Penyerbuan Meester Cornelis

Penyerbuan Meester Cornelis adalah serangan angkatan darat Britania terhadap kamp militer Hindia Belanda di Meester Cornelis yang dibela oleh tentara Belanda, Prancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar antara 550–730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Serangan Angkatan Darat Britania tersebut dilakukan dari Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar).[1]

Penyerbuan Meester Cornelis
Bagian dari Peperangan era Napoleon

Diagram Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta)
Tanggal14 Agustus - 26 Agustus 1811
LokasiBatavia, Hindia Belanda (sekarang Jakarta, Indonesia)
Hasil Kemenangan Britania
Perubahan
wilayah
Meester Cornelis direbut oleh Britania
Pihak terlibat

Britania Raya Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia

Prancis Kekaisaran Prancis Pertama
Belanda Kerajaan Belanda

Tokoh dan pemimpin
Britania Raya Robert Stopford
Samuel Auchmuty
Rollo Gillespie
Belanda Jan Willem Janssens
Kekuatan
12.000 17.000
Korban
630 40 perwira militer
1.000 korban lain

Latar belakang

sunting

Lord Minto, Gubernur Jenderal Kemaharajaan Britania 1807 telah berencana untuk mengurangi kendali Prancis atas Pulau Mauritius, Pulau Bourbon, dan Pulau Jawa. Pada 1810, Belanda takluk di bawah Prancis dalam Peperangan era Napoleon, sehingga seluruh daerah kekuasaannya turut direbut Prancis, termasuk Hindia Belanda dan Jawa di dalamnya. Napoleon Bonaparte menunjuk Jenderal Belanda bernama Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Sementara Inggris terus berusaha melanjutkan peperangannya terhadap Prancis, perang perseteruan besar di Eropa yang menjalar hingga ke Jawa kala itu.

Rencana Lord Minto dijalankan, sebuah ekspedisi militer Britania bergerak melewati Samudra Hindia menuju Jawa pada pertengahan 1811. Ekspedisi tersebut dipimpin Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang warga Amerika yang pernah membantu Britania dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Hampir 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah Perusahaan Hindia Timur Britania berada dalam konvoi laut militer Inggris tersebut, sebuah ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia II.[1] Ekspedisi ini mendarat di Teluk Batavia (sekarang Teluk Jakarta) sekitar pukul dua siang hari Minggu, 4 Agustus 1811. Para serdadu Inggris kemudian berbaris di Cilincing, daerah rawa di pesisir Batavia, dan tiga hari kemudian berhasil menyeberangi Sungai Ancol, bergerak dalam senyap menuju Kota Batavia.

Menguasai Batavia

sunting

Penyerangan Balai Kota Batavia dilakukan pada pukul sebelas malam. Serdadu Inggris tidak mengalami kesulitan memasuki Batavia karena tembok yang mengelilingi Batavia telah dirobohkan oleh perintah Daendels pada 1808-1810. Pusat kota yang sebelumnya dikuasai Prancis pun jatuh dengan mudah ke tangan Inggris. Sebelum subuh 10 Agustus 1811, serdadu Inggris telah bergerak menyusuri pinggiran kanal Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada) menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden (kini Sawah Besar dan seputar Lapangan Banteng).

Pertempuran Weltevreden yang bergolak saat terbitnya matahari itu berlangsung sekitar dua jam. Mayor Brigade William Thorn dalam bukunya, Memoir of the Conquest of Java (1815) yang kala itu turut terjun dalam pertempuran dan terluka di bagian kepalanya mencatat bahwa jumlah serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang, dan tiga kuda tewas. Ekspansi militer Lord Minto terus berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, kala itu kamp militer serdadu Napoleon dan Belanda, dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung.[a]

Pertempuran kadang berhenti selama sehari, yang digunakan kedua pihak untuk melakukan perundingan tentang pertukaran tawanan perang yang ditangkap dalam pertempuran 10 Agustus di Weltevreden. Thorn mencatat, meskipun di tengah perang, pasukan Prancis di Batavia tetap menjunjung pemimpin mereka Napoleon, merayakan ulang tahunnya pada 15 Agustus dengan dentuman meriam dari sejumlah pos pertahanan mereka.

Kronologi peristiwa

sunting

Jalannya penyerbuan

sunting

Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar antara 550–730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Pembelanya adalah campuran dari Belanda, Prancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Sebagian besar pasukan Hindia Timur tersebut diragukan loyalitas dan efektivitasnya, meskipun ada beberapa pasukan artileri yang tangguh dari Sulawesi. Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar) terbukti sebagai markas ideal yang digunakan Inggris untuk bisa menyerbu Meester Cornelis. Pada tanggal 14 Agustus Inggris melewati jalur yang melalui hutan dan perkebunan lada untuk memungkinkan mereka membawa senjata dan amunisi berat, dan memulai serbuan meriam di sisi utara benteng. Selama beberapa hari, terjadi baku tembak antara Meester Cornelis dan meriam Inggris, diawaki terutama oleh Marinir Kerajaan dan pelaut dari HMS Nisus.[2]

