsi sebagai organ pernapasan pada amfibi. Ventilasi paru-paru pada amfibi bergantung pada ventilasi tekanan positif. Otot-otot menurunkan dasar rongga mulut, memperbesarnya, dan menarik udara melalui lubang hidung ke dalam rongga mulut. Dengan tertutupnya lubang hidung dan mulut, lantai rongga mulut kemudian didorong ke atas, yang memaksa udara berpindah ke trakea lalu paru-paru. Kulit hewan-hewan ini sangat tervaskularisasi dan lembab. Kelembaban dijaga oleh sekresi lendir dari sel-sel khusus, dan terlibat dalam pernapasan kulit. Meskipun paru-paru merupakan organ utama untuk pertukaran gas antara darah dan udara lingkungan (ketika keluar dari air), sifat kulit amfibi yang unik membantu pertukaran gas dengan cepat ketika mereka terendam dalam air yang kaya oksigen.[50] Beberapa amfibi memiliki insang, baik pada tahap awal perkembangannya (misalnya berudu anura), sementara yang lain mempertahankannya hingga dewasa (misalnya beberapa salamander).[39]

 
Gambar 21. Operkulum atau penutup insang ikan tombak ditarik untuk memperlihatkan lengkungan insang yang mengandung filamen.
 
Gambar 22. Perbandingan antara operasi dan efek dari sistem pertukaran arus searah dan berlawanan arah yang masing-masing digambarkan pada diagram atas dan bawah. Pada keduanya, diasumsikan bahwa warna merah memiliki nilai yang lebih tinggi (misalnya suhu atau tekanan parsial gas) dibandingkan biru sehingga zat yang diangkut dalam saluran tersebut mengalir dari merah ke biru. Pada ikan, aliran arus darah dan air yang berlawanan pada insang (diagram bawah) digunakan untuk mengekstraksi oksigen dari lingkungan.[51][52][53]
 
Gambar 23. Mekanisme pernapasan pada ikan bertulang. Proses inhalasi di sebelah kiri, sedangkan proses ekshalasi di sebelah kanan. Pergerakan air ditunjukkan oleh panah biru.

Oksigen tidak mudah larut dalam air. Air tawar dengan aerasi penuh hanya mengandung 8–10 ml oksigen per liter, sebagai perbandingan, konsentrasi oksigen pada udara di permukaan laut sebesar 210 ml per liter.[54] Selain itu, koefisien difusi (yaitu laju ketika suatu zat berdifusi dari daerah konsentrasi tinggi menuju salah satu konsentrasi rendah pada kondisi standar) gas pernapasan biasanya 10.000 kali lebih cepat di udara dibandingkan di dalam air.[54] Oksigen, misalnya, memiliki koefisien difusi 17,6 mm2/s di udara, tetapi hanya 0,0021 mm2/s di dalam air,[55][56][57][58] sedangkan nilai koefisien difusi untuk karbon dioksida adalah 16 mm2/s di udara dan 0,0016 mm2/s di dalam air.[57][58] Artinya, ketika oksigen diambil dari air untuk bersentuhan dengan penukar gas, mereka diganti secara lebih lambat oleh oksigen dari daerah kaya oksigen yang berjarak dekat dari penukar tersebut dibandingkan dengan yang seharusnya terjadi di udara. Ikan telah mengembangkan insang untuk mengatasi masalah ini. Insang adalah organ khusus yang mengandung filamen, yang selanjutnya membelah menjadi lamela. Lamela mengandung jejaring kapiler berdinding tipis yang memaparkan secara luas area pertukaran gas dengan volume air yang sangat besar yang melewatinya.[59]

Insang menggunakan sistem pertukaran arus balik yang meningkatkan efisiensi pengambilan oksigen dari air.[51][52][53] Air beroksigen segar yang masuk melalui mulut tanpa terputus "dipompa" melalui insang dalam satu arah, sementara darah di lamela mengalir ke arah yang berlawanan, sehingga tercipta aliran darah dan air yang berlawanan (Gambar 22), yang merupakan mekanisme yang menjaga kelangsungan hidup ikan.[53]

