Pandangan agama tentang pornografi

Pandangan agama tentang pornografi didasarkan pada pandangan-pandangan yang lebih luas dalam hal keagamaan mengenai kesopanan, martabat, dan seksualitas manusia, serta keutamaan-keutamaan lain yang menggambarkan dampak negatif pornografi.[1] Masing-masing kelompok agama mungkin memandang pornografi dan seksualitas secara berbeda.

Menurut suatu studi pada tahun 2013, orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sangat religius dan mengonsumsi pornografi lebih berkemungkinan melihat diri mereka sendiri mengalami adiksi pornografi (suatu adiksi atau kecanduan yang tidak dikenal dalam buku pedoman psikiatrik DSM-5) dibandingkan dengan sebuah kelompok acuan yang non-religius, tetapi studi ini tidak memperlihatkan hubungan antara tingkat ketaatan beragama dan banyaknya pornografi yang dikonsumsi.[2]

Yudaisme

sunting

Michael Coogan menyatakan bahwa Tanakh tidak mengandung hukum khusus sehubungan dengan pornografi dan Yudaisme senantiasa memiliki sikap yang positif dalam hal seksualitas.[3] Menurut beberapa komentator, Alkitab sendiri bahkan mengandung erotika,[4][5] misalnya Kitab Kidung Agung.

Dalam Mishneh Torah karyanya, Maimonides menuliskan bahwa menurut Talmud,[6] "Seseorang yang menatap bahkan satu jari kelingking seorang wanita dengan maksud memperoleh kenikmatan, dianggap seolah-olah ia memandang organ genitalnya. Bahkan dilarang mendengar suara seorang wanita yang dengannya relasi seksual adalah terlarang, ataupun memandang rambutnya."[7] Hal ini kemudian dikodifikasikan dalam Kitab Hukum Yahudi,[8] yang mencakup larangan-larangan lanjutan (berdasarkan Talmud) seperti "menyaksikan kaum wanita saat mereka mencuci pakaian". Dengan demikian, pornografi jelas dilarang.

Selain itu, hukum Yahudi dalam hal kesopanan dan kerendahan hati (tzniut) mensyaratkan kaum wanita Yahudi agar berpakaian sopan.[9] Hukum Yahudi karenanya tidak mengizinkan kaum wanita Yahudi untuk terlibat dalam akting atau modeling pornografis di samping tindakan-tindakan ketidaksopanan lainnya.

Menurut Chabad.org, persoalannya adalah juga kendali pribadi atas dorongan dalam diri seseorang, yang terancam oleh pornografi.[10]

Kekristenan

sunting

Alkitab

sunting

Di dalam Alkitab tidak terdapat larangan secara eksplisit terhadap pornografi. Namun, banyak kalangan Kristen mendasarkan pandangan mereka tentang pornografi berdasarkan Matius 5:27–28 (salah satu "Antitesis"):

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.[11][12][13][14]

Hal tersebut mengandung salah satu dari Sepuluh Perintah Allah, Keluaran 20:14 atau Ulangan 5:18, yang juga sering digunakan sebagai ayat pendukung untuk mengutuk pornografi.[11][13][14][15]

Berdasarkan pengalaman pribadinya pada masa lampau, Michael Coogan melaporkan bahwa kampanye menentang pikiran yang dipenuhi nafsu berkonsekuensi menyensor Kitab Kidung Agung dari Alkitab-Alkitab yang tersedia bagi para seminaris.[3]

Ken Stone mengutip kata-kata Origenes untuk menyampaikan bahwa membaca Kidung Agung berpotensi menstimulasi nafsu pada para pembaca yang dikuasai 'kedagingan': "Tetapi apabila ada orang yang hidupnya hanya demi daging mendengar [Kidung Agung], maka bagi orang tersebut pembacaan Kitab Suci ini akan menjadi ancaman bahaya dan kerugian yang tidak sedikit. Karena tidak mengetahui bagaimana mendengar bahasa kasih dalam ketahiran dan dengan telinga yang murni, dia akan menjauhkan keseluruhan ragam pendengarannya akan kitab itu dari manusia rohaninya yang terdalam serta bergerak ke arah yang ekstrinsik dan badani; dan dia akan berpaling dari roh demi keinginan daging, dan akan menumbuhkan keinginan badani dalam dirinya sendiri, serta akan tampak seolah-olah Kitab Suci Ilahi yang karenanya mendesak dan menghasut dia untuk hawa nafsu kedagingan!" Stone menambahkan bahwa "banyaknya penggunaan citra makanan dalam kitab itu bukanlah hambatan bagi suatu interpretasi 'pornografis' yang positif".[16]