Sebuah serangan cepat dari Meester Cornelis pada pagi buta tanggal 22 Agustus secara singkat merebut tiga meriam Inggris, sampai mereka didorong kembali oleh beberapa para prajurit Bengali dan Resimen Serdadu ke-69.[3] Kedua belah pihak kemudian saling beradu tembak, yang mulai mereda pada 23 Agustus, tetapi berlanjut lagi pada tanggal 24 Agustus.[4][5] Posisi pasukan Prancis-Belanda memburuk ketika seorang desertir membantu Jenderal Rollo Gillespie untuk menangkap dua benteng pertahanan yang terkejut. Gillespie, yang sedang menderita demam, roboh, tetapi pulih untuk menyerbu sebuah benteng pertahanan ketiga. Jenderal Prancis Jauffret tertangkap dan dipenjarakan. Dua perwira Belanda, Mayor Holsman dan Mayor Muller, mengorbankan diri mereka dengan meledakkan amunisi benteng pertahanan itu.[6]

Tiga benteng pertahanan tersebut adalah kunci pertahanan Meester Cornelis, dan hilangnya mereka menurunkan moral sebagian besar pasukan Hindia Timur Janssens. Banyak tentara Belanda yang juga membelot, menyangkal kesetiaan mereka terhadap Prancis. Tentara Inggris menyerbu Meester Cornelis di tengah malam pada 25 Agustus, merebutnya setelah pertempuran yang sengit.[4][5] Penyerbuan tersebut memakan korban jiwa 630 korban di pihak tentara Inggris.

Korban di pihak Prancis-Belanda lebih berat, tetapi hanya korban yang merupakan perwira militer yang tercatat. Empat puluh dari mereka tewas, enam puluh tiga terluka, dan 230 ditangkap, termasuk dua jenderal Prancis.[6] Hampir 5.000 orang ditangkap, termasuk tiga perwira jenderal, 34 petugas lapangan, 70 kapten dan 150 perwira bawahan.[5] 1.000 pria ditemukan tewas di benteng tersebut, dengan lebih banyak yang terbunuh dalam pengejaran berikutnya.[5] Janssens melarikan diri ke Buitenzorg (sekarang Bogor) dengan beberapa yang selamat dari pasukannya, tetapi dipaksa untuk meninggalkan kota tersebut ketika Inggris juga mendekat.[5] Pengejaran yang lama akhirnya berakhir dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, dekat Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Britania akhirnya berkibar di benteng-benteng di seluruh Pulau Jawa.

Menurut catatan Thorn, pertempuran 17 hari di Batavia tersebut bagi pihak Inggris mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.[1] Jumlah kerugian total Inggris dalam operasi militer setelah jatuhnya Meester Cornelis adalah sebesar 141 tewas, 733 terluka dan 13 hilang dari Angkatan Darat, dan 15 tewas, 45 terluka dan tiga hilang dari Angkatan Laut; total 156 tewas, 788 terluka dan 16 hilang saat 27 Agustus.[5]

Pasca penyerbuan

sunting

Tak lama setelah pertempuran usai, ajudan militer Raffles, Kapten James Hanson, dari Infantri Pribumi (Native Infantry) Madras Ke-27, mengarang sebuah puisi tentang jatuhnya Benteng Cornelis yang kemudian dibawakan bersama dengan nyanyian para pelaut yang terkenal The Saucy Arethusa oleh para pemusik dari resimen Inggris untuk mengiringi ekspedisi di Jawa. Lagu ini kemudian menjadi lagu pengiring tarian pesta yang digelar pada 4 Juni 1812 oleh istri pertama Raffles, Olivia Mariamne, di kediaman Komisaris Distrik Timur Pulau Jawa di Semarang, Hugh Hope.[7]

Warisan di Jatinegara

sunting

Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya, Letnan Kolonel Campbell, yang akhirnya meninggal dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah petak di dekat Pasar Baru. Beberapa tahun kemudian, di pusaranya terdapat sebongkah batu nisan penanda yang berisi tulisan janda Campbell. Makam tersebut menjadi semacam monumen peristiwa berdarah tersebut, dan menjadi bagian halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Seratus tahun setelah pertempuran di Meester Cornelis tersebut, makam Campbell tetap tidak tergusur. Namun karena terbengkalai akhirnya pada November 1913, nisan terebut dan sisa jasad Campbell dipindahkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Pertempuran Meester Cornelis juga meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar wilayah Jatinegara. Konon di sebuah kawasan yang dulunya banyak berserakan mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Prancis tersebut dijuluki warga dengan julukan "Rawa Bangke". Nama kampung tersebut masih tercetak dalam peta Batavia 1930-an, tetapi kini kampung tersebut berubah nama menjadi "Rawa Bunga" yang menjadi bagian Jakarta Timur.[1]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Kini benteng yang dahulu lokasinya di sekitar Pasar Jatinegara tersebut telah lenyap.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Media, Kompas Cyber (2013-08-28). "Makam Inggris Berkisah tentang Perang Napoleon di Jatinegara". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2022-11-25. 
  2. ^ Fregosi. Dreams of Empire. hlm. 322. 
  3. ^ nationalarchives site
  4. ^ a b Woodman. The Victory of Seapower. hlm. 108. 
  5. ^ a b c d e f James. The Naval History of Great Britain. 6. hlm. 34. 
  6. ^ a b Fregosi. Dreams of Empire. hlm. 323. 
  7. ^ Carey, P. B. R.; A. Noor, Farish (2022). Ras, kuasa, dan kekerasan kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 82. ISBN 978-602-481-656-8. OCLC 1348391104. 

Rujukan

sunting