Penangkapan dan pembunuhan Ngo Dinh Diem
Penangkapan dan pembunuhan Ngô Đình Diệm, presiden Vietnam Selatan, menandai puncak kudeta sukses yang didukung CIA pimpinan Jenderal Dương Văn Minh pada November 1963. Pada 2 November 1963, Diệm dan penasehat sekaligus adiknya Ngô Đình Nhu, ditangkap setelah Tentara Republik Vietnam (ARVN) sukses mengadakan pengepungan sepanjang malam berdarah di Istana Gia Long di Saigon. Kudeta tersebut adalah puncak dari sembilan tahun pemerintahan keluarga otokratik dan nepotistik di Vietnam Selatan. Ketidaksepakatan dengan rezim Diệm yang telah muncul ke permukaan, dan meletusnya protes-protes Buddhis massal melawan diskriminasi keagamaan jangka panjang setelah penembakan pemerintah terhadap para pengunjuk rasa yang menuntut sebuah pencekalan terhadap pengibaran bendera Buddhis.
Saat pasukan pemberontak memasuki istana, kakak-beradik Ngô tidak ditemukan dan sebelumnya telah kabur ke sebuah tempat penampungan loyalis di Cholon. Kakak beradik tersebut ditemukan para pemberontak di sebuah terowongan yang menyambungkan tempat penampungan dengan istana, dan salah mengira mereka masih ada di istana. Kakak beradik Ngô kemudian sepakat untuk menyerah dan menjanjikan pengasingan aman; setelah ditangkap, mereka langsung dieksekusi di belakang sebuah pengangkut personel lapis baja oleh para perwira ARVN pada perjalanan kembali menuju markas besar militer di Pangkalan Udara Tân Sơn Nhứt. Meskipun tak ada pernyataan resmi yang dikeluarkan, tanggung jawab atas kematian kakak beradik Ngô umumnya ditujukan kepada penjaga Minh, Kapten Nguyễn Văn Nhung, dan Mayor Dương Hiếu Nghĩa, keduanya menjaga kakak beradik tersebut sepanjang perjalanan. Para kolega tentara Minh dan para pejabat AS di Saigon sepakat bahwa Minh memerintahkan eksekusi tersebut. Berbagai perkiraan motif bermunculan, termasuk bahwa kakak beradik tersebut telah dikhianati Minh saat melarikan diri dari Istana Gia Long, dan bahwa kakak beradik tersebut dibunuh untuk menghindari kembalinya politik. Para jenderal awalnya berusaha untuk menutupi eksekusi tersebut dengan menyatakan bahwa kakak beradik tersebut melakukan bunuh diri, tetapi ini berseberangan dengan foto-foto jenazah Ngô yang muncul di media.
Latar belakang
suntingKarier politik Diệm dimulai pada Juli 1954, dimana ia diangkat menjadi Perdana Menteri Negara Vietnam oleh bekas Kaisar Bảo Đại, yang menjadi Kepala Negara. Pada masa itu, Vietnam telah terpecah di Konferensi Jenewa setelah kekalahan pasukan Uni Prancis di Pertempuran Dien Bien Phu, dengan Negara Vietnam memerintah bagian selatan negara tersebut dari paralel ke-17. Pemisahan tersebut ditujukan untuk sementara, dengan pemilihan nasional yang dijadwalkan untuk tahun 1956 untuk membuat sebuah pemerintahan dari sebuah negara yang bereunifikasi. Pada saat itu, Diệm dan Bảo Đại ditetapkan dalam kursi kekuasaan. Bảo Đại tak menyukai Diệm namun memilihnya dengan harapan ia akan mendatangkan bantuan Amerika. Masalah tersebut berujung saat Diệm menjadwalkan sebuah referendum pada Oktober 1955 dalam rangka membuat Vietnam Selatan menjadi republik. Diệm memenangkan referendum curang tersebut dan memproklasikan dirinya sendiri menjadi Presiden dari Republik Vietnam yang baru dibuat.[1]