Richard Hess menjelaskan pandangan Carey E. Walsh dengan kata-kata: "Walsh telah memastikan bahwa penekanan Kidung Agung terletak pada ekspresi dari hasrat antara dua kekasih. Hal yang terpenting bukanlah konsumasi seksual, tetapi hasrat itu sendiri yang menggerakkan kedua kekasih secara bersamaan. Dalam hal ini ia membedakan erotika dengan pornografi. Yang disebut belakangan hanya berkaitan dengan seks, dan dalam hal ini secara kualitatif berbeda dengan Kidung Agung. Di sini seks memainkan suatu peranan sekunder atas hasrat. Ada atau tidaknya suatu aktivitas seksual di dalam syair tersebut—dan sebagai suatu fantasi kemungkinan tidak ada realitas seperti itu di sini—kunci bagi Kidung Agung tetaplah terletak pada hasrat yang menggerakkan pembaca untuk menghargai waktu penantian. Praktik Ibrani menempatkan arti yang tertinggi pada gairah."[17] Dengan mengatakan bahwa Kidung Agung adalah "erotika", bukan pornografi, Walsh berpendapat bahwa kedua istilah tersebut setidaknya memiliki tiga perbedaan: (1) Erotika cenderung mengarah pada "emosi dan dunia internal" suatu subjek untuk mendapatkan empati, sementara "kedataran emosional" pada pornografi bertujuan mencapai kepuasan seksual; (2) Erotika berfokus pada kerinduan untuk mencapai "konsumasi", yang mungkin terjadi dalam alur penangguhan yang berliku-liku, sementara pornografi sekadar merupakan tindakan-tindakan untuk mencapainya sesegera mungkin dan "suatu kegilaan pengulangan"; (3) Erotika menggunakan imajinasi sebagai "partisipan yang tak terlihat dan senantiasa aktif" tanpa mengungkapkan "misteri cinta" di dalamnya, sementara pornografi tidak lebih dari suatu kisah eksplisit hubungan seksual.[18]

Gereja Katolik

sunting

Menurut Magisterium Gereja Katolik, Matius 5:27–28 memiliki implikasi bahwa keterlibatan dalam pornografi adalah dosa, karena tujuan pornografi adalah membangkitkan hawa nafsu dan karenanya setara dengan perzinaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Katekismus Gereja Katolik:

Pornografi melepaskan tindakan-tindakan seksual yang sebenarnya ataupun yang dibuat-dibuat dari keintiman para pelaku dalam rangka menunjukkannya secara sengaja kepada pihak ketiga. Pornografi menodai kemurnian karena merusak tindakan perkawinan, penyerahan diri yang intim antara suami dan istri. Pornografi menyebabkan kerusakan serius pada martabat dari semua yang berperan di dalamnya (para pelaku, penjaja, dan penonton) karena masing-masing pihak menjadi suatu objek kenikmatan amoral dan sumber keuntungan yang tidak sah. Pornografi menempatkan semua pihak yang terlibat di dalam ilusi dari suatu dunia fantasi. Pornografi merupakan suatu pelanggaran berat. Pemerintah perlu mencegah pembuatan dan penyaluran materi-materi pornografis.[19]

