Pemujaan kaisar
Kepercayaan Bangsa Romawi Kuno |
---|
Amalan dan Akidah |
Pemuka Agama |
Dewa-Dewi |
Kaisar yang dipertuhan: |
Topik Terkait |
Pemujaan kaisar adalah penghormatan istimewa yang ditujukan kepada kaisar-kaisar Romawi dan beberapa anggota keluarga kaisar sebagai tokoh-tokoh yang beroleh anugerah dewata berupa kewibawaan (bahasa Latin: auctoritas) untuk memerintah bangsa Romawi. Amalan memuja kaisar dibangun di atas landasan adat istiadat bangsa Romawi dan Yunani, dan dibakukan pada awal masa pemerintahan Kaisar Agustus. Amalan ini dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok tanah air maupun negeri-negeri jajahan bangsa Romawi, meskipun sambutan masyarakat maupun pelaksanaannya berbeda-beda dari daerah ke daerah.
Perombakan-perombakan yang dilakukan Kaisar Agustus mengubah tata negara bangsa Romawi dari republik menjadi monarki secara de facto tetapi disamarkan dengan balutan adat-istiadat bangsa Romawi dan kedaulatan rakyat. Sang princeps (kaisar) diharapkan menjadi sosok yang mampu menyeimbangkan kepentingan militer dengan kepentingan senatus beserta segenap rakyat, serta melanggengkan kedamaian, keamanan, dan kemakmuran di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi yang beraneka ragam suku-bangsa. Mengaturkan puja bakti (bahasa Latin: cultus) secara resmi kepada kaisar yang sedang memerintah merupakan wujud pengakuan bahwa kedudukan maupun kedaulatannya sah dan direstui dewata, dan oleh karena itu sepak terjang pemerintahannya haruslah menampakkan ketakwaan kepada dewa-dewi dan keselarasan dengan adat-istiadat leluhur.
Mendiang kaisar yang dianggap layak dihormati dapat saja dimusyawarahkan untuk dijadikan dewa (divus) negara di dalam rapat senatus, dan diperdewakan melalui suatu tindakan pendewaan. Penganugerahan pendewaan kepada seorang mendiang kaisar merupakan sarana penilai ketakwaan, kenegarawanan, maupun akhlak kaisar tersebut, dan memungkinkan kaisar-kaisar yang sedang memerintah untuk menghisabkan dirinya ke dalam nasab kaisar-kaisar divus, yang di dalamnya tidak terhisab kaisar-kaisar yang tidak disukai rakyat atau yang tidak terhormat. Penghisaban diri ke dalam nasab kaisar-kaisar dewa ini terbukti sangat berguna bagi Vespasianus dalam usahanya mendirikan kulawangsa Flavia menyusul kemangkatan Nero dan perang saudara bangsa Romawi, maupun bagi Septimius dalam perjuangannya mengukuhkan kedaulatan kulawangsa Severa menyusul terbunuhnya Komodus.
Pemujaan kaisar tidak dapat dipisahkan dari pemujaan dewa-dewi resmi Roma, yang dianggap sangat penting bagi kelanggengan negara kota Roma, sampai-sampai warga negara akan dicap makar jika tidak menunaikannya. Adat pemujaan merupakan salah satu perkara yang diutamakan di dalam penyusunan undang-undang pemulihan kekaisaran pada masa pemerintahan Desius dan Dioklesianus, sehingga menjadi pokok perdebatan di ranah teologi maupun di ranah politik tatkala agama Kristen mulai kukuh bertapak pada masa pemerintahan Konstantinus I. Kaisar Yulianus gagal menggiring rakyatnya untuk kembali mengerjakan amalan-amalan agama resmi Roma, dan Kaisar Teodosius I akhirnya menetapkan agama Kristen sebagai agama negara Roma. Dewa-dewi leluhur bangsa Romawi dan pemujaan kaisar secara resmi ditinggalkan. Meskipun demikian, banyak upacara, amalan, dan pembedaan status yang merupakan unsur khas pemujaan kaisar terlestarikan di ranah teologi maupun di ranah politik negara kekaisaran yang sudah dikristenkan itu.[butuh rujukan]
Latar belakang
suntingBangsa Romawi
