Rakyatullah dari Banjar
Rakyatullah atau Ri'ayatullah[5] adalah Sultan Banjar yang memerintah Kesultanan Banjar antara tahun 1660 sampai tahun 1663,[7] sebagai pengganti sementara Sultan Saidullah dari Banjar, menyiapkan pemerintahan untuk Pangeran Bagus, pewaris takhta yang masih terlalu muda.
Rakyatullah رعاية الله | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Pangeran Ratu[1] Pangeran Mangkubumi[2][3][4] Pangeran Tapesana | |||||||||
Sultan Banjar | |||||||||
Berkuasa | 1660 – 1663 | ||||||||
Pendahulu | Saidullah dari Banjar | ||||||||
Penerus | |||||||||
Kelahiran | Raden Halit[5] Tambangan, Kesultanan Banjar | ||||||||
Kematian | 1666 Kayu Tangi, Kesultanan Banjar | ||||||||
Keturunan |
| ||||||||
| |||||||||
Wangsa | Dinasti Banjarmasin | ||||||||
Ayah | Marhum Panembahan | ||||||||
Ibu | Nyai Jawa | ||||||||
Agama | Islam |
Keluarga
Sultan Rakyatullah merupakan keturunan ke-10 dari Lambung Mangkurat dan juga keturunan ke-10 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata. Maharaja Suryanata dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih (saudara angkat Lambung Mangkurat). Ayah Rakyatullah adalah Marhum Panembahan, sedangkan ibundanya merupakan seorang selir yang berasal dari suku Jawa.
Ia dilahirkan ketika keraton berada di Tambangan. Terlahir dengan nama Raden Halit, kemudian setelah menikah disebut Pangeran Tapesana, sebagai anak Sultan kemudian ia menjadi dipati (anggota senior Dewan Mahkota) sehingga dikenal dengan nama Pangeran Dipati Tapesana dengan panggilan singkat Dipati Tapesana, bahkan masih sering juga dipanggil dengan sebutan Dipati Halit, nama semasa muda. Setelah menduduki jabatan mangkubumi ia memakai gelar Pangeran Dipati Mangkubumi dengan panggilan singkat Dipati Mangkubumi atau Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Tapesana menikah dengan Andin Hayu, putra Dipati Ngganding, adipati Kerajaan Kotawaringin. Kemudian pasangan ini memperoleh anak yaitu Raden Hangkut dan Puteri Samut. Raden Hangkut ini ketika ayahnya dilantik menjadi mangkubumi mendapat nama baru Raden Surya. Ketika ayahnya dilantik menjadi Sultan Rakyatullah, Raden Surya ini mendapat gelar baru Pangeran Aria Wiraraja. Kelak Pangeran Aria Wiraraja dilantik sebagai mangkubumi pada masa kekuasaan Sultan Agung dari Banjar. Sedangkan Puteri Samut, kemungkinan orang yang sama dengan Puteri Galuh Hasanah yang menikah dengan Ratu Amas/Pangeran Mas dipati, raja Kotawaringin II.[8]
Pangeran Tapesana juga menikah dengan Nyai Mas Tapi, putri Kiai Naladipa, seorang menteri kerajaan. Pasangan ini dianugerahi puteri yaitu Puteri Kumkuma. Kemudian Puteri Kumkuma menikah dengan Pangeran Dipati Wiranata, putri Panembahan di Darat. Pasangan ini memperoleh seorang puteri dinamakan Gusti Cabang. Gusti Cabang merupakan urutan kelahiran cicit Marhum Panembahan yang ke-10, ketika Marhum Panembahan mangkat usianya baru 40 hari. Gusti Cabang menikah dengan Raden Buyut Kasuma Banjar, cucu Panembahan di Sarat dan memperoleh seorang puteri yaitu Puteri Piting.