Kardinal Karol Wojtyla, sebelum ia menjadi Paus Yohanes Paulus II, menulis dalam Cinta dan Tanggung Jawab bukunya: "Pornografi merupakan suatu tendensi yang mencolok untuk menonjolkan elemen seksual ketika mereproduksi tubuh manusia atau cinta manusia dalam sebuah karya seni, dengan tujuan mendorong pembaca atau penonton untuk percaya bahwa nilai-nilai seksual adalah satu-satunya nilai-nilai yang sesungguhnya pribadi tersebut, dan bahwa cinta adalah sekadar pengalaman, baik individual ataupun bersama-sama, dari nilai-nilai itu sendiri." Dalam rangka menjelaskan topik seni dan pornografi yang dibahas dalam buku tersebut dengan mengontraskan karya-karya Michelangelo dengan Playboy, Edward Sri mengatakan bahwa "seni yang baik membawa kita menuju suatu permenungan yang damai atas yang sejati, yang baik dan yang indah, termasuk kebenaran, kebaikan dan keindahan dari tubuh manusia", sementara pornografi "menggerakkan suatu dambaan sensual dalam diri kita" dan, apabila dibiarkan tidak terkendali, "kita akan menjadi diperbudak dengan segala sesuatu yang merangsang hasrat sensual kita".[20] Ketika seseorang terus menerus melihat pornografi, yang hanya berfokus pada "yang terlihat dan yang erotis" serta mereduksi pribadi manusia menjadi apa yang terlihat dengan mata, ia akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang-orang yang berbeda jenis kelamin dalam kehidupan nyata karena ia terbiasa melihat mereka sebagai "objek-objek untuk dipergunakan".[21]

Dalam serangkaian pengajaran yang dikenal sebagai Teologi Tubuh, Paus Yohanes Paulus II berpendapat bahwa beberapa karya seni menggambarkan individu-individu tanpa busana tanpa membangkitkan hawa nafsu tetapi, dengan suatu cara tertentu, "memungkinkannya untuk memusatkan perhatian pada kebenaran seutuhnya manusia, serta martabat dan keindahan—juga keindahan 'suprasensual'—dari maskulinitas dan feminitasnya", dan bahwa karya-karya seperti demikian di dalamnya mengandung "suatu elemen keluhuran" yang hampir-hampir tersembunyi. Ia menegaskan bahwa pornografi menimbulkan masalah karena "gagal menggambarkan segala sesuatu yang adalah manusia".[22]

Gereja Metodis Bersatu

sunting

Gereja Metodis Bersatu mengajarkan bahwa pornografi adalah "mengenai kekerasan, kemerosotan, eksploitasi, dan pemaksaan", serta "menyesalkan segala bentuk komersialisasi, pelecehan, dan eksploitasi seks, dan mendefinisikan pornografi sebagai 'materi gamblang seksual yang menggambarkan kekerasan, pelecehan, pemaksaan, dominasi, penghinaan ataupun kemerosotan dengan tujuan perangsangan. Selain itu, materi gamblang seksual apapun yang menggambarkan anak-anak adalah pornografis'."[23] Gugus Tugas Etika Seksual dari Gereja Metodis Bersatu menyatakan bahwa "penelitian menunjukkan kalau [pornografi] bukanlah suatu 'aktivitas yang tanpa salah'. [Pornografi] berbahaya dan biasanya adiktif. Orang-orang yang kecanduan pornografi secara fisiologis mengalami perubahan, seperti halnya perspektif, hubungan mereka dengan anggota-anggota jemaat dan keluarga, serta persepsi mereka atas para pemudi dan wanita."[24]

Di dalam Al-Qur'an menyatakan:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."

[25]