suntingSelama lima abad, rakyat Republik Roma tidak menyembah seorang pun tokoh sejarah maupun tokoh yang masih hidup, sekalipun dikelilingi negara-negara monarki yang mendewakan rajanya atau memuliakan rajanya sebagai insan ardadewata. Raja-raja legendaris Roma adalah majikan-majikan negara kota itu. Dengan ditiadakannya raja-raja, rakyat Republik Roma dapat menyamakan Romulus, pendiri kota Roma, dengan Dewa Kuirinus, tanpa harus mengorbankan kemerdekaannya selaku warga sebuah negara yang berkedaulatan rakyat. Demikian pula Aineyas, pahlawan-leluhur bangsa Romawi, dapat mereka puja sebagai Dewa Yupiter Indiges.[1] Meskipun bangsa Romawi memuja banyak dewata maupun insan-insan ardadewata yang pernah hidup di dunia, serta menginsafi keberadaan teori yang mengatakan bahwa semua dewa-dewi pada mulanya adalah manusia, adat-istiadat negara Republik Roma (mos maiorum) sangat konservatif dan antimonarki. Kaum ningrat, yang memegang hampir semua jabatan magistratus dan oleh karena itu menguasai hampir semua kursi senatus, tidak mengakui seorang insan pun sebagai atasannya. Tak seorang pun warga negara, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, dimuliakan secara resmi sebagai dewa, tetapi tanda-tanda penghargaan[2] yang dianugerahkan negara kepada warganya (mahkota, bumban, arca, singgasana, pawai kemenangan) juga merupakan bentuk-bentuk penghormatan yang ditujukan kepada dewata dan bernuansa kedewataan. Bahkan ketika kemudian hari kaisar-kaisar diberi puja bakti kenegaraan, pelaksanaannya pun ditetapkan melalui maklumat senatus, dan menggunakan kalimat-kalimat yang lazim dilisankan dalam upacara penganugerahan tanda-tanda penghargaan pada umumnya.[3]
Salah satu tanda penghargaan tertinggi adalah pawai kemenangan. Apabila seorang panglima dielu-elukan pasukannya sebagai imperator, senatus akan mempertimbangkan untuk menganugerahkan tanda penghargaan kepadanya dalam bentuk triumphus, yakni pawai perayaan kemenangan menuju bukit Kapitolin. Pawai ini menjadi ajang bagi panglima pemenang perang (bahasa Latin: triumphator) untuk memamerkan tawanan dan barang rampasan, diiringi barisan pasukannya, yang menurut undang-undang tidak boleh menyandang senjata selama berpawai. Triumphator menaiki rata yuda, sembari menyandang lambang-lambang dewata seperti raja-raja Roma dahulu kala, kemudian menuntaskan pawai dengan mempersembahkan kemenangannya kepada Dewa Yupiter Kapitolinus. Beberapa sarjana menduga bahwa triumphator berlagak seakan-akan atau malah betul-betul menjadi raja sehari atau dewa sehari (atau raja sekaligus dewa sehari), tetapi unsur-unsur anugerah pawai kemenangan dan upacara-upacara yang dilaksanakan di akhir pawai kemenangan juga berfungsi membatasi status tersebut. Apa pun ambisi pribadinya, kemenangan maupun kejayaannya dipandang sebagai wujud darmabakti seorang anak bangsa kepada senatus, rakyat, dan dewa-dewi Romawi, dan hanya akan diberi pengakuan atas persetujuan mereka.[4][5]
Meskipun demikian, di dalam kehidupan sehari-hari, adat-istiadat mewajibkan bangsa Romawi untuk memperlakukan insan-insan tertentu kurang lebih seperti dewata. Di dalam keluarga, anggota yang berstatus lebih rendah seyogianya berbakti kepada anggota yang berstatus lebih tinggi. Setiap kepala rumah tangga dipandang sebagai wujud nyata genius (keberdayaan untuk beranak-pinak sekaligus danyang pelindung) leluhurnya, yang mungkin saja disembah orang lain dan yang diseru namanya apabila anggota keluarganya dan budak-budaknya mengangkat sumpah,[6] sementara istrinya dilindungi danyang perempuan yang disebut "yuno". Seorang anak-semang boleh saja menyebut induk-semangnya "Yupiter di muka bumi".[7] Arwah-arwah, baik secara kolektif maupun perorangan, dianggap sebagai dewa-dewi pratala atau akhirat (Manes). Peninggalan tertulis berupa sepucuk surat yang ditulis Kornelia, ibu Grakus bersaudara, mengabadikan harapannya agar apabila dia sudah tiada, putra-putranya akan memuliakannya sebagai deus parens (dewata pengasuhan anak), yakni tindakan yang diharapkan dari seorang anak yang berbakti kepada orang tua.[8]