Berkuasa (1660–1663)
Aksesi
Menurut naskah Cerita Turunan Raja Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar Resensi I), setelah selama lima tahun menjadi mangkubumi melayani Saidullah dari Banjar, Ratu Bagawan mengundurkan diri dengan alasan sudah uzur dan tidak dapat lagi pulang pergi ke paseban setiap hari. Ratu Bagawan bermaksud menyerahkan jabatan kepala pemerintahan kepada adik bungsunya yang seayah yaitu Pangeran Dipati Tapesana. Saidullah tidak keberatan sama sekali, bahkan mengatakan bahwa dirinya ibarat wayang sedangkan pamannya Ratu Bagawan itu ibarat dhalang. Dengan demikian sewaktu diseba orang, Ratu Anom dengan keadaan memakai perhiasan kerajaan yang lengkap menurut tatacara yang sudah ada sejak zaman dahulu kala, dengan dihadiri semua menteri dan para dipati yang memang sudah rutin berlangsung pada setiap hari Sabtu, maka Ratu Bagawan di hadapan Pangeran Dipati Kasuma Mandura, Pangeran Dipati Tuha II, Pangeran Singamarta, Pangeran Mas Dipati, Kiai Tumenggung Raksanagara, tuan penghulu jaksa Kiai Mas Kanduruwan, Kiai Tisna-Prana dan segala menteri umbul serta menteri bandar Kiai Martayuda menyerahkan jabatan kepala pemerintahan kepada Pangeran Dipati Tapasena yang kini diberi gelar Dipati Mangkubumi. Sebagai menteri pengiwa (wakil kepala pemerintahan) dijabat oleh Kiai Tumenggung Raksanagara (sepupu dua kali dengan Marhum Panembahan). Lalu dipersalin Dipati Mangkubumi tersebut dengan kandaga (bokor), lampit, payung bawat, dua awinan berhulas kimka kuning, dua kain puluh, dua kain sarasah dan empat sabuk cindai. Selesailah upacara penobatan mangkubumi maka Ratu Anom dan semua hadirin pulang, maka tangara, penanda dengan bunyi bedil, galaganjur, rarancakan dipalu orang. Sesudah itu Raden Hangkut putera Pangeran Mangkubumi dinamai Raden Surya. Tidak lama setelah itu sesepuh istana, Ratu Bagawan pun mangkat. Disusul kemudian kurang lebih tiga tahun kemudian Sultan Saidullah juga mangkat.[5]
Menurut naskah Cerita Turunan Raja Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar Resensi I), setelah lima belas tahun sebagai kepala negara Sultan Banjar V Sultan Saidullah alias Ratu Anom pun mangkat. Kemudian sebagai sesepuh istana Ratu Ayu puteri dari Sultan Mustain Billad dari Banjar menyuruh memanggil Pangeran Mas Dipati, Pangeran Dipati Mangkubumi, Pangeran Dipati Tuha II, tuan penghulu, Haji Abdurrahman, Kiai Dewajaya, Kiai Wangsanagara, Kiai Tisna-prana [yang menjabat jaksa] bertempat di bangsal di Dalem Agung untuk membicarakan pengganti swargi Ratu Anom sebagai Kepala Negara. Pada saat itu beberapa menteri utama juga telah meninggal dunia seperti Kiai Tumenggung Raksanagara, Kiai Mangunjaya dan Kiai Mas Kanduruwan. Oleh karena Putra Mahkota yang bernama Raden Bagus Kasuma putera Ratu Anom masih kecil maka sebagai badalnya Raden Bagus Kasuma diangkatlah Pangeran Mangkubumi sebagai wali raja tetapi kelak jika Raden Bagus Kasuma sudah dewasa tahta kerajaan akan diserahkan kepadanya. Maka Pangeran Mangkubumi ditabalkan sebagai raja dengan naman %Sultan Ri’ayatullah" atau "Rakyatullah", sedangkan nama yang dimasyhurkan adalah "Pangeran Ratu". Sesudah itu kemudian Raden Wiranata putera swargi Panembahan di Darat dinamai Pangeran Wiranata sedangkan Raden Hangkut putera dari Pangeran Ratu diberi gelar Pangeran Aria Wiraraja. Jabatan mangkubumi dipegang oleh Pangeran Mas Dipat putera swargi Pangeran Dipati Antasari, kemudian sebagai menteri pengiwa adalah Kiai Kartasuta dan sebagai menteri diangkat Kiai Sumajiwa. Kiai Kartasuta maupun Kiai Sumajiwa adalah orang dekat Pangeran Ratu ketika masih bergelar Pangeran Dipati Tapasena.[5]
Sultan Saidullah meninggal pada tahun 1660, ia merupakan keponakan tiri Pangeran Dipati Mangkubumi. Sebelumnya kakak tirinya Ratu Bagawan dari Kotawaringin juga telah mangkat. Atas persetujuan Ratu Hayu puteri swargi Sultan Mustain Billah dari Banjar dan disetujui para pembesar istana lainnya kemudian Pangeran Dipati Mangkubumi dilantik menggantikan Sultan Saidullah sebagai Wali Sultan dengan gelar Sultan Ri'ayatullah atau nama yang dipopulerkan Pangeran Ratu, karena anak Sultan Saidullah belum dewasa. Swargi Sultan Saidullah memiliki dua orang putera dari selir yang berlainan ibunya adalah Raden Bagus Kasuma dan Raden Basus serta seorang puteri yaitu Gusti Gade. Selama kekuasaan Sultan Ri'ayatullah, kepala pemerintahan (mangkubumi) dijabat oleh keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati putera swargi Pangeran Dipati Antasari. Pusat pemerintahan Sultan Rakyatullah berada di Kota Martapura. Gelar lainnya yang diberikan adalah Tahalidullah dan Adipati Halid.