Air diambil melalui mulut dengan menutup operkulum (penutup insang) dan memperbesar rongga mulut (Gambar 23). Secara bersamaan, ruang insang membesar dan menghasilkan tekanan yang lebih rendah dibandingkan mulut sehingga air mengalir melalui insang.[53] Rongga mulut kemudian berkontraksi menginduksi penutupan katup mulut secara pasif untuk mencegah air mengalir balik dari mulut (Gambar 23).[53][60] Sebaliknya, air di mulut dipaksa melewati insang, sementara ruang insang berkontraksi untuk mengosongkan air yang dikandungnya melalui bukaan operkulum (Gambar 23). Aliran balik ke ruang insang selama fase inhalasi dicegah oleh membran di sepanjang batas ventroposterior operkulum (diagram di sebelah kiri pada Gambar 23). Dengan demikian, rongga mulut dan ruang insang bekerja bergantian sebagai pompa isap dan pompa tekanan untuk mempertahankan aliran air yang stabil ke insang dalam satu arah. [53] Karena darah pada kapiler lamela mengalir berlawanan arah dengan air, aliran yang berlawanan ini mempertahankan gradien konsentrasi yang curam bagi oksigen dan karbon dioksida di sepanjang masing-masing kapiler (diagram yang lebih rendah pada Gambar 22). Oleh karenanya, oksigen dapat terus-menerus berdifusi ke dalam darah, sementara karbon dioksida ke dalam air.[52] Meskipun sistem pertukaran arus balik secara teoretis memungkinkan pemindahan gas pernapasan yang hampir komplit dari satu sisi penukar ke sisi lainnya, tetapi pada ikan, umumnya kurang dari 80% oksigen dalam air yang mengalir melalui insang, ditransfer ke darah.[51]

Pada hiu pelagik aktif tertentu, air melewati mulut dan insang saat mereka bergerak dalam proses yang dikenal sebagai "ventilasi ram".[61] Saat beristirahat, sebagian besar hiu memompa air melewati insang mereka, seperti yang dilakukan kebanyakan ikan bertulang, untuk memastikan bahwa air beroksigen terus mengalir melalui insang mereka. Namun, sejumlah kecil spesies telah kehilangan kemampuan untuk memompa air melalui insang mereka dan harus berenang tanpa istirahat. Spesies-spesies ini merupakan ventilator ram obligat dan mungkin akan sesak napas jika tidak dapat bergerak. Ventilasi ram obligat juga berlaku untuk beberapa spesies ikan bertulang pelagik.[62]

Ada beberapa ikan yang bisa mendapatkan oksigen dalam waktu yang singkat dari udara yang ditelan dari atas permukaan air. Dipnoi memiliki satu atau dua paru-paru, sedangkan ikan labirin mengembangkan "organ labirin" khusus, yang menjadi ciri subordo ikan ini. Organ labirin adalah organ pernapasan aksesori suprabrankial yang memiliki banyak lipatan. Organ ini dibentuk oleh ekspansi pembuluh darah tulang epibrakial dari lengkungan insang pertama, dan digunakan untuk respirasi di udara.[63]

Organ ini memungkinkan ikan labirin mengambil oksigen langsung dari udara, meskipun mereka tetap menggunakan insang untuk mengambil oksigen dari air. Organ labirin membantu penyerapan oksigen, yang dihirup di udara, ke dalam aliran darah. Akibatnya, ikan labirin dapat bertahan untuk waktu yang singkat di luar air karena mereka dapat menghirup udara di sekitar mereka, asalkan mereka tetap lembab.

Ikan labirin tidak dilahirkan dengan organ labirin fungsional. Perkembangan organ tersebut terjadi secara berangsur-angsur dan ikan labirin remaja awal bernapas sepenuhnya dengan insang mereka dan baru mengembangkan organ-organ labirin ketika mereka bertambah tua.[63]

Invertebrata

sunting

Artropoda

sunting

Beberapa spesies kepiting menggunakan organ pernapasan yang disebut paru brankiostegal.[64] Struktur organ ini seperti insang, yang meningkatkan luas permukaan untuk pertukaran gas, yang lebih cocok untuk mengambil oksigen dari udara dibandingkan dari air. Beberapa tungau dan laba-laba terkecil dapat bernapas hanya dengan menukar gas melalui permukaan tubuh. Laba-laba yang lebih besar, kalajengking, dan artropoda lainnya menggunakan paru-paru buku primitif.