Kaum keluarga terkemuka dapat saja menyatakan pemimpin mereka sebagai insan yang beroleh anugerah perbawa dari dewata maupun sebagai insan ardadewata. Semua orang terkemuka yang sudah wafat dibuatkan topeng anumertanya (imago) untuk dipajang di atrium rumahnya. Topeng tersebut digunakan sebagai lambang kehadiran arwahnya di dalam upacara perkabungan keluarga. Topeng anumerta Scipio Afrikanus, panglima yang berjaya mengalahkan Hannibal, disimpan di kuil Yupiter. Di dalam syair yang dianggit pujangga Enius, Afrikanus dikatakan sudah mengawang ke surga.[8] Berabad-abad kemudian tersiar kabar bahwa mendiang Afrikanus semasa hidupnya kerap menerima wangsit melalui mimpi, dan sebenarnya dia adalah putra Dewa Yupiter.[9]
Ada beberapa kasus pemujaan tidak resmi terhadap tokoh-tokoh yang dipandang sebagai juru selamat di bidang militer atau politik. Di Spanyol Jauh pada dasawarsa 70-an SM, golongan pro Roma memuliakan proconsul Metelus Pius sebagai juru selamat, dan membakar kemenyan baginya "layaknya orang membakar kemenyan bagi dewata" lantaran ia sudah berjasa memadamkan pemberontakan Lusitania yang dipimpin Sertorius, tokoh Romawi dari golongan yang menamakan dirinya "kaum pro rakyat" (populares). Pemujaan Metelus di Spanyol dirayakan dengan perjamuan besar-besaran, hadirin dihidangi aneka sedap-sedapan lokal maupun impor, dan sebuah arca mekanis Dewi Viktoria digerakkan sedemikian rupa untuk memasangkan mahkota ke kepala Metelus, yang tampil mengenakan (meskipun melanggar hukum) sehelai toga picta bak seorang triumphator. Meskipun diselenggarakan oleh Kuestor[10] Gayus Urbinus, perayaan ini bukanlah hajatan kenegaraan. Metelus sendiri menyukai perayaan semacam itu, tetapi rekan-rekan sezamannya yang lebih sepuh dan warak (veteres et sanctos) menganggap perayaaan itu sebagai wujud kecongkakan dan tidak dapat dibenarkan.[11][12] Sesudah kedua tokoh pembaharuan agraria, Tiberius dan Gayus Grakus, tewas dibunuh lawan-lawan mereka, golongan pendukung Grakus bersaudara pun "tumbang" tak berdaya, dan setiap hari mempersembahkan kurban ke hadapan arca Tiberius dan Gayus "seakan-akan sedang berada di kuil-kuil pemujaan dewata".[13] Sesudah Gayus Marius mengalahkan bangsa Teuton, rakyat pun mengaturkan sesaji makanan dan minuman kepadanya, bersamaan dengan mengaturkan sesaji kepada dewata keluarga. Ia dielu-elukan sebagai tokoh pendiri Roma yang ketiga, sesudah Romulus dan Kamilus.[14] Pada tahun 86 SM, orang membakar kemenyan dan menumpahkan anggur di sanggah persimpangan sebagai persembahan di depan arca Marius Gratidianus, tokoh yang masih hidup saat itu. Marius Gratidianus, kemenakan Gayus Marius yang juga populer, dipuja rakyat lantaran usaha-usaha pembaharuan moneter yang dilakukannya mampu meringankan dampak kriris ekonomi yang melanda Roma semasa ia menjabat sebagai praetor.[15]
Bangsa Yunani
suntingKetika bangsa Romawi mulai menjajah alam Yunani, wakil-wakil pemerintah Roma pun diberi penghormatan kedewataan yang lazim ditujukan kepada para penguasa Helenistis. Pemberian penghormatan kedewataan adalah cara yang lumrah dipakai negara-negara kota Yunani untuk menyatakan kesetiaannya kepada kekuatan dari luar. Penghormatan semacam ini mengikat seisi kota untuk mematuhi dan memuliakan raja sebagaimana mereka mematuhi dan memuliakan Dewa Apolon atau dewa-dewi yang lain.