Pada awalnya, Pangeran Dipati Anom II telah berusaha mengadakan kudeta terhadap ayahnya Sultan Inayatullah dengan cara membunuh abangnya melalui dua orang Jawa sebagai pembunuh bayaran, tetapi gagal. Usaha kedua tahun 1660, juga gagal karena paman tirinya Pangeran Dipati Tapasena mendahului dilantik oleh bibinya Ratu Hayu dan Dewan Mahkota sebagai Sultan, pada saat putera mahkota Raden Bagus belum dewasa.
Penyerahan wilayah-wilayah di Kalimantan Tengah
Pada tahun 1661 datang utusan Johor dan Sukadana di Kerajaan Banjar. Utusan Johor menuntut pengembalian harta milik nakhoda Malaka Johor yang mati beberapa tahun sebelumnya, sedangkan utusan Sukadana melaporkan bahwa Sukadana kembali menjadi daerah pengaruh dari Kesultanan Banjar seperti tahun 1638, begitupula raja-raja Mempawah dan Kotawaringin.
Hubungan dengan VOC
Perjanjian 18 Desember 1660
Setelah permusuhan panjang sejak era Mustain Billah dari Banjar, VOC perlahan menyadari bahwa perang melawan Banjar adalah tindakan yang tidak efektif, dan mulai menyerukan perdamaian. Usaha Belanda mendekati Kesultanan Banjar dengan hanya menuntut 50.000 real sebagai ganti rugi kejadian tahun 1638 serta akan melupakan apa yang terjadi, sama sekali tidak mendapat layanan dari Kesultanan Banjar, sehingga akhirnya Belanda mengalah untuk membuat kontrak dagang yang lebih menitik-beratkan pada keuntungan dagang semata, sehingga bagi Belanda hubungan dengan Kesultanan Banjar perlu dipulihkan agar lada kembali diperoleh. Belanda merasa khawatir dengan kehadiran Inggris di Banjarmasin, kalau Belanda tetap berpegang pada prinsip semula untuk menghukum Banjarmasin.
Sikap lunak Belanda inilah yang menyebabkan Belanda berhasil membuat kontrak dagang dengan Kesultanan Banjar, pada 18 Desember 1660 dibuat kontrak perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC Belanda yang ditandatangani oleh Sultan Rakyatullah dengan Dirk van Leur yang mewakili VOC. Kesultanan Banjar diwakili oleh duta Kerajaan, Sara Duta Ponbanall Lasmita dan Trasaell, sedangkan pihak VOC diwakili oleh Joan Maetsuycker, Carel Hartsinck, A. van Outshoorn, Nicolaes Verburch,, Dirck Jansz, Steur, Pr. Marville Sec dan kontrak ini dibuat di Batavia.
Kontrak ini menghapuskan permusuhan antara kedua negara tahun 1638. Demikian pula tuntutan ganti rugi sebanyak 50.000 real terhadap Kerajaan Banjar dihapus. Sejak perjanjian itu VOC diperbolehkan kembali berdagang di Banjarmasin, tetapi bea cukai yang dulunya 7% diturunkan menjadi 5%.[9][10]
Perjanjian 16 Mei 1661
Pada 16 Mei 1661 dilakukan perjanjian di Martapura, dari pihak Kesultanan Banjar adalah Kiai Kartasuta, mewakili Rakyatullah dengan Koopman Evert Michielszoon sebagai wakil VOC.