Serangga

sunting

Sebagian besar serangga bernapas secara pasif melalui spirakelnya (lubang khusus pada eksoskeleton) dan udara mencapai setiap bagian tubuh melalui serangkaian tabung yang mengecil yang disebut 'trakaea’ ketika diameternya relatif besar, dan 'trakeola' ketika diameternya sangat kecil. Trakeola melakukan kontak dengan sel-sel individual di seluruh tubuh.[39] Sebagian trakeola terisi cairan, yang dapat ditarik dari setiap trakeola ketika ada jaringan (misalnya otot) yang bergerak aktif dan memiliki kebutuhan oksigen yang tinggi, sehingga udara dibawa lebih dekat ke sel-sel aktif.[39] Hal ini mungkin disebabkan oleh penumpukan asam laktat pada otot aktif yang menyebabkan gradien osmotik, memindahkan air dari trakeola ke sel-sel aktif. Difusi gas terjadi secara efektif pada jarak pendek tetapi tidak pada jarak yang lebih besar. Ini adalah salah satu alasan mengapa semua serangga berukuran relatif kecil. Serangga yang tidak memiliki spirakel dan trakaea, seperti beberapa Collembola, bernapas langsung melalui kulit mereka, yang juga terjadi melalui difusi gas.[65]

Jumlah spirakel yang dimiliki serangga berbeda-beda antara satu spesies dan spesies lainnya. Namun, spirakel selalu berpasangan, satu di setiap sisi tubuh, dan biasanya satu pasang per segmen. Beberapa Diplura memiliki sebelas spirakel, dengan empat pasang yang terletak di dada, tetapi pada sebagian besar serangga kuno, seperti capung dan belalang, memiliki dua spirakel dada dan delapan spirakel perut. Akan tetapi, pada sebagian besar serangga sisanya, jumlah spirakel lebih sedikit. Pada tingkat trakeola, oksigen dikirim ke sel untuk respirasi.

Pendapat lama menyatakan bahwa serangga mengalami pertukaran gas dengan lingkungan secara terus-menerus dengan difusi gas sederhana ke dalam sistem trakea. Namun, telah ditemukan variasi besar dalam pola ventilasi serangga dan respirasi serangga tampaknya sangat bervariasi. Beberapa serangga kecil tidak menunjukkan gerakan pernapasan terus-menerus dan mungkin tidak memiliki kendali otot yang menggerakkan spirakel. Namun, serangga lain memanfaatkan kontraksi otot perut serta kontraksi dan relaksasi spirakel yang terkoordinasi untuk menghasilkan pola pertukaran gas siklikal dan untuk mengurangi hilangnya air ke atmosfer. Bentuk paling ekstrem dari pola-pola ini disebut siklus pertukaran gas diskontinyu.[66]

Moluska

sunting

Moluska umumnya memiliki insang yang memungkinkan pertukaran gas antara lingkungan perairan dan sistem sirkulasi mereka. Hewan-hewan ini juga memiliki jantung yang memompa darah yang mengandung hemosianin sebagai molekul penangkap oksigennya.[39] Oleh karena itu, sistem pernapasan ini mirip dengan ikan vertebrata. Sistem pernapasan gastropoda dapat mencakup insang atau paru-paru.

Tumbuhan

sunting

Tumbuhan menggunakan gas karbon dioksida dalam proses fotosintesis, dan menghasilkan gas oksigen sebagai limbah. Persamaan kimia fotosintesis adalah 6 CO2 (karbon dioksida) dan 6 H2O (air), yang di hadapan sinar matahari menghasilkan C6H12O6 (glukosa) dan 6 O2 (oksigen). Fotosintesis menggunakan elektron pada atom karbon sebagai repositori untuk energi yang diperoleh dari sinar matahari.[67] Respirasi atau pernapasan adalah kebalikan dari fotosintesis, yang bertujuan untuk mengembalikan energi untuk menyalakan reaksi kimia dalam sel. Dengan melakukan hal itu, atom karbon dan elektronnya digabungkan dengan oksigen yang membentuk CO2 yang bisa dengan mudah dihilangkan dari sel dan tumbuhan tersebut. Tumbuhan menggunakan kedua proses ini, fotosintesis untuk menangkap energi dan metabolisme oksidatif untuk menggunakannya.