Kota-kota di Yonia memuja Lisandros, sesudah panglima perang Sparta itu menjadi penguasa tunggal Yunani seusai Perang Peloponesos. Menurut Plutarkhos, Lisandros adalah tokoh pemimpin pertama yang didewakan di dalam sejarah bangsa Yunani. Ada pula tokoh-tokoh pemimpin lain yang didewakan pada zaman itu, sekalipun beberapa di antaranya, misalnya Agesilaus, menolak didewakan.[16] Klearkhos, Tiran Heraklea, berdandan sedemikian rupa sehingga terlihat seperti Dewa Zeus, lalu mempermaklumkan dirinya sebagai dewata, tetapi tindakannya itu tidak mampu mencegah warga Heraklea untuk membunuhnya. Di dalam riwayat Filipos II, Raja Makedonia, Isokrates mengemukakan bahwa andaikata sang raja berjaya menaklukkan Kemaharajaan Persia, maka tiada lagi kemuliaan yang tersisa baginya untuk diraih selain menjadi dewa. Tanpa menaklukkan Persia pun ia sudah disembah sebagai dewa oleh warga kota Amfipolis dan sekelompok masyarakat di kota Atena. Ia sendiri mendirikan arcanya, yang dibuat tampak berbusana layaknya dewa, sebagai arca Dewata Olimpos yang ketiga belas.[17]
Justru putra Filipos, Aleksander Agung, yang melumrahkan amalan mendewakan raja di kalangan bangsa Yunani. Sesudah Aleksander mengusir bangsa Persia dari Mesir, bangsa Mesir memuliakannya sebagai Firaun, dan dengan demikian mengakui kedewaannya. Sesuai dengan adat-istiadat masing-masing, bangsa-bangsa lain yang ditaklukkan Aleksander juga memuliakannya sebagai raja dewata atau ardadewata. Pada tahun 324 SM, Aleksander melayangkan maklumat ke kota-kota Yunani, bahwasanya mereka harus menyembahnya sebagai dewa. Maklumatnya dituruti, kendati mendapat sambutan yang berbeda-beda dari kota ke kota.[18] Meskipun bersedia menyembah Aleksander sebagai dewa, setahun kemudian, sesudah mendengar kabar kemangkatan Aleksander, kota-kota itu bangkit memberontak melawan Makedonia.
Para pengganti Aleksander, yang disebut diadokhos, mempersembahkan kurban kepadanya, tetapi mereka juga menyatakan diri sebagai dewa, bahkan sebelum menyatakan diri sebagai raja. Mereka mencetak uang yang menampilkan gambar wajah mereka, padahal bangsa Yunani lazimnya cuma menampilkan gambar dewata atau lambang kota. Ketika warga kota Atena bersekutu dengan Demetrios Poliorketes, delapan belas tahun sesudah Aleksander didewakan, mereka mempersilahkannya untuk tinggal di kuil Partenon bersama Dewi Atena, dan menyanyikan gita puja yang menyanjungnya sebagai dewa masa kini yang mendengarkan seruan mereka manakala dewa-dewi lain tidak menghiraukan mereka.[19]
Euhemeros, pujangga yang hidup sezaman dengan Aleksander, menulis sebuah karya sastra sejarah dunia fiktif, yang menghadirkan Zeus dan dewa-dewi Yunani lainnya sebagai insan-insan fana yang mendaku diri sebagai dewata seperti yang dilakukan Aleksander. Tampaknya pujangga Enius telah menerjemahkan karya sastra ini ke dalam bahasa Latin kira-kira dua abad kemudian, pada masa hidup Afrikanus.
Selama kulawangsa Ptolemayos berdaulat di Mesir dan kulawangsa Seleukos berdaulat di Suriah, raja-rajanya mendaku diri sebagai dewa, mungkin lantaran terpengaruh tradisi dewaraja Persia dan Mesir, meskipun raja-raja kulawangsa Ptolemayos disembah secara terpisah di dalam agama politeisme Mesir selaku Firaun dan di dalam agama politeisme Yunani. Tidak semua kulawangsa Yunani bertindak demikian. Anak-cucu Demetrios Poliorketes, yang silih berganti menduduki singgasana Makedonia dan menguasai Semenanjung Yunani, tidak mendaku diri sebagai dewa dan tidak pula mendewakan Aleksander (seperti yang dilakukan kulawangsa Ptolemayos).
