Ejaan yang Disempurnakan

susunan ejaan bahasa Indonesia yang telah dibakukan

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (disingkat Ejaan yang Disempurnakan atau EYD) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku dari tahun 1972 hingga 2015 menggantikan Ejaan Baru, serta kembali berlaku sejak tahun 2022 menggantikan Ejaan Bahasa Indonesia.[1] Ejaan ini menggantikan Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi pada tahun 1972 dan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) pada tahun 2022. EYD pertama kali diberlakukan dan diresmikan pada tanggal 26 Agustus 1972. Pemberlakuan pemakaian EYD diperkuat dengan keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972.

Ejaan ini sempat digantikan oleh Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) sejak tahun 2015 hingga bulan Agustus 2022, ketika istilah "Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" kembali digunakan.

Jika menghitung EBI sebagai edisi keempat, Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan saat ini telah memiliki lima edisi.

Sejarah Tahun 1966

sunting

Pada tahun 1966, panitia untuk menyusun ejaan baru bagi bahasa Indonesia dibentuk. Panitia itu bekerja atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 062 Tahun 67, pada tanggal 19 September 1967. Pada, tahun 1967, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK, sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK) yang merupakan hasil kerja panitia bentukan LBK tersebut. Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo.

Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang ejaan yang baru. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Indonesia dan bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia). Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dinamai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaian ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan daripada Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik yang dipakai sejak bulan Maret 1947.

Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah". Buku pedoman tersebut menjadi pedoman EYD edisi pertama.

Pada tahun 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan". Keputusan menteri ini menjadi aturan EYD edisi kedua yang menyempurnakan EYD edisi pertama (1975).

Pada tahun 2009, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, yang menjadi aturan EYD edisi ketiga. Dengan dikeluarkannya peraturan menteri ini, maka EYD edisi kedua (1987) diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi.[2]

Pada tahun 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 yang menyempurnakan EYD edisi ketiga (2009), serta mengubah istilah EYD menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).[3]

Pada tahun 2022, Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Nomor 0424/I/BS.00.01/2022 dikeluarkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Keputusan menteri tersebut pada intinya mengembalikan istilah EBI menjadi EYD, atau yang lebih tepatnya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan Edisi Kelima, sehingga menganggap bahwa EBI merupakan EYD edisi keempat. Dalam keputusan tersebut pula, beberapa pedoman dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) direvisi.[4]

Perubahaan dengan ejaan sebelumnya

sunting

Edisi pertama (1972)

sunting

Beberapa ketentuan baru yang ditetapkan di dalam EYD edisi pertama, antara lain:[5]

  • Huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing diresmikan pemakaiannya.
  • Huruf q dan x yang lazim digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan tetap digunakan, misalnya pada kata furqan, dan xenon.
  • Awalan di- dan kata depan di dibedakan penulisannya. Kata depan di pada contoh di rumah, di sawah, penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara di- pada dibeli atau dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
  • Huruf diftong oi hanya ditemukan di belakang kata, misalnya oi pada kata amboi.
  • Bentuk gabungan konsonan kh, ng, ny, dan sy termasuk kelompok huruf konsonan.
  • Masih menggunakan dua istilah, yaitu huruf besar dan huruf kapital.
  • Penulisan huruf hanya mengatur dua macam huruf yaitu huruf besar atau huruf kapital dan huruf miring.
  • Penulisan angka untuk menyatakan nilai uang menggunakan spasi antara lambang dengan angka, misalnya Rp 500,00.
  • Tanda petik dibedakan istilah dan penggunaannya menjadi dua, yaitu tanda petik ganda dan tanda petik tunggal.
  • Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya. Angka dua (2) tidak digunakan sebagai penanda perulangan, kecuali mungkin dalam tulisan cepat dan notula.

Ketentuan-ketentuan selain penulisan huruf di dalam pedoman EYD, antara lain:

  • Penulisan kata.
  • Penulisan tanda baca.
  • Penulisan singkatan dan akronim.
  • Penulisan angka dan lambang bilangan.
  • Penulisan unsur serapan.