Respirasi tumbuhan dibatasi oleh proses difusi. Tumbuhan mengambil karbon dioksida melalui lubang, yang dikenal sebagai stomata, yang dapat membuka dan menutup pada bagian bawah daun dan kadang-kadang pada bagian lain tumbuhan. Sebagian besar tumbuhanmembutuhkan oksigen untuk proses katabolik (reaksi pemecahan yang melepaskan energi). Akan tetapi, jumlah O2 yang digunakan per jam kecil karena mereka dilibatkan dalam kegiatan yang membutuhkan tingkat metabolisme aerob yang tinggi. Namun, kebutuhan mereka akan udara sangat tinggi karena mereka membutuhkan CO2 untuk fotosintesis, yang hanya merupakan 0,04% dari udara lingkungan. Jadi, untuk membuat 1 gram glukosa diperlukan penghilangan semua CO2 dari setidaknya 18,7 liter udara di permukaan laut. Inefisiensi dalam proses fotosintesis menyebabkan volume udara yang digunakan jauh lebih besar.[67][68]

Referensi

sunting
  1. ^ Campbell, Neil A. (1990). Biology (edisi ke-2nd). Redwood City, Calif.: Benjamin/Cummings Pub. Co. hlm. 834–835. ISBN 0-8053-1800-3. 
  2. ^ Hsia, CC; Hyde, DM; Weibel, ER (15 March 2016). "Lung Structure and the Intrinsic Challenges of Gas Exchange". Comprehensive Physiology. 6 (2): 827–95. doi:10.1002/cphy.c150028. PMC 5026132 . PMID 27065169. 
  3. ^ West, John B. (1995). Respiratory physiology-- the essentials. Baltimore: Williams & Wilkins. hlm. 1–10. ISBN 0-683-08937-4. 
  4. ^ a b Gilroy, Anne M.; MacPherson, Brian R.; Ross, Lawrence M. (2008). Atlas of Anatomy. Stuttgart: Thieme. hlm. 108–111. ISBN 978-1-60406-062-1. 
  5. ^ a b Pocock, Gillian; Richards, Christopher D. (2006). Human physiology : the basis of medicine (edisi ke-3rd). Oxford: Oxford University Press. hlm. 315–317. ISBN 978-0-19-856878-0. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Tortora, Gerard J.; Anagnostakos, Nicholas P. (1987). Principles of anatomy and physiology  (edisi ke-Fifth). New York: Harper & Row, Publishers. hlm. 556–586. ISBN 0-06-350729-3. 
  7. ^ Kacmarek, Robert M.; Dimas, Steven; Mack, Craig W. (13 August 2013). Essentials of Respiratory Care - E-Book (dalam bahasa Inggris). Elsevier Health Sciences. ISBN 9780323277785. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 2020-05-01. 
  8. ^ Netter, Frank H. (2014). Atlas of Human Anatomy Including Student Consult Interactive Ancillaries and Guides (edisi ke-6th). Philadelphia, Penn.: W B Saunders Co. hlm. 200. ISBN 978-1-4557-0418-7. 
  9. ^ Maton, Anthea; Jean Hopkins; Charles William McLaughlin; Susan Johnson; Maryanna Quon Warner; David LaHart; Jill D. Wright (1993). Human Biology and Health. wood Cliffs, New Jersey, USA: Prentice Hall. ISBN 0-13-981176-1. [halaman dibutuhkan]
  10. ^ a b c Fowler W.S. (1948). "Lung Function studies. II. The respiratory dead space". Am. J. Physiol. 154 (3): 405–416. doi:10.1152/ajplegacy.1948.154.3.405. PMID 18101134. 
  11. ^ "anatomical dead space". TheFreeDictionary.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-10. Diakses tanggal 2020-05-01. 
  12. ^ a b Tortora, Gerard J.; Anagnostakos, Nicholas P. (1987). Principles of anatomy and physiology  (edisi ke-Fifth). New York: Harper & Row, Publishers. hlm. 570–572. ISBN 0-06-350729-3. 
  13. ^ a b Koen, Chrisvan L.; Koeslag, Johan H. (1995). "On the stability of subatmospheric intrapleural and intracranial pressures". News in Physiological Sciences. 10 (4): 176–178. doi:10.1152/physiologyonline.1995.10.4.176. 
