Pemilihan Paus sebelum 1059

Pemilihan Paus, yang merupakan Uskup Roma dan pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, sebelum dikeluarkannya bulla In nomine Domini pada tahun 1059 dilakukan dalam bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah. Pada masa ini, para Paus yang menduduki takhta tersebut sering kali dipilih oleh pendahulu mereka atau oleh penguasa politik setempat. Walaupun demikian, penunjukan Paus yang mengikutsertakan umat awam secara nyata juga terjadi pada masa tersebut, meskipun proses tersebut jarang terjadi terutama ketika kekuasaan temporal Paus diwujudnyatakan dengan dibentuknya Negara Gereja. Praktik penunjukan Paus selama periode tersebut kemudian berkembang menjadi apa yang disebut jus exclusivae, yaitu hak seorang raja Katolik untuk memveto pemilihan Paus, yang telah digunakan oleh beberapa raja sebanyak beberapa kali hingga abad ke-20 meskipun Gereja Katolik belum pernah mengakuinya secara resmi.

Tidak adanya prosedur pemilihan Paus yang resmi dan terstruktur menyebabkan seringnya terjadi skisma yang melahirkan dua atau beberapa pengeklaim tahkta kepausan pada masa-masa tertentu, dan Gereja Katolik saat ini telah menganggap beberapa pengeklaim takhta Paus sebelum tahun 1059 tersebut sebagai antipaus. Selain itu, persetujuan politik dari penguasa-penguasa tertentu yang sering kali dibutuhkan oleh Paus terpilih tersebut semakin memperpanjang periode sede vacante takhta episkopal, yaitu kekosongan jabatan Paus, secara signifikan dan semakin melemahkan kekuasaan Paus. Pada tahun 1059, Paus Nikolaus II berhasil dalam membatasi syarat pemilih yang memilih Paus setelahnya khusus bagi kardinal saja, yang dituangkan dalam bulla In nomine Domini. Keputusan tersebut menjadi pemrakarsa pembakuan pemilihan Paus yang akhirnya berkembang menjadi prosedur konklaf.

Referensi

sunting

Pustaka

sunting