Isi perjanjian:
- Semua lada Banjar harus dijual kepada VOC, boleh diangkut sendiri ke Batavia atau ke Malaka.
- Harga lada ditetapkan yaitu 180 gantang setail emas atau 16 real atau barang lain yang seharga dengan itu.
- VOC boleh memperdagangkan barang-barangnya, sehingga Martapura, baik dengan kapal maupun dengan mendirikan loji tak boleh ditempat lain.
- Untuk impor dan ekspor VOC harus membayar bea-cukai sebesar 5%.
- Bila orang-orang Belanda kedapatan melanggar hukum, raja Banjar tidak menghukumnya, tetapi harus menyerahkan si terdakwa kepada pemimpin loji VOC di Martapura.
- Bila pegawai atau budak-budak VOC melarikan diri, harus dipulangkan kembali kepada pemimpin VOC di Martapura.
- Seluruh loji di Martapura dibawah perlindungan Sultan.
Dengan perjanjjian itu VOC Belanda kembali memainkan perannya dan menguasai perdagangan lada. Demikian juga penjualan kain bahan pakaian VOC Belanda juga telah menetapkan harga. Meskipun secara umum Sultan tidak menyetujui isi perjanjian ini tetapi karena pengaruh mangkubumi Pangeran Maes de Patty, kontrak ini dapat ditandatangani oleh Pangeran Ratu, karena Pangeran Mas Dipati sangat besar pengaruhnya dalam Dewan Mahkota. Perdagangan di Kesultanan Banjar tetap berperan dengan baik, walaupun penuh pertentangan dalam kalangan keluarga keraton Banjar.
Hubungan luar negeri
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin, dalam pemerintahan Pangeran Ratu sempat menjalin hubungan bilateral dengan Kerajaan Selaparang melalui ikatan perkawinan Raden Subangsa atau Raden Marabut, yang bergelar Patinglaga Deneq Wirabangsa atau Patih Laga, putera dari Pangeran Marta Singa yang dinikahkan dengan Mas Surabaya, puteri dari Raja Selaparang. Pasangan ini dianugerahi seorang putera bernama Raden Mataram. Mas Surabaya kemudian meninggal dunia. Kemudian Raden Subangsa dinikahkan oleh Raja Selaparang dengan puterinya Mas Panghulu yang tinggal di Kesultanan Sumbawa. Pasangan ini memperoleh putera yang bernama Raden Bantan. Raden Subangsa oleh orang Selaparang dan orang Sumbawa digelari Pangeran Taliwang, karena ibu Raden Mataram itu berdiam di negeri Taliwang. Ketika di Tanah Banjar dahulu, Raden Subangsa telah memperoleh tiga puteri yaitu Gusti Yada, Gusti Tika dan Gusti Pika. Raden Subangsa merupakan saudara lain ibu dengan Pangeran Singamarta. Kabar berita tentang keadaan Raden Subangsa diketahui pada masa pemerintahan Sultan Rakyatullah yang dibawa oleh Raden Subantaka bersama Patih Pelo yang dahulu disuruh memperisterikan Raden Subangsa ke Selaparang. Raden Subantaka itu paman dari Pangeran Singamarta dan Pangeran Taliwang.
Pangeran Singa-Marta adalah Menteri Besar yang pernah diutus raja Banjar kepada Kesultanan Bima pada tahun 1701. Di negeri kesultanan Bima, Pangeran Singa-Marta menikahi puteri dari Adipati Thopati Tlolouang.