  14. ^ a b West, J.B. (1985). Respiratory physiology: the essentials. Baltimore: Williams & Wilkins. hlm. 21–30, 84–84, 98–101. 
  15. ^ Burke, TV; Küng, M; Burki, NK (1989). "Pulmonary gas exchange during histamine-induced bronchoconstriction in asthmatic subjects". Chest. 96 (4): 752–6. doi:10.1378/chest.96.4.752. PMID 2791669. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-02. Diakses tanggal 2020-05-02. 
  16. ^ Taylor, D (1996). "The Valsalva Manoeuvre: A critical review". South Pacific Underwater Medicine Society Journal. 26 (1). ISSN 0813-1988. OCLC 16986801. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-31. Diakses tanggal 14 March 2016. 
  17. ^ Maton, Anthea; Hopkins, Jean Susan; Johnson, Charles William; McLaughlin, Maryanna Quon; Warner, David; LaHart Wright, Jill (2010). Human Biology and Health. Englewood Cliffs: Prentice Hall. hlm. 108–118. ISBN 978-0134234359. 
  18. ^ a b c Williams, Peter L.; Warwick, Roger; Dyson, Mary; Bannister, Lawrence H. (1989). Gray's Anatomy (edisi ke-Thirty-seventh). Edinburgh: Churchill Livingstone. hlm. 1278–1282. ISBN 0443-041776. 
  19. ^ Lovelock, James (1991). Healing Gaia: Practical medicine for the Planet . New York: Harmony Books. hlm. 21–34, 73–88. ISBN 0-517-57848-4. 
  20. ^ Shu, BC; Chang, YY; Lee, FY; Tzeng, DS; Lin, HY; Lung, FW (2007-10-31). "Parental attachment, premorbid personality, and mental health in young males with hyperventilation syndrome". Psychiatry Research. 153 (2): 163–70. doi:10.1016/j.psychres.2006.05.006. PMID 17659783. 
  21. ^ Henry RP, Swenson ER (June 2000). "The distribution and physiological significance of carbonic anhydrase in vertebrate gas exchange organs". Respiration Physiology. 121 (1): 1–12. doi:10.1016/S0034-5687(00)00110-9. PMID 10854618. 
  22. ^ Diem, K.; Lentner, C. (1970). "Blood – Inorganic substances". in: Scientific Tables (edisi ke-7). Basle, Switzerland: CIBA-GEIGY Ltd. hlm. 571. 
  23. ^ a b "Respiration". Harvey Project. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-28. Diakses tanggal 27 July 2012. 
  24. ^ a b "Online high altitude oxygen calculator". altitude.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 July 2012. Diakses tanggal 15 August 2007. 
  25. ^ Tyson, P.D.; Preston-White, R.A. (2013). The weather and climate of Southern Africa. Cape Town: Oxford University Press. hlm. 3–10, 14–16, 360. ISBN 9780195718065. 
  26. ^ Diem, K.; Lenter, C. (1970). Scientific Tables (edisi ke-Seventh). Basle, Switzerland: Ciba-Geigy. hlm. 257–258. 
  27. ^ Von Euler, U.S.; Liljestrand, G. (1946). "Observations on the pulmonary arterial blood pressure in the cat". Acta Physiologica Scandinavica. 12 (4): 301–320. doi:10.1111/j.1748-1716.1946.tb00389.x. 
  28. ^ "EPO Detection". World Anti-Doping Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-07. Diakses tanggal 7 September 2017. 
  29. ^ a b Tortora, Gerard J.; Anagnostakos, Nicholas P. (1987). Principles of anatomy and physiology  (edisi ke-Fifth). New York: Harper & Row, Publishers. hlm. 444–445. ISBN 0-06-350729-3. 
  30. ^ Fisher JW, Koury S, Ducey T, Mendel S (1996). "Erythropoietin production by interstitial cells of hypoxic monkey kidneys". British Journal of Haematology. 95 (1): 27–32. doi:10.1046/j.1365-2141.1996.d01-1864.x. PMID 8857934. 
  31. ^ Wright, Jo Rae (2004). "Host Defense Functions of Pulmonary Surfactant". Biology of the Neonate. 85 (4): 326–32. doi:10.1159/000078172. PMID 15211087. 