Diệm menolak mengadakan pemilihan reunifikasi, atas dasar bahwa Negara Vietnam bukanlah penandatangan Perjanjian Jenewa. Ia kemudian berupaya untuk memperkuat kekuasaan otokratik dan nepotistiknya atas negara tersebut. Sebuah konstitusi dibuat oleh legislatur karet yang memberikan kekuasaan kepada Diệm untuk membuat hukum melalui dekrit dan secara arbitrasi memberikannya kekausaan-kekuasaan daruratnya sendiri.[2] Para pembangkang, baik komunis maupun nasionalis, dipenjara dan dieksekusi dalam jumlah ribuan, dan pemilihan-pemilihan rutin dilakukan secara curang. Para kandidat lawan diancam didakwa bersekongkol dengan Viet Cong, yang dapat dikenai hukuman mati, dan dalam beberapa kawasan, sejumlah besar pasukan ARVN dikirim untuk mencampuri kotak-kotak pemungutan suara.[3]
Diệm memegang kendali negara bersama dengan saudara-saudara kandung dan saudara-saudara iparnya, dan promosi dalam ARVN diberikan atas dasar agama dan loyalitas ketimbang jasa. Dua upaya gagal dibuat untuk melengserkan Diệm; pada 1960, sebuah serangan pasukan paramiliter diredam setelah Diệm mengadakan negosiasi untuk memberikan waktu kepada para loyalis untuk menumpas upaya kudeta tersebut, sementara serangan bom istana tahun 1962 oleh dua pilot angkatan udara gagal membunuhnya.[4] Mayoritas Buddhis Vietnam Selatan telah lama bersitegang dengan favoritisme kuat Diệm terhadap orang Katolik. Para PNS dan perwira tentara telah lama dipromosikan atas dasar preferensi agama, dan kontrak pemerintah, bantuan ekonomi AS, hak-hak bisnis dan pengecualian-pengecualian pajak secara preferensial diberikan kepada orang Katolik. Gereja Katolik Roma adalah tuan tanah terbesar di negara tersebut, dan pemegangannya dikecualikan dari reformasi lahan.[5] Di sisi lain, orang Katolik secara de facto dikecualikan dari pengangkatan buruh paksa.[6] Ketegangan dengan Diệm dan Nhu meletus dalam protes massal pada musim panas 1963 saat sembilan Buddhis tewas di tangan tentara dan polisi Diệm saat Waisak, hari kelahiran Buddha Gautama.[7]
Pada May 1963, sebuah hukum terhadap pengibaran bendera-bendera keagamaan ditentukan secara selektif; bendera Buddhis dilarang berkibar pada hari Waisak sementara bendera Vatikan dikibarkan untuk merayakan peringatan pentahbisan Uskup Agung Pierre Martin Ngô Đình Thục, kakak Diệm. Umat Buddhis menentang larangan tersebut dan sebuah unjuk rasa berakhir saat pasukan pemerintah menembakkan senjata. Dengan Diệm masih menghadapi meningkatnya tuntutan-tuntutan Buddhis untuk kesetaraan agama, sebagian masyarakat mulai menyerukan pelepasan kekuasaannya. Titik baliknya terjadi tak lama setelah tengah malam pada 21 Agustus, saat Pasukan Khusus pimpinan Nhu menyerbu dan merusak pagoda-pagoda Buddha di sepanjang negara tersebut, menangkap ribuan biksu dan menyebabkan kematian sekitar ratusan orang.[8] Sejumlah rencana kudeta telah disoroti oleh kalangan tentara pada masa sebelumnya, tetapi para perencananya mengintensifikasikan kegiatan mereka dengan meningkatnya kepercayaan setelah pemerintahan Presiden AS John F. Kennedy memerintahkan kedubes AS untuk menyoroti kemungkinan perubahan kepemimpinan.[9]
Penyerahan dan debat