Raden Subangsa merupakan saudara sesusu dengan Sultan Agung dari Banjar. Pangeran Dipati Anom II inilah yang menyuruh memperisterikan Raden Subangsa ke Selaparang dan demikian juga sanak-saudaranya yang lain juga dinikahkan dengan putera/puteri kerajaan lain.[5] Pada tahun 1618, Kesultanan Gowa menaklukan kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Selaparang. Pada tahun 1673 pusat kerajaan dipindahkan oleh VOC-Belanda dari pulau Lombok ke Sumbawa untuk memusatkan kekuatan. Pada tahun 1674, perjanjian Kesultanan Sumbawa dengan VOC yang isinya bahwa Sumbawa harus melepaskan Selaparang, setelah lepasnya Selaparang dari Sumbawa kemudian VOC menempatkan regent dan pengawas. Kerajaan Selaparang mulai mengalami kemunduran pada tahun 1691 dan akhirnya runtuh pada 1740 karena kekalahannya dalam perang melawan Kerajaan Karangasem.
Sejarah Sumbawa mencatat bahwa dominasi Sultan Sumbawa yang keturunan Bugis-Makasar digantikan oleh sultan dari keturunan raja Banjar. Permulaan keturunan raja Banjar menjadi sultan Sumbawa yaitu, Gusti Mesir Abdurrahman yang bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II (1762-1765). Ia diangkat menjadi sultan kedelapan Sumbawa karena ia telah memperistrikan cucu dari Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I' (1702-1723), Datu Bonto Raja. Silsilah Raja dari keturunan Banjar mendominasi Sultan Sumbawa. Meskipun juga, Datu Seran, Raja negeri Seran dan anaknya sempat menjadi Sultan Sumbawa, namun dilanjutkan kembali oleh dinasti Gusti Mesir Abdurrahman sampai kesultanan di Sumbawa berakhir.[11][12][13][14][15][16][17][18]
Penyerahan takhta
Menurut naskah Cerita Turunan Raja Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar Resensi I) bahwa pada waktu itu Pangeran Dipati Anom II mudik menghulu ke Nagara membawa sampung dan lunas perahu milik kakandanya swargi Sultan Saidullah yang bernama Si Gigir untuk diperbaiki di sana. Sementara itu putera-putera swargi Ratu Anom yaitu Raden Bagus dan Raden Basus serta hambanya mengatakan akan tinggal di Alalak. Setelah Si Gigir selsai diperbaiki di Nagara, Pangeran Dipati Anom II memerintahkan Raden Panjang Jiwa dan Kiai Sutajaya pergi ke negeri Biaju meminta pertolongan orang-orang Biaju untuk meminta tahta kerajaan kepada Sultan Rakyatullah agar diserahkan kepada Raden Bagus dan Raden Basus. Maka datanglah orang-orang Biaju dengan penuh sukacita mendengar sekiranya Raden Bagus akan menjadi raja mereka. Kira-kira sebanyak tiga ribu orang Biaju yang datang dari semua desa-desa ikut serta untuk mendesak Sultan Rakyatullah menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota, bahkan seandainya dengan jalan kekerasan atau kerusuhan. Maka Pangeran Dipati Anom II segera pergi menghilir datang menemui mereka, sehingga penuh sungai Barito dengan perahu yang berlabuh di pulau Alalak. Pada saat itu Sultan sedang bercengkrama dari Martapura ke hilir di Banjarmasin. Maka kemudian Raden Panjang Jiwa datang menemui mangkubumi Pangeran Mas Dipati melaporkan bahwa Pangeran Dipati Anom II hendak menghadap kepada Sultan bersama orang banyak dengan membawa seribu buah perahu besar dan kecil. Kemudian Pangeran Mas Dipati menyuruh Raden Panjang Jiwa pulang dahulu sambil menunggu pemberitahuan dari pihaknya. Pangeran Mas Dipati melaporkan keadaan tersebut kepada Sultan yang kemudian memperbincangkannya bersama Kiai Kartasuta, Kiai Sumajiwa dan Kiai Wangsanagara bersama anak-anak Dipati lainnya. Kemudian diputuskan bahwa lebih baik Sultan Rakyatullah pulang ke istana di Martapura untuk memperbincangkan hal tersebut dengan anak-anak raja yang lain dan para pembesar diantaranya Ratu