Edisi kedua (1987)

sunting

Beberapa perubahan pada EYD edisi kedua, antara lain:[5]

  • Penggunana huruf kapital dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan terdapat catatan tambahan yaitu:
    1. bila terdiri dari kata dasar maka tulisan disambung, misalnya Tuhan Yang Mahakuasa;
    2. bila terdiri dari kata berimbuhan maka penulisan dipisah, misalnya Tuhan Yang Maha Pengasih.
  • Huruf kapital sebagai huruf pertama nama orang diberi keterangan tambahan, yaitu:
    jika nama jenis atau satuan ukuran ditulis dengan huruf kecil, misalnya mesin diesel, 10 volt, dan 5 ampere.
  • Huruf kapital yang digunakan sebagai nama khas geografi diberi catatan tambahan, yaitu:
    1. istilah geografi bukan nama diri ditulis dengan huruf kecil, misalnya berlayar ke teluk;
    2. nama geografi sebagai nama jenis ditulis dengan huruf kecil, misalnya, gula jawa.
  • Huruf kapital yang digunakan sebagai nama resmi badan dan dokumen resmi terdapat catatan tambahan, yaitu:
    jika tidak diikuti nama maka ditulis dengan huruf kecil, misalnya sebuah republik dan menurut undang-undang yang berbeda dengan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945.
  • Penulisan angka untuk menyatakan nilai uang menggunakan spasi antara lambang dengan angka terdapat catatan tambahan, yaitu:
    1. untuk desimal pada nilai mata uang dolar dinyatakan dengan titik, misalnya $3.50;
    2. angka yang menyatakan jumlah ribuan dibubuhkan tanda titik, misalnya Buku ini berusia 1.999 tahun.

Edisi ketiga (2009)

sunting

Beberapa perubahan pada EYD edisi ketiga, antara lain:[5]

  • Huruf diftong oi ditemukan pada posisi tengah dan posisi akhir dalam sebuah kata, misalnya boikot dan amboi.
  • Bentuk kh, ng, ny, dan sy dikelompokkan menjadi gabungan huruf konsonan.
  • Penulisan huruf masih tetap mengatur dua macam huruf, yaitu huruf besar atau huruf kapital dan huruf miring.
  • Tanda garis miring terdapat penggunan tambahan, yaitu tanda garis miring ganda untuk membatasi penggalan-penggalan dalam kalimat untuk memudahkan pembacaan naskah.
  • Penggunaan angka dua (2) disebutkan digunakan dalam keperluan khusus, seperti dalam pembuatan catatan rapat atau kuliah.

Edisi keempat (2015)

sunting

Ejaan yang Disempurnakan edisi keempat disebut dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia.

Edisi kelima (2022)

sunting

Beberapa perubahan pada EYD edisi kelima, antara lain:[6]

  • Penambahan istilah huruf monoftong, yang beranggotakan lambang huruf eu (juga digunakan oleh bahasa Sunda dan bahasa Aceh).
  • Bentuk terikat maha- dan kata dasar atau berimbuhan yang merujuk pada nama dan sifat Tuhan ditulis terpisah.
  • Perubahan redaksi (pengantar), pemindahan kaidah penulisan unsur serapan, penghapusan kaidah penulisan kutipan, perubahan contoh, dan perubahan tata cara penyajian isi.

Penggunaan

sunting

Dalam penggunaannya pada nama, sering kali masih menggunakan ejaan lama, misalnya Soekarno, yang sudah lebih dulu terkenal, dan terkadang dalam nama modern dicampur dengan ejaan baru, seperti nama belakang Megawati Soekarnoputri (bukan Sukarnoputri maupun Soekarnopoetri).

Dalam penggunaannya di luar Indonesia, beberapa orang dapat memilih untuk mengejanya dengan ejaan asing (bukan Belanda / Ejaan Lama). Misalnya, musisi Stephanie Poetri mengeja nama keduanya (nama tengahnya) mirip kata bahasa Inggris poetry (puisi), alih-alih putri.

Kemiripan dengan bahasa lain

sunting

Ejaan EYD beberapa mirip dengan bahasa Inggris, seperti penulisan huruf vokal (a, i, u, e, o) sehingga banyak kata yang diserap secara utuh dari bahasa Inggris seperti solder, pistol, sandal, dll.[butuh rujukan]

Referensi

sunting
  1. ^ "EYD V". ejaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2022-08-22. 
  2. ^ Ejaan bahasa Indonesia
  3. ^ Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia (2016). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PDF) (edisi ke-4). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. ISBN 978-979-069-262-6. 
  4. ^ https://ejaan.kemdikbud.go.id/eyd/surat-keputusan/
  5. ^ a b c http://repository.unmuhjember.ac.id/13041/1/Artikel_Penyempurnaan%20Ejaan_Yerry.pdf
  6. ^ Ini, Berita Hari. "Apa Saja Perubahan dalam EYD Edisi V? Ini Daftarnya yang Perlu Disimak". Kumparan. Diakses tanggal 2022-10-27. 

Pranala luar

sunting