suntingPada pukul 13:30 pada 1 November, Jenderal Dương Văn Minh dan Trần Văn Đôn, yang masing-masing adalah Penasehat Militer Presidensial dan Kepala Staf Angkatan Darat, memimpin sebuah kudeta melawan Diệm, dibantu oleh para perwira ARVN yang membangkang. Para pemberontak secara hati-hati memajukan rencana-rencana untuk menetralisir para perwira loyalis dengan menghindarkan mereka dari penyelamatan Diệm. Tanpa diketahui Diệm, Jenderal Đính, seorang loyalis yang mengkomandani ARVN Korps III di sekitaran kawasan Saigon, telah menyekutukan dirinya sendiri dengan para pembuat rencana dari kudeta tersebut.[10] Jenderal loyalis paling dipercaya kedua Diệm adalah Huỳnh Văn Cao, yang mengkomandani Korps IV di Delta Mekong. Diệm dan Nhu menyadari rencana kudeta tersebut, dan Nhu menanggapinya dengan merencanakan kontra-kudeta, yang ia sebut Operasi Bravo. Rencana ini melibatkan Đính dan Kolonel Tung, komandan loyalis Pasukan Khusus, yang mengadakan sebuah pemberontakan palsu sebelum pasukan mereka memajukan "kebangkitan" untuk merombak kekuasaan keluarga Ngô. Tak menyadari bahwa Đính berencana melawannya, Nhu membolehkan Đính untuk menghimpun pasukan semampunya, dan Đính memindahkan komando Divisi Ketujuh dari Korps IV Cao ke Korps III pimpinannya sendiri. Ini membolehkan Kolonel Nguyễn Hữu Có, deputi Đính, untuk mengambil komando Divisi ke-7 yang berbasis di Mỹ Tho. Peralihan tersebut membolehkan para pemberontak untuk sepenuhnya mengelilingi ibu kota dan menyangkal kesempatan Cao untuk menghalau Saigon dan melindungi Diệm, karena ia telah berhasil saat upaya kudeta sebelumnya pada 196-. Minh dan Đôn mengundang para pejabat senior yang berbasis di Saigon untuk sebuah pertemuan di Pangkalan Udara Tân Sơn Nhứt, markas besar Staf Jenderal Bersama (bahasa Inggris: Joint General Staff, JGS), untuk memulai bisnis rutin. Sebagai gantinya, mereka mengumumkan bahwa sebuah kudeta sedang dijalankan, dengan hanya beberapa orang, termasuk Tung, yang menolak untuk bergabung. Tung kemudian dipaksa di bawah ancaman pistol atas perintah loyalis Pasukan Khusus-nya untuk menyerah. Kudeta tersebut berjalan mulus saat para pemberontak cepat menaklukan seluruh instalasi penting di Saigon dan menyegel jalan-jalan penting agar tidak dimasuki pasukan loyalis. Ini hanya meninggalkan Pasukan Penjaga Presidensial untuk mempertahankan Istana Gia Long. Para pemberontak menyerang gedung-gedung pemerintah dan tentara loyalis namun menunda serangan ke istana, berharap agar Diệm segera mengundurkan diri dan menerima tawaran untuk menyelamatkan diri dan pergi ke pengasingan. Diệm menolak dan bersumpah untuk mengambil alih kembali kekuasaannya. Pada saat senja, Divisi ke-7 dari Kolonel Nguyễn Văn Thiệu, yang kemudian menjadi presiden negara tersebut, memimpin sebuah serangan ke Istana Gia Long dan dilakukan pada waktu fajar.[11]
Pada awal pagi 2 November, Diệm sepakat untuk menyerah. Para perwira ARVN memutuskan untuk mengasingkan Diệm dan Nhu, menjanjikan keselamatan kepada kakak-beradik Ngô dengan keluar dari negara tersebut. Pada pukul 06:00, tepat sebelum fajar, para perwira Angkatan Darat AS dan operatif CIA yang menjadi pendukung Amerika dalam kudeta tersebut, sebagian besar perwira, termasuk Minh, ingin Diệm mengambil "pensiun terhormat" dari jabatan, dan kemudian mengasingkan diri.[12] Tak semua perwira senior menghadiri pertemuan tersebut, dengan meninggalkan harapan atas kedatangan Diệm dan Nhu di markas besar JGS. Jenderal Lê, seorang mantan kepala kepolisian di bawah naungan Diệm pada pertengahan 1950an, sangat melobi eksekusi Diệm. Tak ada kesepakatan resmi yang diambil di pertemuan tersebut, dan Lê hanya meraih dukungan kecil. Seorang jenderal dikatakan berkata "Untuk membunuh ilalang, kau harus menarik mereka sampai ke akar-akarnya".[12] Conein mengabarkan bahwa para jenderal tak pernah merencanakan pembunuhan tersebut dalam pikiran mereka, meskipun peralihan kekuasaan adalah tujuan utama dalam mencapai tujuan mutlak mereka dalam meraih pengakuan internasional.[13]