Oleh karena itu dikemukakan oleh para Muslimin dan Muslimat bahwa orang yang hanya dapat melihat dengan nafsu ketelanjangan atau tubuh seseorang adalah pasangannya, dan apabila seorang Muslim melihat seseorang atau sesuatu yang merangsangnya, termasuk pornografi, maka ia perlu menghindari untuk melihatnya. Dengan demikian pornografi dinyatakan haram dalam Islam.[26][27]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Sherkat and Ellison (1997). "The Cognitive Structure of a Moral Crusade". Social Forces. hlm. 958. JSTOR 2580526. 
  2. ^ (Inggris) Religious People More Likely to Think They're Addicted to Porn
  3. ^ a b (Inggris) Silver, Alexandra (2010-10-31). "Q&A: 'God and Sex' Author Michael Coogan on the Bible". TIME. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-10-29. Diakses tanggal 2015-02-21. In many passages it's a highly erotic text, and it was a text that rabbinic literature tells us used to be sung in taverns. Yet when I was in seminary many decades ago, it was razored out of many of the Bibles that we had. 
  4. ^ (Inggris) Miller, Lisa (2011-02-06). "What the Bible Really Says About Sex". Newsweek.com. Diakses tanggal 2015-02-21. 
  5. ^ (Inggris) Rachael Kohn "The World's Sexiest Book". The Spirit of Things. ABC Radio National, 15 January 2012.
  6. ^ Shabbat 64b
  7. ^ (Inggris) Mishneh Torah. hlm. 21:2. Diakses tanggal 21 December 2016. 
  8. ^ (Inggris) Shulchan Arukh. hlm. 21:1. Diakses tanggal 21 December 2016. 
  9. ^ (Inggris) Janowski, Malkie. "Who Decides What Is Modest?". Chabad.org. Diakses tanggal 21 December 2016. 
  10. ^ (Inggris) Freeman, Tzvi. "What's Wrong With Pornography?". Diakses tanggal 6 May 2013. 
  11. ^ a b (Inggris) J. Gordon Melton (1989), The Churches Speak on Pornography: Official Statements from Religious Bodies and Ecumenical Organizations, Gale Research, p. xxi-xxii
  12. ^ (Inggris) Arthur J. Mielke (1995), Christians, Feminists, and the Culture of Pornography, University Press of America, p. 57-58,62
  13. ^ a b (Inggris) Ronald David Lawler, Joseph M. Boyle, William E. May (1998), Catholic Sexual Ethics: A Summary, Explanation & Defense, Our Sunday Visitor Publishing, p. 30
  14. ^ a b (Inggris) Larry J. Nelson, Laura M. Padilla-Walker, Jason S. Carroll (2010). Ralph L. Piedmont, ed. ""I Believe It Is Wrong But I Still Do It": A Comparison of Religious Young Men Who Do Versus Do Not Use Pornography". Psychology of Religion and Spirituality. American Psychological Association. Vol 2 (3), p. 137. doi 10.1037/a0019127
  15. ^ (Inggris) Susan Cebulko (2007), The Impact of Internet Pornography on Married Women: A Psychodynamic Perspective, Cambria Press, p. 43, ISBN 1-9340-4317-6
  16. ^ (Inggris) Ken Stone (2005), Practicing Safer Texts: Food, Sex and Bible in Queer Perspective, A&C Black, p. 107, ISBN 0-567-08172-9
  17. ^ (Inggris) Richard S. Hess (2005), Song of Songs, Baker Academic, p. 32, ISBN 0-8010-2712-8
  18. ^ (Inggris) Carey Ellen Walsh (2000), Exquisite Desire: Religion, the Erotic, and the Song of Songs, Fortress Press, p. 42-45, ISBN 0-8006-3249-4
  19. ^ (Inggris) "Paragraph 2354", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  20. ^ (Inggris) Edward Sri (2007), Men, Women, and the Mystery of Love: Practical Insights from John Paul II's Love and Responsibility, St. Anthony Messenger Press, ISBN 9780867168402, p. 29,119
  21. ^ (Inggris) Anthony Percy (2005), Theology of the Body Made Simple, Gracewing Publishing, ISBN 0852446683, p. 63
  22. ^ (Inggris) Christopher West (2003), Theology of the Body Explained: A Commentary on John Paul II's "Gospel of the Body", Gracewing Publishing, ISBN 0852446004, p. 234-235
  23. ^ (Inggris) "2081. Pornography and Sexual Violence". United Methodist Church. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-28. Diakses tanggal 2007-06-24. 
  24. ^ (Inggris) "What's Wrong with Pornography?". United Methodist Church. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-29. Diakses tanggal 2007-06-24. 
  25. ^ (Inggris) "Quran (Progressive Muslims Organization)/24 - Wikisource". En.wikisource.org. 2007-11-18. Diakses tanggal 2013-11-26. 
  26. ^ (Inggris) "Islam Question & Answer". islamqa.info. Diakses tanggal 2015-04-29. 
  27. ^ (Inggris) "Ahlul Bayt Islamic Mission". aimislam.com. Diakses tanggal 2015-04-29.