Orang-orang Romawi di alam Yunani
suntingPara magistratus Romawi yang menaklukkan alam Yunani pun dilibatkan ke dalam tradisi pendewaan raja. Berbagai kejuaraan diselenggarakan untuk memuliakan Markus Klaudius Marselus, sesudah ia berhasil menaklukkan Sisilia di akhir Perang Punik II, sama seperti kejuaraan yang diselenggarakan untuk memuliakan Dewa Zeus. Kejuaraan-kejuaraan untuk menghormati Marselus terus-menerus diselenggarakan kembali dalam rentang waktu satu setengah abad sebelum dihapuskan oleh wali negeri Romawi lainnya demi membuka jalan bagi penyelenggaraan kejuaran-kejuaraan untuk memuliakan dirinya sendiri. Sesudah Titus Kuinsius Flaminius menaklukkan negeri Yunani, orang Yunani mendirikan kuil-kuil untuk memuja dirinya dan kota-kota di negeri itu mencetak uang yang memuat gambar wajahnya. Flaminus menyifatkan dirinya sendiri sebagai insan-laksana-dewa (isoteos) di dalam sebuah prasasti di Delfi, tetapi tidak menggunakan bahasa Latin dan tidak pula membuat prasasti semacam itu di Roma. Bangsa Yunani juga menciptakan sosok Dewi Roma, yang tidak dipuja di Roma. Dewi ini dipuja bersama-sama dengan Flamininus (dibuktikan oleh keterangan dari tahun 195 SM). Dewi Roma kemudian hari dijadikan lambang romanitas di negeri-negeri jajahan Romawi, dan menjadi semacam tautan yang berkelanjutan, sementara seorang Marselus atau Flamininus paling-paling cuma berkuasa selama dua tahun.
Ketika Raja Bitinia, Prusias I, diberi kesempatan tatap-muka dengan dewan senatus, ia bersembah sujud dan menyebut mereka "Dewa-Dewa Juru Selamat". Tindak-tanduk semacam ini mungkin saja adalah tata krama menghadap raja di Kerajaan Bitinia. Pujangga Livius terperangah membaca catatan Polibios tentang peristiwa itu, dan bersikukuh tidak ada sumber Romawi yang membuktikan bahwa peristiwa itu benar-benar pernah terjadi.[20]
Tampaknya bangsa Yunani rutin memuja dan membangun kuil pemujaan pembesar Romawi yang menjadi wali negeri di Yunani. Tanggapan dari orang Romawi sendiri tidak seragam. Saat menjadi prokonsul, Cicero menolak usulan para pembesar kota di Provinsi Asia untuk membangun sebuah kuil tempat orang memuja adiknya dan dirinya sendiri, supaya tidak mebuat orang-orang Romawi lainnya merasa cemburu. Ketika Cicero menjadi Wali Negeri Kilikia, ia mengaku tidak pernah bersedia dipahatkan arca, dibangunkan kuil, maupun dibuatkan rata. Meskipun demikian, pendahulunya, Apius Klaudius Pulker, sangat gembira ketika orang Kilikia membangun kuil untuk memuja dirinya. Ketika kuil itu belum rampung pada akhir masa jabatannya, ia menyurati Cicero, memintanya untuk memastikan pembangunan kuil itu terus berjalan sampai tuntas, dan menyampaikan keluhannya bahwa Cicero tidak cukup mencurahkan perhatiannya kepada urusan tersebut.[21]
Bentuk-bentuk madya
suntingBangsa Romawi maupun bangsa Yunani memiliki adat memuja manusia tanpa harus mendewakannya. Adat ini melapangkan jalan bagi pendewaan yang dilakukan bangsa Yunani untuk pertama kalinya. Bentuk-bentuk madya serupa juga muncul tatkala Kaisar Agustus hendak didewakan secara resmi.
Bangsa Yunani tidak mendewakan orang-orang mati, tetapi memuja dan mempersembahkan kurban kepada orang-orang mati, dengan upacara yang berbeda dari upacara pemujaan dewa-dewi Olimpus. Bangsa Yunani menyebut orang-orang besar yang sudah wafat (tokoh pendiri kota dan tokoh-tokoh sejenisnya) sebagai para pahlawan.