Minh dan Đôn membujuk Conein untuk memajukan sebuah pesawat Amerika untuk mengeluarkan kakak beradik tersebut dari negara tersebut. DUa hari sebelumnya, Dubes AS untuk Vietnam, Henry Cabot Lodge Jr., telah menyatakan kepada Washington bahwa permintaan semacam itu membuat Saigon tampak dan direkomendasikan sebagai titik keberangkatan. Permintaan tersebut membuat pemerintahan Kennedy berada dalam posisi sulit, karena memajukan sebuah pesawat akan secara terbuka mentalikannya dengan kudeta tersebut. Saat Conein menelepon David Smith, pelaksana jabatan kepala stasiun CIA Saigon, terdapat penundaan sepuluh menit. Pemerintah AS tak diperbolehkan mendaratkan pesawat di negara manapun, disamping negara tersebut mengkehendaki suaka kepada Diệm. Amerika Serikat tak ingin Diệm dan Nhu membentuk pemerintahan dalam pengasingan dan ingin mereka menjauh dari Vietnam. Asisten Sekretaris Negara Roger Hilsman telah menulis pada bulan Agustus bahwa "tidak ada kepastian bahwa kakak beradik Nhu diijinkan untuk menetap di Asia Tenggara yang dekat dengan Vietnam karena rencana-rencana yang akan mereka majukan dalam rangka berupaya untuk merebut kembali kekuasaan. Jika para jenderal memutuskan untuk mengasingkan Diệm, ia juga harus dikirim ke luar Asia Tenggara."[14] Ia kemudian ingin mengantisipasi apa yang ia sebut "Götterdämmerung dalam Istana".[15]
Kita harus membiarkan kelompok kudeta untuk bertarung dalam pertempuran sampai akhir dan menghancurkan istana tersebut jika diperlukan untuk meraih kemenangan. Penyerahan tak kondisional harus menjadi suatu hal bagi keluarga Ngô saat itu akan mengkehendaki hal yang lain untuk memajukan pasukan kudeta dan AS. Jika keluarga tersebut ditangkap hidup-hidup, kakak beradik Nhu harus dibawa ke Prancis atau negara lainnya yang bersedia untuk menerima mereka. Diệm harus diperlakukan selayaknya kehendak umum.[15]
Setelah menyerah, Diệm memanggil Lodge lewat telepon untuk terakhir kalinya. Lodge tak mengabarkan perbincangan tersebut ke Washington, sehingga banyak berpendapat bahwa keduanya terakhir kali berbincang pada siang sebelum kudeta tersebut dimulai. Namun, setelah Lodge wafat pada 1985, ajudannya, Kolonel Mike Dunn berkata bahwa Lodge dan Diệm berbincang untuk terakhir kalinya sekitar pukul 07:00 pada 2 November setelah Diệm menyerah. Saat Diệm memanggil, Lodge "menempatkan[nya] pada keadaan" dan kemudian pergi menjauh. Setelah ia kembali, dubes tersebut menawarkan suaka kepada Diệm dan Nhu, tetapi tak akan disediakan transporasi ke Filipina sampai keesokan harinya.[16] Ini berseberangan dengan tawaran suaka sebelumnya pada hari sebelumnya dimana ia berkata kepada Diệm agar tidak melawan kudeta tersebut.[17] Dunn secara pribadi menawarkan kakak beradik tersebut untuk bersembunyi di kediamannya sehingga para jenderal tak akan membunuhnya, tetapi Lodge menolak, dengan berkata, "Kita tak dapat mengambil keterlibatan tersebut."[16] Dunn berkata, "Aku benar-benar memahami bahwa kita tak dapat melakukan hal lebih kepada mereka."[18] Menolak untuk membantu kakak beradik tersebut untuk meninggalkan negara tersebut demi keselamatan, Lodge kemudian berkata bahwa setelah mereka ditembak, "Apa yang akan kita lakukan dengan mereka jika mereka masih hidup? Setiap Kolonel Blimp di dunia akan melakukannya kepada mereka."[18]