  32. ^ West, John B. (1994). Respiratory physiology-- the essentials. Baltimore: Williams & Wilkins. hlm. 21–30, 84–84, 98–101. ISBN 0-683-08937-4. 
  33. ^ Sullivan, LC; Orgeig, S (2001). "Dexamethasone and epinephrine stimulate surfactant secretion in type II cells of embryonic chickens". American Journal of Physiology. Regulatory, Integrative and Comparative Physiology. 281 (3): R770–7. doi:10.1152/ajpregu.2001.281.3.r770. PMID 11506991. 
  34. ^ Premature Babies, Lung Development & Respiratory Distress Syndrome. Pregnancy-facts.com.
  35. ^ Kanaide, Hideo; Ichiki, Toshihiro; Nishimura, Junji; Hirano, Katsuya (2003-11-28). "Cellular Mechanism of Vasoconstriction Induced by Angiotensin II It Remains To Be Determined". Circulation Research (dalam bahasa Inggris). 93 (11): 1015–1017. doi:10.1161/01.RES.0000105920.33926.60 . ISSN 0009-7330. PMID 14645130. 
  36. ^ West, John B. (2001-05). "Snorkel breathing in the elephant explains the unique anatomy of its pleura". Respiration Physiology (dalam bahasa Inggris). 126 (1): 1–8. doi:10.1016/S0034-5687(01)00203-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-02. Diakses tanggal 2020-05-07. 
  37. ^ West, John B. (2002-04). "Why Doesn't the Elephant Have a Pleural Space?". Physiology (dalam bahasa Inggris). 17 (2): 47–50. doi:10.1152/nips.01374.2001. ISSN 1548-9213. 
  38. ^ Shoshani, Jeheskel (1998-12). "Understanding proboscidean evolution: a formidable task". Trends in Ecology & Evolution (dalam bahasa Inggris). 13 (12): 480–487. doi:10.1016/S0169-5347(98)01491-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-29. Diakses tanggal 2020-05-07. 
  39. ^ a b c d e f g Campbell, Neil A. (1990). Biology (edisi ke-2nd). Redwood City, Calif.: Benjamin/Cummings Pub. Co. hlm. 836–844. ISBN 0-8053-1800-3. 
  40. ^ a b Whittow, G. Causey (2000). Sturkie's Avian Physiology. San Diego, California: Academic Press. hlm. 233–241. ISBN 978-0-12-747605-6. 
  41. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Ritchson, G. "BIO 554/754 – Ornithology: Avian respiration". Department of Biological Sciences, Eastern Kentucky University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-10. Diakses tanggal 2009-04-23. 
  42. ^ Storer, Tracy I.; Usinger, R. L.; Stebbins, Robert C.; Nybakken, James W. (1997). General Zoology (edisi ke-sixth). New York: McGraw-Hill. hlm. 752–753. ISBN 0-07-061780-5. 
  43. ^ Romer, Alfred Sherwood (1970). The Vertebrate body (edisi ke-Fourth). Philadelphia: W.B. Saunders. hlm. 323–324. ISBN 0-7216-7667-7. 
  44. ^ a b c Scott, Graham R. (2011). "Commentary: Elevated performance: the unique physiology of birds that fly at high altitudes". Journal of Experimental Biology. 214 (Pt 15): 2455–2462. doi:10.1242/jeb.052548 . PMID 21753038. 
  45. ^ a b Maina, John N. (2005). The lung air sac system of birds development, structure, and function; with 6 tables. Berlin: Springer. hlm. 3.2–3.3 "Lung", "Airway (Bronchiol) System" 66–82. ISBN 978-3-540-25595-6. 
  46. ^ Krautwald-Junghanns, Maria-Elisabeth; et al. (2010). Diagnostic Imaging of Exotic Pets: Birds, Small Mammals, Reptiles. Germany: Manson Publishing. ISBN 978-3-89993-049-8. 
  47. ^ a b Sturkie, P.D. (1976). Avian Physiology. New York: Springer Verlag. hlm. 201. doi:10.1007/978-1-4612-4862-0. ISBN 978-1-4612-9335-4. 
  48. ^ Ritchison, Gary. "Ornithology (Bio 554/754):Bird Respiratory System". Eastern Kentucky University. Retrieved 2007-06-27.