Lihat pula
sunting- Ara Pacis – Monumen keagamaan Romawi Kuno di Roma, Italia
- Pemujaan tokoh – Pendewa-dewaan tokoh pemimpin
- Daulat ilahi raja-raja – Doktrin politis dan agamawi tentang keabsahan raja
- Pemujaan raja – Bentuk agama negara
- Amanat Langit – Doktrin politis di Tiongkok tentang keabsahan kaisar
Keterangan
sunting- ^ Tidak jelas apakah penyembahan Aineyas sebagai Yupiter Indiges adalah pemujaan resmi (dan oleh karena itu didukung negara).
- ^ berbeda dari jabatan-jabatan
- ^ Gradel, hlmn. 32–52, demikian pula sebagian besar dari bagian ini.
- ^ Ikhtisar beragam pandangan mengenai status triumphator (dan oleh karena itu juga mengenai makna triumphus) dapat dibaca di Versnel, 56–93: pratayang terbatas via Books.Google.com
- ^ Beard, 272-5: sedikitnya catatan tentang kehadiran seorang budak umum (atau orang lain) yang berdiri di belakang atau di dekat sang triumphator untuk mengingatkannya bahwa dia "hanya seorang insan fana" atau memberi peringatan kepadanya untuk "memandang ke belakang" bebas ditafsirkan macam-macam; selain itu, catatan-catatan tersebut berasal dari zaman pascarepublik. Bagaimana pun juga, catatan-catatan tersebut menyiratkan adanya tradisi memperingatkan triumphator di muka umum bahwa dia hanya seorang insan fana, sekalipun berpenampilan bak seorang raja, dan untuk sementara waktu dipuja-puja laksana dewa. Tidak ada dasar untuk berasumsi bahwa tradisi ini adalah suatu inovasi yang baru muncul pada zaman kekaisaran.
- ^ Taylor, hlm.67
- ^ Gradel, hlm. 46, mengutip keterangan Plautus – keterangan tersebut ditambahkan Plautus ke dalam karya sastra Yunani aslinya; Gradel juga menduga bahwa corona civica mula-mula tercipta sebagai bentuk pengakuan dari seseorang bahwa si polan sudah menyelamatkan nyawanya – sebagaimana dewata menyelamatkan nyawa manusia – dengan cara memahkotai si polan dengan bumban dedaunan pohon Yupiter.
- ^ a b Taylor, hlm. 55
- ^ Walbank, 120-37. Books.Google.co.uk, Convenience link
- ^ kemungkinan besar ia adalah aide-de-camp Metellus, bukan pejabat pemerintah negeri jajahan.
- ^ Taylor, hlm.48; mengutip karya tulis Makrobius, Saturnalia, 3.13.9, yang sebagian besar isinya merupakan petikan dari karya tulis Salustius (yang tidak bakal lestari sampai sekarang andaikata tidak dikutip Makrobius); kalimat quasi deo supplicabatur berasal dari karya tulis Salustius. Tarikhnya tidak pasti, kemungkinan besar tahun 77 SM, seusai sebuah pertempuran di Saguntum.
- ^ Insiden ini juga disinggung di dalam karya tulis Valerius Maksimus, Facta et dicta memorabilia 9.1.5
- ^ Vout, 119: mengutip karya tulis Plutarkhos, Gaius Gracchus, 10, 18.2. edisi Loeb tersedia di Thayer: Penelope.Uchicago.edu
- ^ Taylor, hlm.48, mengutip karya tulis Plutarkhos, Marius, 27
- ^ Gradel, hlm. 51, mengutip karya tulis Cicero, De officiis, 3.80: Stoics.com (diakses tanggal 2 Agustus 2009).
- ^ Tatkala para pewarta dari Tasos menyampaikan warta kepadanya bahwa kota Tasos sudah mempermaklumkan dirinya sebagai dewa, Agesilaus berkata kepada mereka bahwa jika mereka memang bisa mengubah manusia menjadi dewata, seharusnya mereka lebih dulu mengubah diri mereka sendiri menjadi dewa-dewi, barulah ia percaya bahwa mereka bisa mengubahnya menjadi dewa. Taylor, hlm. 12, mengutip karya tulis Plutarkhos, Moralia, 210d.
- ^ Taylor, hlmn. 12–13
- ^ Di Sparta, muncul pernyataan sikap, "lantaran Aleksander hendak menjadi dewa, biarlah dia menjadi dewa"; di Atena, Demades membujuk rakyat supaya tidak mengundang petaka dengan melawan kemauan Aleksander, katanya, "janganlah sampai kamu membela langit tetapi kehilangan bumi""; Demostenes berkata, "biarkan saja dia menjadi anak Zeus – juga anak Poseidon kalau dia mau."