Dunn juga mengklaim bahwa Lodge menempatkan Diệm di atas pegangan dalam rangka untuk memberitahukan Conein dimana kakak-beradik Ngô saat para jenderal menangkap mereka. Saat klaim Dunn diragukan oleh seorang sejarawan, Conein menyangkal catatan tersebut.[16] Conein juga terbongkar telah menelepon kedubes lebih awal pada pagi yang sama untuk menyidiki soal permintaan para jenderal atas sebuah pesawat untuk membawa Diệm dan Nhu keluar dari Saigon. Salah satu staf Lodge berkata kepada Conein bahwa pesawat tersebut akan datang langsung ke negara penyedia suaka yang jauh, sehingga kakak beradik tersebut tak dapat berada di negara pemberhentian terdekat dan bertahan disana untuk memajukan sebuah kontra-kudeta.[18] Conein berkata bahwa pesawat terdekat yang dapat melakukan penerbangan jarak jauh berada di Guam, dan itu akan menghabiskan waktu 24 jam untuk membuat perjalanan yang dibutuhkan. Minh berkata kepada Conein bahwa para jenderal tak dapat menangkap Diệm pada masa itu. Conein mendakwa sebuah penundaan terencana oleh kedubes Amerika. Sebaliknya, sebuah komisi penyelidikan Senat AS pada awal 1970an menimbulkan pemikiran provokatif: "Hal menakjubkan terjadi saat pesawat militer AS yang diminta untuk melakukan keberangkatan, terjadwalkan pada hari sebelumnya."[13] Sejarawan Mark Moyar menduga bahwa Lodge akan menerbangkan Diệm ke Pangkalan Angkatan Udara Clark di Filipina, yang berada di bawah yuridiksi Amerika, sebelum menempatkannya ke tujuan akhir. Moyar berspekulasi bahwa "saat Lodge menawarkan jet sehari sebelumnya, ia melakukannya untuk memberikan waktu kepada Diệm saat terjadinya pemberontakan yang terlalu sangat diragukan. Sekarang, kudeta tersebut sepenuhnya sukses, Lodge tak lagi perlu untuk menawarkan dorongan semacam itu."[18]
Catatan
sunting- ^ Jacobs, pp. 83–85
- ^ Jacobs, p. 86.
- ^ Jacobs, pp. 111–114.
- ^ Jacobs, p. 141
- ^ Jacobs, p. 96
- ^ Jacobs, p. 91
- ^ Jacobs, pp. 142–145
- ^ Jacobs, pp. 140–153
- ^ Jacobs, pp. 157–168
- ^ Jones, pp. 409–11.
- ^ Jones, pp. 412–15.
- ^ a b Hammer, p. 297.
- ^ a b Jones, pp. 416–17.
- ^ Hammer, p. 294.
- ^ a b Hammer, p. 295.
- ^ a b c Winters, p. 104.
- ^ Moyar, p. 271.
- ^ a b c d Moyar, p. 272.
Referensi
sunting- Buttinger, Joseph (1967). Vietnam: A Dragon Embattled. New York City, New York: Praeger Publishers.
- Hammer, Ellen J. (1987). A Death in November: America in Vietnam, 1963. New York City, New York: E. P. Dutton. ISBN 0-525-24210-4.
- Jacobs, Seth (2006). Cold War Mandarin: Ngo Dinh Diem and the Origins of America's War in Vietnam, 1950–1963. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield. ISBN 0-7425-4447-8.
- Jones, Howard (2003). Death of a Generation: how the assassinations of Diem and JFK prolonged the Vietnam War. New York City, New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-505286-2.
- Karnow, Stanley (1997). Vietnam: A history. New York City, New York: Penguin Books. ISBN 0-670-84218-4.
- Moyar, Mark (2006). Triumph Forsaken: The Vietnam War, 1954–1965. New York City, New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-86911-0.
- Lipsman, Samuel; Weiss, Stephen (1985). The False Peace: 1972–74. Boston, Massachusetts: Boston Publishing Company. ISBN 0-939526-15-8.
- Shaplen, Robert (1966). The Lost Revolution: Vietnam 1945–1965. London: Andre Deutsch.
- Winters, Francis X. (1997). The year of the hare: America in Vietnam, 25 January 1963 – 15 February 1964. Athens, Georgia: University of Georgia Press. ISBN 0-8203-1874-4.