Ayu, Pangeran Dipati Kasuma Mandura, Pangeran Dipati Tuha II, Pangeran Dipati Wiranata, dan Pangeran Dipati Singamarta. Karena pemberitahuan dari pihak mangkubumi Pangeran Mas Dipati tidak kunjung tiba maka Pangeran Dipati Anom II memerintahkan Raden Panjang Jiwa untuk memeriksanya ke Banjar, ternyata Pangeran Ratu sudah kembali mudik ke Martapura. Pangeran Dipati Anom II kemudian menyusul mudik ke Kayu Tangi beserta orang banyak tersebut. Atas perintah Pangeran Anom II, kemudian Raden Panjang Jiwa diiringkan lima ratus orang menghadap Pangeran Ratu bermaksud untuk mengambil perkakas kerajaan beserta menteri-menteri dan orang-orang keraton yang nantinya akan diserahkan kepada Raden Bagus yang hendak dijadikan raja tersebut. Sultan mengatakan bahwa ia akan mengadakan rapat dahulu dengan Dewan Mahkota. Kemudian berkumpullah di Dalem Agung semua menteri, Ratu Ayu dan para Dipati sementara gamelan tangara balabrana dipalu orang dan bedil pun disulut. Kebanyakan menyatakan pendirian mereka untuk menentang Pangeran Dipati Anom II. Pangeran Dipati Kasuma Mandura meragukan niat Pangeran Dipati Anom II yang akan memberikan tahta untuk keponakannya Raden Bagus Kasuma, menurutnya hal tersebut belum tentu benar, sehingga bisa saja tahta tersebut untuk Pangeran Dipati Anom II sendiri, makanya dia menyarankan menyerahkan langsung saja kepada Raden Bagus Kasuma sendiri dengan memanggil Raden Bagus Kasuma ke istana. Tetapi mangkubumi Pangeran Mas Dipati menasihatkan supaya mereka mengalah. Pangeran Aria Wiraraja, putera dari Pangeran Ratu juga lebih suka menyelesaikan masalah dengan Pangeran Dipati Anom II secara aman daripada mencoba nasib dengan berperang.
Pada tahun 1663 tersebut terjadi perkembangan politik baru, Putra Mahkota Amrullah Bagus Kasuma telah dewasa dan menuntut haknya sebagai Sultan yang sah. Tuntutan itu didukung Pangeran Adipati Anom II dan para bangsawan serta kelompok suku Biaju yang menginginkan hak pemerintah itu diserahkan kepada turunan yang sah sesuai dengan legitimasi. Amirullah berhasil berkuasa tahun 1663 dengan gelar "Tahlilullah".
Kelompok Sultan Rakyatullah tetap berusaha memperoleh kekuasaan dan berhasil dengan bantuan para bangsawan mengangkat puteranya Pangeran Aria Wiraraja sebagai mangkubumi. Dengan demikian klik Rakyatullah tetap berkuasa. Pada saat berkuasa, Rakyatullah berhasil menjalin kontak dagang dengan VOC tahun 1660 dan 1661, sebagai kelompok pro Belanda, kontrak ini memberi hak monopoli lada pada VOC. Dengan sendirinya Tahlilullah hanya mejjadi boneka dari taktik kelompok Rakyatullah dan mangkubumi Pangeran Aria Wiraraja, putera dari Pangeran Dipati Tapasena.
Perjanjian yang dibuat dengan VOC ini, menyebabkan golongan bangsawan tidak menyenanginya. Sebab, hak monopoli VOC, berarti tidak memberikan adanya kebebasan dalam perdagangan, sedangkan golongan bangsawan juga adalah para pedagang, yang memperoleh keuntungan dari perdagangan bebas. Karena itu pula, golongan bangsawan mendukung Pangeran Dipati Anom II mengadakan kudeta, merebut kekuasan dari Sultan Tahlilullah. Pangeran Dipati Anom II didukung juga oleh golongan suku Biaju. Tahlilullah muda yang malang akhirnya mengungsi hingga ke daerah Alay di pedalaman dan mengumpulkan kekuatan di sana.
Referensi
- ^ van Dijk, L. C. (1862). Ne©erland's vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Camobdja, Siam en Cochin-China (dalam bahasa Belanda). J. H. Scheltema.
- ^ Cense, Anton Abraham (1928). De kroniek van Bandjarmasin (dalam bahasa Belanda). C.A. Mees. hlm. 97.
- ^ G. Kolff, G. Kolff (1889). Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India (dalam bahasa Belanda).