- ^ Athenaeus, 6.63 Books.Google.com
- ^ Taylor, hlmn. 40–41, mengutip karya tulis Polibios 30.16, Livius, 45.44; selain itu, sebagai suatu kasus yang paralel, CIL VI 374, dari rakyat Laodikia kepada Rakyat Roma.
- ^ Untuk keterangan umum, lih. Price, 48; Fishwick, Jld. 1, 1, 6–20; untuk keterangan terperinci, lih. Taylor, Bab 2 dan 3, passim. Membuktikan bahwa arca-arca magistratus Romawi di Roma sebagian besar mungkin saja dibuat atas pesanan sekutu-sekutu Yunani, tanpa menyadari potensi timbulnya kontroversi akibat memajang citra-citra "Helenistis" tokoh-tokoh militer dari kalangan ningrat Romawi di tempat umum. Lih. Christopher Hallett, The Roman Nude, Oxford University Press, 2005. (tersedia pratayang terbatas) Books.Google.co.uk, mengutip uraian di dalam karya tulis Plutarkhos, Kumpulan Riwayat Hidup, karya tulis Flamininus, & riwayat hidup Cicero, Rabiurus Postumus, 10.26
Rujukan dan bahan bacaan lanjutan
sunting- Ando, Clifford (2000). Imperial ideology and provincial loyalty in the Roman Empire (edisi ke-Illustrated). University of California Press. ISBN 0-520-22067-6.
- Beard, M., Price, S., North, J., Religions of Rome: Volume 1, a History, illustrated, Cambridge University Press, 1998. ISBN 0-521-31682-0
- Beard, M., Price, S., North, J., Religions of Rome: Volume 2, a sourcebook, illustrated, Cambridge University Press, 1998. ISBN 0-521-45646-0
- Beard, Mary: The Roman Triumph, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Mass., and London, England, 2007. ISBN 978-0-674-02613-1
- Bowersock, G., Brown, P. R .L., Graba, O., (eds), Late Antiquity: A Guide to the Postclassical World, Harvard University Press, 1999. ISBN 978-0-674-51173-6
- Bowman, A., Cameron, A., Garnsey, P., (eds) The Cambridge Ancient History: Volume 12, The Crisis of Empire, AD 193–337, 2nd Edn., Cambridge University Press, 2005. ISBN 0-521-30199-8
- Brent, A., The imperial cult and the development of church order: concepts and images of authority in paganism and early Christianity before the Age of Cyprian, illustrated, Brill Publishers, 1999. ISBN 90-04-11420-3
- Cannadine, D., and Price, S., (eds) Rituals of Royalty: Power and Ceremonial in Traditional Societies, reprint, illustrated, Cambridge University Press, 1992. ISBN 0-521-42891-2
- Chow, John K., Patronage and power: a study of social networks in Corinth, Continuum International Publishing Group, 1992. ISBN 1-85075-370-9
- Collins, Adela Yarbro, Crisis and catharsis: the power of the Apocalypse, Westminster John Knox Press, 1984. ISBN 0-664-24521-8
- Elsner, J., "Cult and Sculpture; Sacrifice in the Ara Pacis Augustae", in the Journal of Roman Studies, 81, 1991, 50–60.
- Ferguson, Everett, Backgrounds of early Christianity, 3rd edition, Wm. B. Eerdmans Publishing, 2003. ISBN 0-8028-2221-5
- Fishwick, Duncan, The Imperial Cult in the Latin West: Studies in the Ruler Cult of the Western Provinces of the Roman Empire, volume 1, Brill Publishers, 1991. ISBN 90-04-07179-2
- Fishwick, Duncan, The Imperial Cult in the Latin West: Studies in the Ruler Cult of the Western Provinces of the Roman Empire, volume 3, Brill Publishers, 2002. ISBN 90-04-12536-1
- Fishwick, Duncan, "Numen Augustum," Zeitschrift für Papyrologie und Epigraphik, Bd. 160 (2007), pp. 247–255, Dr. Rudolf Habelt GmbH, Bonn (Germany).