  49. ^ Respiratory system Diarsipkan 2014-01-30 di Wayback Machine.. Encyclopædia Britannica.
  50. ^ Gottlieb, G; Jackson, Dc (1976-03-01). "Importance of pulmonary ventilation in respiratory control in the bullfrog". American Journal of Physiology-Legacy Content (dalam bahasa Inggris). 230 (3): 608–613. doi:10.1152/ajplegacy.1976.230.3.608. ISSN 0002-9513. 
  51. ^ a b c Campbell, Neil A. (1990). Biology (edisi ke-Second). Redwood City, California: Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. hlm. 836–838. ISBN 0-8053-1800-3. 
  52. ^ a b c Hughes GM (1972). "Morphometrics of fish gills". Respiration Physiology. 14 (1–2): 1–25. doi:10.1016/0034-5687(72)90014-x. PMID 5042155. 
  53. ^ a b c d e Storer, Tracy I.; Usinger, R. L.; Stebbins, Robert C.; Nybakken, James W. (1997). General Zoology (edisi ke-sixth). New York: McGraw-Hill. hlm. 668–670. ISBN 0-07-061780-5. 
  54. ^ a b M. b. v. Roberts; Michael Reiss; Grace Monger (2000). Advanced Biology. London, UK: Nelson. hlm. 164–165. 
  55. ^ Cussler, E. L. (1997). Diffusion: Mass Transfer in Fluid Systems (edisi ke-2nd). New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-45078-0. 
  56. ^ Welty, James R.; Wicks, Charles E.; Wilson, Robert E.; Rorrer, Gregory (2001). Fundamentals of Momentum, Heat, and Mass Transfer. Wiley. ISBN 978-0-470-12868-8. 
  57. ^ a b "CRC Press Online: CRC Handbook of Chemistry and Physics, Section 6, 91st Edition". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-16. Diakses tanggal 2020-05-07. 
  58. ^ a b "Diffusion". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-28. Diakses tanggal 2020-05-07. 
  59. ^ Newstead James D (1967). "Fine structure of the respiratory lamellae of teleostean gills". Cell and Tissue Research. 79 (3): 396–428. doi:10.1007/bf00335484. PMID 5598734. 
  60. ^ Romer, Alfred Sherwood; Parsons, Thomas S. (1977). The Vertebrate Body. Philadelphia, PA: Holt-Saunders International. hlm. 316–327. ISBN 0-03-910284-X. 
  61. ^ Gilbertson, Lance (1999). Zoology Laboratory Manual. New York: McGraw-Hill. ISBN 0-07-237716-X. 
  62. ^ William J. Bennetta (1996). "Deep Breathing". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-14. Diakses tanggal 2007-08-28. 
  63. ^ a b Pinter, H. (1986). Labyrinth Fish. Barron's Educational Series, Inc., ISBN 0-8120-5635-3
  64. ^ Halperin J, Ansaldo M, Pellerano GN, Luquet CM (July 2000). "Bimodal breathing in the estuarine crab Chasmagnathus granulatus Dana 1851--physiological and morphological studies". Comparative Biochemistry and Physiology. Part A, Molecular & Integrative Physiology. 126 (3): 341–9. doi:10.1016/S1095-6433(00)00216-6. PMID 10964029. 
  65. ^ The Earth Life Web, Insect Morphology and Anatomy Diarsipkan 2008-11-03 di Wayback Machine.. Earthlife.net. Retrieved on 2013-04-21.
  66. ^ Lighton, John R. B. (1996-01). "Discontinuous Gas Exchange in Insects". Annual Review of Entomology (dalam bahasa Inggris). 41 (1): 309–324. doi:10.1146/annurev.en.41.010196.001521. ISSN 0066-4170.  [pranala nonaktif permanen]
  67. ^ a b Stryer, Lubert (1995). "Photosynthesis". In: Biochemistry (edisi ke-Fourth). New York: W.H. FreeMan and Company. hlm. 653–680. ISBN 0-7167-2009-4. 
  68. ^ Campbell, Neil A. (1990). Biology (edisi ke-Second). Redwood City, California: Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. hlm. 206–223. ISBN 0-8053-1800-3. 

Pranala luar

sunting