- ^ von Siebold, Philipp Franz (1847). "Le moniteur des Indes orientales et occidentales: recueil de mémoires et de notices scientifiques et industriels... concernant les possessions néerlandaises d'Asie et d'Amérique" (dalam bahasa Prancis). Belinfante frères: 166.
- ^ a b c d e (Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405.ISBN 983-62-1240-X Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "hikayat banjar" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ (Inggris) Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië". 23 (1-2). Nederlandsch-Indië: 198.
- ^ "Regnal Chronologies Southeast Asia: the Islands". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-11. Diakses tanggal 2009-12-16.
- ^ http://adabydarban.blogspot.com/2012/04/silsilah-raja-raja-kotawaringin-menurut.html
- ^ (Indonesia) Hindia-Belanda (1965). Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia-Belanda 1635-1860 (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat. hlm. 5.
- ^ Accoordt gemaeckt bij den Gouverneur Generael ende raden van India, met de gesanten van Martapoura den 18 en December Anno 1660. Alsoo hier tot Batavia verscheenen zijn SaraDoeta Ponbanal, Lasmita ende Trafael, gesanten van den pangoran Ratou van’t landt van Martapoura, om met den Gouverneur Generael ende de raden van India af le maecken het different tussen de Compe en het voorsz. landt van Martapoura, open gebleven wegen de schade die de gemelte Compe ende hare onderdanen A° 1638 in Martapoura hebben geleden ende die de Gouverneur Generael en Raden van India begroot hadden op een Som me van 50 ” realen van achten soo is heden tussen de gemelte Gouverneur Generael en raden van India ter eenre, ende de hoochgeachte gesanten van den pangeran Ratou van Martapoera ter anderen Zijde, op approbatie ende believen van de gemelte pangeran, overeengecomen ende verdragen, dat de'voorsz: Compe ende hare onderdanen soo Nederlanders als Chinesen ende andere natie in vergoedingh van de voorsz: schade, voortaen in Martapoura voor ’t aenbrengen ende uijtvoeren harer coopmanschappen ende waren niet meer en sullen betalen dan 5 ten hondert eens sonder meer, in plaets van seven ten hondert, die bij ’t contract jongst in Martapoura gemaeckt, tussen de gemelte pangoran ende den coopman Dirck van Lier bedongen sijn geweest, ende daermede sal dan de voorsz: pretentie van 50 " doot en afgedaan wezen; tot bevestingh hebben de Gouverneur Generael en raden van India ter eenre ende de gemelte gesanten van den pangoran van Martapoura ter andere zijde, dese acte met haer handen onderteeckent. // In’t Casteel Batavia, datum als vooren. Onderstont en was geteeckent Joan Maetsuijker, Carel Hartsinck, A. van Outshoorn. Nicolaes V erburch, Dirck Jansz. Steur. Lager: P r. Marville Secs.
- ^ SUMBAWA BARAT DALAM PENCARIAN IDENTITAS BUDAYA
- ^ KABUPATEN SUMBAWA, Memang Lahir Tanggal 22 Januari 1959
- ^ "Photo Sultan Sumbawa". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-23. Diakses tanggal 2009-12-28.
- ^ "Kerajaan Sumbawa". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-03. Diakses tanggal 2009-12-28.
- ^ http://suluhbanjar.blogspot.co.id/2010/11/sejarah-orang-orang-banjar-di-pulau.html
- ^ http://kesultananbanjar.com/id/?p=1279
- ^ http://kesultananbanjar.com/id/?p=1288
- ^ http://www.samawarea.com/2014/09/lats-dan-sultan-sumbawa-dipolisikan/
Pustaka
- Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
- M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar:Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
Pranala luar
- https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/search_letters/?ruler=Sultan%20Rakyatullah Diarsipkan 2018-06-20 di Wayback Machine.
- https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/search_letters/?ruler=Sultan%20Tahlilullah Diarsipkan 2018-06-20 di Wayback Machine.
- Napaktilas Pejuang Dibalik Perkembangan Islam dan Nama Besar Kerajaan Banjar (5)
Didahului oleh: Ratu Bagawan |
Mangkubumi 1657-1660 |
Diteruskan oleh: Pangeran Mas Dipati |
Didahului oleh: Saidullah |
Sultan Banjar 1660-1663 |
Diteruskan oleh: Sultan Agung dari Banjar |