- Freisen, S. J., Imperial cults and the Apocalypse of John: reading Revelation in the ruins, Oxford University Press, 2001. ISBN 978-0-19-513153-6
- Gradel, Ittai, Emperor Worship and Roman Religion, Oxford, Oxford University Press, 2002. ISBN 0-19-815275-2
- Haase, W., Temporini, H., (eds), Aufstieg und Niedergang der romischen Welt, de Gruyter, 1991. ISBN 3-11-010389-3
- Harland, P., "Honours and Worship: Emperors, Imperial Cults and Associations at Ephesus (First to Third Centuries C.E.)", originally published in Studies in Religion/Sciences religieuses 25, 1996. Online in same pagination: Philipharland.com
- Harland, P., "Imperial Cults within Local Cultural Life: Associations in Roman Asia", originally published in Ancient History Bulletin / Zeitschrift für Alte Geschichte 17, 2003. Online in same pagination: Philipharland.com
- Howgego, C., Heuchert, V., Burnett, A., (eds), Coinage and Identity in the Roman Provinces, Oxford University Press, 2005. ISBN 978-0-19-926526-8
- Lee, A.D., Pagans and Christians in late antiquity: a sourcebook, illustrated, Routledge, 2000. ISBN 0-415-13892-2
- Lott, John. B., The Neighborhoods of Augustan Rome, Cambridge, Cambridge University Press, 2004. ISBN 0-521-82827-9
- MacCormack, Sabine, Change and Continuity in Late Antiquity: the ceremony of "Adventus", Historia, 21, 4, 1972, pp 721–52.
- Martin, Dale B., Inventing superstition: from the Hippocratics to the Christians, Harvard University Press, 2004. ISBN 0-674-01534-7
- Momigliano, Arnaldo, On Pagans, Jews, and Christians, reprint, Wesleyan University Press, 1987. ISBN 0-8195-6218-1
- Niehoff, Maren R., Philo on Jewish identity and culture, Mohr Siebeck, English trans GW/Coronet Books, 2001. ISBN 978-3-16-147611-2
- Nixon, C.E.V., and Rodgers, Barbara S., In Praise of Later Roman Emperors: The Panegyric Latini, University Presses of California, Columbia and Princeton, 1995. ISBN 978-0-520-08326-4
- Potter, David S., The Roman Empire at Bay, AD 180–395, Routledge, 2004. ISBN 978-0-415-10057-1
- Price, S.R.F. Rituals and power: the Roman imperial cult in Asia Minor, (reprint, illustrated). Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-31268-X
- Rees, Roger (2004). Diocletian and the Tetrarchy. Edinburgh, UK: Edinburgh University Press. ISBN 9780748616602.
- Rehak, Paul, and Younger, John Grimes, Imperium and cosmos: Augustus and the northern Campus Martius, illustrated, University of Wisconsin Press, 2006. ISBN 0-299-22010-9
- Rosenstein, Nathan S., Imperatores Victi: Military Defeat and Aristocratic Competition in the Middle and Late Republic. Berkeley: University of California Press, 1990. Ark.CDlib.org
- Rüpke, Jörg (Editor), A Companion to Roman Religion, Wiley-Blackwell, 2007, ISBN 978-1-4051-2943-5
- Severy, Beth, Augustus and the family at the birth of the Roman Empire, Routledge, 2003. ISBN 0-415-30959-X
- Smallwood, E., Mary, The Jews under Roman rule: from Pompey to Diocletian: a study in political relations, illustrated, Brill Publishers, 2001. ISBN 0-391-04155-X
- Taylor, Lily Ross, The Divinity of the Roman Emperor, American Philological Association, 1931; repr. Arno Press, 1975.
- Theuws, Frans, and Nelson, Janet L., Rituals of power: from late antiquity to the early Middle Ages, Brill Publishers, 2000. ISBN 90-04-10902-1
- Versnel, H S: Triumphus: An Inquiry into the Origin, Development and Meaning of the Roman Triumph, Leiden, 1970.
- Vout, Caroline, Power and eroticism in Imperial Rome, illustrated, Cambridge University Press, 2007. ISBN 0-521-86739-8
- Walbank, Frank W., Selected Papers: Studies in Greek and Roman History and Historiography, Cambridge University Press, 1986 (pp 120–137). ISBN 978-0-521-30752-9
- Weinstock, Stefan. Divus Iulius. Oxford (Clarendon Press/OUP). 1971.
- Wiedemann, Thomas. Adults and Children in the Roman Empire, Taylor & Francis Ltd., 1989. ISBN 978-0-415-00336-0
- Williams, S., and Friell, J.G.P., Theodosius: The Empire at Bay, Taylor & Francis Ltd., 1994. ISBN 978-0-7134-6691-1